Tampilkan postingan dengan label korupsi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label korupsi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 16 September 2010

Tim Pengawas Kasus Century Prioritaskan Uji Silang


Tim Pengawas Rekomendasi DPR terhacap Kasus Bank Century akan memprioritaskan uji silang kasus Bank Century terhadap tiga lembaga hukum yakni Komisi Pemberantasan Korupsi, Polri dan Kejaksan Agung.

Koordinator Tim Kecil, Mahfudz Sidik, Senin (13/9), mengatakan, Tim Pengawas Rekomendasi DPR terhadap Kasus Bank Century akan menggelar rapat internal untuk mengagendakan jadwal rapat konsultasi dengan tiga lembaga penegak hukum tersebut.

"Kami baru mulai bekerja pada Selasa besok (14/9) dan belum menentukan jadwal rapat internal. Kemungkinan, rapat internal itu akan dilakukan Senin mendatang (20/9)," kata Mahfudz Sidik.

Mahfudz menjelaskan, jika rapat internal diselenggarakan Senin (20/9), maka Tim Pengawas Rekomendasi DPR terhadap Kasus Bank Century akan menjadwalkan sepekan kemudian yakni Senin (27/9).

Menurut dia, Tim Pengawas Rekomendasi DPR terhadap Kasus Bank Century akan memprioritaskan uji silang kasus bank Century karena hal itu sudah diagendakan DPR pada Agustus lalu, tapi belum terlaksana.

Semula, Tim Pengawas Rekomendasi DPR terhadap Kasus Bank Century menjadwalkan rapat konsultasi untuk mendengarkan laporan perkembangan dari pimpinan ketiga lembaga penegak hukum yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, dan Kejaksaan Agung.

"Rapat konsultasi batal karena anggota DPR saat itu sedang reses, tapi laporan perkembangan terhadap tindak lanjut kasus Bank Century sampai sampai saat ini belum diserahkan ke DPR," katanya.

Tim Pengawas Rekomendasi DPR terhadap Kasus Bank Century juga akan melakukan uji silang kasus Bank Century degan pimpinan ketiga lembaga penegak hukum tersebut pada 25 Agustus 2010, tapi juga tertunda.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ini menjelaskan, uji silang menjadi salah satu prioritas untuk melihat bukti-bukti pada kasus Bank Century yang menjadi sudut pandang DPR dan yang menjadi sudut pandang tiga lembaga penegak hukum tersebut.

Melalui uji silang ini, kata dia, bisa dilihat persamaan dan perbedaan sudut pandang terhadap kasus Bank Century, tapi bukan mengintervensi tindak lanjut kasus Bank Century.

Menurut dia, Panitia Angket DPR kasus Bank Century yang bekerja selama tiga bulan sejak 4 Desember 2009 hingga 4 Maret 2010, menemukan sejumlah dugaan tindak pidana perbankan dan korupsi pada pemberian dana talangan ke Bank Century sebesar Rp6,7 triliun.

"Hasil rekomendasi dan lampirannya juga sudah diserahkan kepada pimpinan tiga lembaga penegak hukum," katanya.

Namun pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kata dia, beberapa kali menyatakan belum menemukan bukti-bukti kuat dugaan tindak pidana korupsi, sedangkan kepolisian dan kejaksaan juga belum ada perkembangan.(sumber: http://www.republika.co.id)

Jumat, 11 Juni 2010

Kejagung Ajukan PK Kasus Bibit-Chandra


Kejaksaan Agung akhirnya mengambil sikap. Mereka akan mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memenangkan gugatan praperadilan Anggodo Widjojo. "Langkah ini sudah sesuai dengan koridor hukum," kata Jaksa Agung Hendarman Supandji, seusai menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Presiden Jakarta, Kamis (10/6)


Menurut Hendarman, langkah PK Atas putusan PT DKI Jakarta adalah yang paling tepat. Sebab, jika depoonering atau menyampingkan perkara demi kepentingan umum yang diambil, maka tak hanya kasus Bibit Rianto-Chandra Hamzah yang dikesampingkan. Perkara dugaan suap dengan terdakwa Anggodo Widjojo juga bisa berhenti.

Hendarman menambahkan, dengan putusan ini berarti Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) yang dikeluarkan Kejaksaan Agung terkait kasus hukum Bibit-Chandra menjadi tidak sah. Dengan begitu, Bibit-Chandra bisa dipenjara lagi dan kasusnya dapat disidangkan kembali di pengadilan.(sumber: Liputan6)

Selasa, 13 April 2010

Susno Ditangkap Polri, Komisi III Pasang Badan

Komisi III DPR meminta mantan Kabareskrim Polri Komjen Pol Susno Duadji untuk terus mengungkap markus di Kepolisian. Komisi akan memberikan perlindungan politik menyusul penangkapan Susno di Bandara Soekarno-Hatta Tangerang, Banten.

"Kita minta Pak Susno tidak takut dan terus mengungkap markus di Kepolisian. Kita lembaga politik sudah berkomitmen memberikan perlindungan politik pada Susno Duadji," tegas Ketua Komisi III DPR Benny K sebelum rapat Paripurna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (13/4/2010).

Benny mempertanyakan apakah penangkapan Susno yang hendak terbang ke Singapura untuk berobat itu merupakan bagian dari upaya pembungkaman Susno atau tidak.

"Apakah penangkapan ini bagian dari upaya pembungkamanan Susno yang sedang mengungkap markus di Kepolisian?" tanya politisi PD ini.

Untuk memperjelas itu, lanjut Benny, Komisi III DPR akan memanggil Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri. Komisi III akan meminta penjelasan Kapolri atas penangkapan Susno.

"Kami akan meminta penjelasan Kapolri tentang penangkapan Susno. Dalam rapat kerja dengan Kapolri minggu depan," tandasnya.

Susno ditangkap oleh Polri di Bandara Soekarno-Hatta dalam perjalanan untuk medical check up ke Singapura. Setelah diperiksa selama 5 jam di Mabes Polri, Susno lalu diizinkan pulang ke rumahnya.

DPR Minta Kapolri Klarifikasi Terbuka Alasan Penangkapan Susno

Ketua Komisi III DPR Benny K Harman menyayangkan penangkapan mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji oleh Polri di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Benny meminta Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri menjelaskan alasan penangkapan Susno itu secara terbuka.

"Kami meminta Kepolisian memberikan keterangan terbuka kepada publik terkait penangkapan itu supaya tidak menimbulkan kesan merupakan upaya pembungkaman Susno dalam mengungkapkan mafia kasus di tubuh Polri," ujar Benny sebelum rapat Paripurna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (13/4/2010).

Menurut Benny, Polri seharusnya tidak gegabah menangkap Susno ketika hendak berobat ke Singapura. Apalagi Susno sedang menjadi pusat perhatian. Penangkapan itu akan membuat citra Polri makin merosot tajam.

"Kami melihat penangkapan itu menunjukkan bahwa Kepolisian terkesan panik terhadap langkah-langkah yang dilakukan Susno Duadji mengungkapkan markus di Kepolisian," tegas politisi PD itu.

Benny kembali menegaskan, Komisi III DPR akan melindungi Susno Duadji. "Kami berkepentingan untuk melindungi Susno Duadji supaya dia tetap punya keberanian mengungkap mafia kasus di tubuh Kepolisian," tutupnya.

Senin, 05 April 2010

Susno: Info Polri Menyesatkan

Seusai mengajukan permohonan perlindungan ke Komisi III DPR, mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji mengklarifikasi sejumlah pernyataan yang datang dari Mabes Polri terkait pengusutan dugaan mafia kasus pajak.

Salah satunya, informasi yang menyebutkan bahwa salah satu penyidik yang ditetapkan sebagai tersangka, Komisaris A, merupakan "orang Susno" dan anak kesayangannya.

"Info itu sangat menyesatkan. Tidak ada satu biji pun orang Susno. Ini yang saya persalahkan. Dia berlindung di balik saya karena katanya sama-sama pernah di PPATK. Katanya anak kesayangan saya. Dia itu (Komisaris A) dikembalikan lebih awal ke Polri. Sudahlah, jangan bohongi orang," kata Susno di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (30/3/2010).

Susno kembali menegaskan, ia tak berhubungan langsung dengan perkara pajak yang diduga melibatkan sejumlah jenderal di Mabes Polri itu. Secara sistematika kerja, menurut dia, setiap perkara dilaporkan kepada kepala unit atau direktur. Hanya perkara yang bermasalah yang dilaporkan ke Kabareskrim. "Kecuali perkara yang ada masalah. Sebagai Kabareskrim, saya baru tahu ada masalah dalam perkara kalau dilapori oleh wasdik (pengawas penyidik)," ungkapnya.

Wasdik, menurut Susno, merupakan pihak yang menghadiri gelar perkara. Setelah itu, semua laporan perkara bermuara di tangan direktur. Termasuk kewenangan penahanan, menurut dia, merupakan otonom penyidik yang kemudian diusulkan kepada kepala unit dan direktur. "Soal penahanan tidak pernah ke kepala bagian. Dua jenjang tanggung jawabnya adalah kanit dan direktur," katanya.

Pernyataan Susno itu menjawab pertanyaan mengapa selaku Kabareskrim, ia saat itu tidak memerintahkan penahanan terhadap Gayus Tambunan. Mengenai pembukaan blokir rekening, dikatakan Susno, tak sulit untuk menemukan siapa yang harus bertanggung jawab. "Lihat saja yang tanda tangan siapa," ujarnya singkat.(sumber:kompas.com)

Susno: "Decision Maker"-nya Dirjen dan Menteri

Mantan Kabareskrim Mabes Polri Komjen Susno Duadji mengungkapkan, posisi pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Gayus Tambunan, hanyalah di lini terbawah dari gambaran struktur proses penetapan pajak. Ia menyebut Gayus sebagai pintu terdepan. Masih ada pejabat di atasnya yang berperan juga dalam "permainan" tersebut. Bahkan, ia mengatakan, pengambil keputusan berada di tangan Dirjen Pajak dan Menteri Keuangan.

"Gayus itu masih kecil. Ibaratnya pintu terdepan, yang terima map. Terus naik ke atas terus. Decision maker-nya ada pada Dirjen dan Menteri (Keuangan)," kata Susno saat mengisi diskusi "Susno Disayang, Susno Ditendang" di Jakarta, Kamis (1/4/2010) sore.

Dikatakan Susno, ia hanya "menendang bola" agar ada perbaikan sistem di tubuh kepolisian, institusi penegak hukum, dan Ditjen Pajak sendiri. "Yang sama statusnya dengan Gayus ada ratusan. Masak negeri sebesar ini pajak kurang dari Rp 1.000 triliun. Saya 'tendang bola', biar sistem bergetar di kejaksaan, kepolisian, pengadilan. Kalau ini tidak gol juga, penonton kecewa," ujar mantan Kapolda Jawa Barat ini.

Kasus dugaan mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan telah turut pula menyeret dinonaktifkannya 10 pejabat di atasnya di Ditjen Pajak.(sumber: kompas.com)

Susno: Gayus Itu Bukan Markus, Hanya Pion

Mantan Kepala Bareskrim Mabes Polri Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji mengaku punya data setidaknya tiga makelar kasus alias markus yang bercokol di Mabes Polri.

"Gayus Tambunan itu bukan markus, tapi dia hanya pion, dia hanya korban," katanya ketika diwawancarai pemandu bedah buku Bukan Testimoni Susno per telepon dari Surabaya, Minggu (4/4/2010).

Di hadapan puluhan peserta bedah buku dalam rangkaian Kompas Gramedia Fair 2010 itu, Susno juga sempat diwawancarai lewat telepon seluler (ponsel) oleh tiga warga Surabaya yang mengikuti bedah buku terbitan PT Gramedia Pustaka Utama setebal 138 halaman itu.

Susno yang juga pernah menjabat Wakapolwiltabes Surabaya menyebutkan, markus yang sebenarnya itu menghubungkan rekayasa perkara dari kepolisian, kejaksaan, hingga kehakiman. "Dia itu mempunyai kekuatan yang hebat, karena dia mampu menghubungkan kepolisian, kejaksaan dan kehakiman," katanya.

Ucapan itu, katanya, membuat dirinya sempat diminta untuk membuktikannya. "Saya katakan, saya ibarat pelapor. Pelapor kok disuruh membuktikan, ya mereka yang harus membuktikan bahwa hal itu tidak benar," katanya.

Dalam bedah buku itu, penulisnya, IzHarry Agusjaya Moenzir, menyebutkan jumlah markus yang bercokol di Mabes Polri ada tiga nama. "Saya yakin, Pak Susno akan mengungkapkannya, tapi dia masih menyimpannya. Nanti, semuanya akan diungkap satu per satu," katanya.

Menurut dia, Susno sendiri menyebutkan Gayus Tambunan itu masih merupakan episode awal. "Pak Susno mengakui reformasi di Polri akan sulit bila markus masih ada di ruang yang tak jauh dari ruang Kapolri dan Wakapolri," katanya.

Ia percaya, Susno Duadji sudah lama membenahi masalah itu dari dalam tapi tidak pernah didengar, bahkan dirinya justru menjadi korban berkali-kali. "Sewaktu menjabat Wakapolwiltabes Surabaya, Pak Susno pernah dinonjobkan, karena dia tak mengikuti perintah untuk menghentikan kasus uang palsu yang melibatkan dua jenderal di TNI," katanya.

Ketika menjadi Kapolda Jawa Barat pun, katanya, Susno pernah ditawari setoran Rp 10 miliar dari kasus minuman keras. "Pak Susno bilang setoran itu masih dari satu kasus, padahal di kepolisian banyak yang semacam itu. Masih ada kasus judi, VCD bajakan, prostitusi, dan banyak setoran-setoran dari dunia kejahatan lainnya," katanya.

IzHarry Agusjaya Moenzir menambahkan, buku Bukan Testimoni Susno merupakan karyanya yang ke-15 dan paling laku keras, karena hingga kini sudah terjual 23.000 eksemplar.(sumber: kompas.com)

Minggu, 04 April 2010

Kasus Gayus Sindikat Polisi, Jaksa, Hakim

Satgas Anti Mafia Hukum menilai kasus makelar kasus (markus) senilai Rp 25 miliar yang melibatkan pegawai Ditjen Pajak Gayus Tambunan merupakan sebuah sindikat. Sindikat tersebut melibatkan aparat hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan profesi penegak hukum lainnya.

"Kita melihat bahwa ini adalah sindikat, melibatkan aparat hukum di kepolisian, kejaksaan, hakim dan profesi penegak hukum lainnya. Makanya kita segera bergerak kemari," kata Sekretaris Satgas Anti Mafia Hukum Denny Indrayana usai bertemu dengan Jaksa Agung di Kantor Kejagung, Jl Sultan Hasanuddin, Jakarta, Senin (29/3/2010).

"Indikasinya dari mana kalau kasus ini adalah sindikat?" tanya wartawan.

"Kalau ada sindikasi berarti ada indikasi yaitu dari informasi yang sudah diberikan, bukti-bukti awal dari PPATK, keterangan Andi Kosasih, keterangan Gayus yang disampaikan ke Satgas. Kemarin juga kita bertiga juga sudah di-BAP," papar Denny.

Denny menilai pengusutan kasus markus pajak ini berjalan baik. Pihak-pihak yang dimintai kerjasama proaktif membantu pengusutan kasus yang mencoreng institusi pajak tersebut.

"Kita tadi ketemu Kejagung, intinya kulonuwun minta keikhlasan Jaksa Agung kalau misalnya nanti sampai ada perkembangan perkara sampai ke oknum-oknum kejaksaan," imbuhnya tanpa memberi tahu apakah dalam pertemuan dengan Jaksa Agung, Satgas telah menyebutkan oknum Kejagung yang dimaksud.

"Pada saatnya nanti kita akan sampaikan ke publik," ujar staf khusus presiden ini.

Jumat, 03 Juli 2009

Jaksa Seret Pimpro Jadi Terdakwa

JAKSA Kejati Lampung menyeret Lukmansyah sebagai terdakwa dugaan korupsi bantuan sosial rumah tangga miskin di Lampung Tengah dan Lampung Selatan. Sidang perdana itu digelar di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Kamis (2-7).

Dalam proyek di Lampung Tengah dan Lampung Selatan yang didanai APBN 2005 itu diduga menimbulkan kerugian negara sekitar Rp388,5 juta itu, terdakwa Lukmasyah, sebagai pimpinan proyek (pimpro) didakwa Jaksa Bangkit Sormin, A. Kohar, Dumoli, dan Sandi, melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Ayat UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana, dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun.

Pada sidang sebelumnya, jaksa yang sama juga mendakwa Toni Soepardi (PPK dari Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Lampung dan Darusman (direktur CV Partner Utama), dengan pasal yang sama.

Pada sidang yang dipimpin Hakim Tani Ginting, dibantu Sri Widiastuti dan Ristati, pimpro proyek senilai Rp580 juta dari anggaran APBN 2005 itu mendengarkan dakwaan yang dibacakan jaksa.

Dalam dakwaannya, Jaksa menyatakan terdakwa Lukmansyah bersama Toni Soepardi dan Darusman, pada Januari--Desember 2005, di kantor Dinas Kesejahteraan Sosial Lampung, di Jalan Basuki Rahmat No. 72 Bandar Lampung, dan di Kelurahan Kotaalam, Kecamatan Kotabumi Selatan, Lampung Utara, serta di Desa Sidomulyo, Kecamatan Punggur, Lampung Tengah, melakukan perbuatan atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara.

Menurut jaksa, pada tahun anggaran 2005, di Dinas Kesejahteraan Sosial Lampung terdapat kegiatan pembinaan dan pemberian bantuan sosial berupa pengadaan bahan bangunan rumah untuk 80 kepala keluarga miskin di Kelurahan Kotaalam, Lampung Utara, dan keluarga miskin di Desa Sidomulyo, Lampung Tengah.

Bantuan itu bersumber dari APBN berdadasarkan DIPA No.054.027-01-1/7/2005, 1 Januari 2005. Terdakwa Lukmansyah ditunjuk sebagai pimpro dari CV PU. Sesuai perjanjian kontrak No:465/308/B.III/XI/2005, tanggal 1 November 2005 untuk Lampung Utara dengan nilai kontrak sebesar Rp290.193.000. Dan perjanjian kontrak No. 465/3090/B.III/XI/2005 tanggal 1 November 2005 dengan nilai kontrak sebesar Rp290.193.000 untuk Lampung Tengah.

Jumat, 19 Juni 2009

Dihukum 2 Tahun, Syahril Sabirin Kecewa

MANTAN Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin merasa dizalimi dan kecewa terhadap keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) terhadap perkara hak tagih (cessie) Bank Bali.

Syahril mengatakan pada tahun 2002 dirinya diputuskan sebagai tersangka kasus Bank Bali, dan pada pengadilan pertama diputuskan bersalah dengan 3 tahun penjara.

"Padahal semua saksi tidak ada yang memberatkan saya. Saya tidak tahu yang terjadi di belakang layar seperti apa, saya ajukan banding di pengadilan tinggi ternyata saya bebas murni. Kebebasan itu saya sudah nikmati selama 5 tahun," tuturnya dalam jumpa pers di Gedung BI, Jalan Thamrin, Jakarta, Jumat (12/6/2009).

Namun dirinya merasa kecewa karena pada Kamis (11/6/2009), Kejaksaan agung mengajukan PK ke MA dan diterima.

"Kemarin saya diputuskan dihukum 2 tahun saya sangat kecewa karena pada dasarnya PK yang diajukan oleh Kejagung ke MA tidak wajar," ujarnya.

Alasannya adalah yang dapat mengajukan PK itu seharusnya pihak yang terpidana atau terdakwa.

"Jadi bukannya Kejaksaan Agung. Dalam keputusan Mahkamah Konstitusi juga disebutkan kalau yang bisa mengajukan PK adalah terpidana. Untuk itu saya merasa dizalimi. Dalam hal ini majelis Hakim Agung itu melanggar Mahkamah Konstitusi," tandasnya didampingi kuasa hukunmnya M. Assegaf.

Senin, 05 Januari 2009

Yayasan TNI Tidak Disentuh

INSTITUSI TNI ternyata tidak termasuk dalam 99 instansi dan lembaga pemerintah yang akan diawasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal penggunaan dana yayasan. Pasalnya, pengawasan terhadap TNI dan yayasannya tidak masuk dalam ranah tugas KPK.

Hal itu diungkapkan Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar di Jakarta, kemarin. "Kami tidak menangani soal TNI. Baik lembaga itu sendiri maupun yayasannya. Itu sudah ada di UU," kata dia.

Haryono menjelaskan dalam UU No. 20 Tahun 2002 tentang KPK, lembaga negara ini memang tidak diamanatkan untuk menangani TNI. KPK baru bisa menangani atau masuk ke TNI jika berkaitan dengan koleksitas dan hal itu masih menunggu UU Peradilan Militer. Sedangkan, lanjut Haryono, sampai sekarang keberadaan UU tersebut belum sepenuhnya jelas. "Daripada tidak jelas, lebih baik kami tidak menangani dulu," ujarnya.

Selain itu, TNI dan bisnis yang dinaunginya, menurut Haryono, sudah berada di bawah kebijakan Timnas Pengalihan Aktivitas Bisnis (TPAB) TNI yang dipimpin oleh mantan Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas.

Tim tersebut bertugas melakukan penilaian meliputi inventarisasi, identifikasi, dan pengelompokan terhadap seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola TNI baik secara langsung maupun tak langsung, merumuskan langkah kebijakan dalam rangka pengalihan bisnis TNI. Dan ketiga, memberikan rekomendasi langkah-langkah kebijakan kepada Presiden dalam rangka pengalihan aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola TNI baik secara langsung maupun tidak langsung kepada pemerintah.

"Tim itulah yang bertugas dan memiliki wewenang untuk mengatur, bukan KPK," pungkasnya.

Akan tetapi, menurut Erry Riyana, KPK seharusnya bisa memasukkan yayasan di lingkungan Departemen Pertahanan termasuk TNI ke dalam daftar yang jadi sasaran pemeriksaan. Alasannya, TPAB yang dipimpinnya bertugas bukan untuk mengawasi, melainkan menginventarisasi, menilai, dan membuat rekomendasi cara pengambilalihannya oleh pemerintah.

"Jadi, hemat saya, KPK bisa memasukkan yayasan di lingkungan Dephan termasuk TNI ke dalam daftar sasaran pemeriksaan," kata dia.

Terkait UU yang mengatakan TNI bukan ruang lingkup KPK, Erry menjelaskan yayasan di lingkungan TNI bukan bagian organik dari institusi. Artinya, yayasan tersebut berdiri sendiri.

"TNI sebagai institusi dan individualnya memang iya (tak dapat diawasi). Tapi yayasan kan bukan bagian organik dari institusi dan sebagian besar pengurusnya pensiunan. Memang bisa debatable, tinggal soal niat saja apakah mau ditertibkan atau tidak," pungkasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, dari 99 instansi pemerintah yang disurati KPK, baru 50 instansi yang membalas. Dari 50 instansi yang memberikan jawaban itu, hanya 14 instansi yang menyatakan memiliki yayasan. "Dari surat balasan yang kita terima, dari 14 yang mengakui tersebut, ada yang bilang punya satu yayasan, punya tiga yayasan, bahkan ada yang sebelas. Itu Departemen Pertanian yang sebelas. Nah, itu mengelolanya gimana," kata Haryono.

Namun, Menteri Pertanian Anton Apriantono menegaskan departemen yang dipimpinnya saat ini tidak lagi memiliki kaitan dengan sebelas yayasan yang ditemukan KPK. Yayasan-yayasan tersebut merupakan bentukan pemerintahan masa lalu. "Setahu saya sudah tidak ada kaitan dengan Deptan yayasan-yayasan tersebut. Itu produk masa lalu," tegas Anton.

Selasa, 04 November 2008

Rehabilitasi SDN 2 Gunung Terang Bermasalah

KOMISI D DPRD Bandar Lampung akan menindaklanjuti dugaan kasus DAK (dana alokasi khusus) rehabilitasi SDN 2 Gunung Terang, Tanjungkarang Barat. Komite sekolah tersebut dipanggil untuk dimintai penjelasan tentang masalah itu.

"Saya akan berkoordinasi dengan anggota komisi. Dalam waktu dekat kami akan memanggil ketua komite sekolah tersebut," kata Ketua komisi D DPRD Bandar Lampung, Heri Mulyadi, Senin (3-11).

Pihaknya meminta keterangan kepala sekolah. Setelah mengumpulkan data lapangan, pihaknya akan memanggil kepala Dinas Pendidikan Bandar Lampung untuk menjelaskan kasus tersebut.

"Kalau fakta di lapangan ditemukan indikasi yang kuat, akan mejadi masukan bagi kami untuk mengambil tindakan tegas," kata dia.

Menurut dia, pelanggaran prosedur ini bisa bermuara ke hukum kalau ditemukan penyimpangan dan kerugian negara yang berindikasi korupsi.

Pihaknya sudah berkali-kali mengingatkan Dinas Pendidikan agar hati-hati dalam mengelola DAK. Harus mengikuti prosedur yang ada, yaitu sesuai dengan Permendiknas Nomor 10 Tahun 2008 tentang Petunjuk Teknis DAK Pendidikan.

Sebab, kasus serupa ini bukan yang pertama kali terjadi, tahun 2006 pernah terjadi kasus yang sama, bahkan beberapa kasus naik ke kejaksaan.

Kepala Dinas Pendidikan Bandar Lampung, Idrus Effendi, sulit ditemui di kantornya. Ketika dihubungi melalui telepon berkali-kali, Idrus tidak mau mengangkat telepon. Bahkan, ketika dikirim SMS, tidak ada jawaban.

Ketua Harian Dewan Pendidikan Bandar Lampung, Yudirman, mengatakan kasus rehabilitasi SDN 2 Gunung Terang juga dialami 11 SDN lain. Berdasar pada pengaduan 11 komite sekolah, rehabilitasi sekolah melanggar Permendiknas Nomor 10 Tahun 2008 tentang Juknis DAK Pendidikan.

Dalam Permendiknas itu dijelaskan komite sekolah bertanggung jawab dalam pelaksanaan DAK, artinya kepala sekolah bersama dengan komite sekolah mengelola DAK secara transparan.

Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 juga menjelaskan pengadaan barang dan jasa secara swakelola.

Swakelola itu bertujuan melibatkan masyarakat secara aktif sehingga membantu perekonomian bawah dan menimbulkan tanggung jawab dalam masyarakat.

"Komisi D DPRD dan Dinas Pendidikan harus mencari solusi tentang pelanggaran prosedur ini," kata dia.

Sekretaris Forum Martabat Guru Indonesia (FMGI), Gino Vanollie, mengatakan kalau ada oknum Dinas Pendidikan yang terlibat pengelolaan DAK ini, kepala sekolah harus berani melaporkan ke pihak yang berwenang. Jangan sampai kepala sekolah menjadi korban atas pelanggaran itu.

Dia juga meminta kepala Dinas Pendidikan menindak tegas oknum yang terlibat rehabilitasi sekolah itu. "Kepala sekolah jangan main-main mengelola DAK. Tahun lalu seorang kepala MTs dipenjara karena melanggar prosedur DAK. Jangan sampai kepala sekolah menjadi korban lagi," kata Gino.(sumber: Lampung Post)

Selasa, 28 Oktober 2008

Kejagung Periksa Pejabat Depkumham

KEJAKSAAN AGUNG (Kejagung) memeriksa Direktur Jenderal (Dirjen) Administrasi Hukum Umum (AHU) Depkum HAM Syamsuddin Manan Sinaga dan mantan Dirjen AHU Depkum HAM Zulkarnaen Yunus terkait kasus korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) yang diduga merugikan negara lebih dari Rp 400 miliar.

Pemeriksaan keduanya, Senin (27/10) ini, dilakukan setelah Kejaksaan menetapkan status tersangka untuk keduanya. Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM (Menhukham) Andi Mattalatta menunggu surat Kejaksaan soal status hukum para pejabatnya, untuk menentukan langkah lebih lanjut terhadap mereka.

”Saya menunggu yang tertulis (pemberitahuan-red), baru dari berita koran saya tahunya,” kata Andi Mattalatta usai mengikuti jalan santai dalam rangka peringatan Hari Dharma Karyadhika di Dephukham, Minggu (26/10).
Dengan dikenakan status tersangka terhadap Zulkarnaen Yunus, berarti sudah dua kali yang bersangkutan berhadapan dengan proses hukum. Sebelumnya Zulkarnaen diadili dalam kasus korupsi pengadaan alat sidik jari (AFIS).

Sementara itu, Andi Mattalatta mengaku belum tahu detail soal sangkaan kasus korupsi yang dikenakan Kejaksaan Agung (Kejagung) terhadap pejabat dan mantan pejabat di departemennya.

Pihaknya masih menunggu pemberitahuan secara tertulis Kejaksaan Agung terkait penetapan tersangka dalam kasus dugaan korupsi di Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) sebelum melakukan langkah terhadap para pejabat yang diduga terlibat.

Salah satu langkah yang mungkin akan diambilnya adalah menonaktifkan pejabat yang dikenakan status tersangka.Kasus ini berihwal dari pengelolaan Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) di Ditjen AHU, yang dapat diakses melalui website www.sisminbakum.com.

Dalam website itu telah ditetapkan biaya akses fee dan biaya Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Biaya itu untuk pelayanan jasa pemerintah berupa pemesanan nama perusahaan, pendirian dan perubahan badan hukum, dan sebagainya.

Sayangnya, penyidik menengarai, biaya akses fee itu tidak masuk ke rekening kas negara melainkan masuk ke rekening PT SRD dan dana tersebut dimanfaatkan oleh pejabat Dephukham.(sumber: Sinar Harapan)

Selasa, 12 Agustus 2008

Penyidikan Kasus Pupuk Dituntaskan

POLDA Lampung bertekad menuntaskan proses penyidikan dugaan kasus penyimpangan 700 ton pupuk Pusri bersubsidi yang ditemukan di Gudang PT Bunga Mayang. Selasa (11-8), Direktur PT Dirgantara, Sukarman, kembali diperiksa Sat III/Tindak Pidana Korupsi Dit Reskrim.

Sementara Direktur PT Tulus Jaya, Selamet, warga Jakarta, yang juga ditetapkan sebagai tersangka kasus pemalsuan merek PT Kujang, juga dijadwalkan akan diperiksa lagi Kamis (14-8).

Kabid Humas Polda Lampung AKBP Fatmawati, melalui Kasat III/Tipikor AKBP Lukas A. Abriari, mengatakan tersangka Sukarman diperiksa lagi untuk melengkapi berkas sesuai petunjuk jaksa penuntut umum (JPU).

"Pemeriksaan lanjutan dan melengkapi petunjuk jaksa," kata Lukas, didampingi Kanit IV Sat III Kompol Boy Heriyanto.

Sukarman datang memenuhi panggilan penyidik Senin (11-8), sekitar pukul 11.00. Sukarman didampingi satu orang kepercayaan dan langsung menuju ruang Sat IV. "Ya hanya dimintai keterangan saja," kata Sukarman singkat.

Sementara pemeriksaan terhadap Slamet yang sempat ditahan dan mendapat izin penangguhan penahanan dengan jaminan dan wajib lapor, akan dilaksanakan Kamis (14-8).

Selamet ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan sangkaan melakukan pemalsuan merek pupuk milik PT Kujang. Sementara terkait isi pupuk adalah jenis urea.

Hasil pemeriksaan laboratorium menyebutkan kemasan merek pupuk bertuliskan PT Kujang itu dipalsukan. Dan isi dalam karung adalah pupuk urea. Hasil laboratorium menyebutkan kemasan itu palsu.

Dalam kasus tersebut, Satuan Tipikor telah memeriksa saksi di antaranya saksi dari Kelompok Tani, saksi dari PTPN VII, pihak PT Dergantara, dan pihak PT Mega Eltra.

Sebanyak 700 ton pupuk ditemukan di gudang PTP VII Bunga Mayang, Lampung Utara, Desember 2007. Pada proses penemuan pupuk tersebut tidak ditemukan cap atau tulisan bersubsidi pada karung-karung pupuk tersebut.

Secara kasatmata dilihat tidak ada tulisan pupuk bersubsidi. Dan tidak ada masalah. Namun, polisi terus melakukan penyelidikan. Hasil pemeriksaan Sat Reskrim menyatakan transaksi pupuk tersebut terjadi antara kelompok tani dan PT Dirgantara adalah pupuk nonsubsidi.

Ketua Forum Masyarakat Lampung (FMTL) Hari Kohar meminta pihak kepolisian mengusut kasus tersebut hingga tuntas dan dilakukan secara transparan. Sehingga masyarakat mengetahui sampai di mana proses hukum tersebut dan siapa yang terlibat. Pasalnya, itu sudah menjadi komitmen Polri dalam proses menegakkan hukum.

Hal senada diungkapkan mahasiswa Fakultas Hukum Program Pascasarjana Unila Oki Wahab. Dia mengatakan dengan terungkapnya sindikat penyelewengan pupuk, yang dilakukan aparat Polda Lampung itu merupakan prestasi yang menjawab proses terjadinya kelangkaan pupuk di kalangan petani.

"Sebanyak 70% masyarakat Lampung itu menggantungkan hidup kepada lahan pertanian. Sementara kualitas tanaman harus ditopang dengan pupuk. Bagaimana akan meningkatkan kualiatas tanaman jika pupuk saja dipermainkan, untuk keuntungan pribadi," kata Oki.

Oki berharap penegak hukum tidak terlena dan justru terlibat dengan sindikat permainan bisnis yang menggiurkan tersebut karena akan berdampak pada pola bermain di antara pasal-pasal dan aturan hukum. Sehingga muncul pola bagaimana terhindar dari jeratan hukum itu sendiri.

Koruptor Divonis 2007 Tidak Dapat Remisi

PELAKU tindak pidana korupsi yang divonis pada 2007 dipastikan tidak mendapatkan pengurangan hukuman (remisi) pada Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2008.

Menurut Menteri Hukum dan HAM Andi Matalatta di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Senin (11-8), pemberlakuan itu berdasar pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2006.

PP itu mengatur bahwa jenis pelaku terpidana tertentu seperti korupsi, terorisme, narkotik dan psikotropika, pelanggaran HAM berat dan ancaman keamanan negara, serta kejahatan transnasional lain baru bisa mendapatkan remisi setelah menjalani masa sepertiga hukuman.

"Jadi, remisi akan diberikan kepada semua narapidana yang berhak, kecuali koruptor yang dihukum pada 2007 sampai sekarang," ujarnya.

Menurut Andi, karena PP itu baru berlaku pada akhir 2006, hanya berlaku untuk para narapidana yang divonis sepanjang 2007. "Kalau yang sebelumnya sudah telanjur dapat, ya itu karena berlaku ketentuan lama," ujarnya.

Andi menyebutkan pada Hari Kemerdekaan sekitar 100 orang dari 140 ribu narapidana di Indonesia akan mendapat remisi. Untuk terpidana kasus kejahatan biasa, remisi bisa diberikan kepada mereka yang telah menjalani enam bulan masa pidana. "Kecuali kategori yang diatur dalam PP tadi, harus sudah menjalani masa sepertiga hukuman."

Ia menambahkan hampir setahun terakhir tidak ada pelaku terorisme dihukum pengadilan sehingga hanya koruptor yang divonis pada 2007 tidak mendapatkan remisi.

Tidak Usah Diributkan

Andi Matalatta juga menyatakan masyarakat tidak perlu meributkan wacana perlu tidaknya pemakaian seragam untuk terdakwa tindak pidana korupsi selama proses pengadilan.

"Yang penting, menurut saya, tegakkan hukum tanpa pilih kasih. Itu jauh lebih baik daripada meributkan soal seragam atau tidak berseragam," tutur Andi di Kantor Kepresidenan, Jakarta, kemarin.

Efek jera dari pemakaian seragam khusus, lanjut dia, harus diperhitungkan secara komprehensif. "Yang penting, semua orang yang ada kaitan dengan kasus korupsi diproses tanpa pilih kasih," tegasnya.

Menkum-HAM mengatakan keputusan perlunya pemakaian seragam untuk terdakwa kasus korupsi sepenuhnya kewenangan pihak yang menahan, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan atau kepolisian. Pada prinsipnya, kata dia, semua orang hadir di persidangan harus tertib berpakaian.

Sementara itu, setelah Kejakgung menolak pemakaian baju khusus koruptor, Polri bahkan mendukungnya. "Saya kira itu terserah KPK. Kami sependapat saja," kata Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol. Abubakar Nataprawira di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, kemarin.

Menurut dia, Polri mendukung langkah KPK lantaran telah menerapkan baju khusus untuk tahanan. "Kalau di polisi, warnanya masing-masing disesuaikan di polres, polda. Di belakang kan ada tulisan tahanan," ujarnya.

KPK berwacana untuk mewajibkan terdakwa kasus tindak pidana korupsi memakai seragam khusus dan diborgol selama proses persidangan. Menurut KPK, wacana itu untuk memberi efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi.

Senin, 11 Agustus 2008

Seragam Koruptor Didukung Banyak Pihak

SETELAH berbagai pihak mendukung pemakaian seragam khusus bagi koruptor, tidak ketinggalan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Hidayat NurwWahid juga mendukung pemakaian seragam khusus atau baju bagi pihak-pihak yang terjerat kasus korupsi.

"Saya mendukung penggunaan baju koruptor bagi yang tersangkut masalah korupsi," kata Hidayat ketika menghadiri penutupan pendidikan kepemimpinan Nasional 300 Mahasiswa dari tujuh Universitas di Balai Sidang, Universitas Indonesia, Depok, Minggu (10-8) siang.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini sedang membahas pemakaian seragam khusus atau baju bagi pihak yang terjerat kasus korupsi. Gagasan pemakaian seragam khusus itu untuk menimbulkan efek jera sehingga upaya pemberantasan korupsi bisa maksimal.

Hidayat mengatakan untuk penegakan hukum memang perlu terobosan yang bisa membuat efek jera bagi para pelakunya sehingga mereka tidak mengulangi perbuatan atau bagi orang berpikir berkali-kali ketika akan melakukan korupsi.

Hukuman Mati

Selama ini para pelaku koruptor, kata dia, memang biasanya memakai pakaian yang perlente dan ini memang perlu diubah. Selain pengenaan baju koruptor, Hidayat juga menyetujui penerapan hukuman mati bagi koruptor yang telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan jumlah yang sangat besar, sehingga merugikan keuangan negara.

"Hukum harus ditegakkan kepada siapapun, siapa saja yang terbukti merugikan negara dengan jumlah yang sangat besar, hukuman mati bisa dilaksanakan," tegasnya,

Hidayat lebih lanjut mengatakan telah meminta langsung Kapolri dan Jaksa Agung menerapkan hukuman yang terberat bagi para koruptor. "Ini untuk menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia ke depannya."

Ia mengatakan pelaksanaan hukuman mati tersebut diterapkan agar menimbulkan efek jera bagi koruptor maupun calon koruptor itu sendiri. "Ini akan memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa di negara kita hukum dapat ditegakkan dan masih ada perlindungan bagi rakyat," ujarnya.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Gayus Lumbuun, menyatakan memakaikan pakaian seragam khusus kepada para koruptor memang perlu dilakukan dan ini tidak melanggar HAM.

"Gagasan awal mengenai ini sebetulnya datang dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi terjadi pro dan kontra karena ada yang mengatakan bisa melanggar hak-hak asasi manusia (HAM)," ujarnya di Jakarta, kemarin.

Namun, bagi Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR ini, pakaian seragam khusus bagi para tersangka kasus korupsi amat bagus. "Terdakwa korupsi memang perlu diberlakukan seperti itu dan ini sekali lagi tidak melanggar HAM."

Ia lalu menunjuk hakim juga memakai seragam, sebagai ciri dia sedang bertugas memeriksa perkara pada sidang pengadilan. "Dan itu bukan merupakan sesuatu yang aneh kan," tanyanya.

Keliling Indonesia

Lain halnya pengamat hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana Kupang, Nikolaus Pira Bunga. Dia menyarankan para koruptor diarak keliling Indonesia.

"Gagasan mengenakan koruptor pakaian seragam juga baik, tetapi lebih baik kalau koruptor dibawa dan diperkenalkan keliling Indonesia dan disambut seperti para juara event tertentu," kata Nikolaus Pira Bunga yang juga pembantu dekan Fakultas Hukum Undana Kupang di Kupang, kemarin.

Pira Bunga mengatakan dengan memperkenalkan para koruptor secara sendiri atau bergerombolan keliling Indonesia, efek jeranya akan lebih kuat. Misalnya, koruptor di Jakarta dibawa ke daerah dan sebaliknya koruptor di daerah dibawa ke Jakarta untuk diperkenalkan kepada masyarakat luas sehingga warga bisa melihat langsung tampang koruptor tersebut.

Langkah ini akan memberi efek jera sosial lebih kuat ketimbang hanya mengenakan pakaian seragam koruptor dan hanya dilihat sekelompok kecil orang melalui layar televisi, kata Pira Bunga.

Dia menjelaskan praktek memberi hukuman terhadap pencuri dalam masyarakat saat ini dengan menyuruh pencuri secara perorangan atau berombongan memegang atau menjinjing atau memikul dan disuruh memanggil dan berteriak untuk masyarakat dengan kata dan bahasa, "lihat saya atau kami mencuri, jangan meniru atau jangan meniru kami", justru lebih efektif.

Selasa, 05 Agustus 2008

Diduga Gelapkan Uang, 2 Pejabat PLN Ditahan Mabes Polri

MANAJER Komunikasi, Hukum dan Administrasi PLN Jaya, Embut Subiyanto, dan satu pejabat PLN bernama Ijum ditahan Bareskrim Mabes Polri sejak akhir Juli 2008 lalu. Penahanan itu terkait dugaan penggelapan uang dan money laundering di PLN.

"Mereka menggelapkan uang PLN sebesar 5 milyar," ujar Direktur Ekonomi Khusus Markas Besar Kepolisian Brigjen Pol Edmond Ilyas kepada detikcom, selasa (5/8/2008).

Edmond mengatakan, satu tersangka lagi belum ditahan, karena sedang menjalankan ibadah Umroh di tanah suci Mekkah.

Menurutnya, mereka melakukan kerjasama untuk menggelapkan uang PLN dengan cara dikirim ke rekening masing-masing. "Untuk menghilangkan jejak mereka langsung mentransfer uang perusahaan ke rekeningnya," jelasnya.

Lebih lanjut Edmon mengatakan, polisi menjerat ketiga pejabat PLN tersebut dengan UU Money Laundering dan pasal 374 KUHP tentang penggelapan uang.

Dari aksi tersebut, Embut diduga memperoleh bagian sebesar Rp 3,3 miliar, Ijum sebesar Rp 1,2 miliar dan pejabat yang belum diketahui namanya itu sebesar Rp 500 juta.(detik.com)

Jumat, 01 Agustus 2008

KPK akan Periksa Lagi Paskah dan Kaban

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menindaklanjuti kesaksian awal Hamka Yandhu soal aliran dana Bank Indonesia ke DPR, termasuk memeriksa kembali Paskah Suzetta dan M.S. Kaban.

"Bisa saja kami memanggilnya lagi," kata Wakil Ketua KPK M. Jasin, di Semarang, Kamis (31-7), tanpa memerinci rencana pemanggilan tersebut. M. Jasin mengatakan pemeriksaan itu bisa saja dilakukan setelah ada kesaksian Hamka Yandhu.

Kesaksian Hamka menyebutkan Menteri Kehutanan M.S. Kaban turut menerima dana revisi Undang-Undang Bank Indonesia Rp300 juta. Namun, Kaban yang sebelumnya pernah menjabat anggota Komisi IX DPR selama lima tahun ini telah memberikan klarifikasi ketika diundang KPK beberapa waktu lalu. Ia membantah dana tersebut dan ia siap dikonfrontasikan dengan Hamka.

Hal sama juga dilakukan Menneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta yang membantah dengan tegas pernyataan tersangka dugaan penyelewengan dana BI pada 2003, Hamka Yandhu yang menyatakan semua anggota Komisi IX periode 1999--2004 menerima aliran dana tersebut, termasuk dia yang dikatakan menerima Rp1 miliar. Jasin mengatakan kesaksian Hamka merupakan bukti awal dan diperlukan bukti tambahan. "Itu bukti awal di pengadilan. Kita akan mencari bukti-bukti lain," kata dia.

Disinggung ada bantahan bahwa sejumlah anggota Dewan tidak menerima aliran dana BI tersebut, M. Jasin mengatakan bantahan itu boleh saja dilakukan seperti kasus Arthalita dan Urip Tri Gunawan yang sampai sekarang keduanya juga membantah. "Kami yang perlu adalah bukti. Orang yang diduga korupsi selalu tidak mengaku," kata dia. Oleh sebab itu, tambah dia, yang akan dilakukan KPK adalah melengkapi bukti-bukti.

Siap Dikonfrontasi

Menteri Kehutanan M.S. Kaban menyatakan siap dikonfrontasikan dengan Hamka Yandhu terkait tuduhan dia turut menerima aliran dana Bank Indonesia. "Saya siap dikonfrontasi kalau memang diperlukan. Yang jelas saya menghormati proses hukum yang sedang berjalan," kata dia di Jakarta, kemarin.

Kaban kembali menegaskan pernyataan Hamka bahwa dia turut menerima dana revisi Undang-Undang Bank Indonesia Rp300 juta sama sekali tidak benar. "Saya tidak pernah menerima dana seperti yang dikatakan Hamka. Apa yang dikatakan Hamka tidak benar," kata Kaban yang juga ketua umum Partai Bulan Bintang tersebut. Menurut Kaban, ia juga telah memberikan klarifikasi ketika diundang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu. Kaban mengatakan memang menjadi anggota Komisi IX DPR selama lima tahun dan punya hubungan dekat dengan Hamka. Namun, lanjut Kaban, ia sama sekali tidak tahu menahu soal dana revisi UU BI itu. "Saya juga bukan anggota Panja (Panitia Kerja) revisi UU BI."

Ditanya apakah ia akan menuntut Hamka terkait tuduhan itu, Kaban menyatakan tidak akan melakukan hal itu. "Setelah melihat tampilan Hamka di sidang Tipikor, saya iba. Saya memaafkan dia, mungkin dia panik, yang penting saya tidak menerima (dana BI)."

Di lain pihak, Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghormati proses hukum terkait kesaksian mantan komisi anggota Komisi IX DPR Hamka Yandhu bahwa Paskah Suzetta dan M.S. Kaban menerima aliran dana Bank Indonesia.

"Bapak Presiden kalau menyangkut soal hukum kan sudah jelas tidak akan mencampuri sama sekali hal-hal yang berkaitan dengan hukum. Jadi biarkanlah hukum itu berjalan dengan asas-asas yang ada didalamnya," kata Hatta. Ia menambahkan hingga kini Presiden tidak membicarakan secara khusus tentang masalah itu dengannya.

Jumat, 25 Juli 2008

Adik Gubernur Diperiksa KPK Terkait Proyek APBN


CHAERI Wardhana, Direktur Utama PT Bali Pasific Pragama yang juga adik Gubernur Banten Atut Chosiyah dikabarkan diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum lama ini terkait dengan pekerjaaan pembangunan sejumlah ruas jalan nasional yang ada di Provinsi Banten pada tahun anggaran 2007.
Kamis tiga minggu lalu, Bisnis sempat memergoki rombongan pejabat eselon dua Pemprov Banten yang diduga tengah menemani tim pemeriksa dari KPK yang melakukan cek fisik atas pembangunan jalan nasional di wilayah selatan Kabupaten Lebak yang dikerjakan oleh PT Bali Pasific Pragama.
Kepala Dinas Bina Marga dan Tata Ruang (DBMTR) Pemprov Banten M. Shaleh membenarkan bahwa tim dari KPK telah memeriksa seluruh ruas jalan nasional yang pembangunannya dikerjakan oleh PT Bali Pasifik Pragama. “Dari mana Anda tahu? Tapi saya tidak mau berkomentar, sebab saya tidak berwenang untuk menjawabnya,” kata Shaleh saat dikonfirmasi Bisnis, kemarin.
Mantan Kepala Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu (Satker NVT) Pembangunan Jalan dan Jembatan Provinsi Banten Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen PU, Retno Prawati, juga terlihat kaget saat Bisnis menanyakan kebenaran tim KPK memeriksa kualitas jalan nasional yang dibangun oleh PT Bali Pasific Pragama.
“Kok tahu? Ya. KPK meminta kami menemani ke lapangan. KPK juga sempat melontarkan sejumlah pertanyaan kepada kami yang katanya untuk melangkapi berkas penyelidikan,” kata Retno yang kini ditarik Pemprov Banten dan menduduki jabatan Kepala Bidang Bina Marga DBMTR.
Menurut Retno, di antara ruas jalan nasional yang realisasi pembangunannya pada TA 2007 tengah diselidiki oleh KPK adalah ruas jalan Serdang-Bojonegara, Cibaliung-Cikeusik-Muara Binuangeun, dan Simpang-Bayah-Cibareno (batas Sukabumi).

Kontraktor pelaksana ruas-ruas jalan itu adalah PT Bali Pasific Pragama dengan nilai total lebih dari Rp30 miliar. Saat dihubungi berulang-ulang melalui telepon selulernya, Chaeri Wardhana tidak menjawabnya. Padahal ponselnya aktif. Sementara Kepala Satker NVT pengganti Retno, Handri, mengaku tidak tahu menahu soal pemeriksaan KPK. (sumber: Bisnis Indonesia)

Rabu, 23 Juli 2008

Pungli, Dua Oknum Dishub Ditangkap


DUA pegawai Lalu lintas Angkutan Jalan Raya (LLAJ) Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung ditangkap polisi di jalan lintas Sumatera (jalinsum), Srengsem, Panjang, Selasa (22-7), sekitar pukul 10.00. Keduanya disangka melakukan pungutan liar (pungli) dengan modus operasi.


Keduanya, Istamar (45), PNS, warga Jalan Purnawirawan, Gang Swadaya, Gunung Terang, Tanjungkarang Barat, dan Antoni Wijaya (28), PHL, warga Perumnas Kemiling, Gang Buncis, Kemiling. Dari para tersangka, polisi mengamankan barang bukti uang tunai Rp7.000.


Kedua oknum berseragam biru itu melakukan pungli dengan menghentikan mobil pikap dan truk-truk yang melintas di jalinsum Srengsem, tepat di depan PT Netsle Indonesia. Para sopir truk kemudian diminta memberikan sejumlah uang.


Kedua oknum itu diamankan petugas Polsekta Panjang setelah seorang korban bernama Tumiran Saragih (27), pengemudi truk, warga Jalan Purba Simalangun, Sumatera Utara, melaporkan adanya pungutan liar di jalinsum.


Kasatreskrim Poltabes Kompol Namora L.U. Simanjuntak, didampingi Kasatlantas Poltabes Kompol Andi Aziz, mengatakan berdasar pada laporan tersebut, polisi segera datang ke lokasi.
Saat itu didapati kedua oknum petugas itu menghentikan beberapa truk yang melintas dan meminta sejumlah uang. Lalu keduanya diamankan dan dibawa ke Polsekta Panjang. Kasus itu kemudian dilimpahkan ke Poltaebs Bandar Lampung.


"Para tersangka dijerat dengan sangkaan melanggar Pasal 421 KUHP tentang Pejabat atau Pegawai yang Melakukan Kegiatan Bukan atas Kewenangannya. Dan PP No. 42 Tahun 1993 tentang Pemeriksaan Kendaraan di Jalan. Melakukan pemeriksaan di jalan raya itu kewenangan Polri, dalam hal ini Polantas," kata Namora.


Keduanya kemudian diperiksa di Satreskrim Poltabes Bandar Lampung. Setelah menjalani pemeriksaan, kedua tersangka tidak ditahan dan diperbolehkan pulang dengan jaminan.
"Ancaman hukuman dalam pasal itu di bawah 5 tahun, jadi tidak dilakukan penahanan. Namun, proses hukum kasus ini terus berjalan," kata Namora.


Kompol Andi Azis menambahkan petugas Dinas Perhubungan tidak punya wewenang memeriksa kendaraan di jalan raya. Sesuai dengan aturan yang ada, petugas Dinas Perhubungan boleh memeriksa jika didampingi petugas kepolisian.


Dalam pemeriksaan itu petugas Dinas Perhubungan hanya memeriksa yang berkaitan tentang uji kelayakan kendaraan. "Pemeriksaan kelengkapan surat izin mengemudi (SIM) dan surat tanda nomor kendaraan (STNK) itu kewenangan kepolisian." kata Andi Azis.


Kasatlantas Poltabes mengimbau oknum-oknum instansi lain untuk tidak melakukan kegiatan operasi di jalan raya yang bukan menjadi kewenangannya.


"Kami berharap tidak ada lagi yang melakukan operasi-operasi di jalan raya. Selain bukan kewenanganya, hal itu juga meresahkan dan merugikan masyarakat." kata Kasatlantas.

Postingan Lama Beranda

Foto-Foto