Senin, 14 Januari 2008

Rahasia Pribadi Sang Benazir


KABAR tentang kematian Benazir Bhutto bukan hanya menyisakan duka mendalam bagi pendukungnya di Pakistan. Melainkan juga kepiluan tak terperi bagi seorang terapis kecantikan, Worro Harry Soeharman, 50 tahun, yang tinggal di Raffles Hills, Cibubur, Jakarta Timur. Wanita berjuluk grand master pijat bioenergi ini pernah hampir sebulan dipercaya merawat kecantikan dan kebugaran Benazir di Istana Perdana Menteri Pakistan, April 1996.

Sosok Benazir yang jelita, tegas, dan selalu tampil percaya diri masih terekam kuat dalam memori Worro. "Kepribadian beliau amat kuat dan mengesankan," ujar mantan kepala pelatih perawat kecantikan Martha Tilaar Group itu. "Sedih mendengar beliau meninggal, apalagi dengan cara dibunuh." Worr o merasa roh Benazir masih dekat dengannya, meski jasadnya telah wafat. Lebih-lebih pada saat ia membuka kembali kerudung putih berenda merah muda kesukaan Benazir yang secara spontan dihadiahkan pada Worro ketika pamitan pulang.

Pada saat Worro hendak mengenakan kerudung itu untuk dipotret Gatra, bibirnya spontan minta izin, "Excuse me, Madam!" Serasa Benazir masih berdiri di depannya. Bulu kuduk sekujur tangan dan tengkuk Worro berdiri. "Merinding rasanya," katanya.

Worro mengaku amat terpesona oleh figur Benazir. "Ia sosok negarawati yang mencurahkan seluruh pikiran dan tenaganya untuk Pakistan. Saya tahu persis, dia amat mencintai rakyat dan negaranya," ujar wanita yang memiliki dokumen keluarga sebagai keturunan Raja Majapahit, Brawijaya V, itu.

Worro merasa amat beruntung dipercaya bekerja di lingkaran dekat tokoh perempuan pertama yang terpilih lewat pemilu demokratis untuk memimpin negara Islam itu. Ia bisa banyak belajar dari keseharian dan kehidupan pribadi Benazir yang tak banyak diketahui khalayak luas. "Beliau berkali-kali mengajarkan pada saya agar menjadi perempuan yang kuat, teguh pendirian, dan punya keyakinan kokoh," kata Worro, mengenang.

"Kata yang paling sering beliau ucapkan, baik dalam pembiacaran via telepon maupun perbincangan langsung, adalah 'exactly' dengan sorot mata tajam. Itu cerminan sikap dasarnya yang punya keyakinan diri kuat," Worro memaparkan.

Sebagai pemimpin negara dengan kehidupan politik dikenal keras, kerap diwarnai aksi pembunuhan pemimpin politik, dan sering terlibat perang urat saraf dengan tetangga, India, karakter Benazir dibentuk menjadi sosok yang teguh. Ia dibesarkan dalam keluarga politisi terkemuka yang menjalani pergolakan politik keras.

Akhir 1970-an, Benazir ikut merasakan imbas politik sebagai putri sulung mantan Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto. Jenderal Zai-ul-Haq, yang menggulingkan Zulfikar, menjebloskan Benazir ke penjara bersama ayah dan ibunya, Nusrat Bhutto. Pada usia 26 tahun (1978), Benazir menyaksikan ayahnya dihukum mati rezim Zia-ul-Haq.

Tujuh tahun kemudian (1985), adik keduanya, Shahnawaz, ditemukan tewas di apartemen di Prancis. Diduga ia diracun akibat sikap kritisnya pada Jenderal Zia. Setelah Zia tewas pada Agustus 1988, Benazir yang tengah hamil sembilan bulan, dengan segala ketegarannya, melakukan perjuangan politik untuk merebut kembali kekuasaan ayahnya yang direnggut Zia.

Sebulan pasca-tumbangnya Zia, Benazir melahirkan putra pertama, Bilawal Bhutto Zardari, akhir September 1988. Keletihan fisik pasca-kelahiran tidak membuat perjuangan Benazir surut. Ia terus berkampanye, hingga memenangkan pemilu terbuka pertama di Pakistan pada 16 November 1988. Benazir dilantik menjadi perdana menteri pada usia 35 tahun, ketika bayi pertamanya belum genap empat bulan.

Prinsip menjadi perempuan kuat yang, antara lain, ditekankan Benazir pada Worro bukanlah sekadar pemanis bibir. Ia telah menjalaninya. Sebelum terjun ke politik, Benazir membekali diri dengan mengambil kuliah bidang perbandingan pemerintahan di Universitas Harvard (1969-1973), Amerika Serikat, dengan yudisium cum laude. Lalu dilanjutkan ke Universitas Oxford, Inggris, mendalami filsafat, politik, dan ekonomi, serta melengkapinya dengan kursus hukum internasional dan diplomasi.

Pada akhir 1977, benih kepemimpinannya mulai terlihat, ketika ia terpilih sebagai Presiden Oxford Union. Ia tercatat sebagai wanita pertama Asia yang memimpin forum debat yang prestisius itu.

Begitu terjun ke gelanggang politik Pakistan, Benazir menjalani pasang surut kehidupan politik. Baru 20 bulan memerintah, pada Agustus 1990, Benazir diturunkan dari kursi perdana menteri. Namun ia berusaha bangkit. Dan, tiga tahun kemudian, Oktober 1993, Benazir terpilih untuk kedua kalinya sebagai perdana menteri.

Lawan politik Benazir pada masa jabatan keduanya bukan hanya "orang lain". Intrik politik juga berlangsung di antara anggota keluarganya. Adik kandungnya, Murtaza Bhutto, memilih garis oposisi terhadap Benazir. Hal ini dipicu ketidaksukaan Murtaza pada perilaku korup suami Benazir, Asif Ali Zardani, yang pernah menjadi Menteri Lingkungan pada pemerintahan pertama Benazir.

Tidak hanya adik kandung, ibunda Benazir, Nusrat Bhutto, yang memihak Murtaza juga beroposisi terhadap Benazir. Hal ini membuat beban Benazir di penghujung kekuasaan keduanya kian berat. Dua bulan sebelum Benazir jatuh, pada September 1996, Murtaza tewas ditembak polisi. Ditengarai akibat perseteruannya dengan suami Benazir. Peristiwa itu membuat Benazir kian tidak populer hingga akhirnya jatuh pada November 1996, diiringi beragam tuduhan korupsi.

Pada tahun terakhir jabatan kedua Benazir itulah, Worro diundang ke istana Benazir di Islamabad. Ia menyaksikan sendiri bagaimana dampak tekanan sosial politik terhadap kehidupan pribadi dan keluarga Benazir. "Pada waktu itu, sedikit sedikit saya mendengar kabar ada bom meledak," papar Worro. Tingkat stres Benazir amat tinggi. Ia kerap tidak bisa tidur dan mengalami ketegangan otot punggung. Tapi Benazir berusaha tegar menghadapi semua itu.

Salah satunya dengan mendatangkan ahli pijat bioenergi dari Indonesia. Kalimat pertama Benazir ketika pertama menyabut kedatangan Worro di ruang pribadinya pada 7 April 1996, pukul 22.30 waktu setempat, "Worro, saya ingin bisa tidur nyaman." Benazir ketagihan pada layanan Worro ketika berkunjung ke Jakarta, Maret 1996. Ia sampai menulis di sehelai kertas, "Thank you for looking after me. I feel really relaxed and happy and ready to work again." Worro pada saat itu dikenal sebagai pemijat banyak tamu negara.

Tak cukup dilayani di Indonesia, Benazir mengundang Worro ke Pakistan. Pijatan Worro diperlukan untuk mengendurkan ketegangan Benazir dalam menghadapi tekanan politik yang bertubi-tubi. Ia paling suka dipijat otot punggung, kepala, dan kaki.

"Sekuat apa pun tampilan wanita di depan umum, ia tetap seorang wanita yang merindukan pelayanan, disentuh, dan dimanja," kata Worro, yang berperan utama mengendurkan otot, urat saraf, dan menciptakan relaksasi mental Benazir. Semua itu bukan hanya akibat tekanan pekerjaan, melainkan juga karena problem kewanitaan, seperti keluhan pinggang pasca-melahirkan dan gangguan emosi akibat menstruasi.

Tiap hari, Benazir menjalani layanan relaksasi dua sampai tiga jam. Sambil bersantai dipijat kakinya, Benazir masih menyempatkan diri menelepon menterinya, untuk memonitor pekerjaan atau merespons perkembangan terbaru. Kepada Worro, Benazir pernah bercerita bahwa ketika di penjara, ia diwasiati sang ayah agar melanjutkan peran politik ayahnya. Maka, gelanggang politik pun menjadi jalan hidupnya.

Sebagai ibu, Benazir juga selalu mengontrol pendidikan tiga anaknya: Bilawal, Bakhtwar, dan Aseefa --pada saat itu masing-masing berusia delapan, enam, dan empat tahun. "Ia selalu mengecek jadwal les dan ngaji anak-anaknya," kata Worro. Pendidikan anak diarahkan pada kemandirian, tanggung jawab, dan kepemimpinan.

Suatu hari, anak sulungnya, Bilawal, tersandung dan jatuh di salah satu sudut istana. Bilawal langsung memarahi suster yang mengasuhnya. "Mengapa kau tidak beritahu aku tempat itu berbahaya?"

Kebetulan Benazir mendengar dan segera menasihati Bilawal dengan lembut. "Darling, kesalahanmu itu akibat perbuatanmu sendiri yang tidak hati-hati. Kamu harus berani menanggung risiko atas tindakan yang kamu pilih," papar Benazir, sebagaimana disaksikan Worro.

Sekarang Bilawal menginjak usia 19 tahun. Bekal prinsip kepemimpinan yang banyak diarahkan ibunya kini dirasa penting. Minggu lalu, ia terpilih sebagai Ketua Partai Rakyat Pakistan (PPP), menggantikan mendiang ibunya. Tugas politik yang pernah dipesankan Zulfikar pada Benazir kini diteruskan Bilawal.

Setelah menuturkan panjang lebar pengalamannya mendampingi Benazir, Worro tiba-tiba tersentak. Ada sesuatu yang terlupa. "Saya belum memanjatkan doa khusus untuk beliau. Habis salat, saya akan berdoa khusus," ujarnya. Usai wawancara, ia mengambil air wudu, lalu naik ke lantai II rumahnya, untuk menunaikan salat isya dan berdoa buat mendiang pemimpin perempuan yang amat dikaguminya itu.

Asrori S. Karni
[Laporan Khusus, Gatra Nomor 8 Beredar Kamis, 3 Januari 2008]

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Foto-Foto