Tampilkan postingan dengan label pidana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pidana. Tampilkan semua postingan

Senin, 26 Oktober 2009

Polisi Bukan Alat Pengusaha

GARA-GARA mengecas telepon seluler di ruang umum, seorang penghuni apartemen ditahan polisi. Indikasi aparat hukum jadi alat pengusaha semakin marak.

Aguswandi Tanjung sudah hampir dua bulan ini meringkuk di tahanan polisi gara-gara mengecas telepon sakunya. Penghuni apartemen ini dituduh melanggar Pasal 363 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu mencuri barang milik orang lain dari dalam rumah dengan ancaman hukuman maksimum tujuh tahun. Padahal ia merasa listrik di koridor itu adalah ”bagian bersama” seperti diatur Undang-Undang Rumah Susun, dan ia tetap membayar tagihan listrik dan biaya servis dengan harga lama. Yang tak dibayarnya adalah kenaikan tarif, yang dianggapnya ditetapkan sepihak oleh pengelola gedung ITC Roxy Mas itu.

Perbedaan pendapat ini sebenarnya akan diselesaikan melalui dialog. Namun, sehari sebelum terlaksana, penangkapan terjadi. Penahanan ini jelas menyiratkan telah terjadi penyalahgunaan wewenang oleh polisi, hingga diajukan ke praperadilan. Namun, bila melihat kecenderungan penerapan hukum belakangan ini, Aguswandi mungkin tak dapat berharap banyak untuk mendapatkan keadilan. Soalnya, ia berhadapan dengan pihak yang merupakan bagian dari konglomerat besar di negeri ini.

Apa yang dihadapi Aguswandi tak jauh berbeda dengan yang dialami Prita Mulyasari. Ibu muda ini sempat dipenjarakan oleh jaksa hanya gara-gara mengirim keluhan terhadap pelayanan Rumah Sakit Omni melalui e-mail kepada sepuluh temannya. Rupanya e-mail itu kemudian tersebar luas dan ibu muda ini pun dikenai Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu pencemaran nama baik melalui Internet dengan ancaman hukuman maksimum enam tahun. Penyalahgunaan pasal ini diduga terjadi karena pemilik RS Omni ditengarai seorang pengusaha yang berstatus buron tapi dekat dengan oknum pejabat tinggi hukum.

Status buron memang tak mengurangi kekuatan kong-lomerat hitam memanfaatkan oknum aparat hukum. Contoh terakhir adalah ditersangkakannya Ketua KPK Bibit Samad Rianto oleh polisi karena mencekal dan mencabut cekal Joko Tjandra, pengusaha yang telah dijatuhi hukuman dua tahun penjara oleh Mahkamah Agung tapi kini berstatus buron. Ketua KPK Chandra Hamzah juga menjadi tersangka karena mencekal Anggoro, pengusaha yang dekat dengan aparat hukum, yang kini juga berstatus buron karena diduga menyuap anggota DPR. Akibat status tersangka ini, kedua pejabat lembaga antikorupsi itu harus dinonaktifkan oleh Presiden. Joko Tjandra pun masih sanggup mentersangkakan Ketua Yayasan BRI yang berani mempersoalkan wanprestasinya dalam kasus pembangunan Gedung BRI II dan BRI III.

Bila sosok terhormat saja bisa ditersangkakan oleh para konglomerat hitam, apalagi mantan pegawai mereka yang berani melawan. Ini dialami oleh Vincentius Amin Sutanto. Mantan pejabat keuangan PT Asia Agri ini dijatuhi hukuman 11 tahun penjara karena mentransfer uang perusahaan milik Sukanto Tanoto ini senilai US$ 3,1 juta ke rekeningnya, kendati ia baru sempat mencairkan Rp 200 juta. Proses pengadilannya hingga ke Mahkamah Agung pun mungkin masuk rekor tercepat di negeri ini. Amat ironis bila dibandingkan dengan masih ditolaknya berkas penggelapan pajak PT Asian Agri senilai Rp 1,4 triliun—alias terbesar dalam sejarah RI—oleh kejaksaan.

Ironi serupa juga terjadi pada hukuman empat tahun yang dijatuhkan kepada Robert Tantular, tersangka utama pembobolan Bank Century, yang menyebabkan Lembaga Penjamin Simpanan harus mengucurkan dana Rp 6,7 triliun. Atau pada hukuman penjara sepuluh tahun yang dijatuhkan Mahkamah Agung kepada Hutomo Mandala Putra karena mendalangi pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita.

Kecenderungan ironis ini harus kita hentikan. Aparat hukum adalah alat negara untuk menegakkan keadilan bagi rakyat. Jangan biarkan polisi menjadi alat pengusaha hitam.

Numpang Nge-charge HP, Aguswandi Dipenjara

HATI-HATI men-charge handphone (HP). Salah-salah Anda bisa mengalami nasib seperti Aguswandi Tandjung (57). Pria penghuni apartemen ITC Roxy Mas Jakarta ini harus mendekam di balik jeruji besi karena tertangkap basah meng-charge HP menggunakan listrik yang bukan miliknya.

Hal itu terungkap dalam sidang praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jl Gadjah Mada, Senin (26/10/2009). Sidang itu digelar karena pihak Aguswandi menilai penangkapan atas dirinya tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya berlaku.

Pada 8 September 2009 lalu, Aguswandi yang juga Sekjen Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (APERSSI) selaku pemohon sidang praperadilan ditangkap oleh petugas polisi dari Polsek Metro Gambir Jakpus karena tertangkap tangan tengah mencabut charger handphone miliknya dari sebuah stop kontak yang terpasang di lantai 7 apartemen ITC Roxy Mas.

Penangkapan Aguswandi ini dilakukan atas laporan dari seorang saksi mata bernama Uung Hartanto yang merupakan manager PT Jakarta Sinar Intertrade (pengelola apartemen ITC Roxy Mas). Aguswandi dituduh melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 363 ayat (1) butir 3 KUH Pidana dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara.

Mulai tanggal 9 September, Agus resmi ditahan di Polsek Metro Gambir selama 20 hari hingga tanggal 29 September. Menjelang masa penahanan habis, pihak pelapor meminta agar penahanan Aguswandi diperpanjang hingga 7 November.

Tak terima dengan proses penangkapan, penahanan, dan perpanjangan penahanan itu, pihak Aguswandi diwakili kuasa hukumnya pun mengajukan permohonan sidang praperadilan. Mereka menilai proses penangkapan, penahanan, dan perpanjangan tidak dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku.

"Penangkapan dan penahanan Aguswandi telah didasarkan pada hal-hal yang bersifat non-yuridis, bukan pada prinsip-prinsip penegakan hukum sebagaimana diatur dalam
KUHAP," kata kuasa hukum Aguswandi, Vera T Tobing.

Vera mencontohkan, pada saat penangkapan tanggal 8 September, Polsek Metro Gambir tidak memberikan surat penangkapan kepada Aguswandi maupun tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarganya sebagaimana diwajibkan pasal 21 KUHAP. Kejanggalan lain adalah saat perpanjangan penahanan, Polsek Metro Gambir tidak memberikan surat perpanjangan penahanan, baik kepada Aguswandi maupun keluarganya.

Selain itu kuasa hukum juga mempersoalkan tambahan pasal yang dikenakan atas diri Aguswandi dengan menggunakan UU Ketenagalistrikan. Selain KUHP, Polisi menjerat Aguswandi dengan pasal 60 ayat (1) UU No 20/2002 tentang ketenagalistrikan yang berbunyi 'setiap orang yang menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya dengan maksud memanfaatkan secara melawan hukum, dipidana karena melakukan pencurian dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta.'

"Penggunaan pasal 60 ayat (1) UU Ketenagalistrikan sangat aneh karena penggunaan arus listrik di suatu apartemen dibayar oleh para penghuni melalui pengelola apartemen. Olehkarena itu Aguswandi selaku penghuni yang sah di apartemen ITC Roxy Mas berhak menggunakan arus listrik yang terpasang di situ. Sedangkan pemanfaatannya untuk men-charge hand phone miliknya sama sekali tidak bersifat melawan hukum," tandas Vera.

Namun dalam sidang praperadilan, keberatan Aguswandi ini ditolak seluruhnya oleh hakim. Marsudi Nainggolan selaku hakim tunggal mengatakan, menilik keterangan berbagai saksi serta bukti-bukti, proses penangkapan dan penahanan Aguswandi telah sesuai dengan prosedur yang berlaku. "Menyatakan menolak permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya," kata Marsudi saat membacakan putusannya.

Postingan Lama Beranda

Foto-Foto