Kamis, 17 Juli 2008

Kejaksaan Temukan Kerugian Negara 50%

BANDAR LAMPUNG : Tim Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Bandar Lampung menemukan indikasi penyimpangan pelaksanaan pekerjaan proyek yang tidak sesuai dengan bestek. Akibat penyimpangan itu, negara dirugikan 20%--50%.
Kepala Kejaksaan Negeri Kota Bandar Lampung Azhari mengatakan tim jaksa dipimpin Kasi Intel Kejari Dharma Bella, terus mendata dan turun ke lapangan. Tahap awal diarahkan kepada besaran kerugian negara. "Hari ini, tim baru selesai turun ke lapangan. Banyak temuan tentang kualitas pekerjaan yang tidak sesuai. Sepertinya dikerjakan dengan nilai 50% dari nilai anggaran. Tim yang menangani akan dibagi kembali sesuai dengan besaran kerugian negara," kata Azhari, didampingi Kasi Intel Dharma Bella, Rabu (16-7).
Kasi Intel Kejari, Dharma Bella, mengatakan timnya sudah turun ke lapangan untuk mendata banyak tempat dan lokasi proyek. Timnya sudah melakukan investigasi dan menemukan pengerjaan proyek tidak melibatkan pamong setempat. "Hasil sudah kami laporkan pada pimpinan. Kami sudah memeriksa beberapa saksi, wawancara dengan pamong, dan meneliti kualitas pekerjaan. Yang jelas kita tunggu saja hasilnya," kata Dharma Bella.
Pungli hingga 50%
Sementara itu, sejumlah kontraktor mengeluhkan "kotor"-nya permainan proyek di Dinas PU Bandar Lampung. Mereka mengaku pungutan liar (pungli) yang dikutip pegawai Dinas Pekerjaan Umum (PU) mencapai 40--50 persen dari nilai proyek.
Seorang kontraktor yang enggan disebut namanya mengaku kapok ikut tender proyek di Dinas PU lantaran tingginya pungutan yang disyaratkan pejabat disatuan kerja (satker) tersebut. Padahal, berdasar pada Undang-Undang Konstruksi, pungutan hanyalah untuk PPN dan PPh. Namun, Dinas PU membebani pungutan mulai dokumen kontrak, honor panitia lelang, hingga kewajiban menyetor uang 12--15 persen dari nilai kontrak kepada petinggi di Dinas PU.
"Waduh Mbak, kalau di kota itu paling kotor permainan proyeknya. Bukan cuma wajib bayar dokumen kontrak 2,5--5 persen dari nilai proyek dan honor panitia lelang, juga harus setor uang dengan pejabat di Dinas PU. Tahulah siapa. Sudah jadi rahasia umum kalau tidak bisa ikut permainan mereka, ya nggak dapet proyek. Tahun ini, saya nggak mau ikut tender lagi di Kota. Kapok. Boro-boro untung, yang ada kantraktor rugi," kata dia, kemarin.
Pungutan liar juga terjadi saat pengerjaan kegiatan fisik di lapangan dan proses pembayaran. Menurut dia, setiap ada pengawasan Dinas PU yang datang, rekanan harus memberikan "uang transpor". "Pokoknya setiap langkah ada pungutan. Mau meminta pembayaran termin dan serah terima pun harus rela memberikan sejumlah uang."
Perantara Proyek
Pungutan liar juga terjadi saat proses persetujuan proyek oleh Panitia Anggaran DPRD Bandar Lampung. Sejumlah anggota Panitia Anggaran dan anggota DPRD Bandar Lampung disinyalir menjadi perantara proyek.
"Biaya tidak resmi yang harus dikeluarkan kontraktor bukan cuma di dinas, tapi juga saat proyek dibahas DPRD. Setiap tahun, begitu ketok palu, kontraktor-kontraktor wajib setor ke Dewan supaya dapet proyek. Nilainya mungkin sekitar Rp2 miliar yang harus disetor ke Dewan. Dan itu kami urunan," kata kontraktor itu lagi.
Banyaknya biaya tidak resmi tersebut diakui sejumlah kontraktor memengaruhi pekerjaan fisik proyek di lapangan. Tidak heran, bila kontraktor terpaksa berbuat curang untuk menutupi kekurangan biaya pengerjaan fisik.
Ketua Gakindo Lampung, Binsor, mengatakan sudah menjadi rahasia umum jika kontraktor harus rela mengeluarkan biaya lebih untuk mendapatkan proyek di Kota Bandar Lampung. "Memang dari beberapa kabupaten/kota, proses tender proyek di Bandar Lampung paling kotor. Kalau mau dapat proyek, ya harus ikuti aturan mereka."
Ketika dikonfirmasi, Kabid Perencanaan dan Pengendalian Dinas PU kota Bandar Lampung Gunawan Handoko mengaku tidak tahu soal pungutan tersebut. Namun, ia mengakui untuk dokumen kontrak, seluruh kontraktor meminta Dinas PU yang mengerjakannya. "Kalau soal pungutan yang macem-macem itu saya kurang paham. Nanti saya coba tanya dengan teman-teman di PU. Tapi, kalau soal dokumen kontrak, memang kami membantu membuatkannya karena kontraktor tidak mau repot. Namanya membantu, ya...wajar saja mereka memberi biaya kepada kami. Tapi, kami tidak pernah mematok harus membayar sekian...sekian...," kata Gunawan. (sumber: Lampung Post)

Kamis, 03 Juli 2008

DPR-Pemerintah Sekongkol Atur Komisi 8%

Komisi V DPR dan Departemen Perhubungan bersekongkol mengatur komisi 8% dari nilai proyek pengadaan kapal patroli.
Fakta itulah yang diungkapkan Deddy Swarsono melalui kuasa hukum Kamaruddin Simanjuntak di Jakarta, Rabu (2-7). Deddy adalah pengusaha kapal yang menyuap anggota DPR Bulyan Royan. Keduanya ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Komisi V terlibat dalam persetujuan pengadaan anggaran kapal dan syarat-syarat pemenang tender. Salah satu syarat yang ditetapkan ialah pemenang tender membayar fee 8% dari total nilai proyek kepada DPR dan Dephub.
Ada dua proyek pengadaan kapal yang disetujui Komisi V dengan plafon anggaran Rp120 miliar dan Rp115 miliar. Proyek dengan plafon Rp120 miliar sudah ditenderkan. Pemenangnya lima perusahaan, yaitu Bina Mina Karya Perkasa dengan Direktur Deddy Swarsono, Febrite Fibre Glass, Sarana Fiberindo Marina, Carita Boat Indonesia, dan Proskuneo Kadarusman. Proyek kedua masih dalam proses tender yang juga diikuti lima perusahaan tersebut.
Kamaruddin menjelaskan proyek pertama itu dibagi dalam lima paket. Setiap paket mengharuskan rekanan membuat empat kapal patroli. Anggaran per paket Rp24 miliar sehingga satu pengusaha harus membayar fee Rp1,6 miliar kepada DPR sebagai pemenuhan syarat pemenang tender.
"Klien saya sih sudah melunasinya. Saya tidak tahu empat perusahaan lain apakah sudah melunasi atau belum," ujar Kamaruddin.
Deddy membayar fee dalam dua tahap. Pertama kali Deddy membayar Rp250 juta dan sisanya dilunasi sebelum 25 Juni 2008. "Klien saya telah membayar Rp100 juta menjelang Lebaran 2007, kemudian Rp50 juta menjelang akhir 2007, dan Rp100 juta pada awal Januari 2008. Selama pembayaran, selalu BR (Bulyan Royan) yang muncul. Dia mengatakan dirinya mewakili teman-temannya di Komisi V," jelas Kamaruddin.
Pembayaran fee tahap kedua dilakukan Deddy pada 25 Juni dengan cara menyetor ke money changer di Plaza Senayan, PT Three Etra Dua Sisi. Nilainya Rp1,4 miliar. "Uang tersebut baru diambil Bulyan pada Jumat (27-6) dan Senin (30-6). Pada saat pengambilan Senin itulah BR tertangkap KPK," kata Kamaruddin.
Menurut Kamaruddin, besaran fee 8% itu merupakan permufakatan lima pengusaha dengan DPR. Sejumlah pertemuan telah dilakukan untuk membahas besaran fee yang disepakati semua pihak. "Pertemuannya itu diawali di Hotel Crown beberapa kali, kemudian di sauna, sampai di Hotel Borobudur pada 2007," ujarnya. n MI/U-3
Ia menambahkan kliennya harus membayarkan jumlah yang sama kepada dua pejabat di lingkungan Ditjen Perhubungan Laut Departemen Perhubungan berinisial D dan M. Pejabat berinisial D merupakan penyelenggara negara dengan jabatan cukup tinggi, sedangkan M adalah bawahannya. Kamaruddin enggan menyebutkan identitas kedua pejabat tersebut. "Tunggu saja hasil pemeriksaan KPK," kata dia.
Sebelumnya, Kepala Pusat Komunikasi Dephub Bambang Ervan mengatakan kuasa pemegang anggaran dalam kedua program pengadaan kapal itu adalah Direktur Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai Djoni Algamar dan panitia lelang diketuai Didik Suhartono.
Sementara itu, Ketua Komisi V DPR Akhmad Muqowam mengakui pembahasan anggaran pengadaan kapal patroli dilakukan pada tingkat komisi bersama pemerintah. "Policy pengadaan memang dilakukan di Komisi V bersama dengan Dephub, tapi eksekusi ada pada pemerintah," kata Muqowam kepada wartawan di Jakarta, kemarin.(*)

Rabu, 02 Juli 2008

Pengelolaan APBD Lampung Tahun 2007 Carut-Marut

BANDAR LAMPUNG (Berita Nasional): Pengelolaan APBD Lampung tahun anggaran 2007 dengan nilai total Rp1,6 triliun carut-marut. Hal itu terungkap dari laporan hasil pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Lampung yang disampaikan ke DPRD Lampung, Senin (30-6).
Ketua DPRD Lampung Indra Karyadi mengatakan seluruh temuan BPK akan dibahas komisi-komisi di DPRD sebelum diambil tindakan lebih lanjut. "Kami baru terima. Nanti kami bicarakan lebih dahulu. Setelah itu baru dibahas komisi-komisi dan DPRD akan mengeluarkan rekomendasi. Kini DPRD masih sibuk mempersiapkan pelantikan gubernur," kata Indra Karyadi, Selasa (1-7).
Dalam laporan hasil pemeriksaan penggunaan APBD atas kepatuhan kepada perundang-undangan, BPK menemukan enam penyimpangan senilai Rp14,8 miliar. Pada laporan pemeriksaan terhadap sistem pengendalian intern, BPK menemukan delapan penyimpangan senilai Rp51,8 miliar.
Berikutnya, untuk laporan atas kepatuhan perundang-undangan terdapat enam item penyimpangan, antara lain realisasi bantuan kepada partai politik melebihi ketentuan Rp512,5 juta.
Penganggaran dan realisasi bantuan uang transpor dan honor pembahasan APBD 2007 yang diberikan kepada pimpinan dan anggota DPRD Lampung juga terdapat penyimpangan dengan nilai Rp171,9 juta.Kemudian, realisasi anggaran pembinaan kerohanian dan keagamaan pada Biro Kesejahteraan Sosial yang tidak didukung petunjuk pelaksanaan dan bukti pertanggungjawaban lengkap Rp5,4 miliar.
Bantuan pembenahan perumahan masyarakat miskin menuju sehat di Provinsi Lampung yang belum dipertanggungjawabkan Rp5 miliar. Lalu, pengajuan, penyerahan, dan pertanggungjawaban bantuan keuangan kepada parpol belum sesuai ketentuan Rp1,3 miliar.
Penyimpangan lain, program asuransi santunan duka Bumiputera 1912 untuk PNS Pemprov Lampung yang tidak sesuai dengan ketentuan Rp2,5 miliar. Sedangkan penyimpangan pada sistem pengendalian intern Rp51,8 miliar terdiri dari kas yang terlambat disetor ke kas daerah sebesar Rp12 miliar.
Sementara itu, realisasi belanja bantuan yang mendahului pengesahan APBD 2007 senilai Rp4,7 miliar. Penyimpangan berikutnya, belanja tahun 2006 yang dibebankan pada 2007 sebesar Rp50,3 juta.
Kemudian, kesalahan pembebanan anggaran dana bergulir untuk modal usaha kelompok pada Dinas Perkebunan serta Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Rp16,06 miliar.Penyimpangan juga terjadi pada rekening satuan kerja perangkat daerah senilai Rp16,5 miliar. Sementara itu, keterlambatan penyaluran dan bantuan rehabilitasi sekolah oleh Dinas Pendidikan mencapai Rp2,3 miliar.(sumber: lampungpost)

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto