Lingkaran Setan Pungli di Lintas Sumatera
Nasib
pengemudi truk di Jalan Lintas Trans Sumatera (Jalinsum) sepanjang
perjalanannya tak pernah lepas dari pungutan liar (pungli). Pungli biasa
dilakukan oknum-oknum aparat Negara baik atas nama pribadi maupun
instusi. Ada yang melakukannya perorangan, ada pula bersama-sama. Para
sopir truk-lah korbannya.
Pungli
di jalanan sudah ada sejak dulu, bahkan sebelum jalan trans sumatera
dibuat. Setelah ruas jalan yang membelah Pulau Sumatera dari Lampung
sampai Aceh itu ada, pungli makin menjadi-jadi. Ini bukan rahasia lagi.
Dari dulu sampai sekarang korbannya selalu para sopir truk.
Para
sopir truk tak kuasa lepas dari ulah oknum nakal dijalanan, karena
mereka memang tak punya daya. Apa pun alasan yang diutarakan para sopir
truk kepada petugas di jalanan agar tidak kena pungli, tetap saja mereka
diperas. Berbagai alasan memojokkan para sopir jadi senjata ampuh
aparat untuk melumpuhkan perlawanan mereka. Muatan berlebih, spion
rusak, lampu sein tak berfungsi, sampai pentil ban pun dipersoalkan
untuk melemahkan posisi sopir.
Asdison,
pengemudi truk asal Kota Padang, Kamis (6/10/01), mengungkapkan,
perjalanan dari Lampung ke Padang bisa menghabiskan uang Rp.2 juta hanya
untuk ‘mel’ kepada aparat di jalanan. Yang paling besar, katanya, setor
di jembatan timbang rata-rata Rp.350 ribu per jembatan timbang.
Dari
Lampung ke Padang dia bisa melewati empat jembatan timbang, diantaranya
di Pematang Panggang (perbatasan Lampung-Sumsel) dan perbatasan Sumsel –
Jambi. Ada dua jembatan timbang lagi yang harus dilewati dari Jambi ke
Padang. Hanya untuk jembatan timbang saja dia harus merogoh kocek
sebesar Rp.1,4 juta. Jumlah itu bisa lebih besar bila para petugas
jembatan timbang “rewel” mempersoalkan muatan berlebih.
Yang
tidak bisa diabaikan adalah para oknum polisi lalulintas dan PJR
(Patroli Jalan Raya). “Asal truk ada muatan, sudah pasti mereka minta
uang,” ungkap Ijal, sopir truk lainnya kepada penulis. “Sepuluh ribu
sampai duapuluh ribu kita lempar di jalan untuk mereka,” tambahnya.
Menurut
Ijal, tak jarang mereka harus tawar-menawar dengan petugas. “Kalau
ketemu petugas yang “ganas” mereka bisa minta Rp.50 ribu. Kita tawar
Rp.10 ribu atau Rp.20 ribu,” ungkap Ijal. Ada juga petugas yang marah
karena ditawar dan mengancam akan mengkandangkan mobil.
“Kalau
sudah begitu kita menyerah sajalah, ujung-ujungnya duit juga. Dari pada
kita kehilangan waktu berurusan dengan mereka kita kasih saja uang yang
mereka minta,” papar Ijal.
Lantas,
uang siapa yang mereka berikan kepada petugas tersebut? “Itu uang kami
sendiri. Uang jalan dari boss. Kami hanya kebagian sisa-sisanya saja,”
tutur Asdison. Polisi mana mau tau hal itu. Mereka mengatakan, “Itu
resiko kamu”, kata Asdison tentang duka di jalan lintas Sumatera.
“Para
polisi itu hanya bisa menyalahkan kami para sopir, padahal kami ini
hanya menjalankan perintah boss. Boss memerintahkan bawa muatan 30 ton,
ya kami bawa. Kami tahu itu melebihi kapasitas angkut, tapi mau apa?
Kami khan hanya anakbuah yang digaji. Kalau menolak kami bisa dipecat.
Sementara resiko di jalan kami sendiri yang menanggung,” papar Asdison
dengan dialek minangnya.
Pungli
di Jalan Lintas Sumatera ini sulit diberantas karena sulit menemukan
ujung dan pangkalnya. Perkara ini seperti lingkaran setan. Di sini
terlibat para cukong pemilik armada truk yang ingin untung besar dengan
muatan sebanyak-banyaknya, para sopir yang butuh pekerjaan, oknum
petugas butuh uang tambahan. Semua saling membutuhkan.
Memutus
mata rantai pungli di jalan raya tidak semudah membalik telapak tangan.
Upaya pemerintah, khususnya Mabes Polri tidak kurang-kurang, tetapi
oknum di lapangan tidak ada yang mengontrol. Semuanya mengatasnamakan
undang-undang dan peraturan, padahal tindakan mereka justru melanggar
undang-undang dan peraturan itu sendiri.