Jumat, 07 Desember 2007

Seabad Pers Kebangsaan (1907 – 2007)

DUNIA pergerakan nasional adalah sebuah panggung yang kompleks, penuh semangat, sarat gejolak, disesaki sejumlah pertanyaan yang kadang belum jelas jawabannya. Inilah periode di mana berlangsung sebuah proses penerjemahan yang rumit dan kompleks dari sejumlah konsep-konsep yang sebelumnya asing: organisasi, boycott, vergadering, afdeling, dll.

"Untuk memahami semua proses itu," tulis Takashi Shiraishi dalam bab penutup karyanya yang sudah menjadi klasik, An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912- 1926, kita hanya perlu melihat sosok Raden Mas Tirtoadisoerjo.

Oleh Tirtoadisoerjo, dunia pergerakan ditransmutasikan sedemikian rupa sebagai kombinasi antara dunia praksis sekaligus diskursif. Surat kabar adalah medan yang dipilih Tirto untuk memanggungkan perlawanan praksis dan diskursif sekaligus. Dengan dana, kekuatan, tenaga dan pengetahuannya sendiri, ia terbitkan sejumlah surat kabar: dari surat kabar yang banyak menggalang advokasi, melansir beleid pemerintah, mewartakan geliat niaga dan lelang, menyuarakan suara kaum professional (buruh trem dan kereta api) hingga mengabarkan sisik melik dunia perempuan Hindia Belanda.

Dari tangan dia pula lahir dua organ yang menilik kandungan ideologisnya kelak justru kadang berseteru: Sarekat Prijaji (1906) yang nasionalis-sekuler dan Sarekat Dagang Islam yang agamis/Islam (1909).

Dalam kriteria-kriteria itu, Tirto adalah archetype dari generasi baru pemimpin pergerakan yang bekerja sebagai orang merdeka, tidak bergantung pada bantuan pemerintah, yang bekerja 24 jam sehari dan 7 hari seminggu dengan mencatat realitas dan berusaha semampu mungkin mengubah realitas itu menjadi seperti yang ia bayangkan dan ia hidup dari pekerjaan yang itu juga.

14 tahun setelah Raden Mas Tirtoadisoerjo wafat pada Desember 1918, pada 10 November 1932, Mohammad Hatta menurunkan satu artikel penting di surat kabar Daulat Ra'jat berjudul "Jurnalistik dan Politik Tidak Bisa Dipisahkan".

Hatta menyebut bahwa ada dua jalan untuk melawan kesewenang-wenangan (kolonial): Pertama, dengan jalan rapat, pada jalan mana rakyat berkumpul membulatkan suaranya dan menyatukan pikiran guna menentang penindasan; Kedua, dengan jalan pers.

Apa yang oleh Ben Anderson sebutkan bahwa nasionalisme –salah satunya—dipicu oleh kapitalisme (per)cetak(an), selanggam-seirama dengan proses lahirnya nasionalisme Indonesia. Surat kabar yang dicetak tidak hanya menjadi alat ampuh untuk mendidik dan menyerukan arti penting kemerdekaan dari kolonialisme, tetapi juga melahirkan imajinasi bahwa semua penduduk Hindia Belanda yang memiliki akses pada surat kabar dan bahan-bahan tercetak lainnya hidup pada ruang dan waktu sejarah yang sama.

Mestikah diherankan jika banyak sekali pemimpin pergerakan Indonesia bersentuhan atau bahkan menjadi pengelola-aktivis surat kabar. Tokoh-tokoh terpenting pergerakan setelah Tirto, macam Hatta, Soekarno, Sjahrir, Marco, Ki Hadjar, dll., memiliki pengalaman seperti apa menjadi seorang pemimpin redaksi (hoofd redacteur).

Sejarah pers Indonesia di awal abad 20 hampir beririsan dengan sejarah pergerakan nasional Indonesia. Untuk mengenang dan mengabadikan prosesi itulah Indonesia Boekoe (I:BOEKOE) menggelar event dengan tajuk "Seabad Pers Kebangsaan (1907 - 2007)".

Event ini dibuka oleh "Pameran Sampul (Front Page) Pers Indonesia". 365 sampul surat kabar Indonesia yang terbit antara 1907-2007 (dengan patok Medan Prijaji yang terbit pada 1907) didesain ulang oleh dua seniman desain dari Jogjakarta, Eddy Susanto dan JR Wahyu Hermawan.

Mereka mengolah desain visual sampul surat kabar atau majalah dari frontpages soerat chabar dan madjalah setelah membaca dan mengamati karakter masing-masing surat kabar dan majalah yang terpilih, berdasar hasil penelitian belasan anak muda yang menyusun profil 365 surat kabar dan majalah. Hasil penelitian ini, yang terbit setiap hari di harian Jurnal Nasional, akan diterbitkan dalam bentuk buku berikut ilustrasi sampul yang dipamerkan di Bandung ini.(sumber: siaran pers Argus Firmansah)

Malaysia Tuding Aktivis Etnis India Terkait Teroris

KUALALUMPUR (Berita Nasional) : Otoritas Malaysia benar-benar menindak keras para aktivis etnis India yang menggelar aksi unjuk rasa ilegal belum lama ini. Kepala kepolisian Malaysia bahkan menuding para aktivis tersebut mempunyai kaitan dengan kelompok teroris.

Tuduhan ini bisa membuat para aktivis ditahan tanpa persidangan sesuai aturan UU Keamanan Dalam Negeri (ISA).

Hindraf, kelompok HAM etnis India bulan lalu mengorganisir aksi protes antidiskriminasi. Aksi itu dibubarkan polisi dengan menggunakan gas air mata dan meriam air.

Inspektur Jenderal Kepolisian Malaysia Musa Hassan menuduh Hindraf mencari dukungan dari para teroris. Kelompok itu juga dituduh merusak reputasi Malaysia dan memancing kebencian rasial.

"Belakangan ini ada indikasi bahwa Hindraf berusaha mencari dukungan dan bantuan dari kelompok teroris," cetus Musa seperti diberitakan kantor berita resmi Malaysia, Bernama, Jumat (7/12/2007).

Musa membantah klaim Hindraf bahwa etnis India yang mencakup 8 persen populasi Malaysia, dibiarkan tertinggal dalam bidang pendidikan, pekerjaan dan kemakmuran. Menurut Musa, klaim tersebut "keliru, tidak berdasar dan jahat."

"Tindakan mereka juga berpotensi menimbulkan konflik rasial di negara ini," tandas Musa.

Salah seorang pemimpin Hindraf, P Uthayakumar mencetuskan, pernyataan Musa itu memperbesar kemungkinan pemberlakuan ISA terhadap kelompoknya. "Mereka berusaha menaruh landasan untuk menangkap kami sesuai ISA," cetusnya.

Beberapa hari lalu, 31 etnis India ditangkap atas tuduhan pembunuhan setelah melukai seorang perwira polisi saat demo berlangsung.(detiknews.com)

Polisi Rampas Tustel Wartawan, Kapolri Minta Maaf

JAKARTA (Berita Nasional) : akarta - Peristiwa perampasan kamera wartawan yang sedang meliput rekonstruksi Ahmad Albar mengundang perhatian Kapolri Jenderal Pol Sutanto.

Kapolri pun meminta maaf atas kejadian yang tidak patut tersebut.

"Saya minta maaf soal itu. Saya kira itu tidak dibenarkan. Kalau kurang pas kan bisa diingatkan," ujarnya di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta, Kamis (6/12/2007).

Menurut Kapolri, kepolisian akan mengusut kasus ini dan menindak pelaku perampasan kamera wartawan tersebut.

"Kami akan melakukan tindakan sesuai dengan disiplinnya atau yang lain," katanya.

Bagaimana dengan diperbolehkannya salah satu stasiun televisi yang meliput di dalam, sedangkan wartawan lain berada di luar?

"Tentu dalam policy agar semua media punya kesempatan yang sama. Tinggal bagaimana nanti wujudnya di lapangan. Kalau kemampuan mencari sendiri-sendiri, silakan. Tapi jangan Polrinya yang melakukan beda. Jangan sampai hal ini terjadi lagi," imbuhnya.

Kapolri menambahkan, tidak boleh ada monopoli dalam memberikan pemberitaan.

"Justru semakin banyak media massa yang dapat meliput makin bagus. Tidak boleh ada monopoli," cetusnya.(detiknews.com)

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto