Jumat, 11 April 2008

SLANK II

SAYA membaca ulang beberapa naskah Tajuk Rakyat ini, setelah menyimak keterangan Gayus Lumbuun, Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR semalam di SCTV. Tidak banyak pokok pikiran yang disampaikannya, ihwal lagu SLANK yang berjudul Gossip Jalanan, yang dianggap menghujat kewiba waan DPR itu. Kepada Fajroel, tamu pendamping dalam wawancara SCTV itu, Gayus mengatakan, “Kalau tidak tahu arti santun masuk ke sekolah SMA lagi.” Ia menatap pembawa acara.

Pada 8 April 2008, saya menuliskan tajuk berjudul SLANK. Hari ini di berita pagi televisi swasta, hangat membahas ihwal meradang-nya anggota dewan di DPR, soal lagu SLANK itu.

Kemudian saya membaca ulang buku Sembilan elemen Jurnalisme, Bill Kovach & Tom Rosenstiel. Saya merasa perlu mengkritik diri sendiri agar ke depan rendah hati. Tajuk ini kendati essai, sudah saya tabalkan berlenggam reportase. Sebuah reportase berisi paparan, deskripsi, bahkan beberapa di antaranya saya coba menulis reportase literair, agar terhindar dari kesan nyinyir. Beberapa tulisan yang ada, sudah mulai nyinyir macam nenek lampir saja.

Suatu waktu ketika berdiskusi dengan rekan di Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi (PWI-Reformasi), organisasi di mana saya ada, saya terperanjat mendengar keterangan, bahwa kemampuan reportase dalam iklim sekarang tidak mutlak perlu bagi seorang wartawan. Lah, bila demikian adanya, menjadi tanya, apanya yang di-reformasi sebagai reporter?

PWI-Reformasi adalah organisasi yang memiliki sejarah. Ia didirikan pada November 1998, diprakarsai oleh beberapa wartawan senior, bahkan nama reformasi, diucapkan langsung oleh Dahlan Iskan, Pemimpin Jawa Pos Group. Organisasi ini diharapkan mengoreksi cara berorganisasi PWI, yang dalam catatan sejarah turut mendukung pembredelan TEMPO, Detik - - di antaranya - - di era Orde Baru.

Hingga kini, PWI-Reformasi - - salah satu dari 29 organisasi pers - - belum masuk ke daftar anggota Dewan Pers. Mereka yang sudah ada di Dewan Pers, adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), dan IJTI (Ikatan Juranalis Televisi Indonesia).

Salah satu syarat terdaftar di Dewan pers, memiliki kepengurusan setidaknya di 10 propinsi. PWI-Reformasi kendati memiliki kepengurusan di 26 propinsi, namun secara kelembagaan belum memdaftar ke Dewan Pers. Ia laksana partai politik baru, masih dalam upaya membenahi diri. Bahkan namanya pun sempat beralih menjadi PJI (Persatuan Jurnalis Indonesia) - - yang kemudian jalan sendiri - - lalu menegaskan kembali bahwa PWI-Reformasi, masih perlu ada.

Apa yang direformasi?

Inilah pertanyaan membucah di benak saya selalu. Kini hampir di semua propinsi dan kabupaten, jurnalis terkotak-kotak berpihak di dalam pilkada. Media terkooptasi oleh uang dan kekuasaan. Dengan sendirinya wartawan, manusia di dalamnya menjadi terkotak-kotak pula.

Di beberapa propinsi, saya mencatat, 100% wartawan menerima amplop. Kemampuan reportase lemah, lebih-lebih melakukan verifikasi investigasi. Bila pun mereka berorganisasi, mereka masih saling gontok-gontokkan, memojokkan kelemahan kawan kiri kanan, tidak mencari solusi perbaikan, terutama perbaikan ke arah meningkatnya kemampuan reportase, yang memberi andil bagi keberpihakan kepada kesejahteraan masyarakat.

Tak dipungkiri laku jurnalis kini yang ada kian jauh panggang dari api bekerja profesional. Saya minimal mengingatkan diri sendiri. Sering sekali saya menginjak jempol kaki dalam menulis, terutama untuk mengingatkan keberpihakan. Sebagai jurnalis, keberpihakan mutlak kepada warga.

Ketika mendapatkan laporan dari Tuah F, Rado, PWI-Reformasi Kalimantan Tengah, yang datang ke Jakarta kemarin, mengatakan bahwa Ketua Umum PWI, Tarman Azzam, kini sering sekali ke Kalimantan Tengah dan ke kabupaten-kabupaten yang ada, bahkan memberikan penghargaan kepada Bupati yang ada di Kalteng, saya bertanya-tanya, gerakan apa pula yang dilakukan? Apakah penghargaan yang diberikan Tarman kepada pejabat itu, sudah merupakan hasil keputusan rapat PWI Pusat?

Menurut Tuah, pada penghujung 2007, Tarman pernah berpidato di depan jajaran Pemda Kabupaten Pulang Pisang, Kalimantan Tengah, bahwa, “Hanya ada tiga organisasi pers yang diakui secara resmi. Selain itu jangan dilayani, dan jangan diterima.”

Sebuah kalimat provokatif.

Sebuah kalimat arogan.

Omongan Tarman itu berimplikasi kini.

Banyak Pemda di tingkat kabupaten di Kalteng, tidak berkenan melayani wartawan yang berorganisasi di luar PWI. Keadaan, bahkan lebih parah dibanding di era Orde Baru. Wartawan, dikoordinir oleh humas Pemda. Berita melalui satu atap. Prioritas satu saja untuk PWI. Langkah ini secara nyata hari ini dilakukan oleh Rumah Sakit Umum Doris Sylvanus, Palangkaraya, yang sampai harus mengeluarkan semacam kartu identitas izin peliputan khusus bagi wartawan PWI saja, untuk lingkungan rumah sakit tersebut.

Bila wartawan sakit, atau butuh uang, ia tinggal meminta bantuan Pemda. Dan tinggal datang ke Humas, maka teken tanda terima, uang cair untuk sang wartawan. Langgam demikian bukan lagi isu. Tetapi seakan sudah diformalkan. Dan wartawan yang bukan PWI, tidak mendapatkan fasilitas apa-apa dari Pemda.

Saya memang menghimbau jajaran PWI- Reformasi untuk tidak mengunakan dana Pemda bagi berbagai keperluan jurnalistik. Jika tidak siap kere dan menderita jadi jurnalis, saya meminta mereka meninggalkan profesi itu. Ada cara meningkatkan taraf ekonomi, dengan menjadi pedagang koran, membuka warung nasi dan seterusnya. Ini demi menjaga independensi. Karenanya PWI-Reformasi Papua, sebagai contoh, yang pernah mendapatkan bantuan dana Pemda, saya minta membuatkan laporan penggunaan, untuk dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat.

PADA Agustus 2007, saya mendampingi Agung Firmansyah, yang berprofesi mengerjakan tulisan pariwara Pemda ke beberapa media. Ia mengajak saya ke Puruk Cahu, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah. Tentunya saya berterimakasih kepada Agung, bisa berjalan-jalan ke Puruk Cahu. Willy M Yosep, Bupati, begitu bangga memperlihatkan fotonya dengan Tarman Azzam, Ketua Umum PWI Pusat, di dinding rumah dinasnya. Tarman disambut laksana pejabat pemerintah dari pusat, bila datang ke kabupaten-kabupaten di Kalimantan Tengah.

Wartawan di Puruk Cahu, mendapatkan fasilitas ruang kerja ber-AC. Mereka mendapatkan bantuan motor. Mantan Ketua PWI Puruk Cahu, kini salah satu camat. Dalam keadaan demikian bagaimana wartawan mengritisi pembangunan rumah Bupati yang harus mencapai Rp 19 miliar. Termasuk pembangunan jembatan, sebagai infrastruktur yang bermasalah.

Bagaimana wartawan mengkritisi, bila kantor PWI Puruk Cahu dibiayai dari PAD Kabupaten, mencapai Rp 500 juta? Bukankah pembangunan kantor wartawan itu dananya lebih mendesak mengembangkan perpusatakaan kelililing desa, misalnya? Karena jumlah penduduk buta huruf cukup tinggi.

Di kemudian hari Tarman Azzam memberikan penghargaan pula kepada Willy yang tahun ini kembali mencalonkan diri sebagai Bupati itu, sebagaimana dituturkan Tuah F. Rado.

Di kabupaten yang memiliki tambang emas dan beberapa tambang batubara berkalori tinggi itu memang unik. Ketua DPRD, Henry Yosep, adalah kakak kandung Bupati, dan seorang kepala dinas, juga kakak kandung Willy. Tidak salah tentu. Tetapi bila media difasilitasi, corong media cuma PWI yang terfasilitasi itu, dan Ketua Umum Pusatnya, Tarman Azzam, beberapa kali pula ke Puruk Cahu, yang terindikasi bukan untuk urusan jurnalistik, tentulah layak kiranya jurnalis lain memverifikasinya, ada apa gerangan yang terjadi?

Dalam konteks ini, maka, diperlukan beberapa organisasi profesi wartawan, di sanalah gunanya anggotanya berperan, guna memberikan reportase dari sudut lain, yang ujung-ujung memberikan manfaat bagi masyarakat banyak, informasi yang sesungguhnya ada. Di tengah harapan kepada trias politika yang pupus, sedianya kekuatan keempat di bidang pers, media, wartawan, tumbuh.

Sayangnya, keberadaan wartawan lain itu, tidak diberi gerak, bahkan diusir macam yang terjadi di rumah sakit umum Doris Sylvana, Palangka Raya itu. Bila demikian kedaannya situasi di Kalimantan Tengah, sudah lebih parah dibanding iklim media massa di era Soeharto. Daerah sudah semacam negeri “feodal” baru. Lebih celaka, bila , feodalisme itu tumbuh difasilitasi oleh organisasi pers.

SUATU siang di empat tahun lalu, saya diajak Bambang Soepardjo, Ketua DHN 66, ke kantor Tarman Azzam, di perkantoran Gedung Dewan Pers,Jakarta Pusat. Inilah pertemuan tatap muka pertama saya dengan Ketua Umum PWI itu. Sejak itu saya tak pernah jumpa, dan mengikuti terus sepak terjangnya menjalankan organisasi PWI.

Di Harian Kalteng Pos, Selasa 8 April, ada tulisan Persiapan Jambore Wartawan Dimatangkan. Pelaksanannya di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Kegiatan itu dimotori PWI, dengan dukungan penuh Tarman Azzam. Untuk acara itu, berbagai lintas dinas Pemda terlibat, mulai dari dinas pekerjaan umum, Ditamperindag, PLN hingga PAM. Sudah dipastikan bahwa acara yang konon akan dihadiri oleh Menkominfo itu, bagi satu organisasi wartawan, PWI, jelas-jelas menggunakan dana APBD.

Di tengah situasi meningkatnya gizi buruk balita di berbagai daerah, adalah sebuah kenaifan bila organisasi jurnalis membebani anggaran negara, membebani anggaran daerah.

Lebih disayangkan kedekatan jurnalis, organisasi jurnalis, menjadi sebuah “kolusi” menyukseskan kekuasaan. Karenanya saya mengajak SLANK, bukan saja menulis lagu kritik bagi DPR, tetapi juga nyanyian mengkritik organisasi wartawan, juga profesi wartawan kini, yang mulai banyak “dilacurkan” kini.

Toh apalagi bila dilihat ditelevisi pagi ini, Ki Gendeng Pamungkas pun sudah ikut meluncurkan album lagu, mendukung SLANK. "Mana itu semua orang DPR, saya bela Slank, kalau berani gugat saya." Saatnya kini organisasi wartawan dan wartawan menunjukkan pula identitasnya yang pro warga, pro poor. Sebelum rakyat kebanyakan menggugatnya.

Iwan Piliang

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Foto-Foto