BANDAR LAMPUNG : Tim Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Bandar Lampung menemukan indikasi penyimpangan pelaksanaan pekerjaan proyek yang tidak sesuai dengan bestek. Akibat penyimpangan itu, negara dirugikan 20%--50%.
Kepala Kejaksaan Negeri Kota Bandar Lampung Azhari mengatakan tim jaksa dipimpin Kasi Intel Kejari Dharma Bella, terus mendata dan turun ke lapangan. Tahap awal diarahkan kepada besaran kerugian negara. "Hari ini, tim baru selesai turun ke lapangan. Banyak temuan tentang kualitas pekerjaan yang tidak sesuai. Sepertinya dikerjakan dengan nilai 50% dari nilai anggaran. Tim yang menangani akan dibagi kembali sesuai dengan besaran kerugian negara," kata Azhari, didampingi Kasi Intel Dharma Bella, Rabu (16-7).
Kasi Intel Kejari, Dharma Bella, mengatakan timnya sudah turun ke lapangan untuk mendata banyak tempat dan lokasi proyek. Timnya sudah melakukan investigasi dan menemukan pengerjaan proyek tidak melibatkan pamong setempat. "Hasil sudah kami laporkan pada pimpinan. Kami sudah memeriksa beberapa saksi, wawancara dengan pamong, dan meneliti kualitas pekerjaan. Yang jelas kita tunggu saja hasilnya," kata Dharma Bella.
Pungli hingga 50%
Sementara itu, sejumlah kontraktor mengeluhkan "kotor"-nya permainan proyek di Dinas PU Bandar Lampung. Mereka mengaku pungutan liar (pungli) yang dikutip pegawai Dinas Pekerjaan Umum (PU) mencapai 40--50 persen dari nilai proyek.
Seorang kontraktor yang enggan disebut namanya mengaku kapok ikut tender proyek di Dinas PU lantaran tingginya pungutan yang disyaratkan pejabat disatuan kerja (satker) tersebut. Padahal, berdasar pada Undang-Undang Konstruksi, pungutan hanyalah untuk PPN dan PPh. Namun, Dinas PU membebani pungutan mulai dokumen kontrak, honor panitia lelang, hingga kewajiban menyetor uang 12--15 persen dari nilai kontrak kepada petinggi di Dinas PU.
"Waduh Mbak, kalau di kota itu paling kotor permainan proyeknya. Bukan cuma wajib bayar dokumen kontrak 2,5--5 persen dari nilai proyek dan honor panitia lelang, juga harus setor uang dengan pejabat di Dinas PU. Tahulah siapa. Sudah jadi rahasia umum kalau tidak bisa ikut permainan mereka, ya nggak dapet proyek. Tahun ini, saya nggak mau ikut tender lagi di Kota. Kapok. Boro-boro untung, yang ada kantraktor rugi," kata dia, kemarin.
Pungutan liar juga terjadi saat pengerjaan kegiatan fisik di lapangan dan proses pembayaran. Menurut dia, setiap ada pengawasan Dinas PU yang datang, rekanan harus memberikan "uang transpor". "Pokoknya setiap langkah ada pungutan. Mau meminta pembayaran termin dan serah terima pun harus rela memberikan sejumlah uang."
Perantara Proyek
Pungutan liar juga terjadi saat proses persetujuan proyek oleh Panitia Anggaran DPRD Bandar Lampung. Sejumlah anggota Panitia Anggaran dan anggota DPRD Bandar Lampung disinyalir menjadi perantara proyek.
"Biaya tidak resmi yang harus dikeluarkan kontraktor bukan cuma di dinas, tapi juga saat proyek dibahas DPRD. Setiap tahun, begitu ketok palu, kontraktor-kontraktor wajib setor ke Dewan supaya dapet proyek. Nilainya mungkin sekitar Rp2 miliar yang harus disetor ke Dewan. Dan itu kami urunan," kata kontraktor itu lagi.
Banyaknya biaya tidak resmi tersebut diakui sejumlah kontraktor memengaruhi pekerjaan fisik proyek di lapangan. Tidak heran, bila kontraktor terpaksa berbuat curang untuk menutupi kekurangan biaya pengerjaan fisik.
Ketua Gakindo Lampung, Binsor, mengatakan sudah menjadi rahasia umum jika kontraktor harus rela mengeluarkan biaya lebih untuk mendapatkan proyek di Kota Bandar Lampung. "Memang dari beberapa kabupaten/kota, proses tender proyek di Bandar Lampung paling kotor. Kalau mau dapat proyek, ya harus ikuti aturan mereka."
Ketika dikonfirmasi, Kabid Perencanaan dan Pengendalian Dinas PU kota Bandar Lampung Gunawan Handoko mengaku tidak tahu soal pungutan tersebut. Namun, ia mengakui untuk dokumen kontrak, seluruh kontraktor meminta Dinas PU yang mengerjakannya. "Kalau soal pungutan yang macem-macem itu saya kurang paham. Nanti saya coba tanya dengan teman-teman di PU. Tapi, kalau soal dokumen kontrak, memang kami membantu membuatkannya karena kontraktor tidak mau repot. Namanya membantu, ya...wajar saja mereka memberi biaya kepada kami. Tapi, kami tidak pernah mematok harus membayar sekian...sekian...," kata Gunawan. (sumber: Lampung Post)