JAKARTA (Berita Nasional) : Setelah lokasi pendaratan kapal terenggut oleh pembangunan, ribuan nelayan di pesisir Jakarta juga harus merasakan makin minimnya daya hidup mereka, setelah lingkungan mereka semakin terancam oleh polusi dan limbah. Hal tersebut terungkap setelah tim Ekspedisi Pesisir Teluk Jakarta 2007 menyisir bagian pesisir Jakarta mulai dari Ancol hingga Kamal Muara, Selasa (28/8) kemarin. Tim ekspedisi ini terdiri dari wartawan Sinar Harapan, anggota Mapala Universitas Indonesia, dan peneliti dari Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Insitut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB).Dalam pantauan tim laut, titik-titik muara sungai merupakan wilayah yang paling terkontaminasi limbah. Di lokasi keluarnya sungai di pantai Marina, awak perahu kayak laut terus merasa terganggu penciumannya oleh polusi. Karena tak tahan oleh bau yang menyengat, M Fachri, salah seorang anggota tim, terpaksa segera menjauh dari bibir muara menuju laut lepas. ”Aneh, padahal di pantai itu jelas terlihat kapal-kapal mewah bersandar. Tapi kondisi lingkungannya sama saja dengan muara sungai lain di Jakarta,” ungkap Fachri. Tak lama berselang setelah melewati muara Sungai Marina, tim kemudian menyisir ke dalam pelabuhan Sunda Kelapa melalui laut. Upaya penyisiran ini cukup menegangkan, karena berisiko terkena gelombang kapal-kapal besar yang masuk ke pelabuhan. Di bagian dalam tembok-tembok pembatas pelabuhan dengan laut, malah terlihat menjadi lokasi pembuangan sampah. Ini mungkin juga disebabkan oleh arus menuju laut yang tertahan sehingga menjadi pusaran air yang menahan sampah.Sementara itu di wilayah Kali Adem, yang menjadi sasaran penyisiran setelah makan siang, juga tak terlihat kondisi lingkungan yang lebih baik. Justru keadaannya lebih buruk, karena kondisi air muaranya terlihat menghitam, diperparah oleh keadaan permukiman yang buruk. Hampir seluruh rumah penduduk di sana tak menghadap ke laut. Sepertinya laut menjadi tempat pembuangan sampah saja. MCK yang “bergelantungan” tampak memenuhi seluruh area Kali Adem hingga muara Kali Angke. Bahkan di muara Kali Angke, kondisi air yang menghitam telah mencapai kisaran satu kilometer jauhnya dari bibir pantai menuju laut. Kondisi tersebut terus terlihat hingga seluruh tim menyelesaikan penyisiran mencapai batas barat cagar alam Muara Angke. Kondisi ini jelas membuat makin minimnya penggunaan lahan kelautan. Karena nelayan-nelayan juga menjadi malas untuk mencari ikan di sana. Bahkan Dahlan, awak kapal yang disewa untuk membantu penyisiran, terus saja menolak untuk mendekati pantai. ”Susah Mas, masuk ke situ. Sudah dangkal, banyak sampah pula,” katanya. Hutan BakauMangrove-mangrove yang tersisa di cagar alam tersebut memang sepertinya tertutup oleh sampah dan air hitam saja. Hingga kelayakan fungsi mangrove, sebagai kawasan nursery (pemijahan dan perkembangbiakan anakan ikan), menjadi pertanyaan. Sebenarnya kawasan mangrove di area ini tergolong lebih baik dibandingkan wilayah lainnya. Karena bila melihat dari arah lautan, hanya wilayah ini yang memiliki ekosistem mangrove terbaik di pesisir Jakarta. Bahkan, deretan hutan mangrove itu masih rimbun hingga batas wilayah Penjaringan. Sayangnya, di titik keluar muara Cengkareng drain, terlihat hutan mangrove mulai habis terbabat. Reklamasi pantai yang dilakukan para pengembang properti di wilayah tersebut tampak meratakan tanah di area ini. Hingga areal kehijauan mangrove, terlihat terpotong oleh warna coklat. Di Kamal Muara, masalah pengendapan menjadi tantangan baru yang harus dihadapi. Selain juga masih buruknya sanitasi di sekitarnya. Pada wilayah titik tambat perahu nelayan, tampak masalah pengendapan membuat kapal tak bisa masuk ke dermaga dengan mudah. Bahkan sebuah kapal pencari ikan yang kebetulan singgah, harus dibantu empat orang untuk menarik kapal masuk ke dermaga. Kata seorang nelayan yang sempat diwawancarai, kondisi tersebut sudah menjadi makanan sehari-hari sekarang. ”Padahal dermaga kapal sudah dipindah menjadi dekat laut lepas. Tapi masih saja terasa dangkal dasar muara sungai di sini,” tutur nelayan tersebut. Sementara itu, menurut Suhana, peneliti dari Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut yang mengikuti proses kegiatan tim ekspedisi dari hari pertama, menyatakan kalau kondisi kelautan di pesisir Jakarta sekarang memang sudah tak mendukung untuk kehidupan nelayan. Keadaan tersebut, menurutnya, tak hanya disebabkan oleh kapal-kapal milik nelayan yang membuang limbah, namun merupakan akumulasi dari ketidakpedulian masyarakat dari hulu hingga hilir sungai. Seperti di Muara Angke yang menghitam hingga satu kilometer jauhnya, tak mungkin hanya disebabkan oleh pembuangan minyak dan oli oleh para nelayan di pesisir. Tapi mungkin juga karena sulitnya kontrol terhadap perusahaan-perusahaan yang membuang limbah di kali tersebut. ”Dari radiusnya yang mencapai satu kilometer dari bibir sungai dan melebar hingga menutupi keseluruhan Cagar Alam Muara Angke, jelas menunjukkan kalau polusi tersebut bukan hanya kerjaan komunitas nelayan yang hanya beberapa jumlahnya,” tutur Suhana. Penyisiran kemudian dihentikan di wilayah Kamal Muara, karena disepakati area ini merupakan batas terakhir sungai di barat Jakarta. (Sinar Harapan)