Jumat, 26 November 2010

Sukemi dan Sawiyah, Potret Lusuh Kemiskinan

Bibir Soetono (64) terasa kelu. Matanya sembab menyaksikan jenazah istrinya, Sukemi, terbujur kaku dihantam penyakit kanker. Sontak pikirannya melayang, betapa almarhumah istrinya adalah perempuan yang tegar. Setiap sehabis subuh, istrinya berangkat ke pasar membeli makanan kecil. Dengan modal Rp 25.000 ia membeli sekitar 30 sampai 50 macam kue untuk dijual kembali. Pulang dari pasar, Sukemi kemudian menyiapkan sarapan pagi ala kadarnya untuk keluarga. Terkadang hanya nasi putih dan sepotong kerupuk. Soetono dan istrinya hidup bersama seorang anak perempuannya Wiwit (26) dan seorang cucunya, Riska (8). Wiwit (26) sudah bercerai dan kini menganggur setelah pabrik tekstil tempatnya bekerja tutup. Untuk membantu orang tua dan membiayai sekolah anaknya Wiwit bekerja sebagai buruh cuci.

Soetono, Sukemi dan Wiwit, mereka sekeluarga adalah potret nyata sebuah kegigihan. Saat Sukemi divonis menderita kanker payudara, mereka sekuat tenaga mencari uang untuk pengobatan orang yang mereka cintai.

Wiwit bahkan sampai bekerja sebagai tenaga pengamplas kusen di sebuah bengkel meubel. Pekerjaan yang seharusnya dilakoni seorang lelaki. Usai menjadi buruh cuci, setiap sore Wiwit menjadi pengamplas kusen sampai jam sembilan malam. Dengan waktu kerja sekitar lima jam ia dibayar Rp 12.000. Penghasilan Soetono sebagai pemulung pun sangat pas-pasan, dari barang bekas yang terkumpul selama seminggu, paling-paling ia hanya mendapatkan uang Rp 50.000 saja.

Meski digabung, penghasilan mereka jauh dari cukup. Uang yang terkumpul yang sedianya untuk mengobati penyakit kanker Sukemi, hanya cukup untuk mengurus surat miskin saja. Setidaknya demi mendapatkan surat GAKIN (Keluarga Miskin) yang bisa dipergunakan untuk mendapat pengobatan gratis di rumah sakit, Soetono dan Wiwit menghabiskan Rp 15.000.

Sementara kanker payudara Sukemi sudah semakin parah. “Setiap malam istri saya menangis menahan sakit di payudaranya.” ujar Soetono lirih. Akhirnya berbekal surat GAKIN, Sukemi bisa dioperasi di sebuah RS milik pemerintah daerah. Operasi terbilang sukses meski Sukemi terpaksa kehilangan satu payudaranya. Namun karena tidak punya biaya untuk pengobatan lanjutan, luka bekas operasi tersebut menjadi infeksi dan bernanah. Bahkan kini mulai muncul benjolan baru di payudaranya. Wajahnya semakin pucat, kulitnya menguning. Ia kemudian dirujuk ke RS Cipto Mangunkusumo. Malang, di sana Sukemi tak dapat dirawat dengan alasan kamar rawat penuh. Akhirnya Sukemi dipaksa untuk berobat jalan.

“Istri saya disuruh pulang, gimana mau pulang. Untuk jalan saja dia sudah enggak sanggup.Lagipula ongkos juga sudah tidak punya” ujar Soetono lagi.

Mereka bisa pulang ke rumah karena jasa seorang sopir taksi yang bersedia mengantarkan tanpa memungut biaya. “Semoga di dunia ini masih banyak orang-orang seperti sopir taksi tersebut.” kata Soetono.

Dua minggu kemudian sakit Sukemi semakin parah. Benjolan di payudaranya semakin membesar diiringi darah yang bercucuran. Diantar Wiwit, Sukemi kembali ke RS Cipto Mangunkusumo naik angkutan umum. Setidaknya butuh tiga kali ganti angkutan umum.

Tak terbayang penderitaan hebat yang dialami Sukemi saat harus terguncang-guncang di dalam angkutan umum.

Sesampainya di RS Cipto Mangunkusumo, lagi-lagi RS terbesar se-Indonesia itu menolak merawat Sukemi dengan alasan kamar penuh. Sukemi terpaksa pulang dengan dada yang berdarah-darah. Masih dengan angkutan umum.

Berkat bantuan seorang tetangganya, beberapa hari kemudian Sukemi berhasil mendapatkan perawatan memadai di sebuah Rumah Sakit pemerintah yang lain. Tapi keadaan Sukemi sudah demikian parah. Hanya perlu satu minggu saja, penyakit kanker tersebut merenggut nyawa Sukemi.

Ada satu lagi potret buram yang membuat kita tercenung. Namanya Sawiyah (48) dan Mutharah (13), Ibu dan anak itu tewas tenggelam di kolam bekas galian tanah tak jauh dari rumah mereka. Menurut penuturan Suharto (45) suami Sawiyah, istri dan anaknya itu tewas saat mencari kayu bakar untuk keperluan memasak.

Pasangan Sawiyah dan Suharto memiliki empat anak perempuan, Linda (17), Lidya (15), Megawati (14) dan si bungsu Mutharah yang tewas bersama Sawiyah.

Mereka berenam tinggal di sebuah rumah petak yang sempit di daerah Duri Kosambi Tangerang. Dirumah tersebut tak ada satupun barang mewah, kecuali sebuah pesawat televisi kecil. Suharto bekerja sebagai pedagang alat-alat rumah tangga keliling. Setiap hari sehabis Subuh, ia menjajakan dagangannya dengan berjalan kaki sejauh puluhan kilometer. Demi penghematan, Sawiyah sekeluarga sehari-hari memasak dengan kayu bakar. Harga minyak tanh yang selternya mencapi Rp 7.000 tak sanggup lagi dibeli oleh keluarga itu. Alhasil setiap sore, ditemani anaknya Mutharah, Sawiyah mencari kayu bakar di sekitar kampungnya.

Namun sore itu merupakan sore yang kelabu bagi keluarga Suharto. Sawiyah dan Mutharah diduga jatuh dan tenggelam di bekas galian berair sedalam 3 meter. Galian itu berada di atas lahan terlantar tak jauh dari rumahnya. Jumat sore pukul 17.00 WIB jenazah sawiyah dan Mutharah ditemukan mengambang di galian tersebut. Sebilah golok dan seikat kayu bakar menjadi saksi bisu kepergian mereka.

Suharto hanya bisa tercenung. Ia sama sekali tak menyangka begitu cepat istri dan putri bungsunya itu pergi untuk selama-lamanya.

Kemiskinan memang menjadi persoalan besar bagi bangsa yang kaya raya ini. Di tengah melimpahnya kekayaan alam, begitu banyak rakyatnya yang didera kemiskinan. Tidak hanya Sukemi dan Sawiyah saja yang terenggut oleh maut karena kemiskinan. Tetapi begitu masih banyaknya. Mungkin tak terhitung.

Sukemi dan Sawiyah memang sudah menjalani takdir mereka. Tetapi, akan diamkah kita melihat kemiskinan menggerogoti bangsa besar ini?(sumber: www.kabarinews.com)

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Foto-Foto