Kamis, 16 Agustus 2007

Lestarikan Tari Lewat Sekolah

"AKU suka menari karena gerakannya bisa mengekspresikan perasaan sekaligus menghibur orang," kata Rian (16), siswa kelas II SMAN I Lintang Kanan, Kabupaten Lahat, Kamis (21/9) siang.
Rian adalah salah seorang anggota tim tari ngarak SMAN I Lintang Kanan yang meraih peringkat kedua pada lomba ngarak se-Kabupaten Lahat tahun 2006. Tari itu juga kerap ditampilkan dalam berbagai kesempatan hajatan atau kegiatan sekolah. Dalam pertunjukan, dia kebagian membawakan 13 gerakan dasar tari yang mirip silat, biasa disebut kuntaw.
"Aku senang membuat penonton tertawa. Kalau dapat respons baik, rasanya jadi tambah semangat melucu," kata Marlin (17), siswa kelas III yang memainkan tokoh lelucon dengan topeng dalam tim tari ngarak.
Kedua siswa itu aktif mengikuti ekstrakurikuler tari ngarak bersama 20-an siswa lain. Menurut Kepala SMAN I Lintang Kanan, Imron, didampingi guru seni Jajang R Kawentar, kegiatan seni dimaksudkan untuk mengembangkan bakat dan sarana untuk menghaluskan budi pekerti siswa.
"Meski gerakan tarinya sudah digubah, tetapi tari ngarak berasal dari tradisi lama masyarakat Lintang. Kami melatih siswa menari seminggu sekali," kata Imron.
Kepala Sekolah SMPN I Muara Pinang, Masayu Mardiana, mengatakan pula, kegiatan seni di sekolah dapat diarahkan untuk mengurangi kenakalan siswa yang kerap tersulut perkelahian di jalan. Namun, sayangnya, tidak semua sekolah memiliki guru yang mengerti seni dan bisa melatih siswa.
Menurut tokoh budaya Empat Lawang, Syamsu Indra Usman, tari ngarak adalah modifikasi dari tari silek harimau, yang termasuk tari tradisional Empat Lawang. Dalam pertunjukan klasik yang sebenarnya, para penari membawakan gerakan silat dalam keadaan kesurupan roh leluhur. Saat ini tarian itu telah digubah sehingga gerakan silatnya lebih menonjolkan keindahan dan dibawakan penari secara sadar.
Budaya Empat Lawang berawal dari kepemimpinan empat pendekar yang disebut lawang. Mereka tinggal di Tebing Tinggi, Ulu Musi, Pendopo, dan Muara Pinang. Keempat lawang membuat kesepakatan saling menghormati dan menjaga wilayah masing-masing pada abad ke-17 Masehi. Kawasan itu dihuni Suku Ulu Musi, Suku Lintang, dan Suku Pasemah Air Keruh, yang masing-masing tinggal di pinggir aliran Sungai Musi, Sungai Lintang, dan Sungai Keruh.
Pendidikan sekolah, lanjut Indra, bisa menjadi sarana efektif untuk memperkenalkan seni tradisi bagi siswa, yang saat ini kurang mengenal tradisinya sendiri.
Rian dan Marlin, misalnya, mengaku tidak mengenal beberapa tari tradisional Empat Lawang meski mereka telah belajar tari ngarak. "Aku tidak tahu, apa itu tari gegerit? Kalau ada guru yang mengajari, aku mau belajar," kata Rian. Sayangnya, para empu penari Empat Lawang sudah tiada. Yang tersisa saat ini hanyalah cerita dari mulut ke mulut tentang keindahan tarian itu. Keindahan gerakan meliuk-liuk dari tujuh gadis saat menyambut tamu di depan gerbang, dengan iringan gong kulintang dan rebab. (sumber: Kompas.com)

Tari Tradisional Daerah Empat Lawang

SEBAGIAN besar tarian tradisional dalam masyarakat Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan, sudah punah akibat kehilangan penerus dan terdesak budaya modern yang lebih atraktif. Akibatnya, generasi muda kehilangan identitas dan sarana untuk menggali sejarah budaya lama.
Tokoh budaya Empat Lawang, Syamsu Indra Usman, di Desa Lubuk Puding, Kecamatan Ulu Musi, Kabupaten Empat Lawang, mengungkapkan, dari delapan jenis tarian tradisional masyarakat setempat, sudah lima tarian yang punah. Tiga tarian lainnya masih lestari meski hanya ditampilkan sesekali dalam upacara adat atau pesta hajatan masyarakat.
Kelima jenis tarian yang punah itu adalah tari gegerit, sanggam sirih, kekok, ngelsambai, dan tari selendang. Masing-masing tari memiliki keunikan gerakan dan fungsi tersendiri, antara lain untuk menyambut tamu, menghibur orang, atau untuk berpantun. "Gerakan tari umumnya diambil dari kehidupan sehari-hari masyarakat, seperti memetik kopi," kata Syamsu.
Tari kekok, misalnya, merupakan tari komedi yang dibawakan penari dengan memakai dua tempurung kelapa, yang masing-masing diletakkan di telapak tangan kiri dan kanan. Tari gegerit dimainkan tujuh gadis di depan gerbang saat menyambut tamu dengan upacara adat, yang diiringi tabuhan gong kulintang dan rebab. Tari ngelsambai dibawakan pasangan muda-mudi yang menari sambil melantunkan pantun bersahut.
Jenis tari yang masih kerap ditampilkan adalah tari ngarak pengantin, melami menda, dan tari pereng. Tari-tarian tersebut masih lestari gerakannya, lebih mudah, dan sering dipanggungkan saat hajatan. Beberapa tari sudah dimodifikasi dengan gerakan yang lebih modern, ditambah gerakan silat atau komedi.
Sejumlah tarian tradisional punah akibat kehilangan generasi penerus setelah ditinggal empu tari yang lama. Menurut mantan Ketua Pemangku Adat Ulu Musi, Usman Asim (78), sebenarnya Empat Lawang pernah memiliki banyak empu tari tradisional beberapa puluh tahun silam. Akan tetapi, setelah mereka meninggal, tidak ada lagi generasi baru yang tertarik mewarisi kemampuan menari itu.
Tahun 1960-an, lanjut Usman Asim, masih terdapat sekitar 10 penari tradisional Empat Lawang. Jumlah itu terus menyusut menjadi enam penari pada tahun 1970-an, kemudian tinggal satu penari tahun 1980-an, yaitu Cik Inah, yang ahli membawakan sejumlah tari klasik. Setelah empu penari itu meninggal pada pertengahan 1980-an, tak ada lagi penerusnya.
"Dahulu banyak sekali orang bisa menari sambil berpantun. Setiap keluarga yang mengadakan hajatan membuat semacam balai terbuka untuk pertunjukan tari selama tujuh hari-tujuh malam. Sekarang anak-anak muda malas menghafal gerakan tari dan pantun," katanya.
Punahnya lima tarian tradisional merupakan kerugian besar bagi kebudayaan Empat Lawang karena masyarakat kehilangan identitas dan sarana untuk menggali akar sejarah. Pada masa dahulu, tari menjadi sarana penting untuk melestarikan sekaligus menyampaikan nilai tradisi kepada masyarakat umum. (sumber kompas.com)

Oknum Marinir Mengamuk Lagi

BANDAR LAMPUNG (KORAN_ONLINE) : Oknum marinir kembali bertindak brutal. Setelah menggegerkan jagat Indonesia dengan penembakan warga Alastlogo, Pasuruan, Jawa Timur, beberapa bulan lalu, kali ini marinir bikin heboh . Sejumlah anggota pasukan elit TNI-AL menganiaya seorang anggota Polri dan dua orang tukang ojek di Bandar Lampung, Rabu (14/8-07) siang.

Kasus itu terjadi di Pasar Bambu Kuning, Bandar Lampung. Sebelum menganiaya polisi bernama Bripka Meri Erlian dan dua tukang ojek, mereka merusak RM Bundo Kandung dan RM Begadang I. Bahkan, mereka sempat merusak beberapa sepeda motor milik tukang ojek.

Akibat penganiayaan tersebut, wajah Brigadir Kepala (Bripka) Erlian babak belur. Ia mendapat sembilan jahitan di bibir dan tiga di kepala bagian belakang. Dua tukang ojek juga babak belur di wajah.

Informasi yang dihimpun menyebutkan, sekelompok oknum anggota Marinir itu awalnya mendatangi RM Bundo Kandung dengan menumpang dua mobil dan satu sepeda motor. Mereka mencari anggota Reserse Narkoba Polda Lampung, Ajun Inspektur Polisi Satu (Aiptu) Yose Rizal alias Jajak. “Ini “pegangan “ Jajak ya,” kata seorang di antaranya.

Namun, Jajak sudah beranjak dari tempat itu beberapa saat sebelum mereka datang. Karena tidak menemukan orang yagn dicari, rumah makan itu pun dijadikan sasaran. Sebelum memecahkan kaca, mereka melepaskan tembakan tiga kali ke udara.

Dari RM Bundo Kandung, mereka menuju RM Begadang I dan menanyakan keberadaan Jajak kepada orang-orang yang berada di sana. Di tempat itu pun mereka tidak menemukan Jajak.

Mereka pun kembali memecahkan kaca rumah makan. Kelompok itu lalu menuju pos polisi Bambukuning. Bripka Meri yang berjaga di pos dianiaya hingga babak belur.

Mendengar keributan di pos tersebut, sejumlah tukang ojek beramai-ramai datang untuk melihat apa yang terjadi. Nahas, dua di antara tukang ojek tersebut ikut dipukuli dan sepeda motor mereka dirusak. Setelah puas melampiaskan kemarahan, sekelompok oknum anggota mariner itu kemudian berlalu dari tempat itu.

Menurut informasi, kasus itu bermula dari penangkapan Johan, residivis kasus narkoba, di Mall Kartini. Johan berikut sepeda motornya dan barang bukti sabu-sabu lalu dibawa ke Polda.

Ketika diinterogasi, Johan mengaku mendapatkan sabu-sabu itu dari oknum anggota TNI AL, Sersan Kepala Zn. Bahkan, sepeda motor yang dibawanya pun milik Zn. Malam itu juga Zn meminta motornya dikeluarkan, tetapi ditolak.

Petugas lalu menggeledah rumah kontrakan yang biasa disinggahi Zn di Telukbetung Selatan. Dari kamar Zn, petugas menemukan ribuan plastic pembungkus pil ekstasi, pistol FN rakitan, dan lima butir peluru aktif.

Dalam kasus ini, petugas mengamankan oknum anggota TNI AD Koptu AB, anggota Polres Tanggamus Bripda YS, dan tiga warga sipil, yaitu Saf (wanita), Sup, dan Mu. Polisi juga mengamankan dua linting ganja, sabu-sabu, alat pengisap, dan plastic pembungkus.

Untuk mengantisipasi meluasnya keributan, Poltabes telah berkoordinasi dengan jajaran TNI AL, Brigif III Marinir Piabung, dan TNI AD.

Komandan Brigif III Marinir Piabung Kol (Mar) Fredrick Saut Tamba Tua belum bisa menjelaskan kejadian tersebut.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto