Jumat, 25 April 2008

Desi Anwar Bantah Tuduhan Ramos Horta

JAKARTA (Berita Nasional) - Jurnalis senior Metro TV Desi Anwar meminta perlindungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baik sebagai pribadi, jurnalis dan warga negara dari segala konsekuensi negatif yang dapat timbul atas tuduhan Presiden Timor Leste Ramos Horta yang telah disiarkan di media internasional. "Saya juga memohon kepada Presiden Yudhoyono untuk meminta penjelasan terhadap Presiden Ramos Horta atas tuduhan-tuduhan yang tidak mendasar tersebut dan memulihkan nama baik saya dan Metro TV," katanya ketika mengadukan kasus tuduhan tak berdasar terhadap dirinya oleh Ramos Horta kepada Dewan Pers di Jakarta, Jumat.

Kepada jajaran pimpinan Dewan pers, Desi Anwar membantah keras tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh Presiden Ramos Horta di hadapan pers internasional pada tanggal 18 April di Dili. Dalam wawancara tersebut, Ramos menuduh Desi Anwar telah melanggar kode etik jurnalistik, melakukan berbagai kegiatan yang melanggar hukum dan yang memberi andil terhadap upaya pembunuhan kepada dirinya, serta diancam akan dilaporkan ke institusi pers internasional.

"Tuduhan-tuduhan tersebut adalah bohong, tidak bertanggungjawab dan menyakitkan," katanya yang didampingi sejumlah pimpinan Metro TV seperti Djafar Assegaf, Elman Saragih, dan Saur Hutabarat. Dari pihak Dewan Pers nampak hadir Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara, serta anggota Dewan Pers Wina Armada Sukardi, Abdullah Alamudi, serta Ikrama Abidin.

Desi menyatakan bahwa tuduhan Ramos Horta tersebut bohong karena tidak ada secuil kebenaran pun dalam pernyataannya.

"Saya tidak pernah pergi ke Atambua, tidak pernah memalsukan dokumen dan memfasilitasi perjalanan Mayor Alfredo Reinado. Tidak pernah melakukan kontak apapun baik langsung maupun tidak langsung, apalagi yang melanggar hukum dan memberi andil terhadap upaya pembunuhan kepada Presiden Ramos Horta," katanya. Desi menegaskan, selama hidupnya, tidak pernah mengenal, bertemu atau melakukan kontak apapun dengan Mayor Alfredo Reinado.

Menurut Desi, tuduhan tersebut tidak bertanggung jawab karena merupakan tuduhan yang sangat serius, yaitu membantu dalam upaya pembunuhan seorang Presiden, mencemarkan nama baik dan melecehkan dirinya sebagai jurnalis baik di Indonesia maupun di dunia internasional.

Ia menilai, tuduhan tersebut berbahaya karena dilontarkan oleh seorang Presiden sehingga dapat menimbulkan persepsi negatif serta konsekuensi yang sangat merugikan terhadap dirinya sebagai pribadi maupun professional, sehingga dikhawatirkan akan menyulitkannya melakukan tugas jurnalistik. "Tuduhan tersebut menyakitkan karena saya sebagai jurnalis mengenal Jose Ramos Horta, begitu pula Xanana Gusmao saat mereka masih dicap sebagai pemberontak terhadap negeri ini di masa silam, sehingga saya tidak paham mengapa tuduhan tersebut sekarang dialamatkan kepada diri saya. Apa maksud yang dituju," katanya.

Protes keras

Karena itu, Desi Anwar, memprotes keras tuduhan-tuduhan tidak mendasar tersebut dan meminta dengan segera agar Presiden Timor Leste Ramos Horta menarik kembali tuduhan-tuduhannya dan meminta maaf kepada dirinya dan Metro TV di depan publik internasional.
Selain itu, Desi juga meminta perlindungan kepada seluruh asosiasi jurnalistik dan kalangan pers, baik di Indonesia maupun internasional, serta melakukan protes resmi terhadap tuduhan-tuduhan yang telah melecehkan profesi jurnalistik itu.

"Sekali lagi, saya Desi Anwar jurnalis Metro TV, tidak terima dituduh tanpa dasar oleh seorang Presiden negara lain di hadapan khalayak internasional dan saya tidak akan diam hingga permintaan serta permohonan saya dipenuhi," tegasnya.(sumber: antara)

Kamis, 24 April 2008

NAMRU

Rabu, 23 April . Siang tadi, Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan, tampak keluar pintu lift Kantor Sekretaris Negara, Jl. Veteran III, Jakarta Pusat. Ia baru saja bertemu dengan Hatta Rajasa, Menteri Sekretaris Negara.

Banyak wartawan yang menantinya. Ia lalu berujar, “Tak akan aku katakan. Tak akan aku katakan.” Dia tersenyum. Entah apa pula maksud kalimat tak akan aku katakan itu.

“Apa mengenai NAMRU?” Tanya seorang wartawan

“No Comment,” jawab Siti. Ia bergegas menuju Camry RI 30. Supir langsung tancap gas membawanya.

Nama NAMRU (Naval Medical Reasearch Unit), dalam sepekan terakhir ini menjadi ikon yang kian bunyi. Hal itu diawali dari pemberitaan singkat di beberapa media on line, bahwa, Menteri Kesehatan, tidak dibenarkan masuk ke dalam laboratorium, di mana ada beberapa warga negara Amerika Serikat sedang bekerja di dalam laboratotium Litbang, Departemen Kesehatan.
Ada lima belas menit lamanya Siti Fadilah menunggu. Bisa dibayangkan kekecewaannya, sebagai pejabat negara, di tanah airnya sendiri, di bawah naungan departemennya pula, ia diperlakukan demikian.

Aneh memang.

Kedutaan besar Amerika Serikat hari ini, mengeluarkan siaran pers. Isinya: Satu komplek dengan litbang Departemen Kesehatan RI, NAMRU tidak tersentuh hukum Indonesia. Laboratorium penelitian Angkatan laut AS itu, memang berada di wilayah hukum AS.
“NAMRU adalah bagian dari wilayah keduataan besar AS di Jakarta.”

Di dalam rilis itu Kedubes AS membantah bahwa NAMRU yang berkantor di Jl. Percetakan Negara, Rawasari, Jakarta Pusat, merupakan fasilitas rahasia, dan melakukan mata-mata. NAMRU terbuka bagi siapa saja yang berminat kepada penelitian. Misalnya untuk kalangan universitas, militer, peneliti dan ilmuwan.

Semua proyek NAMRU mereka klaim sudah atas persetujuan Badan Litbang Depkes RI. Dari 175 pegawainya, kebanyakan peneliti; dokter, dokter hewan, ahli teknologi. Staf administrasinya penduduk lokal. Dari 175 pegawai, hanya 19 orang saja yang berkewarganegaraan AS.
Begitu pokok-pokok rilis Kedubes AS.

Kian menjadi tanya, lokasi kantor NAMRU bukan di wilayah Kedutaan AS, yang di Jl. Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, itu. Lantas NAMRU otonom? Lalu ada 19 warga negara AS bekerja di sana, yang tidak tersentuh hukum Indonesia?

Menjadi kian unik memang NAMRU ini.

Negeri yang katanya zamrud di khatulistiwa ini, memang menjadi incaran banyak kepentingan. Bukan sesuatu yang baru, bila mendadak sontak isu adanya mata-mata di tumpah darah Indonesia ini berseliweran.

Laku mata-mata di negeri ini memang sudah terindikasi mencengkram, bahkan menelisik ke ranah departemen pemerintah, lembaga bergengsi macam di Kadin Indonesia, juga think-thank, yang sering dijuluki Mafia Berkeley, misalnya.

SETAHUN sebelum AS menyerang Irak. Seorang kawan saya redaktur sebuah majalah berita di Jakarta menceritakan pengalamannya. Sebut saja namanya Mohammad Dong. Ia bersama empat wartawan dari ASEAN diundang berkunjung ke Israel, dalam muhibah jurnalistik.

Keberangkatan itu diurus segalanya dari Singapura. Mendarat di Tel. Aviv, Israel, rombongan lima wartawan ASEAN itu dijemput oleh seorang kolonel polisi. Di sepanjang perjalanan, kolonel itu memberikan penjelasan tentang keberadaan kota, apa saja yang mereka lakukan, termasuk kesiagaan warga untuk selalu jaga-jaga jika negara dalam keadaan darurat diserang, siap sedia perang.

Tiba di semacam kantor dinas penerangan setempat, kolonel polisi tadi meminta rombongan wartawan itu menunggu di sebuah ruang rapat. Begitu kembali ke ruang rapat kolonel polisi tadi sudah berganti baju biasa, bukan lagi pakaian dinas. Ia menepuk bahu Mohammad Dong.
“Lagi musim duren di Jakarta?” tanya kolonel polisi dalam bahasa Indonesia fasih.

Mulut Mohammad Dong ternganga.

Belum habis keterkejutannya, pejabat dinas penerangan itu meneruskan kata
”Gue kan sebelas tahun tinggal di Ciputat. Punya gerobak roti 20.”

Alamak!

Sebelas tahun, punya usaha roti segala?

Mendengar kisah Mahammad Dong, saya menjadi tertawa. Kenapa tak tertawa? Gila benar polisi Israel bisa berbahasa Indonesia, tinggal sebelas tahun, punya usaha roti. Ketawa saya menjadi-jadi. Pakai visa apa dia ke Indonesia, bukankah antara Indonesia dan Israel tidak memiliki hubungan diplomatik?

Saya mengkritisi cerita Mohammad Dong itu. Ia sosok yang pandai bertutur, dan acap kali mengeluarkan banyolan. Seringkali susah membedakan ia bercerita sungguhan atau sekadar menyampaikan joke.

Kala itu, ia memperlihatkan sebuah kartu nama pejabat Israel itu.

Ketika AS hendak menyerang Irak, email dan seluruh nomor kontak yang ada di kartu nama yang diperlihatkan kawan itu, sudah tidak bisa diakses. Bahkan alamat emailnya dikirimi surat seketika mental.

Begitulah sepenggal cerita Mohammad Dong, wartawan yang pernah diundang ke Israel.
Di satu sisi cerita tadi bisa jadi cuma “kejenakaan”. Tetapi di lain sisi, jika dicermati, begitulah adanya, bagaimana negeri ini memang seakan telanjang. Bangsa ini membutuhkan banyak kunjungan turis manca (banyak) negara. Hal hasil, mereka warga negara mana pun kita tampung saja - - termasuk tanpa kita pedulikan kedok paspor yang mereka pakai.

Mereka yang berkulit hitam dari Afrika, yang banyak datang untuk membeli barang pakaian jadi murah di Tanah Abang, Jakarta Pusat, telah pula terindikasi banyak memasukkan narkoba, berbisnis dolar palsu, dan melakukan penipuan pembuatan dolar hitam - - sebagaimana belum lama ini ditangkap oleh pihak Kepolisian RI.

Karena kesulitan ekonomi yang kini kian mendera, beberapa stasiun televisi sudah menyiarkan laku kawin kontrak wisatawan Timur Tengah - - termasuk satu dua dari Afrika - - dengan gadis-gadis di kawasan Puncak, Sukabumi, Cianjur, Jawa Barat. Dengan dalih eknomi, para pria yang membawa pundit-pundi uang itu, telah dengan gampang dan murah, hidup berbulan-bulan di lingkungan masyarakat kita. Mereka hidup di tengah-tengah kita. Bisa dibayangkan bila salah satu di antara mereka itu adalah pejabat negara asalnya, yang menyamar menjadi mata-mata, untuk mendapatkan masukan-masukan nyata tentang Indonesia terkini.

Akan tetapi menegur kaum perempuan yang melakukan perkawinan kontrak itu, juga sebuah dilemma. Mereka memang perlu untuk meningkatkan ekonomi, yang kian hari kini terasa kian sulit itu. Dengan hantaman sektor riil, pertanian, di daerah tidak tumbuh, laku kalangan pendatang dengan membawa pundit-pundi uang menjadi diperlukan.

Karena kepentingan dan dukungan uang serta keahlian pulalah logika NAMRU itu tampaknya diambil pemerintah Indonesia.

Tetapi adalah naïf tentu membandingkan NAMRU dengan pria Timur Tengah yang melakukan kawin kontrak. NAMRU sebuah lembaga riset, yang sangat strategis. Mereka memperlakukan Menteri Kesehatan RI, yang baru saja menulis Buku Saatnya Dunia Berubah, yang mengkritik kebijakan AS dan WHO, yang mengambil sampel virus flu burung untuk dibuat vaksin, lalu negara asal virus, di kemudian hari harus membayar mahal vaksin - - sebagai sebuah laku tak adil.

Munculnya makhluk bernama NAMRU, memang, tak terhindari sebagai satu lagi lakon mencurigakan yang dimainkan AS di negeri ini.

DINO Patti Djalal, kepada detik.com, hari ini membantah. “Janganlah berpikiran konspiratif. Apa-apa bawaannya curiga terus. Orang-orang yang membantu dari AS atau Inggris kita tolak, “ ujar Dino kepada detik.com. Menurutnya tidak ada yang salah kerjsama dengan NAMRU. Badan itu menurut Dino, memiliki jaringan, mempunyai teknologi yang bermanfaat bagi pemerintah Indonesia, untuk mengembangkan riset-riset medis.

Sebaliknya dengan Munarman, mantan Ketua YLBHI ini, yang hari ini melakukan konperesni pers di Mer-C (Medical Emergency Committee dan Annashar Institute), di kantornya di Jl. Kramat Lontar, Jakarta Pusat. Ia menilai bahwa laku beberapa orang AS di NAMRU, melakukan kegiatan intelijen.

Karenanya ia mencak-mencak, ketika ada dua orang dari kedubes AS, lalu membagikan rilis berkop surat Kedubes AS di Jakarta, yang isinya antara lain mengatakan bahwa NAMRU cuma lembaga penelitian, di saat MER-C sedang mengadakan konmperensi pers itu.

Munarman tampak sangat gusar di tengah acara yang dilakukannya itu dimanfaatkan oleh kedubes AS membagikan rilis. “Tamu tak diundang, lah kok membagi rilis di acara orang, di mana etikanya, “ Munarman, melanjutkan, “Makanya Amerika negara bangsat.” Kejengkelan Munarman itu lengkapnya bisa diklik di: http://www.detiknews.com/indexfr.php?url=http://www.detiknews.com/ index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/04/tgl/23/time/194020/ idnews/928471/idkanal/10.

Terlepas dari kontroversi soal NAMRU, saya menjadi teringat nama seorang kawan saya Amruh Kumandang, yang kini menjadi salah seorang pengusaha yang mensuplai kebutuhan buku-buku ke sekolah di berbagai daerah. Namanya mirip-mirp dengan NAMRU.

Amruh belum lama ini bercerita bagaimana banyak sekali peluang usaha di daerah yang belum tergarap. Ia baru saja berkeliling Sumatera. “Mencari permodalan di daerah susah,” katanya. Umumnya pengusaha sangat tergantung hanya pada proyek-proyek pemerintah. “Tidak ada yang namanya pengembangan usaha pertanian, seperti pembukaan lahan jagung baru, usaha pengeringan jagung yang dibiayai perbankan misalnya.”

Sudah banyak artikel yang memaparkan, bahwa kekuatan eknomi bangsa ini memang terindikasi “dilumpuhkan”. Pelakunya adalah konspirator lokal dengan agen-agen asing.

Menurut teman saya yang bekerja di PT Freeport Indonesia, dari delapan palka bahan tambang yang dikapalkan setiap hari di Freeport di Tembagapura, satu palkanya adalah emas. Anehnya, IMF melalui perjanjian yang ditandatangani Indonesia, mewajibkan melaporkan ekspor, impor, deposit emasnya kepada IMF. Juga tidak boleh mem-peg mata uang rupiah ke emas, sebaliknya ekspor emas Freeport tak ada datanya di kita - - toh izinnya menambang tembaga.

Banyak list yang bisa dijejerkan pula, seperti di pertambangan Migas, yang tidak proporsional pembagian keuntungannya bagi negara. Anehnya jika ada anak negeri yang kritis, sebagaimana Siti Fadilah Supari, seakan koor paduan suara pemerintah memojokkannya. Begitulah bila kekuasaan hanya untuk kekuasaan, tidak untuk kemaslahtan rakyat banyak.

Karenanya dari awal saya sudah mendukung langkah-langkah Sitri Fadilah Supari di bidang kesehatan, sebagaiman saya tulis di Tajuk Rakyat ini pada 22 Maret lalu: Revolusi Transparansi Siti. Semoga saja kalimat, “Tak akan kukatakan-tak akan kukatakan,” yang disampaikan Siti di Sekretariat Neghara hari ini, bisa kembali dia ungkap dalam tulisannya, demi menegakkan harkat dan martabat bangsa.

Saya yakin, dari melihat gaya Siti menulis di buku Saatnya Dunia Berubah itu, dia bukanlah tipikal pemimpin kebanyakan negeri ini: yang umumnya menghamba ke asing, demi mempertahankan kekuasaan. Saatnya, memang kita mengkritisi berbagai kepentingan asing di negeri sendiri.

Termasuk mengkritisi NAMRU, yang entah untuk apa itu?

Iwan Piliang, presstalk.info

Sabtu, 19 April 2008

DPRD Persoalkan Ruilslag GOR Saburai

BANDAR LAMPUNG (Berita Nasional): Panitia Khusus (Pansus) DPRD Provinsi Lampung yang menangani ruilslag GOR Saburai mempersoalkan rencana Pemprov Lampung menukar guling kawasan GOR Saburai dengan lahan 10 hektare milik PT Damai Indah Lestari (DIL) di Kemiling.

Dalam rapat dengar pendapat Pansus dengan Pemprov Lampung di Gedung DPRD, Jumat (18-4), Ketua Pansus Indra Ismail mempertanyakan mengapa harus meruilslag kawasan GOR Saburai. Ia juga mempertegas istilah penglepasan aset dengan pemindahan aset adalah dua hal yang berbeda. Ruilslag merupakan penglepasan aset yang perlu persetujuan DPRD.


Rapat dengar pendapat itu, Pemprov Lampung diwakili Ketua Bappeda Suryono S.W dan Kepala Biro Aset dan Perlengkapan Daerah, Harun Al-Rasyid.

Anggota Pansus Mega Putri Tarmizi juga meminta Pemprov mempertimbangkan kembali rencana itu. Menurut dia, jika diasumsikan nilai jual objek pajak (NJOP) tanah di kawasan GOR Saburai Rp3 juta per meter persegi, harga jual yang diperoleh adalah Rp65 miliar. Dengan asumsi harga bangunan GOR Saburai Rp5 miliar, total jualnya menjadi Rp70 miliar.

Perhitungan NJOP tanah di Kemiling, kata Mega, adalah Rp150 ribu per meter. Jika ditotalkan luas lahan 10 hektare itu, diperoleh harga Rp15 miliar. "Bagaimana selisih ini akan dipertanggungjawabkan," kata Mega.

Anggota Pansus Lukmansyah pun mempertanyakan alasan membangun kawasan olahraga terpadu, tetapi dengan penekanan ruilslag. "Provinsi Sumatera Selatan sukses membangun kawasan olahraga Jaka Baring tanpa perlu ruilslag. Kawasan yang lama masih menjadi aset Pemprov Sumatera Selatan," kata Lukmansyah.

Selain persoalan itu, masalah yang muncul adalah perlu dipertanyakan kembali peruntukan kawasan Kemiling yang menjadi kawasan reservasi serapan air. Anggota Pansus Sugeng Kristianto juga mempertanyakan status kepemilikan lahan PT DIL seluas 10 hektare itu.

Baru Satu Investor

Pemprov Lampung yang diwakili Kepala Bappeda Suryono S.W. dalam pengantarnya mengatakan, sarana dan prasarana olahraga masih sangat terbatas, sedangkan perkembangan Kota Bandar Lampung sangat pesat. Sampai kini, baru ada satu pengusaha yang mau menawarkan diri, yaitu PT DIL. "Mereka memiliki lahan di kawasan yang sudah dipatok jadi kawasan olahraga. Tetapi, tidak menutup kemungkinan mencari kompetitor (investor, red) yang lain," kata Suryono.

Di sisi lain, Harun Al-Rasyid menambahkan setelah DPRD menyetujui akan dilakukan penilaian terhadap aset karena alasan biayanya mahal. Suryono menegaskan yang paling penting adalah izin prinsip (persetujuan Dewan) yang akan menjadi dasar penilaian lembaga independen (sebelum ruilslag).Rapat dengar pendapat itu akhirnya menyimpulkan Pansus setuju pembangunan kawasan olahraga di Kemiling, tapi tidak dengan meruilslag GOR Saburai. (sumber: Lampung Post)

Selasa, 15 April 2008

Perjalanan Dinas DPRD Diduga Banyak Fiktif

BANDAR LAMPUNG (Berita Nasional): Anggota DPRD Lampung diduga banyak yang memanipulasi anggaran Dewan dengan mencairkan surat perintah perjalanan dinas (SPPD) fiktif.
Meskipun namanya tercatat dalam rombongan perjalanan dinas yang dibalut kegiatan studi banding atau kunjungan kerja ke luar provinsi, anggota DPRD Lampung itu terlihat di gedung Dewan. Banyaknya anggota Dewan yang melakukan perjalanan dinas fiktif diungkapkan anggota DPRD Lampung yang tidak mau disebutkan namanya, Senin (14-4).

Sumber tersebut mengungkapkan dua modus anggota DPRD membuat SPPD fiktif. Pertama, memang benar-benar tidak berangkat. Dana yang dicairkan biasanya dipotong Rp1 juta atau sampai 50 persen. "Kalau pakai modus ini memang benar-benar untung karena tidak ke mana-mana, tetapi dapat duit," kata dia.

Modus kedua, mengikuti perjalanan dinas ke luar provinsi, tetapi jumlah hari kunjungan kerjanya dikurangi. "Kalau dijadwalkan enam hari, setiap anggota dapat Rp8,3 juta. Tetapi yang dilaksanakan hanya dua hari," kata dia.

Menurut dia, perjalanan dinas biasanya dilakukan dalam kelompok atau rombongan dan tidak pernah seluruhnya ikut. "Kalau rombongan, yang berangkat paling-paling cuma separo, tetapi yang mencairkan uang SPPD pasti semuanya. Modus itu biasa dilakukan SPPD diurus staf. Dari keuangan dicairkan sesuai dengan jumlah rombongan," kata dia.

Pernyataan itu dibenarkan staf DPRD yang tidak mau disebutkan namanya. "Besarnya biaya perjalanan dinas ditentukan jumlah hari dan jarak tempuh dari Lampung," jelasnya.

Sejak Jumat (11-4), Bawasda Provinsi Lampung tengah memeriksa adanya perjalanan dinas fiktif yang dilakukan Pansus Sembilan Raperda yang diketuai Abdulah Fadri Auli. Pansus beranggotakan 14 orang ini studi banding ke Riau.

Aturan Selektif

Dihubungi terpisah, Ketua DPRD Lampung Indra Karyadi mengakui ada anggotanya yang mencairkan SPPD fiktif. "Sebab itu, kami mengeluarkan aturan selektif. Proses pencairan SPPD harus sesuai dengan aturan, hanya untuk hal yang betul-betul penting," kata Indra.

Menurut Indra, pimpinan DPRD tengah mempelajari mekanisme pemberian sanksi bagi anggota DPRD yang mencairkan SPPD fiktif. "Yang jelas kalau ada pengaduan akan ditindaklanjuti Badan Kehormatan. Sanksi selanjutnya terserah BK. Apakah mengembalikan uang perjalanan dinas atau sanksi lain. Kalaupun Bawasda mau memeriksa, silakan," kata Indra.

Berdasar pada catatan di Sekretariat DPRD Lampung sejak Januari hingga April 2008, anggota DPRD Lampung telah melakukan studi banding dalam kelompok Panitia Khusus (Pansus) ke delapan provinsi.

Sementara itu, DPRD Lampung dalam rapat pimpinan, Senin (14-4), kembali mengagendakan studi banding 65 anggota Dewan pada 8--14 Mei 2008.(sumber: Lampung Post)

Jumat, 11 April 2008

SLANK II

SAYA membaca ulang beberapa naskah Tajuk Rakyat ini, setelah menyimak keterangan Gayus Lumbuun, Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR semalam di SCTV. Tidak banyak pokok pikiran yang disampaikannya, ihwal lagu SLANK yang berjudul Gossip Jalanan, yang dianggap menghujat kewiba waan DPR itu. Kepada Fajroel, tamu pendamping dalam wawancara SCTV itu, Gayus mengatakan, “Kalau tidak tahu arti santun masuk ke sekolah SMA lagi.” Ia menatap pembawa acara.

Pada 8 April 2008, saya menuliskan tajuk berjudul SLANK. Hari ini di berita pagi televisi swasta, hangat membahas ihwal meradang-nya anggota dewan di DPR, soal lagu SLANK itu.

Kemudian saya membaca ulang buku Sembilan elemen Jurnalisme, Bill Kovach & Tom Rosenstiel. Saya merasa perlu mengkritik diri sendiri agar ke depan rendah hati. Tajuk ini kendati essai, sudah saya tabalkan berlenggam reportase. Sebuah reportase berisi paparan, deskripsi, bahkan beberapa di antaranya saya coba menulis reportase literair, agar terhindar dari kesan nyinyir. Beberapa tulisan yang ada, sudah mulai nyinyir macam nenek lampir saja.

Suatu waktu ketika berdiskusi dengan rekan di Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi (PWI-Reformasi), organisasi di mana saya ada, saya terperanjat mendengar keterangan, bahwa kemampuan reportase dalam iklim sekarang tidak mutlak perlu bagi seorang wartawan. Lah, bila demikian adanya, menjadi tanya, apanya yang di-reformasi sebagai reporter?

PWI-Reformasi adalah organisasi yang memiliki sejarah. Ia didirikan pada November 1998, diprakarsai oleh beberapa wartawan senior, bahkan nama reformasi, diucapkan langsung oleh Dahlan Iskan, Pemimpin Jawa Pos Group. Organisasi ini diharapkan mengoreksi cara berorganisasi PWI, yang dalam catatan sejarah turut mendukung pembredelan TEMPO, Detik - - di antaranya - - di era Orde Baru.

Hingga kini, PWI-Reformasi - - salah satu dari 29 organisasi pers - - belum masuk ke daftar anggota Dewan Pers. Mereka yang sudah ada di Dewan Pers, adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), dan IJTI (Ikatan Juranalis Televisi Indonesia).

Salah satu syarat terdaftar di Dewan pers, memiliki kepengurusan setidaknya di 10 propinsi. PWI-Reformasi kendati memiliki kepengurusan di 26 propinsi, namun secara kelembagaan belum memdaftar ke Dewan Pers. Ia laksana partai politik baru, masih dalam upaya membenahi diri. Bahkan namanya pun sempat beralih menjadi PJI (Persatuan Jurnalis Indonesia) - - yang kemudian jalan sendiri - - lalu menegaskan kembali bahwa PWI-Reformasi, masih perlu ada.

Apa yang direformasi?

Inilah pertanyaan membucah di benak saya selalu. Kini hampir di semua propinsi dan kabupaten, jurnalis terkotak-kotak berpihak di dalam pilkada. Media terkooptasi oleh uang dan kekuasaan. Dengan sendirinya wartawan, manusia di dalamnya menjadi terkotak-kotak pula.

Di beberapa propinsi, saya mencatat, 100% wartawan menerima amplop. Kemampuan reportase lemah, lebih-lebih melakukan verifikasi investigasi. Bila pun mereka berorganisasi, mereka masih saling gontok-gontokkan, memojokkan kelemahan kawan kiri kanan, tidak mencari solusi perbaikan, terutama perbaikan ke arah meningkatnya kemampuan reportase, yang memberi andil bagi keberpihakan kepada kesejahteraan masyarakat.

Tak dipungkiri laku jurnalis kini yang ada kian jauh panggang dari api bekerja profesional. Saya minimal mengingatkan diri sendiri. Sering sekali saya menginjak jempol kaki dalam menulis, terutama untuk mengingatkan keberpihakan. Sebagai jurnalis, keberpihakan mutlak kepada warga.

Ketika mendapatkan laporan dari Tuah F, Rado, PWI-Reformasi Kalimantan Tengah, yang datang ke Jakarta kemarin, mengatakan bahwa Ketua Umum PWI, Tarman Azzam, kini sering sekali ke Kalimantan Tengah dan ke kabupaten-kabupaten yang ada, bahkan memberikan penghargaan kepada Bupati yang ada di Kalteng, saya bertanya-tanya, gerakan apa pula yang dilakukan? Apakah penghargaan yang diberikan Tarman kepada pejabat itu, sudah merupakan hasil keputusan rapat PWI Pusat?

Menurut Tuah, pada penghujung 2007, Tarman pernah berpidato di depan jajaran Pemda Kabupaten Pulang Pisang, Kalimantan Tengah, bahwa, “Hanya ada tiga organisasi pers yang diakui secara resmi. Selain itu jangan dilayani, dan jangan diterima.”

Sebuah kalimat provokatif.

Sebuah kalimat arogan.

Omongan Tarman itu berimplikasi kini.

Banyak Pemda di tingkat kabupaten di Kalteng, tidak berkenan melayani wartawan yang berorganisasi di luar PWI. Keadaan, bahkan lebih parah dibanding di era Orde Baru. Wartawan, dikoordinir oleh humas Pemda. Berita melalui satu atap. Prioritas satu saja untuk PWI. Langkah ini secara nyata hari ini dilakukan oleh Rumah Sakit Umum Doris Sylvanus, Palangkaraya, yang sampai harus mengeluarkan semacam kartu identitas izin peliputan khusus bagi wartawan PWI saja, untuk lingkungan rumah sakit tersebut.

Bila wartawan sakit, atau butuh uang, ia tinggal meminta bantuan Pemda. Dan tinggal datang ke Humas, maka teken tanda terima, uang cair untuk sang wartawan. Langgam demikian bukan lagi isu. Tetapi seakan sudah diformalkan. Dan wartawan yang bukan PWI, tidak mendapatkan fasilitas apa-apa dari Pemda.

Saya memang menghimbau jajaran PWI- Reformasi untuk tidak mengunakan dana Pemda bagi berbagai keperluan jurnalistik. Jika tidak siap kere dan menderita jadi jurnalis, saya meminta mereka meninggalkan profesi itu. Ada cara meningkatkan taraf ekonomi, dengan menjadi pedagang koran, membuka warung nasi dan seterusnya. Ini demi menjaga independensi. Karenanya PWI-Reformasi Papua, sebagai contoh, yang pernah mendapatkan bantuan dana Pemda, saya minta membuatkan laporan penggunaan, untuk dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat.

PADA Agustus 2007, saya mendampingi Agung Firmansyah, yang berprofesi mengerjakan tulisan pariwara Pemda ke beberapa media. Ia mengajak saya ke Puruk Cahu, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah. Tentunya saya berterimakasih kepada Agung, bisa berjalan-jalan ke Puruk Cahu. Willy M Yosep, Bupati, begitu bangga memperlihatkan fotonya dengan Tarman Azzam, Ketua Umum PWI Pusat, di dinding rumah dinasnya. Tarman disambut laksana pejabat pemerintah dari pusat, bila datang ke kabupaten-kabupaten di Kalimantan Tengah.

Wartawan di Puruk Cahu, mendapatkan fasilitas ruang kerja ber-AC. Mereka mendapatkan bantuan motor. Mantan Ketua PWI Puruk Cahu, kini salah satu camat. Dalam keadaan demikian bagaimana wartawan mengritisi pembangunan rumah Bupati yang harus mencapai Rp 19 miliar. Termasuk pembangunan jembatan, sebagai infrastruktur yang bermasalah.

Bagaimana wartawan mengkritisi, bila kantor PWI Puruk Cahu dibiayai dari PAD Kabupaten, mencapai Rp 500 juta? Bukankah pembangunan kantor wartawan itu dananya lebih mendesak mengembangkan perpusatakaan kelililing desa, misalnya? Karena jumlah penduduk buta huruf cukup tinggi.

Di kemudian hari Tarman Azzam memberikan penghargaan pula kepada Willy yang tahun ini kembali mencalonkan diri sebagai Bupati itu, sebagaimana dituturkan Tuah F. Rado.

Di kabupaten yang memiliki tambang emas dan beberapa tambang batubara berkalori tinggi itu memang unik. Ketua DPRD, Henry Yosep, adalah kakak kandung Bupati, dan seorang kepala dinas, juga kakak kandung Willy. Tidak salah tentu. Tetapi bila media difasilitasi, corong media cuma PWI yang terfasilitasi itu, dan Ketua Umum Pusatnya, Tarman Azzam, beberapa kali pula ke Puruk Cahu, yang terindikasi bukan untuk urusan jurnalistik, tentulah layak kiranya jurnalis lain memverifikasinya, ada apa gerangan yang terjadi?

Dalam konteks ini, maka, diperlukan beberapa organisasi profesi wartawan, di sanalah gunanya anggotanya berperan, guna memberikan reportase dari sudut lain, yang ujung-ujung memberikan manfaat bagi masyarakat banyak, informasi yang sesungguhnya ada. Di tengah harapan kepada trias politika yang pupus, sedianya kekuatan keempat di bidang pers, media, wartawan, tumbuh.

Sayangnya, keberadaan wartawan lain itu, tidak diberi gerak, bahkan diusir macam yang terjadi di rumah sakit umum Doris Sylvana, Palangka Raya itu. Bila demikian kedaannya situasi di Kalimantan Tengah, sudah lebih parah dibanding iklim media massa di era Soeharto. Daerah sudah semacam negeri “feodal” baru. Lebih celaka, bila , feodalisme itu tumbuh difasilitasi oleh organisasi pers.

SUATU siang di empat tahun lalu, saya diajak Bambang Soepardjo, Ketua DHN 66, ke kantor Tarman Azzam, di perkantoran Gedung Dewan Pers,Jakarta Pusat. Inilah pertemuan tatap muka pertama saya dengan Ketua Umum PWI itu. Sejak itu saya tak pernah jumpa, dan mengikuti terus sepak terjangnya menjalankan organisasi PWI.

Di Harian Kalteng Pos, Selasa 8 April, ada tulisan Persiapan Jambore Wartawan Dimatangkan. Pelaksanannya di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Kegiatan itu dimotori PWI, dengan dukungan penuh Tarman Azzam. Untuk acara itu, berbagai lintas dinas Pemda terlibat, mulai dari dinas pekerjaan umum, Ditamperindag, PLN hingga PAM. Sudah dipastikan bahwa acara yang konon akan dihadiri oleh Menkominfo itu, bagi satu organisasi wartawan, PWI, jelas-jelas menggunakan dana APBD.

Di tengah situasi meningkatnya gizi buruk balita di berbagai daerah, adalah sebuah kenaifan bila organisasi jurnalis membebani anggaran negara, membebani anggaran daerah.

Lebih disayangkan kedekatan jurnalis, organisasi jurnalis, menjadi sebuah “kolusi” menyukseskan kekuasaan. Karenanya saya mengajak SLANK, bukan saja menulis lagu kritik bagi DPR, tetapi juga nyanyian mengkritik organisasi wartawan, juga profesi wartawan kini, yang mulai banyak “dilacurkan” kini.

Toh apalagi bila dilihat ditelevisi pagi ini, Ki Gendeng Pamungkas pun sudah ikut meluncurkan album lagu, mendukung SLANK. "Mana itu semua orang DPR, saya bela Slank, kalau berani gugat saya." Saatnya kini organisasi wartawan dan wartawan menunjukkan pula identitasnya yang pro warga, pro poor. Sebelum rakyat kebanyakan menggugatnya.

Iwan Piliang

Bongkar-pasang Ketua Parpol di Lampung

BANDAR LAMPUNG (Berita Nasional): Pembekuan pengurus partai di Lampung tidak terlepas dari tarik-menarik kepentingan pilkada. Pengartekeran juga wujud ketidakpercayaan pusat dan kontrol efektif pada pengurus daerah yang terlibat politik uang.

Penarikan wewenang pengurus wilayah partai di Lampung terjadi di PPP, PKB, dan Partai Demokrat. Wewenang Ketua DPD Partai Demokrat Lampung Thomas Azis Riska ditarik medio 2007 dan kepemimpinannya digantikan Plt. Ketua Peter Tji'din. Ketua DPW PPP Lampung Darwis Sani Merawi dibekukan 5 Oktober 2007 karena ditengarai DPP terlibat politik yang pilkada. Kemudian, kepemimpinan Ketua DPW PKB Lampung Musa Zainuddin dibekukan DPP berdasar pada keputusan rapat pleno 29 Februari 2008.

Dalam pandangan pengamat politik Unila Hertanto, pengambilalihan wewenang itu cerminan tarik-menarik kewenangan menetapkan calon gubernur dan calon bupati. Parpol yang sistem pengambilan keputusannya sentralistik merasa terganggu oleh struktur di daerah yang ingin punya peran lebih.

Pusat yang sentralistik, kata Dekan FISIP Unila ini saat dihubungi kemarin (10-4), terganggu oleh daerah yang ingin berperan menetapkan calon kepala daerah. Akhirnya, muncul konflik karena intervensi pusat terus digugat daerah. "Intinya rebutan selain juga terkait uang perahu," ujarnya.
Fenomena karteker juga terkait ketidakpercayaan pusat pada daerah. "Ini juga kontrol efektif bagi pengurus di daerah yang 'nakal'. Bisa saja ada pengurus daerah yang terlalu 'kasar' politik uangnya. Ada juga yang terkait dengan konflik," kata Hertanto.

Ke depan, Hertanto menyatakan turut campur pusat ke daerah harus berimbang. "Mesti ada kewenangan tertentu yang diberikan pada daerah seperti negosiasi koalisi dengan partai lain terkait calon gubernur."

Dihubungi terpisah, dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Unila Ari Darmastuti menyatakan parpol di Indonesia masih bersifat informal sentralistik. "Keputusan masih ditentukan perorangan atau tokoh, bukan melalui rapat atau musyawarah. Mereka juga terpusat, bukan membagi wewenang ke daerah-daerah."

Dengan begitu, lanjutnya, wajar bila di Lampung banyak marak fenomena karteker. "Di negara-negara maju, sistemnya sudah formal desentralistik. Mereka menentukan keputusan melalui rapat, musyawarah, serta membagi wewenang ke daerah-daerah," jelas Ari.

Di Indonesia pun Ari menilai harus mulai berkembang seperti di negara-negara maju. Pengambilalihan pengurus daerah oleh pusat melalui karteker harus berdasarkan syarat-syarat tertentu misalnya melanggar AD/ART atau persoalan moral seperti perselingkuhan, politik uang, dan korupsi.

Kasus PPP

Penarikan wewenang juga memunculkan masalah berkepanjangan. Kasus di DPW PPP Lampung sampai sekarang belum selesai. Untuk ketiga kali, musyawarah wilayah luar biasa (muswilub) gagal menyepakati keputusan.

Terakhir, pengurus DPW yang disodorkan formatur pada forum yang berlangsung Selasa (8-4) malam di kantor DPP PPP ditolak karteker. Formatur menetapkan M. Sofjan Jecoeb sebagai ketua, dan tiga ketua DPC sebagai wakil ketua mendampingi Sofjan.

Meskipun formatur menyatakan penetapan Sofjan Jacoeb tidak menyalahi AD/ART, Plt. Ketua PPP Lampung Emron Pangkapi dengan tegas menyatakan hal tersebut melanggar.Selain AD/ART, Emron menyatakan beberapa syarat menjadi pimpinan, baik DPP, DPW, maupun DPC, merujuk pada hasil Mukatamar VI 30 Januari--4 Februari 2007 lalu seperti Pasal 5 Ayat (C) dan Pasal 6 Ayat (2). "Semangat yang dibangun adalah mengantisipasi pendatang baru tidak bisa langsung jadi pemimpin," kata Emron yang dibenarkan Plt. Sekretaris PPP Lampung Teuku Taufiqulhadi. (sumber: Lampung Post)

Dukungan Uji Materi RUU-ITE

Koordinator Nasional Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi (Kornas PWI-Reformasi)
Manggala Wanabakti, Ruang 212, Wing B, Telepon/Fax 021-5746724, Senayan, Jakarta Pusat. http://www.pwir.org/

Nomor: 003/PWIR/IV/2008

Kepada Yth,
Pimpinan DEWAN PERS
Sekretariat Dewan PersGedung Dewan Pers Lantai VIIJl. Kebon Sirih No.32-34 Jakarta 10110

Perihal: Dukungan Uji Materi RUU-ITE (Informasi dan Transaksi Elektronika)

Dengan hormat,

Sesuai dengan keinginan Dewan Pers hendak mengajukan uji materi terhadap perihal tersebut di atas ke Mahkamah Konst itusi, kami jajaran Kornas PWI-Reformasi, mendukung pernuh langkah tersebut.

Sebagaimana tulisan Leo Batubara, anggota Dewan Pers, pada KOMPAS, 7 April 2008, secara tegas dan jelas memaparkan bahwa Undang-Undang Infomasi dan Transaksi Elektonika tersebut, mengancam kebebasan pers.

Pasal-pasal yang ada di dalam undang-undang tersebut terindikasi ambigu, tanpa memperhatikan UU Pers No. 40/1999.

Implikasi Undang-Undang tersebut, dirasakan pada akhir pekan lalu, dengan tertutupnya banyak blog di internet, hanya karena urusan kecil memblog konten Youtube, yang ditangani secara tidak profesional oleh kalangan pengusaha anggota APJII.

Demikian surat terbuka ini kami sampaikan dan mengharapkan dukungan masyarakat komunikasi di Indonesia khususnya dan masyarakat keseluruhan umumnya.

Terima kasih.


Jakarta, 8 April 2008
Kornas PWI-Reformasi

Hormat kami,
Iwan Piliang
Ketua Umum
http://mail01.mail.com/scripts/mail/compose.mail?compose=1&.ob=e1d449295ebb59b0ffeaa77d86c5ed8f1982f1d4&composeto=iwan.piliang@yahoo.com&composecc=&subject=&body=

Kamis, 10 April 2008

JAKSA AJUKAN BANDING KASUS BERSIHAR LUBIS

DEPOK (Berita Nasional/ANTARA) : Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Depok melakukan upaya hukum banding terhadap putusan Pengadilan Negeri Depok yang menjatuhi vonis hukuman satu bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan kepada penulis opini di Koran Tempo, Bersihar Lubis.

"Kita telah mengajukan banding tujuh hari setelah vonis yang dijatuhakan PN Depok," kata Kepala Kejaksaan Negeri Depok, Triyono Harianto, di Depok, Rabu (9/4).

Dalam putusannya Ketua Majelis Hakim PN Depok, Suwidya mengatakan, Bersihar secara sah dan meyakinkan telah menghina institusi Kejaksaan Agung melalui tulisan opininya di Koran Tempo Edisi 17 Maret 2007 yang berjudul "Kisah Integrator yang Dungu."

Suwidya berharap dengan putusan tersebut pada masa yang akan datang pendapat dari masyarakat dapat disalurkan secara martabat dan elegan, sehingga tidak menyalahi aturan hukum. Ia mengatakan, saat ini sedang menyusun memori banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat.

Menanggapi hal tersebut kuasa hukum Bersihar dari LBH Pers, Hendrayana mengatakan, pihaknya hingga saat ini belum menerima surat pemberitahuan apapun. "Belum ada surat apapun mengenai pengajuan banding," kata Hendrayana.

Sedangkan Bersihar Lubis menyatakan hal yang sama dirinya belum menerima surat pemberitahuan apapun mengenai adanya pengajuan banding tersebut. "Harusnya surat pemberitahuan dilayangkan kepada kuasa hukum saya," jelasnya.

Sebelumnya Mejelis Hakim Pengadilan Negeri Depok yang menyidangkan kasus Bersihar Lubis menjatuhi vonis hukuman satu bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan. Bersihar merasa kecewa dengan putusan tersebut dan akan melakukan banding.

Dengan putusan tersebut Bersihar tidak perlu menjalani hukuman penjara jika dalam tiga bulan tidak melakukan hal yang sama. Vonis tersebut lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan Jaksa yang menuntut delapan bulan penjara karena melanggar pasal 207 KUHP.(sumber: milinglist jurnalis-indonesia@yahoogroups.com)

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto