Kamis, 03 Juli 2008

DPR-Pemerintah Sekongkol Atur Komisi 8%

Komisi V DPR dan Departemen Perhubungan bersekongkol mengatur komisi 8% dari nilai proyek pengadaan kapal patroli.
Fakta itulah yang diungkapkan Deddy Swarsono melalui kuasa hukum Kamaruddin Simanjuntak di Jakarta, Rabu (2-7). Deddy adalah pengusaha kapal yang menyuap anggota DPR Bulyan Royan. Keduanya ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Komisi V terlibat dalam persetujuan pengadaan anggaran kapal dan syarat-syarat pemenang tender. Salah satu syarat yang ditetapkan ialah pemenang tender membayar fee 8% dari total nilai proyek kepada DPR dan Dephub.
Ada dua proyek pengadaan kapal yang disetujui Komisi V dengan plafon anggaran Rp120 miliar dan Rp115 miliar. Proyek dengan plafon Rp120 miliar sudah ditenderkan. Pemenangnya lima perusahaan, yaitu Bina Mina Karya Perkasa dengan Direktur Deddy Swarsono, Febrite Fibre Glass, Sarana Fiberindo Marina, Carita Boat Indonesia, dan Proskuneo Kadarusman. Proyek kedua masih dalam proses tender yang juga diikuti lima perusahaan tersebut.
Kamaruddin menjelaskan proyek pertama itu dibagi dalam lima paket. Setiap paket mengharuskan rekanan membuat empat kapal patroli. Anggaran per paket Rp24 miliar sehingga satu pengusaha harus membayar fee Rp1,6 miliar kepada DPR sebagai pemenuhan syarat pemenang tender.
"Klien saya sih sudah melunasinya. Saya tidak tahu empat perusahaan lain apakah sudah melunasi atau belum," ujar Kamaruddin.
Deddy membayar fee dalam dua tahap. Pertama kali Deddy membayar Rp250 juta dan sisanya dilunasi sebelum 25 Juni 2008. "Klien saya telah membayar Rp100 juta menjelang Lebaran 2007, kemudian Rp50 juta menjelang akhir 2007, dan Rp100 juta pada awal Januari 2008. Selama pembayaran, selalu BR (Bulyan Royan) yang muncul. Dia mengatakan dirinya mewakili teman-temannya di Komisi V," jelas Kamaruddin.
Pembayaran fee tahap kedua dilakukan Deddy pada 25 Juni dengan cara menyetor ke money changer di Plaza Senayan, PT Three Etra Dua Sisi. Nilainya Rp1,4 miliar. "Uang tersebut baru diambil Bulyan pada Jumat (27-6) dan Senin (30-6). Pada saat pengambilan Senin itulah BR tertangkap KPK," kata Kamaruddin.
Menurut Kamaruddin, besaran fee 8% itu merupakan permufakatan lima pengusaha dengan DPR. Sejumlah pertemuan telah dilakukan untuk membahas besaran fee yang disepakati semua pihak. "Pertemuannya itu diawali di Hotel Crown beberapa kali, kemudian di sauna, sampai di Hotel Borobudur pada 2007," ujarnya. n MI/U-3
Ia menambahkan kliennya harus membayarkan jumlah yang sama kepada dua pejabat di lingkungan Ditjen Perhubungan Laut Departemen Perhubungan berinisial D dan M. Pejabat berinisial D merupakan penyelenggara negara dengan jabatan cukup tinggi, sedangkan M adalah bawahannya. Kamaruddin enggan menyebutkan identitas kedua pejabat tersebut. "Tunggu saja hasil pemeriksaan KPK," kata dia.
Sebelumnya, Kepala Pusat Komunikasi Dephub Bambang Ervan mengatakan kuasa pemegang anggaran dalam kedua program pengadaan kapal itu adalah Direktur Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai Djoni Algamar dan panitia lelang diketuai Didik Suhartono.
Sementara itu, Ketua Komisi V DPR Akhmad Muqowam mengakui pembahasan anggaran pengadaan kapal patroli dilakukan pada tingkat komisi bersama pemerintah. "Policy pengadaan memang dilakukan di Komisi V bersama dengan Dephub, tapi eksekusi ada pada pemerintah," kata Muqowam kepada wartawan di Jakarta, kemarin.(*)

Rabu, 02 Juli 2008

Pengelolaan APBD Lampung Tahun 2007 Carut-Marut

BANDAR LAMPUNG (Berita Nasional): Pengelolaan APBD Lampung tahun anggaran 2007 dengan nilai total Rp1,6 triliun carut-marut. Hal itu terungkap dari laporan hasil pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Lampung yang disampaikan ke DPRD Lampung, Senin (30-6).
Ketua DPRD Lampung Indra Karyadi mengatakan seluruh temuan BPK akan dibahas komisi-komisi di DPRD sebelum diambil tindakan lebih lanjut. "Kami baru terima. Nanti kami bicarakan lebih dahulu. Setelah itu baru dibahas komisi-komisi dan DPRD akan mengeluarkan rekomendasi. Kini DPRD masih sibuk mempersiapkan pelantikan gubernur," kata Indra Karyadi, Selasa (1-7).
Dalam laporan hasil pemeriksaan penggunaan APBD atas kepatuhan kepada perundang-undangan, BPK menemukan enam penyimpangan senilai Rp14,8 miliar. Pada laporan pemeriksaan terhadap sistem pengendalian intern, BPK menemukan delapan penyimpangan senilai Rp51,8 miliar.
Berikutnya, untuk laporan atas kepatuhan perundang-undangan terdapat enam item penyimpangan, antara lain realisasi bantuan kepada partai politik melebihi ketentuan Rp512,5 juta.
Penganggaran dan realisasi bantuan uang transpor dan honor pembahasan APBD 2007 yang diberikan kepada pimpinan dan anggota DPRD Lampung juga terdapat penyimpangan dengan nilai Rp171,9 juta.Kemudian, realisasi anggaran pembinaan kerohanian dan keagamaan pada Biro Kesejahteraan Sosial yang tidak didukung petunjuk pelaksanaan dan bukti pertanggungjawaban lengkap Rp5,4 miliar.
Bantuan pembenahan perumahan masyarakat miskin menuju sehat di Provinsi Lampung yang belum dipertanggungjawabkan Rp5 miliar. Lalu, pengajuan, penyerahan, dan pertanggungjawaban bantuan keuangan kepada parpol belum sesuai ketentuan Rp1,3 miliar.
Penyimpangan lain, program asuransi santunan duka Bumiputera 1912 untuk PNS Pemprov Lampung yang tidak sesuai dengan ketentuan Rp2,5 miliar. Sedangkan penyimpangan pada sistem pengendalian intern Rp51,8 miliar terdiri dari kas yang terlambat disetor ke kas daerah sebesar Rp12 miliar.
Sementara itu, realisasi belanja bantuan yang mendahului pengesahan APBD 2007 senilai Rp4,7 miliar. Penyimpangan berikutnya, belanja tahun 2006 yang dibebankan pada 2007 sebesar Rp50,3 juta.
Kemudian, kesalahan pembebanan anggaran dana bergulir untuk modal usaha kelompok pada Dinas Perkebunan serta Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Rp16,06 miliar.Penyimpangan juga terjadi pada rekening satuan kerja perangkat daerah senilai Rp16,5 miliar. Sementara itu, keterlambatan penyaluran dan bantuan rehabilitasi sekolah oleh Dinas Pendidikan mencapai Rp2,3 miliar.(sumber: lampungpost)

Kamis, 26 Juni 2008

Kesaksian Korban Tragedi Monas

Oleh Imdadun Rahmat
(Aktivis NU, wakil sekretaris ICRP dan Direktur Yayasan PARAS)
Saya datang di sudut tenggara Monas pada jam 12.30. Rombongan yang hadir bersama saya adalah para Relawan PARAS sebanyak 14 orang (2 perempuan 12 laki-laki) plus 2 orang anak saya (Rausyan, 11 th. dan Satya 8 th.) dan Khamami Zada (LAKPESDAM NU) yang membawa anaknya, Aria 4 th.
Kami datang dengan suasana hati gembira dan penuh semangat karena kami akan bersama-sama tokoh-tokoh nasional merayakan hari lahir Pancasila dan menyerukan penghargaan pada kebhinekaan.
Saya datang sebagai anggota panitia sekaligus sebagai koordinator relawan PARAS yang mendapatkan tugas dari Aliansi untuk mengisi persembahan musik perdamaian yang akan ditampilkan di sela-sela pidato para tokoh dan sebelum acara dimulai (menunggu peserta hadir semua).
Kami datang dengan 3 mobil. Semula, mobil-mobil kami parkir di sudut tenggara Monas sambil menunggu peserta lain yang belum datang.
Ketika kami menunggu, kami bertemu dengan para peserta lain di antaranya sekitar 20 orang dari LAKPESDAM NU Society.
Setelah sebagian peserta telah masuk area Monas, maka kami putuskan untuk menuju ke sana. Karena ingin cepat-cepat sampai untuk segera tampil, maka tiga mobil kami bawa masuk ke Monas, dan kami parkir tak jauh dari mobil Sound System. Maka saya bersama tim musik segera menurunkan peralatan-peralatan musik dan satu set mini amply dan kemudian mensetnya serta menghubungkannya dengan soun sistem utama yang dimuat di atas truk.
Ketika kami sedang mencek suara gitar, bas, dan mikrofon, korlap saat itu Saudara Saidiman mempersilahkan para peserta untuk merapat ke sound komando dan meminta mereka untuk duduk.
Para peserta yang sebagian besar kaum perempuan itupun duduk. Ada sebagian yang masih berjalan merapat, dan tiba-tiba ada suara gaduh, "FPI datang". Saidiman meminta kepada para hadirin untuk tenang dan jangan terprofokasi.
Pada saat itu, rombongan sekitar 200 an orang FPI semakin mendekat. Suasana makin tidak tenang, karena FPI meneriakkan suara-suara bernada ancaman.
Tak lama kemudian pasukan FPI dengan pentungan bambu mengepung dan melontarkan sumpah serapah "Ahmadiyah kafir", "hancurkan", "habisin" dan sebagainya.
Sementara anggota FPI lain memukuli peserta serta kaum ibu, salah seorang dari mereka mulai membanting bongo dan alat percusi milik kami.
Saya menghanginya dengan mengatakan "jangan begitu, jangan pakai kekerasan". Dengan kasar dia menghardik "kamu Ahmadiyah" saya bilang "saya orang NU". Ia bilang "NU apa, kamu kafir". Orang itu lalu memukul kepala saya dengan tongkatnya, saya berhasil menangkisnya, dan terus memukul saya, saya bisa mempertahankan diri.
Saya sempat melihat teman saya dari PARAS (Mansur) mencoba melawan FPI yang memukulinya, saya tahan dia untuk tidak melawan. Saat itu, saya pikir kami tidak mungkin melawan, karena kedua anak saya ada di dekat saya, dan saya hawatir jika melawan korban akan semakin banyak, karena sebagian besar dari kami adalah ibu-ibu. Buru-buru saya teriak ke keponakan saya (Ninik, relawan PARAS) untuk membawa pergi anak-anak saya.
Selanjutnya saya dikeroyok ramai-ramai, tidak hanya dengan bambu tetapi juga dengan besi (alat musik milik kami, High Head) saya hanya bisa menangkis yang dari depan, sementara yang dari belakang dan dari samping tak bisa dibendung. Saya terus dikeroyok.
Saat itu saya merasakan sakit yang luar biasa di beberapa bagian dari kepala saya. Saya merasa menghadapi kematian. Saya bergumam Allahu Akbar berkali-kali. Para penyerang saya juga berteriak "kafir", "bunuh", "Allahu Akbar".
Pada saat genting demikian, naluri saya mengatakan harus lari. Saya kemudian lari, dan terus dipukuli oleh anggota FPI yang lain. Saya tersandung dan jatuh, pada saat itu saya merasakan pelipis kiri saya ditendang dan kepala bagian belakang saya dipukul dengan pentungan. Saya bangkit dan terus berlari, saya dikejar, saya berhasil menjauh dari kerumunan FPI. Saya merasa kepala saya sakit semua.
Semula saya belum sadar kalo saya luka-luka. Mula-mula leher saya terasa dingin, ternyata darah saya mengalir deras dari bagian belakang kepala saya. Kaos saya basah oleh darah. Lalu saya merasa pelipis saya perih, yang teranyata mengeluarkan darah. Namun kemudian saya merasa lega ternyata saya ketemu dengan ponakan dan 2 anak saya yang menangis ketakutan di pinggir sebelah timur Monas.
Saya juga ketemu Hamami dan Sahal (LAKPESDAM NU) beserta teman-temannya. Saya peluk anak-anak saya dan darah saya dibersihkan oleh keponakan saya. Kaos PARAS yang saya pakai penuh darah dan saya lepas agar tidak ditandai dan diserang lagi oleh FPI.
Kemudian saya beristirahat di pinggir Monas, karena kepala saya mulai pusing-pusing. Saya tidak mungkin terus ke rumah sakit karena saya masih meninggalkan tanggung jawab di sana. Saya belum tahu bagaimana nasip teman-teman saya, khususnya teman-teman relawan pemusik, yang menjadi sasaran penyerangan pertama dari FPI.
Tiga mobil kami yang masih terparkir di tempat penyerangan juga masih di sana. Sebab, setelah menurunkan relawan musik berikut alat-alat musiknya, kami belum sempat memindahkannya di tempat parkir stasiun Gambir, seperti yang kami rencanakan.
Alat-alat musik kami juga masih ada di sana, dan kami belum tahu nasip alat-alat kami seperti apa. Saya dihantui ketakutan jika mobil-mobil kami turut dirusak atau dibakar.
Dalam kekalutan itu, saya telephon Masdar Mas'udi, mengabarkan apa yang menimpa kami. Dia tak percaya, heran dan marah. Dia meminta saya tabah dan segera ke rumah sakit. Saya merasa didoakan oleh kiai NU. Saya merasa lebih tenang. Saya segera teringat beliau karena sehari sebelumnya, saya diundang oleh beliau di PBNU untuk mempresentasikan buku saya tentang Islam Radikal pada acara konsolidasi imam dan khotib NU dalam mengantisipasi "direbutnya" mesjid dan musholla NU oleh kalangan Islam radikal.
Saya terus kontak teman-teman saya untuk mencari tahu apa yang menimpa mereka. Ternyata banyak korban luka-luka. Saya ketemu Mas Suaedy yang dagunya bengkak dan berdarah, saya ketemu Pak Syafii Anwar yang kepalanya memar-memar, dan saya sangat marah dan sedih ketika mendengar Guntur terluka parah, juga Kiai Maman Ainul Haq.
Kalau seandainya Gus Dur, Gus Mus, Amin Rais, Buya Syafi'i Ma'arif telah hadir di sana mungkin beliau-beliau akan menjadi korban pula. Ketika pusing kepala saya makin parah, saya putuskan untuk segera ke rumah sakit. Saya khawatir saya kehilangan banyak darah. Saya kesampingkan semua urusan mobil dan peralatan musik. Yang penting saya selamat.
Anak saya yang kecil saya titipkan ke teman-teman PARAS, saya bersama anak pertama saya menuju Gedung Kebudayaan seperti disarankan teman-teman, untuk mendapatkan penanganan medis. Dari situ kami diantar Ibu Amanda menuju rumah sakit Bakti Waluyo, Menteng.
Luka di kepala saya dijahit, luka-luka di dahi saya diobati dan diperban, memar-memar di kepala saya diolesi krim anti bengkak. Dan saya disuntik dan minum obat.
Alhamdulillah, teman-teman PARAS tidak ada yang terluka serius. Mansur luka memar di beberapa bagian kepalanya, dan rusuknya sakit, karena dikeroyok. Edy kepalanya memar kena pentungan. Ais kepalanya memar-memar dan punggungnya bengkak. Amo tangannya berdarah kena kawat berduri waktu lari dikejar FPI. Dila kakinya bengkak karena keseleo ketika menyelamatkan diri.
Mobil saya, mobil PARAS dan mobil relawan PARAS (dr. Elvy), tidak mengalami kerusakan apa-apa. Tiga gitar dan satu bass bisa diselamatkan (dibawa lari oleh personil musik). Yang membuat saya gusar, tiga amplyfier rusak (mudah-mudahan bisa diservis), dan satu hilang. Alat-alat percusi saya rusak parah (gak bisa dipake lagi), hard cover gitar rusak parah dan sound effek hilang. Kabel-kabel juga raib entah kemana. Mungkin FPI juga doyan kabel. Total kerugian peralatan musik sekitar 9 juta.
Yang meresahkan saya hingga hari ini adalah kondisi psikologis anak saya. Semoga ia tidak mengalami phobia atau bahkan trauma, naudzubillah min dzalik. Mereka berdua akan menjalani terapi psikologis setelah selesai ujian semesteran. Ahh.., memang kebangetan FPI.
Bagi saya kejadian ini merupakan bukti bahwa di negeri kita tidak ada jaminan bagi kebebasan berfikir, berpendapat dan berkeyakinan. Bayangkan, di siang bolong, di pusat Ibu Kota negara, di hari yang sakral (hari lahirnya Pancasila—ideologi negara) ada sekelompok orang dengan leluasa dan sewenang-wenang menyerang dan menganiaya orang-orang yang berkumpul untuk merayakan hari lahir Pancasila.
Orang-orang yang diserang itu adalah kumpulan dari para aktivis dan tokoh penyeru kebangsaan, pro-demokrasi, pro-pluralisme dan datang dari berbagai agama dan kepercayaan. Negara ada di posisi mana sih? Bingung gue...Selain itu, peristiwa ini membuktikan bahwa keberagamaan kita ada dalam masalah besar.
Bagaimana ada sekelompok orang dengan nama Islam, berbaju taqwa, meneriakkan kalam suci Allahu Akbar dengan beringas menganiaya orang-orang yang tidak melawan, tidak berdaya dan tidak bersalah, hanya karena dianggap berbeda dengan mereka.
Dan yang memprihatinkan, ada banyak orang yang mendukung dan membenarkan penyerangan itu. Kata teman saya "jangankan penyerangan, penganiayaan, pengeboman yang membunuh ratusan orang tak berdosa juga mereka benarkan kok"..
Memang benar sih, sebagian besar kalangan yang mendukung penyerangan adalah pula orang-orang yang mendukung terorisme selama ini.. Yah mau bagaimana lagi, yang radikal-radikal dipiara... Pengalaman ini adalah pengalaman batin, bahwa Islam yang benar adalah Islam yang rahmatan lil 'alamin.
Saya hanya beriman kepada Islam yang hanif, yang tawassuth, yang damai, yang tidak membenci. Semakin jelas bukti di mata saya bahwa yang dicontohkan para guru saya di pesantren adalah Islam yang benar.
Amar ma'ruf nahi munkar yang dilakukan para kiai saya adalah perjuangan membimbing ummat, mengajari mereka siang malam untuk menjadi muslim yang soleh, bertaqwa dan kuat iman. Mereka bekerja secara tulus, ikhlas, tanpa mengharap bayaran. "Benteng keimanan adalah nomor satu" kata mereka. Itu pula yang dicontohkan ibu dan keluargaku.
Semangat membela Islam tidak didasari oleh kebencian kepada orang lain. Apalagi membela Islam dengan menjadi preman... Naudzubillah min dzalik...

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto