Rabu, 04 November 2009

“Amicus Curiae: Prita Mulyasari Vs. Negara Republik Indonesia”

Kasus Prita Mulyasari yang saat ini diperiksa di PN Tangerang atas dakwaan melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE, Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP telah menarik perhatian dari masyarakat Indonesia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah kasus penghinaan di Indonesia, seorang tersangka dapat ditahan oleh pihak Kejaksaan. Tidak hanya itu, kasus ini adalah ujian bagi keseriusan Negara Republik Indonesia untuk menghormati kewajiban – kewajiban Internasionalnya dalam melindungi kemerdekaan berpendapat pasca diratifikasinya Kovenan Internasional Hak – hak Sipil dan Politik melalui UU No 12 Tahun 2005.

Dalam konteks ini Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyerahkan Amicus Curiae dalam kasus Prita Mulyasari Vs. Negara Republik Indonesia kepada Majelis Hakim PN Tangerang yang memeriksa Perkara dengan No 1269/PID.B/2009/PN.TNG yaitu Hakim Arthur Hangewa, SH, Perdana Ginting, SH, dan Viktor Pakpahan, SH, MH, Msi.

“Amicus Curiae”, merupakan istilah Latin yang mungkin jarang terdengar di pengadilan Indonesia. Amicus curiae merupakan konsep hukum yang berasal dari tradisi hukum Romawi, yang kemudian berkembang dan dipraktikkan dalam tradisi common law, yang mengizinkan pengadilan untuk mengundang pihak ketiga untuk menyediakan informasi atau fakta-fakta hukum berkaitan dengan isu-isu yang belum familiar. Amicus curiae yang dalam bahasa Inggris disebut “friend of the court", diartikan “someone who is not a party to the litigation, but who believes that the court's decision may affect its interest”. Secara bebas, amicus curiae diterjemahkan sebagai 'Sahabat Pengadilan', dimana, pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan. Dengan demikian, amicus curiae disampaikan oleh seseorang yang tertarik dalam mempengaruhi hasil dari aksi, tetapi bukan merupakan pihak yang terlibat dalam suatu sengketa; seorang penasihat kepada pengadilan pada beberapa masalah hukum yang bukan merupakan pihak untuk kasus yang biasanya seseorang yang ingin mempengaruhi hasil perkara yang melibatkan masyarakat luas.

Untuk Indonesia, amicus curiae belum banyak dikenal dan digunakan, baik oleh akademisi maupun praktisi. Sampai saat ini, baru dua amicus curiae yang diajukan di Pengadilan Indonesia, amicus curiae yang diajukan kelompok penggiat kemerdekaan pers yang mengajukan amicus curiae kepada Mahkamah Agung terkait dengan peninjauan kembali kasus majalah Time versus Soeharto dan amicus curiae dalam kasus “Upi Asmaradana” di Pengadilan Negeri Makasar, dimana amicus curiae diajukan sebagai tambahan informasi buat majelis hakim yang memeriksa perkara. Walaupun amicus curiae belum dikenal dalam sistem hukum Indonesia, namun dengan berpegangan pada ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, sebagai dasar hukum pengajuan amicus curiae, maka tidak berlebihan apabila mekanisme ini dapat digunakan sebagai salah satu strategi yang dapat digunakan untuk mengklarifikasi prinsip-prinsip hukum dan konstitusi, terutama kasus-kasus yang melibatkan berbagai UU atau pasal yang kontroversial.

Melalui Amicus Curiae ini, ELSAM, ICJR, IMDLN, PBHI, dan YLBHI ingin berpartisipasi dalam proses peradilan pada kasus Prita Mulyasari Vs. Negara Republik Indonesia, dalam rangka memberikan pandangan kepada Majelis Hakim tentang bagaimana Tindak Pidana Penghinaan dapat dikategorikan sebagai pasal karet yang mampu menjerat siapapun tanpa memperhatikan konteks suatu pernyataan dalam sebuah negara demokratis dan juga ketidaksesuaiannya delik tersebut dengan ketentuan – ketentuan hak asasi manusia yang telah diakui dan diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia.

Untuk itu, ELSAM, ICJR, IMDLN, PBHI, dan YLBHI memberikan rekomendasi kepada Majelis Hakim PN Tangerang yang memeriksa perkara dengan No 1269/PID.B/2009/PN.TNG antara Prita Mulyasari Vs. Negara Republik Indonesia sebagai berikut :

Bahwa kebebasan berekspresi adalah kebebasan dasar penting bagi martabat individu untuk berpartisipasi, pertanggungjawaban, dan demokrasi. Kemerdekaan berpendapat merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat strategis dalam menompang jalan dan bekerjanya demokrasi karena demokrasi tidak berjalan tanpa adanya kebebasan menyatakan pendapat, sikap, dan berekspresi.

Bahwa Indonesia telah menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam Konstitusinya yaitu Pasal 28 F UUD 1945 dan dalam berbagai Undang-Undang diantaranya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No 12 Tahun 2005. Oleh karenanya, hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan salah satu hak dasar terkuat dalam sistem hukum nasional karena jelas dilindungi oleh Konstitusi dan sejumlah instrumen hukum lainnya. pelanggaran atas hak-hak tersebut bukan saja melanggar hukum tetapi juga melanggar hak-hak konstitusional warga negara.

Bahwa Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik pada tahun 2005 sehingga berdasarkan pasal 2 Kovenan tersebut Indonesia harus:

berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.

apabila belum diatur dalam ketentuan perundang-undangan atau kebijakan lainnya yang ada, setiap Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan, sesuai dengan proses konstitusinya dan dengan ketentuan - ketentuan dalam Kovenan ini, untuk menetapkan ketentuan perundang-undangan atau kebijakan lain yang diperlukan untuk memberlakukan hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini.

menjamin bahwa setiap orang yang hak-hak atau kebebasannya diakui dalam Kovenan ini dilanggar, akan memperoleh upaya pemulihan yang efektif, walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi.

Bahwa berdasarkan Pasal 2 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Indonesia berkewajiban untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini (termasuk hak atas kebebasan berekspresida dan berpendapat) bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya. Artinya, Indonesia seharusnya melakukan perubahan terhadap segala undang-undang dan peraturan yang bertentangan dengan pasal hak-hak yang dijamin dalam Kovenan.

Bahwa hukum Indonesia yang terkait dengan hak kebebasan berekspresi dan berpendapat diantaranya Pasal 27 ayat (3) UU ITE, Pasal 310 WvS dan Pasal 311 WvS adalah ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan ketentuan internasional hak asasi manusia dan lebih khusus lagi bertentangan dengan jaminan hak sebagaimanya dinyatakan dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Ketentuan-ketentuan sebagaimana dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, Pasal 310 WvS dan Pasal 311 WvS adalah ketentuan yang tidak sejalan dengan maksud Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik termasuk pengaturan soal pembatasan yang diperbolehkannya. Penggunaan pasal-pasal tersebut merupakan ancaman nyata terhadap jaminan kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Bahwa penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, Pasal 310 WvS dan Pasal 311 WvS untuk mendakwa Sdr. Prita Mulyasari adalah dakwaan yang tidak tepat karena pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.

Bahwa meskipun Pengadilan akan menerima Pasal 27 ayat (3) UU ITE, Pasal 310 WvS dan Pasal 311 WvS sebagai suatu norma yang berlaku/eksis, Pengadilan haruslah menerapkannya secara hati-hati dan melihat jaminan hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagaimana dijamin dalam Konstitusi, UU Hak Asasi Manusia dan UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.

Bahwa dalam hal Pengadilan menyatakan Sdr. Prita Mulyasari dinyatakan tidak bersalah maka Pengadilan harus memberikan pemulihan atas Sdr. Prita karena telah terlanggar hak-haknya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yaitu menjamin bahwa setiap orang yang hak-hak atau kebebasannya diakui dalam Kovenan ini dilanggar, akan memperoleh upaya pemulihan yang efektif, walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi.

Senin, 26 Oktober 2009

Polisi Bukan Alat Pengusaha

GARA-GARA mengecas telepon seluler di ruang umum, seorang penghuni apartemen ditahan polisi. Indikasi aparat hukum jadi alat pengusaha semakin marak.

Aguswandi Tanjung sudah hampir dua bulan ini meringkuk di tahanan polisi gara-gara mengecas telepon sakunya. Penghuni apartemen ini dituduh melanggar Pasal 363 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu mencuri barang milik orang lain dari dalam rumah dengan ancaman hukuman maksimum tujuh tahun. Padahal ia merasa listrik di koridor itu adalah ”bagian bersama” seperti diatur Undang-Undang Rumah Susun, dan ia tetap membayar tagihan listrik dan biaya servis dengan harga lama. Yang tak dibayarnya adalah kenaikan tarif, yang dianggapnya ditetapkan sepihak oleh pengelola gedung ITC Roxy Mas itu.

Perbedaan pendapat ini sebenarnya akan diselesaikan melalui dialog. Namun, sehari sebelum terlaksana, penangkapan terjadi. Penahanan ini jelas menyiratkan telah terjadi penyalahgunaan wewenang oleh polisi, hingga diajukan ke praperadilan. Namun, bila melihat kecenderungan penerapan hukum belakangan ini, Aguswandi mungkin tak dapat berharap banyak untuk mendapatkan keadilan. Soalnya, ia berhadapan dengan pihak yang merupakan bagian dari konglomerat besar di negeri ini.

Apa yang dihadapi Aguswandi tak jauh berbeda dengan yang dialami Prita Mulyasari. Ibu muda ini sempat dipenjarakan oleh jaksa hanya gara-gara mengirim keluhan terhadap pelayanan Rumah Sakit Omni melalui e-mail kepada sepuluh temannya. Rupanya e-mail itu kemudian tersebar luas dan ibu muda ini pun dikenai Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu pencemaran nama baik melalui Internet dengan ancaman hukuman maksimum enam tahun. Penyalahgunaan pasal ini diduga terjadi karena pemilik RS Omni ditengarai seorang pengusaha yang berstatus buron tapi dekat dengan oknum pejabat tinggi hukum.

Status buron memang tak mengurangi kekuatan kong-lomerat hitam memanfaatkan oknum aparat hukum. Contoh terakhir adalah ditersangkakannya Ketua KPK Bibit Samad Rianto oleh polisi karena mencekal dan mencabut cekal Joko Tjandra, pengusaha yang telah dijatuhi hukuman dua tahun penjara oleh Mahkamah Agung tapi kini berstatus buron. Ketua KPK Chandra Hamzah juga menjadi tersangka karena mencekal Anggoro, pengusaha yang dekat dengan aparat hukum, yang kini juga berstatus buron karena diduga menyuap anggota DPR. Akibat status tersangka ini, kedua pejabat lembaga antikorupsi itu harus dinonaktifkan oleh Presiden. Joko Tjandra pun masih sanggup mentersangkakan Ketua Yayasan BRI yang berani mempersoalkan wanprestasinya dalam kasus pembangunan Gedung BRI II dan BRI III.

Bila sosok terhormat saja bisa ditersangkakan oleh para konglomerat hitam, apalagi mantan pegawai mereka yang berani melawan. Ini dialami oleh Vincentius Amin Sutanto. Mantan pejabat keuangan PT Asia Agri ini dijatuhi hukuman 11 tahun penjara karena mentransfer uang perusahaan milik Sukanto Tanoto ini senilai US$ 3,1 juta ke rekeningnya, kendati ia baru sempat mencairkan Rp 200 juta. Proses pengadilannya hingga ke Mahkamah Agung pun mungkin masuk rekor tercepat di negeri ini. Amat ironis bila dibandingkan dengan masih ditolaknya berkas penggelapan pajak PT Asian Agri senilai Rp 1,4 triliun—alias terbesar dalam sejarah RI—oleh kejaksaan.

Ironi serupa juga terjadi pada hukuman empat tahun yang dijatuhkan kepada Robert Tantular, tersangka utama pembobolan Bank Century, yang menyebabkan Lembaga Penjamin Simpanan harus mengucurkan dana Rp 6,7 triliun. Atau pada hukuman penjara sepuluh tahun yang dijatuhkan Mahkamah Agung kepada Hutomo Mandala Putra karena mendalangi pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita.

Kecenderungan ironis ini harus kita hentikan. Aparat hukum adalah alat negara untuk menegakkan keadilan bagi rakyat. Jangan biarkan polisi menjadi alat pengusaha hitam.

Numpang Nge-charge HP, Aguswandi Dipenjara

HATI-HATI men-charge handphone (HP). Salah-salah Anda bisa mengalami nasib seperti Aguswandi Tandjung (57). Pria penghuni apartemen ITC Roxy Mas Jakarta ini harus mendekam di balik jeruji besi karena tertangkap basah meng-charge HP menggunakan listrik yang bukan miliknya.

Hal itu terungkap dalam sidang praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jl Gadjah Mada, Senin (26/10/2009). Sidang itu digelar karena pihak Aguswandi menilai penangkapan atas dirinya tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya berlaku.

Pada 8 September 2009 lalu, Aguswandi yang juga Sekjen Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (APERSSI) selaku pemohon sidang praperadilan ditangkap oleh petugas polisi dari Polsek Metro Gambir Jakpus karena tertangkap tangan tengah mencabut charger handphone miliknya dari sebuah stop kontak yang terpasang di lantai 7 apartemen ITC Roxy Mas.

Penangkapan Aguswandi ini dilakukan atas laporan dari seorang saksi mata bernama Uung Hartanto yang merupakan manager PT Jakarta Sinar Intertrade (pengelola apartemen ITC Roxy Mas). Aguswandi dituduh melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 363 ayat (1) butir 3 KUH Pidana dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara.

Mulai tanggal 9 September, Agus resmi ditahan di Polsek Metro Gambir selama 20 hari hingga tanggal 29 September. Menjelang masa penahanan habis, pihak pelapor meminta agar penahanan Aguswandi diperpanjang hingga 7 November.

Tak terima dengan proses penangkapan, penahanan, dan perpanjangan penahanan itu, pihak Aguswandi diwakili kuasa hukumnya pun mengajukan permohonan sidang praperadilan. Mereka menilai proses penangkapan, penahanan, dan perpanjangan tidak dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku.

"Penangkapan dan penahanan Aguswandi telah didasarkan pada hal-hal yang bersifat non-yuridis, bukan pada prinsip-prinsip penegakan hukum sebagaimana diatur dalam
KUHAP," kata kuasa hukum Aguswandi, Vera T Tobing.

Vera mencontohkan, pada saat penangkapan tanggal 8 September, Polsek Metro Gambir tidak memberikan surat penangkapan kepada Aguswandi maupun tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarganya sebagaimana diwajibkan pasal 21 KUHAP. Kejanggalan lain adalah saat perpanjangan penahanan, Polsek Metro Gambir tidak memberikan surat perpanjangan penahanan, baik kepada Aguswandi maupun keluarganya.

Selain itu kuasa hukum juga mempersoalkan tambahan pasal yang dikenakan atas diri Aguswandi dengan menggunakan UU Ketenagalistrikan. Selain KUHP, Polisi menjerat Aguswandi dengan pasal 60 ayat (1) UU No 20/2002 tentang ketenagalistrikan yang berbunyi 'setiap orang yang menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya dengan maksud memanfaatkan secara melawan hukum, dipidana karena melakukan pencurian dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta.'

"Penggunaan pasal 60 ayat (1) UU Ketenagalistrikan sangat aneh karena penggunaan arus listrik di suatu apartemen dibayar oleh para penghuni melalui pengelola apartemen. Olehkarena itu Aguswandi selaku penghuni yang sah di apartemen ITC Roxy Mas berhak menggunakan arus listrik yang terpasang di situ. Sedangkan pemanfaatannya untuk men-charge hand phone miliknya sama sekali tidak bersifat melawan hukum," tandas Vera.

Namun dalam sidang praperadilan, keberatan Aguswandi ini ditolak seluruhnya oleh hakim. Marsudi Nainggolan selaku hakim tunggal mengatakan, menilik keterangan berbagai saksi serta bukti-bukti, proses penangkapan dan penahanan Aguswandi telah sesuai dengan prosedur yang berlaku. "Menyatakan menolak permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya," kata Marsudi saat membacakan putusannya.

Jumat, 04 September 2009

Perkara "Internet" yang Dibahas dengan "Gaptek"

Persidangan Prita Mulyasari, terdakwa kasus pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional, yang berlangsung Kamis (3/9) pagi ini di Pengadilan Negeri Tangerang, diwarnai penjelasan yang panjang dan rumit dari saksi.

Penjelasan gaptek (gagap teknologi) itu terjadi dalam persidangan yang menghadirkan saksi Supriyanto, analis laboratorium RS Omni. Supriyadi adalah petugas yang pertama kali mengambil sampel darah Prita saat dirawat di RS tersebut.

"Saya membaca di Google," kata Supriyanto menjawab pertanyaan Samsu Anwar, pengacara Prita. Kemudian Samsu bertanya bagaimana Supriyanto mendapatkan isi surat elektronik Prita. "Saya ngetik rumah sakit lalu muncul semua. Dari yang pertama sudah ada," jawab Supriyanto. Jawaban itu didapat Samsu setelah beberapa kali mengulang maksud pertanyaannya
kepada Supriyanto.

Pertanyaan lanjutan yang diutarakan Samsu adalah situs apa yang dipilih Supriyanto setelah indeks dalam "mesin pencari" Google terbuka. Namun, Samsu terlihat kesulitan untuk menyampaikan hal tersebut karena pemahaman Supriyanto yang sangat minim. Akibatnya,
Supriyanto hanya mengulang jawabannya, yakni "membaca di Google", tanpa menunjuk situs "lanjutan" yang dipilihnya.

Faktanya, jika kata "rumah sakit" dimasukkan ke dalam Google maka akan muncul banyak topik dan penjelasan seputar rumah sakit, dari berbagai situs yang sama sekali tak terkait dengan kasus Prita. Contohnya, yang berada di urutan pertama adalah rumah sakit versi situs ensiklopedia online, Wikipedia, dan bukan surat Prita. Bahkan, surat itu tak terlihat di berbagai situs lain di dalam situs Google.

Menyimak polemik ini, ternyata para hakim juga tidak menengahinya. Bahkan Arthur Hangewa, Ketua Majelis Hakim, tampak berkonsultasi dengan panitera. Riyadi, Jaksa Penuntut Umum, juga hanya membisu soal ini. Pemandangan ini hanya contoh kecil, sebelum pembahasan soal
perbedaan antara website, e-mail, dan internet yang tak sinkron.

Suatu pandangan yang aneh mengingat kasus Prita ini bermula ketika RS Omni Internasional menggugat secara perdata Prita Mulyasari. Setelah karyawan sebuah bank swasta itu curhat kepada teman-temannya melalui surat elektronik (e-mail) tentang ketidakpuasannya berobat di RS Omni Internasional. Kemudian pihak RS menganggap itu sebagai bentuk pencemaran nama baik. Prita didakwa Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Pasal 27 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE).

Seperti tanah, walaupun subur, ia takkan bisa produktif tanpa penyemaian. Demikian juga pikiran, tanpa budaya takkan pernah menghasilkan buah yang berkualitas.(sumber: kompas.com)

Senin, 06 Juli 2009

3.678 Tamatan SMP Terancam Tidak Sekolah


SEBANYAK 3.678 siswa lulusan SMP Bandar Lampung terancam tidak bisa melanjutkan ke SMA. Pasalnya, daya tampung SMA negeri dan swasta sangat terbatas.

Pengumuman penerimaan siswa baru (PSB) hari ini meloloskan 3.371 siswa yang tersebar di 17 SMA negeri. Sebelumnya dua sekolah rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI) yakni SMAN 2 dan SMAN 9 menerima 576 siswa.

Data yang dihimpun Lampung Post dari Dinas Pendidikan dan Perpustakaan Bandar Lampung, tahun ini jumlah lulusan SMP 14 ribu orang, sementara daya tampung SMA negeri 3.947 kursi dan daya tampung SMA swasta 6.378 siswa.

Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA Kota Bandar Lampung Sobirin mengatakan penentuan daya tampung sekolah ditentukan melalui beberapa pertimbangan. Pertama, berdasar jumlah lulusan UN SMP. Kedua, disesuaikan kemampuan sarana penunjang yang dimiliki sekolah negeri dan swasta, jumlah kelas, dan jumlah guru yang dimiliki setiap sekolah. "Kami berharap pembagian ini dapat menyerap siswa lulusan SMP tahun ini walaupun tidak secara keseluruhan," kata dia, Minggu (5-7).

Mengenai dua sekolah RSBI tadi, kata Sobirin, menerima 576 orang atau 288 orang setiap sekolahnya. "Khusus untuk RSBI sudah menerima siswa baru bulan Mei lalu."

Menurut Sobirin, dengan dibukanya kedua sekolah tersebut menjadi RSBI juga mengurangi jatah kursi siswa. "Kelas RSBI itu mengurangi daya tampung dari 40 siswa/kelas menjadi 32 siswa/kelas."

Tambah Kelas

Mengenai kursi kosong atau siswa yang tidak mendaftar ulang, Kepala Dinas Pendidikan dan Perpustakaan Bandar Lampung Idrus Effendi mengatakan kursi kosong itu akan dibiarkan kosong. "Sekolah diminta mengosongkan kursi jika ada siswa yang tidak daftar ulang," kata Idrus di Bandar Lampung, beberapa waktu lalu.

Hal senada juga dikatakan Sobirin, "Tidak akan ada pengisian susulan setelah daftar ulang," kata dia. Namun, menurut dia, pada semester kedua, kursi kosong tersebut dapat diisi melalui kebijakan masing-masing sekolah. Yaitu, melalui jalur pindah sekolah atau seleksi yang diatur oleh masing-masing sekolah.

Mengenai banyaknya lulusan siswa SMP yang terancam tidak melanjutkan sekolah, anggota Dewan Pendidikan Lampung Zamahsyari Sahli mengatakan jika data itu benar, pemerintah dan Dinas Pendidikan harus mengambil langkah-langkah. "Jangan sampai ribuan generasi di Bandar Lampung justru tidak bisa mengenyam pendidikan," kata mantan Kepala Dinas Kesehatan Lampung ini, tadi semalam.

Solusi untuk mengatasi itu, kata dia, bisa saja dilakukan dengan penambahan kelas di setiap sekolah menengah atas. "Penambahan kelas bisa dijadikan solusi," kata dia.

Namun, Zamahsyari juga mengingatkan bisa saja lulusan SMP itu meneruskan sekolah di tempat lain, baik di daerah kabupaten dan kota atau pindah sekolah ke SMA atau SMK di luar Lampung, seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan daerah lainnya. "Atau ada juga yang masuk ke dunia kerja karena keterbatasan ekonomi dan tuntutan kebutuhan hidup lainnya."

Jumat, 03 Juli 2009

Jaksa Seret Pimpro Jadi Terdakwa

JAKSA Kejati Lampung menyeret Lukmansyah sebagai terdakwa dugaan korupsi bantuan sosial rumah tangga miskin di Lampung Tengah dan Lampung Selatan. Sidang perdana itu digelar di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Kamis (2-7).

Dalam proyek di Lampung Tengah dan Lampung Selatan yang didanai APBN 2005 itu diduga menimbulkan kerugian negara sekitar Rp388,5 juta itu, terdakwa Lukmasyah, sebagai pimpinan proyek (pimpro) didakwa Jaksa Bangkit Sormin, A. Kohar, Dumoli, dan Sandi, melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Ayat UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana, dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun.

Pada sidang sebelumnya, jaksa yang sama juga mendakwa Toni Soepardi (PPK dari Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Lampung dan Darusman (direktur CV Partner Utama), dengan pasal yang sama.

Pada sidang yang dipimpin Hakim Tani Ginting, dibantu Sri Widiastuti dan Ristati, pimpro proyek senilai Rp580 juta dari anggaran APBN 2005 itu mendengarkan dakwaan yang dibacakan jaksa.

Dalam dakwaannya, Jaksa menyatakan terdakwa Lukmansyah bersama Toni Soepardi dan Darusman, pada Januari--Desember 2005, di kantor Dinas Kesejahteraan Sosial Lampung, di Jalan Basuki Rahmat No. 72 Bandar Lampung, dan di Kelurahan Kotaalam, Kecamatan Kotabumi Selatan, Lampung Utara, serta di Desa Sidomulyo, Kecamatan Punggur, Lampung Tengah, melakukan perbuatan atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara.

Menurut jaksa, pada tahun anggaran 2005, di Dinas Kesejahteraan Sosial Lampung terdapat kegiatan pembinaan dan pemberian bantuan sosial berupa pengadaan bahan bangunan rumah untuk 80 kepala keluarga miskin di Kelurahan Kotaalam, Lampung Utara, dan keluarga miskin di Desa Sidomulyo, Lampung Tengah.

Bantuan itu bersumber dari APBN berdadasarkan DIPA No.054.027-01-1/7/2005, 1 Januari 2005. Terdakwa Lukmansyah ditunjuk sebagai pimpro dari CV PU. Sesuai perjanjian kontrak No:465/308/B.III/XI/2005, tanggal 1 November 2005 untuk Lampung Utara dengan nilai kontrak sebesar Rp290.193.000. Dan perjanjian kontrak No. 465/3090/B.III/XI/2005 tanggal 1 November 2005 dengan nilai kontrak sebesar Rp290.193.000 untuk Lampung Tengah.

Rabu, 24 Juni 2009

Busung Lapar Renggut Nyawa Bocah 9 Tahun

BUSUNG lapar kembali merenggut nyawa. Sukria (9), warga Desa Pempen, Lampung Timur, akhirnya meninggal dunia di rumah pamannya, Desa Bulok, Pekon Gunung Terang, Tanggamus, Senin (22-6).

Sebelumnya, busung lapar di Lampung merenggut nyawa Maulana (5), warga Kotabaru, Panjang, Bandar Lampung, pada Rabu (3-6), pukul 02.00. Korban tewas lain, Elva Andreansyah (2), warga Jalan Wahidin Sudiro Husodo, Pengajaran, Telukbetung Utara, Bandar Lampung. Wiji (12), warga Tanggamus, juga meninggal di Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek (RSUAM) Bandar Lampung karena busung lapar.

Sejak dibawa ke RSUAM pada Kamis (28-5) hingga ajal menjemput, Sukria dalam keadaan tidak sadar. Di RSUAM, Sukria dirawat selama tiga pekan. Namun, pada Rabu (17-6), pihak keluarga membawa pulang bocah kelas I SDN 2 Pempen Lamtim itu ke rumah pamannya di Tanggamus. "Biaya pengobatan memang ada yang membayar. Tapi. kami yang menunggu di rumah sakit kan butuh makan juga. Masalahnya saya nggak bisa bekerja. Jadi kami terus mengeluarkan uang untuk biaya hidup di rumah sakit tanpa ada pemasukan," kata Harudin, ayah Sukria sebelum membawa pulang putranya.

Kakak korban, Iyah (21), menuturkan sebelum meninggal suhu tubuh Sukria cukup tinggi. Dalam kondisi setengah sadar Sukria sempat mendapat perawatan dokter puskesmas setempat dan pada pergelangan tangannya dipasangi infus. "Badannya panas dan dia sempat kejang-kejang. Makanya keluarga langsung meminta bantuan petugas puskesmas," kata Iyah.

Namun, dokter puskesmas tidak berhasil menyelamatkan Sukria. Anak ketujuh pasangan Harudin dan almarhumah Sukenah ini mengembuskan napas terakhirnya sekitar pukul 15.30. "Keluarga sudah pasrah dan berusaha mengikhlaskan kepergian Sukria. Mungkin ini jalan terbaik untuk adik saya," kata Iyah.

Senin petang, jasad Sukria dibawa kembali ke rumahnya di Lampung Timur. Jenazah bocah pengidap busung lapar yang disertai tuberkulosis itu dikebumikan sekitar pukul 08.00, kemarin.

UU Pelayanan Publik Ubah Mentalitas Aparat

SETELAH melalui proses panjang selama empat tahun, DPR akhirnya mengesahkan RUU Pelayanan Publik menjadi undang-undang dalam rapat paripurna di Gedung DPR/MPR, Selasa (23-6). Pengesahan RUU ini diharapkan dapat mengubah budaya kerja aparatur.

Ketua Panja RUU Pelayanan Publik Sayuti Asyathri (F-PAN) mengemukakan, UU ini nantinya memberi perlindungan kepada masyarakat yang dirugikan lembaga pemerintah, swasta, dan perusahaan. "Masyarakat yang dirugikan berhak mengajukan gugatan hukum," kata dia.

Asyathry mengatakan RUU Pelayanan Publik diharapkan dapat mengubah budaya kerja aparatur serta mengubah pola pikir negara kekuasaan menjadi negara pelayanan publik. Dalam RUU ini, katanya, diatur rangkaian kegiatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan publik atas barang, jasa dan pelayanan administratif diatur secara saksama, terukur, jelas, dan perinci. "Kita harapkan dalam layanan publik itu dapat mempermudah birokrasi yang terlalu berbelit-belit," kata Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PAN ini.

Pengaturan Sanksi

Seluruh fraksi DPR menyetujui pengesahan RUU itu untuk meningkatkan pelayanan publik secara menyeluruh. Dengan demikian, pelanggaran terhadap hak-hak pelayanan publik akan menuai hukuman. "Harapan kami ya semua mempermudah akses ke publik. Apa pun yang melanggar hak publik ada sanksinya, bervariasi," kata juru bicara Fraksi Partai Golkar Ferry Mursyidan Baldan.

Asyathry menjelaskan ruang lingkup kebutuhan publik atas barang, jasa, dan pelayanan administratif meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha serta tempat tinggal.

RUU ini mewajibkan penyelenggara pelayanan publik bagi institusi negara korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasar pada UU untuk kegiatan pelayanan publik dan badan hukum lain yang dibentuk secara khusus untuk menetapkan standar pelayanan.

Dalam penetapan standar pelayanan, penyelenggara harus memperhitungkan kebutuhan masyarakat dan kondisi lingkungan dengan mengikutkan masyarakat. "RUU ini juga mengatur sanksi terhadap penyelenggara atau pelaksana berupa teguran tertulis dengan ancaman apabila dalam waktu tiga bulan tidak melaksanakannya dikenai hukuman pembebasan jabatan," kata dia.

Sanksi lain berupa penurunan gaji satu kali kenaikan gaji berkala selama satu tahun. Juga ada sanksi penurunan pangkat satu tingkat selama satu tahun dan pembebasan dari jabatan. Begitu pula sanksi pemberhentian dengan hormat maupun dengan tidak hormat bisa diterapkan serta sanksi pembekuan misi dan atau izin yang diterbitkan instansi pemerintah.

Kemudian sanksi apabila dalam jangka waktu 6 bulan tidak melakukan perbaikan kinerja dikenakan pencabutan izin yang diterbitkan instansi pemerintah, khusus untuk korporasi dan atau badan hukum. "RUU ini mewajibkan penyelenggara menyusun dan menetapkan maklumat pelayanan yang merupakan pernyataan kesanggupan memberikan pelayanan sesuai dengan standar yang ditetapkan," kata Asyathry.

Masih Bermasalah

Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3) juga menyambut baik keputusan DPR menuntaskan RUU ini. Dalam pernyataan persnya, MP3 menyatakan keputusan DPR ini tentu merupakan hal positif bagi DPR di tengah banyaknya kasus masyarakat yang belum memperoleh hak dasar dan perlakuan adil dalam pelayanan publik.

Namun, MP3 menilai pemerintah sengaja membuat lobang dalam UU itu. "Ruang lingkupnya masih belum jelas, mekanisme dan standar pelayanannya juga seperti apa, pelanggar pelayanan jasa apa saja yang dikenakan sanksi," kata Koordinator MP3, Sulastio, dalam konferensi pers di Gedung DPR, kemarin.

Hal ini, menurut Tio, memang diatur dalam PP yang akan dikeluarkan paling lambat enam bulan lagi. Meski demikian, Tio melihat pembuatan ruang lingkup terkesan bertujuan aneh. "Pemerintah kan bisa diganti. Kalau sedang baik, ruang lingkupnya bisa luas. Tetapi kalau sedang jelek bagaimana, apakah nanti Undang-Undang Pelayanan Publik juga akan diganti?" keluh Tio. n U-1

Undang-Undang Pelayanan Publik

Pasal 44

(1) Penyelenggara yang melanggar kewajiban dan atau larangan yang

diatur dalam undang-undang ini dikenakan sanksi administratif

berupa:

a. Pemberian peringatan,

b. pembayaran ganti rugi,

c. pengenaan denda.

(2) Aparat yang melanggar kewajiban dan atau larangan dikenakan sanksi

administratif berupa:

a. Pemberian peringatan,

b. pengurangan gaji dalam waktu tertentu,

c. pembayaran ganti rugi,

d. penundaan atau penurunan pangkat/golongan,

e. pembebasan tugas dalam waktu tertentu,

f. pemberhentian dengan hormat,

g. pemberhentian dengan tidak hormat.

Densus 88 Tangkap 6 Teroris di Lampung

SETELAH sukses menangkap dua orang terkait kasus teroris di Cilacap dan Purbalingga, Jawa Tengah, Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri kembali membekuk enam orang yang diduga kuat anggota jaringan teroris. Mereka ditangkap di Lampung.
"Enam orang yang ditangkap Densus 88 diduga terlibat kasus teroris. Mereka bukan berasal dari Lampung, melainkan warga asing yang ditangkap saat melintas di wilayah Lampung," kata Kapolda Lampung Brigjen Pol. Ferial Manaf melalui Dirintelkam Kombes Pol. Suroso Hadi Suswoyo, Selasa (23/6) malam.
Polisi masih mengembangkan tersangka teroris yang ditangkap di Lampung itu. Salah satu yang dibekuk adalah warga negara Singapura bernama Husaini. Dia merupakan salah satu jaringan teroris Slamet Kastari dan Fajar Taslim yang merencanakan pengeboman Bandara Changi di Singapura.
Sebelumnya Densus 88 menangkap Saefudin Zuhri (40) di Cilacap dan Busamudin alias Mistam (39) di Jakarta. Keduanya adalah buron yang dikejar sejak kelompok teroris Palembang, Sumatera Selatan, terungkap pada 2 Juli 2008. Dalam penggerebekan saat itu, ditangkap 10 tersangka dengan barang bukti 20 bom siap ledak.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, April lalu, sudah memvonis tiga di antara mereka, yakni Muhamad Hasan alias Fajar Taslim divonis 18 tahun, Al Masyhudi 12 tahun, dan Wahyudi 10 tahun. Sisanya masih menjalani persidangan di Pengadilan Jakarta Pusat.
Secara terpisah, Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri Komjen Susno Duadji mengatakan pihaknya masih memeriksa intensif warga negara asing (WNA) asal Singapura yang ditangkap di Lampung.
"Lagi pula, mereka masih diperiksa. Kan ada saksi dan jika memenuhi syarat baru ditentukan sebagai tersangka," kata dia saat ditanya soal jumlah orang yang ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka teroris.
Ketika ditanya apakah warga negara Singapura yang ditangkap itu terkait dengan Slamet Kastari, teroris warga Singapura, Susno mengatakan belum tahu. "Masih dalam pemeriksaan. Kita masih mencari hubungan satu dengan lainnya."
Susno mengutarakan Mabes Polri masih terus mengembangkan penangkapan anggota teroris di Cilacap dan Lampung. "Sedang dicari hubungan satu sama lain, apa benar ada kaitannya dengan teroris atau tidak."
Dia mengatakan delapan orang yang diperiksa tersebut ada yang diperiksa sebagai saksi. "Ada yang diperiksa sebagai saksi, ada yang cuma tahu tempatnya, temannya. Beri waktu kepada Densus 88, baru simpulkan," tutur Susno.

Jumat, 19 Juni 2009

Dihukum 2 Tahun, Syahril Sabirin Kecewa

MANTAN Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin merasa dizalimi dan kecewa terhadap keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) terhadap perkara hak tagih (cessie) Bank Bali.

Syahril mengatakan pada tahun 2002 dirinya diputuskan sebagai tersangka kasus Bank Bali, dan pada pengadilan pertama diputuskan bersalah dengan 3 tahun penjara.

"Padahal semua saksi tidak ada yang memberatkan saya. Saya tidak tahu yang terjadi di belakang layar seperti apa, saya ajukan banding di pengadilan tinggi ternyata saya bebas murni. Kebebasan itu saya sudah nikmati selama 5 tahun," tuturnya dalam jumpa pers di Gedung BI, Jalan Thamrin, Jakarta, Jumat (12/6/2009).

Namun dirinya merasa kecewa karena pada Kamis (11/6/2009), Kejaksaan agung mengajukan PK ke MA dan diterima.

"Kemarin saya diputuskan dihukum 2 tahun saya sangat kecewa karena pada dasarnya PK yang diajukan oleh Kejagung ke MA tidak wajar," ujarnya.

Alasannya adalah yang dapat mengajukan PK itu seharusnya pihak yang terpidana atau terdakwa.

"Jadi bukannya Kejaksaan Agung. Dalam keputusan Mahkamah Konstitusi juga disebutkan kalau yang bisa mengajukan PK adalah terpidana. Untuk itu saya merasa dizalimi. Dalam hal ini majelis Hakim Agung itu melanggar Mahkamah Konstitusi," tandasnya didampingi kuasa hukunmnya M. Assegaf.

Jumat, 27 Februari 2009

Selama Dua Bulan, 1.462 Polisi Nakal Ditindak



BERPERAN sebagai penegak hukum tidak secara otomatis membuat personel polri bersih dari tindak pidana, penyalahgunaan wewenang, dan pelanggaran disiplin. Terbukti dalam kurun waktu dua bulan, 1.462 polisi nakal telah dijatuhi hukuman beragam.


Berdasarkan data Mabes Polri dalam Operasi Bersih yang digelar mulai 1 November hingga 31 Desember 2008 terjaring 1.462 anggota yang melakukan pelanggaran. Mereka telah terbukti melakukan tindak pidana, penyalahgunaan wewenang, pungutan liar, dan pelanggaran disiplin.

"Mereka telah mendapatkan tindakan tegas sesuai dengan tingkat pelanggarannya," ujar Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Dahuri dalam rapat dengar pendapat di hadapan anggota Komisi III DPR di Gedung DPR, Jakarta, Senin (9/2/2009).

Dari jumlah tersebut, 232 di antaranya adalah kasus penyalahgunaan wewenang, pungli 753 kasus, tindak pidana 37 kasus, dan pelanggaran disiplin 440 kasus. Sedangkan dari 1.462 anggota yang melakukan pelanggaran, 48 orang adalah perwira menengah, 183 perwira pertama, 1.198 bintara, dan PNS 33 orang.

Sanksi tegas yang dimaksud Kapolri BHD sifatnya beragam. Mulai dari sekadar teguran kepada 565 personel, penyerahan 897 anggota kepada Ankum, hingga mutasi yang bersifat demosi terhadap 4 Kapoltabes yang diduga terkait dengan kasus perjudian dan illegal logging.

"Termasuk pemberhentian dengan tidak hormat terhadap beberapa perwira, bintara, dan PNS yang diduga terlibat kasus narkoba," pungkasnya.

Senin, 05 Januari 2009

Yayasan TNI Tidak Disentuh

INSTITUSI TNI ternyata tidak termasuk dalam 99 instansi dan lembaga pemerintah yang akan diawasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal penggunaan dana yayasan. Pasalnya, pengawasan terhadap TNI dan yayasannya tidak masuk dalam ranah tugas KPK.

Hal itu diungkapkan Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar di Jakarta, kemarin. "Kami tidak menangani soal TNI. Baik lembaga itu sendiri maupun yayasannya. Itu sudah ada di UU," kata dia.

Haryono menjelaskan dalam UU No. 20 Tahun 2002 tentang KPK, lembaga negara ini memang tidak diamanatkan untuk menangani TNI. KPK baru bisa menangani atau masuk ke TNI jika berkaitan dengan koleksitas dan hal itu masih menunggu UU Peradilan Militer. Sedangkan, lanjut Haryono, sampai sekarang keberadaan UU tersebut belum sepenuhnya jelas. "Daripada tidak jelas, lebih baik kami tidak menangani dulu," ujarnya.

Selain itu, TNI dan bisnis yang dinaunginya, menurut Haryono, sudah berada di bawah kebijakan Timnas Pengalihan Aktivitas Bisnis (TPAB) TNI yang dipimpin oleh mantan Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas.

Tim tersebut bertugas melakukan penilaian meliputi inventarisasi, identifikasi, dan pengelompokan terhadap seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola TNI baik secara langsung maupun tak langsung, merumuskan langkah kebijakan dalam rangka pengalihan bisnis TNI. Dan ketiga, memberikan rekomendasi langkah-langkah kebijakan kepada Presiden dalam rangka pengalihan aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola TNI baik secara langsung maupun tidak langsung kepada pemerintah.

"Tim itulah yang bertugas dan memiliki wewenang untuk mengatur, bukan KPK," pungkasnya.

Akan tetapi, menurut Erry Riyana, KPK seharusnya bisa memasukkan yayasan di lingkungan Departemen Pertahanan termasuk TNI ke dalam daftar yang jadi sasaran pemeriksaan. Alasannya, TPAB yang dipimpinnya bertugas bukan untuk mengawasi, melainkan menginventarisasi, menilai, dan membuat rekomendasi cara pengambilalihannya oleh pemerintah.

"Jadi, hemat saya, KPK bisa memasukkan yayasan di lingkungan Dephan termasuk TNI ke dalam daftar sasaran pemeriksaan," kata dia.

Terkait UU yang mengatakan TNI bukan ruang lingkup KPK, Erry menjelaskan yayasan di lingkungan TNI bukan bagian organik dari institusi. Artinya, yayasan tersebut berdiri sendiri.

"TNI sebagai institusi dan individualnya memang iya (tak dapat diawasi). Tapi yayasan kan bukan bagian organik dari institusi dan sebagian besar pengurusnya pensiunan. Memang bisa debatable, tinggal soal niat saja apakah mau ditertibkan atau tidak," pungkasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, dari 99 instansi pemerintah yang disurati KPK, baru 50 instansi yang membalas. Dari 50 instansi yang memberikan jawaban itu, hanya 14 instansi yang menyatakan memiliki yayasan. "Dari surat balasan yang kita terima, dari 14 yang mengakui tersebut, ada yang bilang punya satu yayasan, punya tiga yayasan, bahkan ada yang sebelas. Itu Departemen Pertanian yang sebelas. Nah, itu mengelolanya gimana," kata Haryono.

Namun, Menteri Pertanian Anton Apriantono menegaskan departemen yang dipimpinnya saat ini tidak lagi memiliki kaitan dengan sebelas yayasan yang ditemukan KPK. Yayasan-yayasan tersebut merupakan bentukan pemerintahan masa lalu. "Setahu saya sudah tidak ada kaitan dengan Deptan yayasan-yayasan tersebut. Itu produk masa lalu," tegas Anton.

Kejakgung Tentukan Nasib Jaksa Sudomo

JAKSA Sudomo dinyatakan bersalah berat terkait kasus penyuapan Rp700 juta untuk pembebasan bandar judi Dony dkk. Minggu depan Kejaksaan Agung (Kejakgung) akan menentukan hukuman yang pantas untuk jaksa tersebut.

"Ya, kita masih meminta kepolisian untuk terus melakukan penyelidikan internal," kata Jaksa Darmono saat dikonfirmasi mengenai kasus serah terima uang yang diduga suap untuk melepaskan Dony dkk. dari jerat hukum itu 15 Desember lalu. Ia meminta inspektur jaksa tindak pidana umum untuk melakukan pengawasan terhadap hal ini.

Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) ini juga menjelaskan hasil penyelidikan dari Kejati DKI mereka telaah, pelajari, dan evaluasi. "Hasil yang nanti didapat itulah untuk usulan atau rumusan hukuman apa yang pantas diberikan Kejaksaan Agung untuk Jaksa Sudomo. Yang pasti kami akan melaporkannya minggu depan ke Kejakgung," ungkapnya.

Sementara itu, Mabes Polri juga akan memeriksa secara internal terhadap anggotanya. "Kalau informasi (suap) itu benar, pasti akan ditindak tegas si penerimanya," ujar Kadiv Humas Polri Irjen Abu Bakar Nataprawira.

Menurut Abu Bakar, Polri pasti akan menindak bentuk tindakan anggotanya yang melindungi pelaku tindak pidana atau yang menyalahi hukum. "Kalau bukti menunjukkan kebenaran itu, polisi yang menutupi kasus bandar judi lolos dari jerat hukum pasti akan ditindak," tegas Abu Bakar.

Seperti diberitakan Lampung Post, bandar judi Dony Harianto Njo serta dua rekannya, Suparlan Liosman dan Hengky Simbolon, diduga memberikan uang Rp700 juta agar dia dilepaskan dari tahanan. Uang itu, menurut informasi, buat jaksa dan polisi dengan perincian Rp500 juta buat jaksa dan Rp200 juta buat polisi.

Uang diberikan Dony saat polisi menyerahkan berkas perkaranya ke kejaksaan. Uang itu diberikan di parkiran kantor kejaksaan tinggi. Setelah penyerahan, tersangka pun dibebaskan oleh jaksa.

Menurut informasi, Dony dibawa dari Polda Metro Jaya bersama dua rekannya sesama bandar judi, dengan pengawalan AK Hm dan seorang PNS berinisial Sg. "Bagaimana bisa satu polisi mengawal tiga tersangka. Itu menyalahi prosedur tetap pengawalan," kata polisi yang memberikan informasi itu.

Anehnya lagi, pengantaran tersangka bandar judi dilakukan dengan menggunakan dua mobil Kijang kapsul, milik tersangka Doni dan saudara dari Doni.(sumber: Lampung Post)

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto