Selasa, 27 September 2011

Orang Intelek Koq Anarkis?

Menyaksikan berita heboh di televisi tentang unjuk rasa Aliansi Mahasiswa Jambi menolak kedatangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa (20/9), perasaan saya jadi miris.

Unjuk rasa itu memang bukan pertama pasca reformasi 1998. Bahkan, tiap hari kita bisa menyaksikan tayangan unjuk rasa di berbagai daerah dengan berbagai topik pula. Unjuk rasa menjadi menu sehari-hari pemirsa televisi, pembaca majalah dan koran, serta pendengar radio.

Perasaan saya menjadi miris. Apakah harus dengan unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasi. Apakah harus dengan tindakan brutal dan anarkis untuk menyatakan pendapat atau penolakan terhadap sesuatu?

Menyaksikan hal seperti itu saya merasa kehilangan “Indonesia”. Indonesia yang dulu terkenal dihuni oleh manusia-manusia santun dan beretika, kini berubah menjadi negara “hukum rimba”. Yang merasa kuat berusaha menunjukkan kekuatannya. Yang merasa punya wadya balad untuk kekuatan.

Mengapa Indonesiaku hilang?

Tentang kepimpinan, haruskan kita menunjukkan ketidak-puasan dengan tindakan penuh kemarahan dan bringas bagai binatang buas?

Apakah dengan marah dan bertindak anarkis, kita bisa mengubah sistem? Bisa mengganti pemerintahan? Bisa mengubah angka-angka di APBN?
Mengapa sekarang para mahasiswa gemar unjuk rasa? Mengapa pula mereka anarkis? Apakah mereka tidak belajar etika? Apakah mereka tidak mengerti hukum? Atau mungkin sengaja mengabaikan hukum?
Entahlah.

Saya pribadi was-was melihat tingkah polah mahasiswa sekarang. Ini mengingat saya punya seorang putra yang sebentar lagi menjadi mahasiswa.

Tiap melihat tayangan unjukrasa mahasiswa di televisi, wanti-wanti saya menasihati putra saya itu, agar nanti kelak menjadi mahasiswa tidak ikutan unjuk rasa.

“Kalau ada unek-unek terhadap pemerintah atau satu lembaga pemerintah, sampaikanlah kritikan melalui surat. Ini lebih punya makna dan lebih mulia,” kata saya kepada putra saya.

Terus terang, saya sangat setuju dan mendukung keterbukaan, tetapi keterbukaan yang bermartabat. Di era keterbukaan ini siapapun berhak menyampaikan aspirasinya. Siapapun berhak menyatakan ketidak-puasannya, protes dan lain-lain. Tetapi, apabila kita menyampaikannya dengan cara yang brutal, anarkis, penuh amarah, saya kira itu sudah tidak pantas, apalagi jika dilakukan orang-orang terpelajar.

Mahasiswa adalah orang-orang terpelajar. Orang terpelajar adalah sebutan untuk orang berpendidikan, orang berpendidikan adalah intelektual.

Sebagai intelektual mahasiswa semestinya menyampaikan aspirasi secara intelek pula. Banyak cara yang lebih elegan. Bisa menyampaikan petisi melalui lembaga Badan Eksekutif Mahasiswa, yang ditujukan kepada Presiden jika ada kebijakan pemerintah yang menyimpang.

“Masa orang intelek bertindak anarkis,” celetuk puteri saya yang kelas 6 SD, ketika menyaksikan aksi unjuk rasa mahasiwa, di Simpang Empat Bank Indonesia Jambi, Selasa (20/9).

Senin, 26 September 2011

Dimanakah Budi Pekerti?

Satu peristiwa mengejutkan terjadi Senin (19/9) , di Jakarta. Pelajar SMA 6 bentrok dengan wartawan. Yang tepat sebenarnya Sekelompok pelajar SMA 6 menganiaya sejumlah wartawan, karena dalam peritiwa ini wartawan adalah korban dan tidak kuasa melawan. Ini peristiwa yang sungguh memalukan. Bagaimana mungkin sekumpulan pelajar, yang nota bene adalah anak-anak remaja menganiaya sekelompok orang dewasa.

Tindakan brutal seperti itu hanya bisa dilakukan oleh manusia-manusia yang tidak beradab dan tidak punya budi pekerti.

Menurut berita yang saya baca, SMA 6 Jakarta adalah sekolah elit. Para siswanya terdiri dari para putra-putri pejabat dan artis. Mereka adalah anak-anak orang berkantong tebal dan berpengaruh. Apakah karena mereka anak orang kaya dan berpengaruh sehingga tidak bisa lagi menghargai dan menghormati orang lain? Atau orang tua mereka tidak sempat lagi mengajari etika dan budi pekerti karena sibuk mencari uang?

Atau mungkin orang tua mereka yang pejabat itu mendapatkan uang dari korupsi? Sebab, apa yang kita makan akan menjadi darah dan daging. Apa yang kita makan juga akan memengaruhi perilaku kita. Kalau menyantap makanan dari sumber yang haram, maka perilaku pun akan seperti setan.

Kalau ada pelajar tawuran dengan sesama pelajar, kalau pun tidak bisa ditoleransi, tetapi masih bisa kita maklumi. Hal itu dianggap sebagai kenakalan remaja atau kenakalan anak-anak, karena mereka berkelahi dengan anak seusia. 

Nah, yang dilakukan oleh siswa SMA 6 Jakarta hari Senin itu, bukan lagi kenakalan remaja, tetapi kriminal dan tidak beradab. Selain memukuli sejumlah wartawan, mereka juga merampas barang dan uang milik wartawan korbannya. Para wartawan adalah orang-orang yang umurnya jauh lebih tua dari mereka, yang sepatutnya mereka hormati selaku orang yang lebih tua, bukan dianiaya.

Akibat peristiwa itu lima wartawan menjadi korban. Kelimanya yaitu Riman Wahyudi dari El Shinta, Panca dari Media Indonesia, Antonius Tarigan kontributor Metro TV, Septiawan dari Sinar Harapan dan Yudis dari Seputar Indonesia.

Saya masih ingat ketika seusia kelas 1 SD, orang tua dan guru mengajari agar selalu menghormati orang yang lebih tua. Jika kita berjalan di depan kita ada orang yang lebih tua, dan kita ingin mendahuluinya, kita harus permisi dan mohon maaf ingin mendahului. Mau makan pun kita harus mendahulukan orang tua mengambil makanan dan menyantapnya. Berkata pada orang yang lebih tua kita harus sopan. Kepada yang lebih muda kita harus melindungi dan menyayangi.

Dulu, orang yang menyandang predikat pelajar adalah orang elit. Para pelajar dan mahasiswa sampai era 70-an sangat menjaga predikat mereka sebagai pelajar atau mahasiswa. Cara berpakaian mereka rapih, rambut disisir rapih. Ketika sudah berpredikat pelajar dan mahasiwa mereka sangat menjaga etika dan sopan santun. Bertutur kata pun tidak sembarangan, takut salah ucap dan malu karena mereka pelajar.

Sekarang, nilai-nilai luhur seperti itu sudah lama hilang dari kehidupan kita. Anak-anak sekolah sudah tidak mengindahkan etika. Di jalan mereka teriak-teriak, bicara seenaknya, brutal tak punya sopan-santun.
Kita rindu pendidikan budi pekerti, dan kita membutuhkan itu. Dimanakah budi pekerti itu sekarang? Puluhan tahun kita kehilangan budi pekerti.

Sejumlah pendidik dan pemerhati pendidikan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pemerhati Pendidikan Yogyakarta meminta sekolah berinisiatif sendiri untuk kembali menyelenggarakan mata pelajaran budi pekerti. Dihapusnya mata pelajaran ini berakibat pada pendidikan yang miskin etika dan nilai budaya.

Ketua Forum Komunikasi Pemerhati Pendidikan Yogyakarta (FKPPY) Gideon Hartono mengatakan, saat ini pendidikan semakin pincang karena mengesampingkan pendidikan budi pekerti. Pendidikan mengutamakan aspek pengetahuan dan kemampuan akademis. Hal ini terlihat dari keberhasilan pendidikan yang hanya diukur dari prestasi akademis peserta didik, seperti nilai, olimpiade, maupun kompetisi. Akibatnya, anak semakin pandai namun semakin kehilangan nilai budi pekerti (kompas.com, Rabu, 21 Oktober 2009).

DICARI: Budi Pekerti. Siapa yang menemukan akan diberi hadiah.

Jumat, 23 September 2011

Dunia Anak-anak dan Dunia Kita

“…tiup lilinnya…tiup lilinnyannya…tiup lilinnya sekarang juga…sekarang juga”.

Penggalan lagu “Ulang Tahun” itu, aku simak dari semua rumah tak jauh dari tempat tinggalkku. Petang tadi, Minggu (19/9), saya “dipaksa” Rani, anak saya yang nomor 3 (12 tahun), dan adiknya, Gita (4,5 tahun), untuk mengantar mereka ke pesta ulang tahun.

“Pa, nanti sore antarin Rani ama Gita ke rumah guru Rani, anaknya ulang tahun,” rengek Rani. Sementara adinya, Gita, bolak-balik bertanya, “Nanti apa ngantar Rani ke ulang tahun, ya Pa?”. Menjawab permintaan dan pertanyaan kedua putri saya itu, saya hanya bisa berkata. “iya”.

Pesta ulang tahun bagi anak-anak merupakan suatu yang menyenangkan. Maka tak heran bila ada undangan pesta ulang tahun, mereka antusias ingin menghadiri. Biasanya, anak-anak tidak mau datang terlambat. Oleh karena itu, mereka mendesak orangtua agar berangkat secepat mungkin. Datang lebih awal tidak mengapa, asal jangan terlambat. Anak-anak saya itu merasa malu bila datang terlambat.

Itulah keistimewaan anak-anak. Mereka masih memiliki rasa malu yang kental. Dalam diri mereka masih ada rasa tanggung jawab yang besar meskipun itu tidak mereka sadari. Mungkin itu yang disebut fitrah. Mereka masih suci, bersih. Jiwa anak-anak belum ternodai oleh tingkah pola orang dewasa yang selalu mengenakan topeng kepura-puraan.

Terlambat bagi anak-anak adalah MALU. Bagi orang dewasa terlambat adalah hal biasa. Kita bisa membuat diri kita terlambat datang ke tempat kerja, terlambat tiba di pesta, terlambat pulang ke rumah. Bahkan, teramat sering terlambat membayar utang atau memenuhi janji.

Kita, para orang dewasa terlalu gampang mengucapkan janji. Sementara bagi anak-anak, janji adalah sesuatu yang harus ditagih. Janganlah menganggap remeh berjanji dengan anak-anak, mereka akan terus-menerus menagh janji kita sampai kita memenuhinya atau membatalkannya. Anak-anak tidak mengerti kata konsisten atau konsekuen. Tetapi kedua istilah tersebut ada pada diri mereka.

Bahkan, kadang kita harus belajar dari kemuliaan sikap anak-anak. Mereka sangat mudah memaafkan. Tidak ada dendam dan sakit hati bagi anak-anak. Lihat saja ketika mereka berkelahi dengan teman sepermainan, mereka akan berbaikan dalam waktu kurang dari lima menit.

Tetapi, karena keegoisan kita, para orangtua, sikap-sikap mulia yang ditunjukkan anak-anak itu, tidak membuat hati kita tersentuh. Kita selalu menganggap sepele anak-anak. Kita selalu memandang mereka begitu rendah, sehingga tidak layak ditiru. Mereka kita anggap sebagai anak kemarin sore. Kita juga tak segan berkata pada mereka “Tau apa kamu? Kamu itu masih bau kencur”.

Memang, kita harus berjiwa besar agar bisa menerima anak-anak sebagai manusia, bukan sebagai anak-anak.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto