Jumat, 02 Mei 2008

Siaran Pers PWI Reformasi pada Hari Pers Sedunia

Kordinator Nasional Persatuan wartawan Indonesia Reformasi
(PWI-Reformasi)
Manggala Wanabakti, Ruang 212, Wing B, Senayan,Jakarta Pusat.Telepon/Fax: 021-5746724

Siaran Pers, Dalam Rangka Hari Pers Sedunia, 3 Mei 2008

Pertama, kami Kornas PWI-Reformasi, menyampaikan Selamat Merayakan Hari Pers Sedunia (Press Freedom), kepada rekan-rekan jurnalis, wartawan, dan kalangan pers umumnya di seluruh Indonesia yang berpegang teguh kepada prinsip dan kaedah jurnalistik.

Menghimbau Jurnalis, wartawan, terus berpihak kepada warga, pro poor, menjunjung tinggi profesionalisme kerja, menjauhkan diri dari laku menerima “amplop” , menjauhkan diri dari laku berpihak ke segenap lini aparat di lintas Pilkada./Pilres, di berbagai daerah di Indonesia, sehingga tercipta pers yang independen, yang mampu mengembalikan “kekuatan” keempat dalam hidup berdemokrasi.

Kedua, kami Kornas PWI-Reformasi, mendesak pemerintah untuk menindak lanjuti hasil laporan investigasi wartawan TEMPO , Metta Dharmasaputra, terhadap kasus penggelapan pajak PT Asian Agri yang kini sudah terbukti mencapai Rp 1,5 triliun. Kendati undang-undang membenarkan penggelapan itu diselesaikan di luar pengadilan, sudah sepantasnya negara membukakan mata publik, berapa pun nominal denda yang dapat diterima negara secara riil, harus disampaikan secara transparan. Dan jika pun belum terselesaikan, adalah hak publik untuk mengetahui sebab-musabab penggelapan pajak tambun itu pengusutannya te rhambat.

Ketiga, Kornas PWI-Reformasi yang turut mendukung protes keras wartawan Desi Anwar, Metro TV, melalui surat kami pada 25 April 2008 lalu, kembali menegaskan meneruskan dukungan langkah hukum, menggugat Presiden Ramos Horta, yang memberikan pernyataan tidak berdasar, merusak citra wartawan dan pers Indonesia khususnya - - kendati pernyataan maaf sudah disampaikan oleh Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao, dengan mengatakan Ramos Horta dalam kedaan stress, sakit.

Keempat, Kornas PWI-Reformasi, saat ini meminta dukungan segenap organisasi pers, memberi perhatian khusus kepada rekan kami, Bung Hendri John, Pemimpin Redaksi Tabloid JEJAK, Manado, yang hampir dua bulan ini ditahan di Poltabes Manado, Sulut.
Penangkapannya oleh Densus 88, dengan tanpa surat penangkapan, dan hingga kini sesuai dengan keterangan Esau Mozes Riupassa SH, lawyer yang difasilitasi Korda PWI-Refo rmasi Sulut, mengerucut terindikasi sebagai penangkapan dipaksakan oleh Gubernur Sulut, akibat dari pemberitaan kritis terhadap indikasi korupsi pembuatan jembatan Megawati, dan mengritisi rencana World Ocean Conferences 2009, di mana Gubernur Sulut sebagai Wakil Ketua Panitia, sesuai dengan Kepres 23, 2007.

Bung Hendry John, juga ketua tim pencari fakta (TPF Bulik) atas penculikan dan pembunuhan sadis terhadap DR. Ir. Oddy Manus, Msc, Dosen Universitas SamRatulangi, ahli kelautan dan perikanan lulusan Jepang itu.

Khusus mengenai penangkapan Bung Henry John ini, kami sedang melakukan kordinasi untuk melaporkan cara-cara penangkapan wartawan ini kepada Propam, Mabes Polri, sehingga kebenaran dapat diteggakkan, dan tugas-tugas jurnalistik yang mengembalikan pencerahan bagi masyarakat dapat kita lakukan secara bersama-sama.

Akhirnya, kami percaya, di tengah kepercayaan yang “pudar” kepada trias politika negeri ini, wartawan, jurnalis, pers yang mengedepankan profesionalisme menjadi tumpuan harapan. Semoga pers mampu memuhi harapan itu. Tarima casi.


Jakarta 2 Mei 2008
Kornas PWI-Reformasi
Kaka Suminta, Sekretaris Umum (085222277122)
Iwan Piliang, KetuaUmum (08128808108)

Jumat, 25 April 2008

Desi Anwar Bantah Tuduhan Ramos Horta

JAKARTA (Berita Nasional) - Jurnalis senior Metro TV Desi Anwar meminta perlindungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baik sebagai pribadi, jurnalis dan warga negara dari segala konsekuensi negatif yang dapat timbul atas tuduhan Presiden Timor Leste Ramos Horta yang telah disiarkan di media internasional. "Saya juga memohon kepada Presiden Yudhoyono untuk meminta penjelasan terhadap Presiden Ramos Horta atas tuduhan-tuduhan yang tidak mendasar tersebut dan memulihkan nama baik saya dan Metro TV," katanya ketika mengadukan kasus tuduhan tak berdasar terhadap dirinya oleh Ramos Horta kepada Dewan Pers di Jakarta, Jumat.

Kepada jajaran pimpinan Dewan pers, Desi Anwar membantah keras tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh Presiden Ramos Horta di hadapan pers internasional pada tanggal 18 April di Dili. Dalam wawancara tersebut, Ramos menuduh Desi Anwar telah melanggar kode etik jurnalistik, melakukan berbagai kegiatan yang melanggar hukum dan yang memberi andil terhadap upaya pembunuhan kepada dirinya, serta diancam akan dilaporkan ke institusi pers internasional.

"Tuduhan-tuduhan tersebut adalah bohong, tidak bertanggungjawab dan menyakitkan," katanya yang didampingi sejumlah pimpinan Metro TV seperti Djafar Assegaf, Elman Saragih, dan Saur Hutabarat. Dari pihak Dewan Pers nampak hadir Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara, serta anggota Dewan Pers Wina Armada Sukardi, Abdullah Alamudi, serta Ikrama Abidin.

Desi menyatakan bahwa tuduhan Ramos Horta tersebut bohong karena tidak ada secuil kebenaran pun dalam pernyataannya.

"Saya tidak pernah pergi ke Atambua, tidak pernah memalsukan dokumen dan memfasilitasi perjalanan Mayor Alfredo Reinado. Tidak pernah melakukan kontak apapun baik langsung maupun tidak langsung, apalagi yang melanggar hukum dan memberi andil terhadap upaya pembunuhan kepada Presiden Ramos Horta," katanya. Desi menegaskan, selama hidupnya, tidak pernah mengenal, bertemu atau melakukan kontak apapun dengan Mayor Alfredo Reinado.

Menurut Desi, tuduhan tersebut tidak bertanggung jawab karena merupakan tuduhan yang sangat serius, yaitu membantu dalam upaya pembunuhan seorang Presiden, mencemarkan nama baik dan melecehkan dirinya sebagai jurnalis baik di Indonesia maupun di dunia internasional.

Ia menilai, tuduhan tersebut berbahaya karena dilontarkan oleh seorang Presiden sehingga dapat menimbulkan persepsi negatif serta konsekuensi yang sangat merugikan terhadap dirinya sebagai pribadi maupun professional, sehingga dikhawatirkan akan menyulitkannya melakukan tugas jurnalistik. "Tuduhan tersebut menyakitkan karena saya sebagai jurnalis mengenal Jose Ramos Horta, begitu pula Xanana Gusmao saat mereka masih dicap sebagai pemberontak terhadap negeri ini di masa silam, sehingga saya tidak paham mengapa tuduhan tersebut sekarang dialamatkan kepada diri saya. Apa maksud yang dituju," katanya.

Protes keras

Karena itu, Desi Anwar, memprotes keras tuduhan-tuduhan tidak mendasar tersebut dan meminta dengan segera agar Presiden Timor Leste Ramos Horta menarik kembali tuduhan-tuduhannya dan meminta maaf kepada dirinya dan Metro TV di depan publik internasional.
Selain itu, Desi juga meminta perlindungan kepada seluruh asosiasi jurnalistik dan kalangan pers, baik di Indonesia maupun internasional, serta melakukan protes resmi terhadap tuduhan-tuduhan yang telah melecehkan profesi jurnalistik itu.

"Sekali lagi, saya Desi Anwar jurnalis Metro TV, tidak terima dituduh tanpa dasar oleh seorang Presiden negara lain di hadapan khalayak internasional dan saya tidak akan diam hingga permintaan serta permohonan saya dipenuhi," tegasnya.(sumber: antara)

Kamis, 24 April 2008

NAMRU

Rabu, 23 April . Siang tadi, Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan, tampak keluar pintu lift Kantor Sekretaris Negara, Jl. Veteran III, Jakarta Pusat. Ia baru saja bertemu dengan Hatta Rajasa, Menteri Sekretaris Negara.

Banyak wartawan yang menantinya. Ia lalu berujar, “Tak akan aku katakan. Tak akan aku katakan.” Dia tersenyum. Entah apa pula maksud kalimat tak akan aku katakan itu.

“Apa mengenai NAMRU?” Tanya seorang wartawan

“No Comment,” jawab Siti. Ia bergegas menuju Camry RI 30. Supir langsung tancap gas membawanya.

Nama NAMRU (Naval Medical Reasearch Unit), dalam sepekan terakhir ini menjadi ikon yang kian bunyi. Hal itu diawali dari pemberitaan singkat di beberapa media on line, bahwa, Menteri Kesehatan, tidak dibenarkan masuk ke dalam laboratorium, di mana ada beberapa warga negara Amerika Serikat sedang bekerja di dalam laboratotium Litbang, Departemen Kesehatan.
Ada lima belas menit lamanya Siti Fadilah menunggu. Bisa dibayangkan kekecewaannya, sebagai pejabat negara, di tanah airnya sendiri, di bawah naungan departemennya pula, ia diperlakukan demikian.

Aneh memang.

Kedutaan besar Amerika Serikat hari ini, mengeluarkan siaran pers. Isinya: Satu komplek dengan litbang Departemen Kesehatan RI, NAMRU tidak tersentuh hukum Indonesia. Laboratorium penelitian Angkatan laut AS itu, memang berada di wilayah hukum AS.
“NAMRU adalah bagian dari wilayah keduataan besar AS di Jakarta.”

Di dalam rilis itu Kedubes AS membantah bahwa NAMRU yang berkantor di Jl. Percetakan Negara, Rawasari, Jakarta Pusat, merupakan fasilitas rahasia, dan melakukan mata-mata. NAMRU terbuka bagi siapa saja yang berminat kepada penelitian. Misalnya untuk kalangan universitas, militer, peneliti dan ilmuwan.

Semua proyek NAMRU mereka klaim sudah atas persetujuan Badan Litbang Depkes RI. Dari 175 pegawainya, kebanyakan peneliti; dokter, dokter hewan, ahli teknologi. Staf administrasinya penduduk lokal. Dari 175 pegawai, hanya 19 orang saja yang berkewarganegaraan AS.
Begitu pokok-pokok rilis Kedubes AS.

Kian menjadi tanya, lokasi kantor NAMRU bukan di wilayah Kedutaan AS, yang di Jl. Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, itu. Lantas NAMRU otonom? Lalu ada 19 warga negara AS bekerja di sana, yang tidak tersentuh hukum Indonesia?

Menjadi kian unik memang NAMRU ini.

Negeri yang katanya zamrud di khatulistiwa ini, memang menjadi incaran banyak kepentingan. Bukan sesuatu yang baru, bila mendadak sontak isu adanya mata-mata di tumpah darah Indonesia ini berseliweran.

Laku mata-mata di negeri ini memang sudah terindikasi mencengkram, bahkan menelisik ke ranah departemen pemerintah, lembaga bergengsi macam di Kadin Indonesia, juga think-thank, yang sering dijuluki Mafia Berkeley, misalnya.

SETAHUN sebelum AS menyerang Irak. Seorang kawan saya redaktur sebuah majalah berita di Jakarta menceritakan pengalamannya. Sebut saja namanya Mohammad Dong. Ia bersama empat wartawan dari ASEAN diundang berkunjung ke Israel, dalam muhibah jurnalistik.

Keberangkatan itu diurus segalanya dari Singapura. Mendarat di Tel. Aviv, Israel, rombongan lima wartawan ASEAN itu dijemput oleh seorang kolonel polisi. Di sepanjang perjalanan, kolonel itu memberikan penjelasan tentang keberadaan kota, apa saja yang mereka lakukan, termasuk kesiagaan warga untuk selalu jaga-jaga jika negara dalam keadaan darurat diserang, siap sedia perang.

Tiba di semacam kantor dinas penerangan setempat, kolonel polisi tadi meminta rombongan wartawan itu menunggu di sebuah ruang rapat. Begitu kembali ke ruang rapat kolonel polisi tadi sudah berganti baju biasa, bukan lagi pakaian dinas. Ia menepuk bahu Mohammad Dong.
“Lagi musim duren di Jakarta?” tanya kolonel polisi dalam bahasa Indonesia fasih.

Mulut Mohammad Dong ternganga.

Belum habis keterkejutannya, pejabat dinas penerangan itu meneruskan kata
”Gue kan sebelas tahun tinggal di Ciputat. Punya gerobak roti 20.”

Alamak!

Sebelas tahun, punya usaha roti segala?

Mendengar kisah Mahammad Dong, saya menjadi tertawa. Kenapa tak tertawa? Gila benar polisi Israel bisa berbahasa Indonesia, tinggal sebelas tahun, punya usaha roti. Ketawa saya menjadi-jadi. Pakai visa apa dia ke Indonesia, bukankah antara Indonesia dan Israel tidak memiliki hubungan diplomatik?

Saya mengkritisi cerita Mohammad Dong itu. Ia sosok yang pandai bertutur, dan acap kali mengeluarkan banyolan. Seringkali susah membedakan ia bercerita sungguhan atau sekadar menyampaikan joke.

Kala itu, ia memperlihatkan sebuah kartu nama pejabat Israel itu.

Ketika AS hendak menyerang Irak, email dan seluruh nomor kontak yang ada di kartu nama yang diperlihatkan kawan itu, sudah tidak bisa diakses. Bahkan alamat emailnya dikirimi surat seketika mental.

Begitulah sepenggal cerita Mohammad Dong, wartawan yang pernah diundang ke Israel.
Di satu sisi cerita tadi bisa jadi cuma “kejenakaan”. Tetapi di lain sisi, jika dicermati, begitulah adanya, bagaimana negeri ini memang seakan telanjang. Bangsa ini membutuhkan banyak kunjungan turis manca (banyak) negara. Hal hasil, mereka warga negara mana pun kita tampung saja - - termasuk tanpa kita pedulikan kedok paspor yang mereka pakai.

Mereka yang berkulit hitam dari Afrika, yang banyak datang untuk membeli barang pakaian jadi murah di Tanah Abang, Jakarta Pusat, telah pula terindikasi banyak memasukkan narkoba, berbisnis dolar palsu, dan melakukan penipuan pembuatan dolar hitam - - sebagaimana belum lama ini ditangkap oleh pihak Kepolisian RI.

Karena kesulitan ekonomi yang kini kian mendera, beberapa stasiun televisi sudah menyiarkan laku kawin kontrak wisatawan Timur Tengah - - termasuk satu dua dari Afrika - - dengan gadis-gadis di kawasan Puncak, Sukabumi, Cianjur, Jawa Barat. Dengan dalih eknomi, para pria yang membawa pundit-pundi uang itu, telah dengan gampang dan murah, hidup berbulan-bulan di lingkungan masyarakat kita. Mereka hidup di tengah-tengah kita. Bisa dibayangkan bila salah satu di antara mereka itu adalah pejabat negara asalnya, yang menyamar menjadi mata-mata, untuk mendapatkan masukan-masukan nyata tentang Indonesia terkini.

Akan tetapi menegur kaum perempuan yang melakukan perkawinan kontrak itu, juga sebuah dilemma. Mereka memang perlu untuk meningkatkan ekonomi, yang kian hari kini terasa kian sulit itu. Dengan hantaman sektor riil, pertanian, di daerah tidak tumbuh, laku kalangan pendatang dengan membawa pundit-pundi uang menjadi diperlukan.

Karena kepentingan dan dukungan uang serta keahlian pulalah logika NAMRU itu tampaknya diambil pemerintah Indonesia.

Tetapi adalah naïf tentu membandingkan NAMRU dengan pria Timur Tengah yang melakukan kawin kontrak. NAMRU sebuah lembaga riset, yang sangat strategis. Mereka memperlakukan Menteri Kesehatan RI, yang baru saja menulis Buku Saatnya Dunia Berubah, yang mengkritik kebijakan AS dan WHO, yang mengambil sampel virus flu burung untuk dibuat vaksin, lalu negara asal virus, di kemudian hari harus membayar mahal vaksin - - sebagai sebuah laku tak adil.

Munculnya makhluk bernama NAMRU, memang, tak terhindari sebagai satu lagi lakon mencurigakan yang dimainkan AS di negeri ini.

DINO Patti Djalal, kepada detik.com, hari ini membantah. “Janganlah berpikiran konspiratif. Apa-apa bawaannya curiga terus. Orang-orang yang membantu dari AS atau Inggris kita tolak, “ ujar Dino kepada detik.com. Menurutnya tidak ada yang salah kerjsama dengan NAMRU. Badan itu menurut Dino, memiliki jaringan, mempunyai teknologi yang bermanfaat bagi pemerintah Indonesia, untuk mengembangkan riset-riset medis.

Sebaliknya dengan Munarman, mantan Ketua YLBHI ini, yang hari ini melakukan konperesni pers di Mer-C (Medical Emergency Committee dan Annashar Institute), di kantornya di Jl. Kramat Lontar, Jakarta Pusat. Ia menilai bahwa laku beberapa orang AS di NAMRU, melakukan kegiatan intelijen.

Karenanya ia mencak-mencak, ketika ada dua orang dari kedubes AS, lalu membagikan rilis berkop surat Kedubes AS di Jakarta, yang isinya antara lain mengatakan bahwa NAMRU cuma lembaga penelitian, di saat MER-C sedang mengadakan konmperensi pers itu.

Munarman tampak sangat gusar di tengah acara yang dilakukannya itu dimanfaatkan oleh kedubes AS membagikan rilis. “Tamu tak diundang, lah kok membagi rilis di acara orang, di mana etikanya, “ Munarman, melanjutkan, “Makanya Amerika negara bangsat.” Kejengkelan Munarman itu lengkapnya bisa diklik di: http://www.detiknews.com/indexfr.php?url=http://www.detiknews.com/ index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/04/tgl/23/time/194020/ idnews/928471/idkanal/10.

Terlepas dari kontroversi soal NAMRU, saya menjadi teringat nama seorang kawan saya Amruh Kumandang, yang kini menjadi salah seorang pengusaha yang mensuplai kebutuhan buku-buku ke sekolah di berbagai daerah. Namanya mirip-mirp dengan NAMRU.

Amruh belum lama ini bercerita bagaimana banyak sekali peluang usaha di daerah yang belum tergarap. Ia baru saja berkeliling Sumatera. “Mencari permodalan di daerah susah,” katanya. Umumnya pengusaha sangat tergantung hanya pada proyek-proyek pemerintah. “Tidak ada yang namanya pengembangan usaha pertanian, seperti pembukaan lahan jagung baru, usaha pengeringan jagung yang dibiayai perbankan misalnya.”

Sudah banyak artikel yang memaparkan, bahwa kekuatan eknomi bangsa ini memang terindikasi “dilumpuhkan”. Pelakunya adalah konspirator lokal dengan agen-agen asing.

Menurut teman saya yang bekerja di PT Freeport Indonesia, dari delapan palka bahan tambang yang dikapalkan setiap hari di Freeport di Tembagapura, satu palkanya adalah emas. Anehnya, IMF melalui perjanjian yang ditandatangani Indonesia, mewajibkan melaporkan ekspor, impor, deposit emasnya kepada IMF. Juga tidak boleh mem-peg mata uang rupiah ke emas, sebaliknya ekspor emas Freeport tak ada datanya di kita - - toh izinnya menambang tembaga.

Banyak list yang bisa dijejerkan pula, seperti di pertambangan Migas, yang tidak proporsional pembagian keuntungannya bagi negara. Anehnya jika ada anak negeri yang kritis, sebagaimana Siti Fadilah Supari, seakan koor paduan suara pemerintah memojokkannya. Begitulah bila kekuasaan hanya untuk kekuasaan, tidak untuk kemaslahtan rakyat banyak.

Karenanya dari awal saya sudah mendukung langkah-langkah Sitri Fadilah Supari di bidang kesehatan, sebagaiman saya tulis di Tajuk Rakyat ini pada 22 Maret lalu: Revolusi Transparansi Siti. Semoga saja kalimat, “Tak akan kukatakan-tak akan kukatakan,” yang disampaikan Siti di Sekretariat Neghara hari ini, bisa kembali dia ungkap dalam tulisannya, demi menegakkan harkat dan martabat bangsa.

Saya yakin, dari melihat gaya Siti menulis di buku Saatnya Dunia Berubah itu, dia bukanlah tipikal pemimpin kebanyakan negeri ini: yang umumnya menghamba ke asing, demi mempertahankan kekuasaan. Saatnya, memang kita mengkritisi berbagai kepentingan asing di negeri sendiri.

Termasuk mengkritisi NAMRU, yang entah untuk apa itu?

Iwan Piliang, presstalk.info

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto