Sabtu, 08 Desember 2007

Belasan Luka dalam Bentrok Antarwarga di Palu

PALU (Berita Nasional/antara news): Belasan orang menderita luka dalam bentrok antara warga Kelurahan Nunu dan warga Tawanjuka di Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), Jumat malam.

Korban umumnya terluka akibat terkena bacokan parang, lemparan batu, serta busur dan tembakan senapan angin.

Informasi dari tempat kejadian perkara menyebutkan mereka yang diidentifikasi kena tembakan senapan angin yaitu Ardiansyah (bahu kiri), Adi (dada), Firman (jidat) dan Budi (kaki).

Korban lainnya, Aswar menderita luka robek di bahu kiri, Warham dan Ansyar masing-masing mengalami luka lemparan batu.

Pertikaian antarwarga kelurahan bertetangga ini mulai pecah sekitar pukul 17.30 Wita, dan selepas Magrib eskalasi meningkat melibatkan ribuan orang.

Mereka menpersenjatai diri dengan senapan angin, tombak, panah, ketapel, parang dan batu. Korban luka pun tak terhindarkan.

Warga yang berdomisili di perbatasan kelurahan yang menjadi pusat "perang" memilih mengungsi ke rumah famili yang lebih aman.

Situasi mulai terkendali setelah anggota Polresta Palu berkekuatan satu kompi tiba di lokasi kejadian sekitar pukul 20.00 Wita atau lebih dua jam setelah bentrok pecah. Sampai berita ini diturunkan masih terjadi konsentrasi massa di dua kelurahan tersebut.

Beberapa warga setempat mengatakan, pemicu pertikaian berawal dari teriakan kata jorok antarkelompok pemuda, namun siapa yang memulai masih simpang siur.

Warga Nunu dan Tawanjuka masih memiliki ikatan keluarga dalam rumpun etnis Kaili, tapi pertikaian acapkali terjadi yang dipicu masalah sepele.

Pertikaian terakhir terjadi awal November 2007 yang mengakibatkan belasan orang luka dan sejumlah rumah penduduk rusak ringan sampai berat.(*)

Jumat, 07 Desember 2007

Taufik Ismail: Bangsa Indonesia "Generasi Nol Buku"

JAKARTA (Berita Nasional/ANTARA News): Sastrawan Taufik Ismail mengeritik sistem pendidikan yang tidak memberikan porsi besar terhadap pembiasaan membaca dan mengarang di kalangan anak didik, sehingga hasilnya pun dapat disebut sebagai bagian dari "Generasi Nol Buku".

Kritik tersebut disampaikannya ketika menerima penghargaan Habibie Award 2007 dalam rangka ulang tahun The Habibie Center ke-8 di Hotel Gren Melia, Jakarta, Kamis.

Dalam makalahnya yang berjudul "Generasi Nol Buku: Yang Rabun Membaca, Pincang Mengarang", Taufik mengaku, bersama dengan puluhan ribu anak SMA lain di seluruh tanah air pada 1953-1956 mereka sudah menjadi generasi nol buku, yang rabun membaca dan lumpuh menulis.

Nol buku, disebut Taufik karena kala itu mereka tidak mendapat tugas membaca melalui perpustakaan sekolah, sehingga "rabun" membaca.

Sementara istilah "pincang mengarang" adalah karena tidak ada latihan mengarang dalam pelajaran di sekolah.

Taufik membandingkan pelajaran membaca dan mengarang siswa Indonesia dan siswa dari beberapa negara lain dalam sebuah survei sederhana dan mendapat perbandingan yang mencengangkan.

Di saat pelajar Indonesia tidak mendapatkan tugas membaca dan mengarang, pelajar SMA di Amerika Serikat diharuskan membaca 32 buku dan bahkan negara berkembang Thailand juga diharuskan membaca lima buku.

Kewajiban membaca dan mengarang, menurut Taufik, bukan bertujuan untuk membuat siswa menjadi sastrawan, tapi merupakan keahlian yang dibutuhkan di setiap profesi.

"Membaca buku sastra mengasah dan menumbuhkan budaya baca buku secara umum. Latihan menulis mempersiapkan orang mampu menulis di bidangnya masing-masing, " ujarnya.

Generasi nol buku itulah yang kini disebut Taufik menjadi warga Indonesia yang terpelajar serta memegang posisi menentukan arah negara di seluruh strata, baik di pemerintahan atau di swasta.

"Beberapa sebab mendasar amburadulnya Indonesia sekarang, mungkin sekali karena dalam fase pertumbuhan intelektual, mereka membaca nol buku disekolah," katanya.

Sebagai pemenang Habibie Award 2007, Taufik b erhak atas medali, piagam penghargaan dan hadiah uang sebesar 25 ribu dolar AS.

Pemenang lainnya adalah Prof. Dr. Sri Widiyantoro dari bidang ilmu dasar, Prof. Elin Yulinah Sukandar dari bidang ilmu kedokteran dan bioteknologi, dan Dr. H.C Rosihan Anwar dari bidang sosial.

Habibie Award diberikan kepada perseorangan atau badan yang dinilai sangat aktif dan berjasa besar dalam menemukan, mengembangkan dan menyebarluaskan berbagai kegiatan iptek yang baru (inovatif) serta bermanfaat secara berarti bagi peningkatan kesejahteraan, keadilan dan perdamaian. (*)

Seabad Pers Kebangsaan (1907 – 2007)

DUNIA pergerakan nasional adalah sebuah panggung yang kompleks, penuh semangat, sarat gejolak, disesaki sejumlah pertanyaan yang kadang belum jelas jawabannya. Inilah periode di mana berlangsung sebuah proses penerjemahan yang rumit dan kompleks dari sejumlah konsep-konsep yang sebelumnya asing: organisasi, boycott, vergadering, afdeling, dll.

"Untuk memahami semua proses itu," tulis Takashi Shiraishi dalam bab penutup karyanya yang sudah menjadi klasik, An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912- 1926, kita hanya perlu melihat sosok Raden Mas Tirtoadisoerjo.

Oleh Tirtoadisoerjo, dunia pergerakan ditransmutasikan sedemikian rupa sebagai kombinasi antara dunia praksis sekaligus diskursif. Surat kabar adalah medan yang dipilih Tirto untuk memanggungkan perlawanan praksis dan diskursif sekaligus. Dengan dana, kekuatan, tenaga dan pengetahuannya sendiri, ia terbitkan sejumlah surat kabar: dari surat kabar yang banyak menggalang advokasi, melansir beleid pemerintah, mewartakan geliat niaga dan lelang, menyuarakan suara kaum professional (buruh trem dan kereta api) hingga mengabarkan sisik melik dunia perempuan Hindia Belanda.

Dari tangan dia pula lahir dua organ yang menilik kandungan ideologisnya kelak justru kadang berseteru: Sarekat Prijaji (1906) yang nasionalis-sekuler dan Sarekat Dagang Islam yang agamis/Islam (1909).

Dalam kriteria-kriteria itu, Tirto adalah archetype dari generasi baru pemimpin pergerakan yang bekerja sebagai orang merdeka, tidak bergantung pada bantuan pemerintah, yang bekerja 24 jam sehari dan 7 hari seminggu dengan mencatat realitas dan berusaha semampu mungkin mengubah realitas itu menjadi seperti yang ia bayangkan dan ia hidup dari pekerjaan yang itu juga.

14 tahun setelah Raden Mas Tirtoadisoerjo wafat pada Desember 1918, pada 10 November 1932, Mohammad Hatta menurunkan satu artikel penting di surat kabar Daulat Ra'jat berjudul "Jurnalistik dan Politik Tidak Bisa Dipisahkan".

Hatta menyebut bahwa ada dua jalan untuk melawan kesewenang-wenangan (kolonial): Pertama, dengan jalan rapat, pada jalan mana rakyat berkumpul membulatkan suaranya dan menyatukan pikiran guna menentang penindasan; Kedua, dengan jalan pers.

Apa yang oleh Ben Anderson sebutkan bahwa nasionalisme –salah satunya—dipicu oleh kapitalisme (per)cetak(an), selanggam-seirama dengan proses lahirnya nasionalisme Indonesia. Surat kabar yang dicetak tidak hanya menjadi alat ampuh untuk mendidik dan menyerukan arti penting kemerdekaan dari kolonialisme, tetapi juga melahirkan imajinasi bahwa semua penduduk Hindia Belanda yang memiliki akses pada surat kabar dan bahan-bahan tercetak lainnya hidup pada ruang dan waktu sejarah yang sama.

Mestikah diherankan jika banyak sekali pemimpin pergerakan Indonesia bersentuhan atau bahkan menjadi pengelola-aktivis surat kabar. Tokoh-tokoh terpenting pergerakan setelah Tirto, macam Hatta, Soekarno, Sjahrir, Marco, Ki Hadjar, dll., memiliki pengalaman seperti apa menjadi seorang pemimpin redaksi (hoofd redacteur).

Sejarah pers Indonesia di awal abad 20 hampir beririsan dengan sejarah pergerakan nasional Indonesia. Untuk mengenang dan mengabadikan prosesi itulah Indonesia Boekoe (I:BOEKOE) menggelar event dengan tajuk "Seabad Pers Kebangsaan (1907 - 2007)".

Event ini dibuka oleh "Pameran Sampul (Front Page) Pers Indonesia". 365 sampul surat kabar Indonesia yang terbit antara 1907-2007 (dengan patok Medan Prijaji yang terbit pada 1907) didesain ulang oleh dua seniman desain dari Jogjakarta, Eddy Susanto dan JR Wahyu Hermawan.

Mereka mengolah desain visual sampul surat kabar atau majalah dari frontpages soerat chabar dan madjalah setelah membaca dan mengamati karakter masing-masing surat kabar dan majalah yang terpilih, berdasar hasil penelitian belasan anak muda yang menyusun profil 365 surat kabar dan majalah. Hasil penelitian ini, yang terbit setiap hari di harian Jurnal Nasional, akan diterbitkan dalam bentuk buku berikut ilustrasi sampul yang dipamerkan di Bandung ini.(sumber: siaran pers Argus Firmansah)

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto