Tiga Juta Penduduk Jabar Bermukim di Daerah Rawan Bencana
Pakar Geologi, Vulkanik, dan Mitigasi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Prof Dr Adjat Sudrajat di Bandung, Jumat, mengungkapkan dari sekitar tiga juta penduduk Jabar tersebut, mayoritas penduduk diantaranya rentan terkena bencana tanah longsor karena kondisi geologis lingkungan yang didiaminya।
"Jalur longsor Jabar terbagi tiga, yakni Jalur Sumbu yang meliputi kawasan Priangan Timur hingga Majalengka, Jalur Selatan dari Pelabuhan Ratu hingga Banjar, dan jalur patahan seperti wilayah di Kabupaten Bandung," kata Adjat menjelaskan।
Berdasarkan data Adjat yang juga mantan Kepala Pusat Vulkanologi, dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), karakter Jalur Sumbu diantaranya, sangat rentan terhadap pelapukan, pasir pegunungan tidak stabil, lereng perbukitan terjal, curah hujan tinggi, diolah instensif serta kepadatan penduduk yang tinggi।
Karakter Jalur Selatan, pelapukan sedang hingga rawan, lereng tidak terlampau terjal, curah hujan sedang, dan kepadatan penduduk sedang।
Sedangkan pada jalur patahan, pelapukan sedang, lereng terjal, kepadatan penduduk tinggi yang diiringi pengolahan tanah yang intensif।
Adjat mencatat, jalur rawan bencana gempa bumi di Jabar meliputi wilayah Pantai Selatan, wilayah Sukabumi hingga Padalarang, serta jalur Cilacap hingga Majalengka yang lebih disebabkan faktor kedangkalan tanah।
Selain rawan terhadap gempa bumi, jalur pantai selatan juga dinyatakan sangat rawan terhadap tsunami, tepatnya dari mulai pesisir Pantai Banten hingga pesisir perbatasan Jabar dan Jateng (Jawa Tengah)।
"Penurunan muka tanah serta intrusi air laut yang menyebabkan banjir rentan menimpa kawasan Jabodetabek, Cirebon, dan tentunya Cekungan Bandung pun harus diwaspadai mengingat terancamnya lahan serapan air di Kawasan Bandung Utara (KBU)," katanya।
Dikatakan Adjat, bantuan bencana alam pada wilayah pantai utara Jabar relatif lebih stabil daripada wilayah Jabar bagian selatan karena kondisi geografis serta dukungan infra struktur lainnya।
Pakar Hukum Lingkungan dan Penataan Ruang Fakultas Hukum Unpad, Amiruddin A Dajaan Imami SH MH, menegaskan ancaman kerusakan lingkungan yang mengundang bencana diantaranya dapat ditimbulkan akibat perbuatan manusia।
"Secara geografis Indonesia berada pada kawasan rawan bencana sehingga diperlukan pola tata ruang yang berbasis mitigasi bencana," kata Dajaan menjelaskan।
Dikatakan, peningkatan keselamatan, kenyamanan kehidupan, dan penghidupan menjadi tuntutan utama sehingga peraturan serta perundang-undangan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus menjadi perhatian nyata, dan berbasis aspirasi masyarakat।
Ketegasan sanksi terhadap setiap pelanggar aturan tersebut, bagaimanapun harus diwujudkan karena menyangkut kehidupan umat manusia, sehingga oknum pelanggar dapat berpikir dua kali untuk melawan regulasi dimaksud, demikian Dajaan. (*)