Rabu, 14 September 2011

Papa, Gita Mau Baju Lebaran…

“Papa, Gita Mau Baju Lebaran dan sepatu baru.” Kata-kata yang diucapkan putri bungsuku, Sagita, 4 tahun, terngiang di telinga, saat lewat di Bandarjaya Plaza.
Kata-kata anakku terngiang ketika aku melihat seorang anak seusia putriku sedang memilih baju baru bersama ibunya di sebuah toko pakaian.
Minggu terakhir bulan puasa ini memang saatnya orang berbelanja. Beruntung sekali anak itu, bisa mengenakan baju baru saat lebaran. Sementara anakku tak bisa kubelikan baju baru.
Tahun ini aku tak mampu membelikan anakku baju baru. Aku baru saja keluar dari rumah sakit karena asma akut. Biaya berobat masih terutang Rp.8 juta, dan aku belum bisa membayarnya. Perusahaan tempatku bekerja merasa tak punya kewajiban membiayai berobatku, karena aku hanya buruh kontrak, yang tak punya hak memperoleh fasilitas berobat.
Saat aku menatap ibu dan anak yang belanja pakaian itu, tiba-tiba hp di kantong celanaku bergetar. Segera kuangkat, di layar hp kulihat tulisan “panggilan di SIM 2″. Wah! ini nomor Simpatiku, nomor dari Telkomsel. Di hp dual SIM ini, aku memakai nomor Flash di SIM 1 untuk internetan, dan Simpati di SIM 2, untuk sms dan telepon.
“Hallo, Pa. Sudah sampai belum di apotik?,” suara isteriku terdengar nyaring dari seberang. “Kalau sudah di apotik, mama titip beliin obat sakit kepala,” sambungnya.
Sakit kepala. Akhir-akhir ini isteriku sering mengidap sakit kepala. Mungkin karena terlalu berat memikirkan keadaan ekonomi kami saat ini yang sedang dilanda krisis.
Tahun ini aku merasa jatuh terpuruk. Setelah jatuh sakit dan harus diopname di rumah sakit, aku menerima tagihan uang komite putraku yang di SMA. uang komite tahun lalu menunggak Rp.2,6 juta, ditambah lagi tagihan tahun ini Rp.2,4 juta. Pusing!
Ramadhan tahun ini kami betul-betul puasa. Puasa menahan haus dan lapar, serta puasa dari belanja baju lebaran. Bahkan untuk belanja kue lebaran pun rasanya tak mampu.
Kulanjutkan langkahku melewati kios-kios di Bandarjaya Plaza. Salah satu pusat belanja di Lampung Tengah ini, penuh sesak oleh ibu-ibu yang berbelanja. Di salah satu kios di sebelah kiri, kulihat kerumunan ibu-ibu memilih-milih toples warna-warni. Di kios sebelahnya, serombongan ibu lainnya sedang menawar kain gordin.
Toko pakaian, toko sepatu, dan toko kue penuh sesak ibu-ibu berbelanja.
Kembali aku teringat putri bungsu di rumah, yang meminta dibelikan baju lebaran. “Papa, Gita Mau Baju Lebaran.”
Hatiku tersayat ketika mendengar kata-kata anakku yang masih lucu itu. Dia belum punya dosa, belum bisa merasakan betapa sulit keuangan papa-nya saat ini. Kakak-kakaknya tidak minta apa-apa. Mereka diam. Tetapi dari tatapan mereka, aku bisa merasakan mereka juga punya keinginan. Mereka tak kuasa mengucapkan keinginannya, karena tahu aku tak bisa memenuhinya.
“Papa, Gia Mau Baju Lebaran…”. Tiap kali aku melihat orang berbelanja, ucapan Sagita selalu terngiang. Dan, aku hanya bisa menghela napas panjang kemudian memohon ampun kepada Allah, “Ya Allah ampuni dosa-dosaku. Limpahilah kami dengan rahmat dan rejekimu agar aku dapat memenuhi kebutuhan keluargaku”.
Meskipun aku tak bisa membelikan baju baru untuk anakku, tapi aku masih merasa beruntung, karena pulsa telkomselku masih tetap terisi.

“Kita Bukan Siapa-Siapa….”

“Di sini kita bukan siapa-siapa. Buang jauh-jauh kenangan tentang siapa dan bagaimana kita dulu”. Kalimat-kalimat itu meluncur dari mulut rekan. Kata-kata itu diucapkannya kepada saya pada suatu hari beberapa tahun lalu, ketika saya berkunjung ke ruangan kerjanya. Dulu kami sama-sama bekerja di sebuah koran harian. Sekarang rekan saya sudah menjadi officer di sebuah perusahaan perkebunan, saya menyusul menjadi pekerja kontrak.
Meskipun dia mengucapkan itu dengan kata “kita”, sebenarnya ucapan itu ditujukan kepada saya. Lebih tepatnya sebagai peringatan agar saya tidak macam-macam, banyak tingkah, banyak cerita, dan lain-lain.
Di sini, di tempat baru, di perusahaan tempat saya bekerja sekarang, sangat berbeda dengan tempat dulu kami masih sama-sama. Di sini, perusahaannya lebih besar. Dan, rekan saya itu menduduki posisi penting. Dia staf di perusahaan ini.
Pada waktu itu — ketika dia mengucapkan kata-kata “kita bukan siapa-siapa…” — saya baru saja bergabung di perusahaan itu sebagai tenaga kontrak. Beda jauh dengan dia.
Tenaga kontrak di sini hanya punya hak menerima gaji, tempat tinggal di mes hanya untuk diri sendiri, jaminan kesehatan gratis di medical perusahaan juga hanya untuk diri sendiri. Kalau berobat diluar medical perusahaan, biaya ditanggung sendiri. Begitu juga kalau keluarga berobat meskipun di medical perusahaan, tetap bayar.
Sedangkan rekan saya (sekarang mungkin lebih tepat sebagai mantan rekan) sebagai staf dia mendapat hak-hak yang luar biasa istimewa. Gaji besar plus tunjangan ini-itu, punya hak antar-jemput kendaraan kijang innova milik perusahaan. Kemudian ada hak menerima bonus 7x gaji, uang THR 1 bulan gaji. Berobat dimana pun ditanggung perusahaan. Ada lagi asuransi kesehatan, jamsostek, dan beasiswa untuk putra-putri mulai dari SD sampai perguruan tinggi.
Dulu ketika masih sama-sama di koran harian, hidup kami senasib sepenanggungan. Saya sedikit lebih dari dia, karena saya punya banyak kenalan kalangan perwira menengah dan perwira tinggi militer dan kepolisian. Saya juga sempat dipercaya memimpin organisasi pers. Bergaul dengan banyak pejabat pemerintahan.
Mungkin karena itu pula, mantan rekan saya itu mengingatkan bahwa “kita” bukan siapa-siapa di sini. Tentu saja yang dimaksud “kita” hanya diri saya. Di sini, di tempat baru ini, saya tidak boleh menceritakan bagaimana pergaulan saya dulu ketika belum masuk perusahaan ini.
Saya tidak tahu pasti apa tujuannya menekankan kata “Bukan siapa-siapa” tersebut.
Sebenarnya, tanpa diingatkan pun saya sudah tahu bahwa saya “bukan siapa-siapa”. Di perusahaan ini saya merasa hanya sebagai “orang numpang hidup”. Perasaan itu tentu saja muncul di hati saya lantaran perbedaan status dan hak dibanding para karyawan tetap dan staf.
Di perusahaan ini para karyawan dan staf merasa sebagai pemilik perusahaan ketimbang sebagai pekerja atau buruh. Padahal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hanya ada satu sebutan untuk orang yang bekerja pada orang lain, yakni buruh. Baik dia bekerja di perusahaan maupun pada orang pribadi sebutannya tetap saja buruh.
Jadi, sebenarnya meskipun saya tenaga kontrak dan mereka karyawan tetap maupun staf, pada hakikatnya tetap saja sama — sama-sama buruh atau pekerja. Toh kami sama-sama digaji oleh perusahaan, yang nota bene adalah milik seorang investor. Sebenarnya kami semua adalah kacung-kacung dari investor.
Apakah dia berstatus karyawan atau staf, tetap saja hakikatnya mereka adalah pesuruh atau orang suruhan Sang Investor. Mereka bukan pemilik perusahaan. Begitu juga dengan saya.
Dalam hati saya mengatakan bahwa mereka hanya pesuruh yang berlagak sebagai pemilik perusahaan. saya tidak perlu berkecil hati. Toh kami sama-sama pesuruh atau kacung.

Mau Jadi PNS? Fulus Dulu Dong

Suatu hari di awal tahun 2011, besan saya — mertua anak perempuan saya –bertandang ke rumah. Mereka datang satu mobil kijang : besan saya suami isteri, anak dan cucunya, termasuk putri saya bersama anaknya. Seingat saya waktu itu bulan Maret 2011, tanggalnya saya lupa.

Sebagaimana lazimnya pertemuan dua keluarga tentu dipenuhi basa-basi dan cerita-cerita ringan untuk mempererat hubungan perbesanan. Setelah ngalor-ngidul cerita sana-sini, besan saya yang laki-laki menyinggung soal pekerjaan puteranya, yang dimaksud adalah menantu saya.

“Sebentar lagi Pak, SK anak kita akan keluar. Dia akan bekerja di kantor Pemerintah Kabupaten….Dia diterima jadi PNS,” demikian Besan saya berkata pada saya.

“PNS Pak?” saya bertanya dengan nada bingung. Terus terang, saya bingung karena sepengetahuan saya, menatu saya tersebut tidak pernah memasukkan lamaran apalagi ikut tes CPNS. Bagaimana mungkin bisa diterima jadi PNS?

“Iya, PNS!,” tegas besan saya dengan nada tinggi untuk meyakinkan saya.

“Syukur alhamdulillah kalau begitu pak,” kata saya masih diliputi keraguan. Meskipun demikian saya berpura-pura percaya seratus persen pada besan. Ini untuk menjaga perasaannya agar tidak merasa diremehkan.

Mungkin karena masih melihat keraguan di wajah saya, tanpa diminta Besan saya menjelaskan bahwa dia dan isterinya telah memberikan uang Rp.90 juga kepada seorang oknum PNS di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Anu (nama kabupaten sengaja tidak ditulis).

Terus terang saya tidak terkejut mendengar tentang sogok-menyogok dalam penerimaan PNS. Tetapi, yang membuat saya terkejut adalah Besan saya memberikan uang Rp.90 juta untuk menjadikan 3 orang anaknya PNS. Ini jelas penipuan.

Mengapa saya katakan penipuan? Karena seperti saya tulis di atas bahwa masuk PNS harus menyogok itu sudah bukan rahasia lagi. Tetapi tiap jenjang itu ada tarifnya sendiri. Jenjang sarjana misalnya Rp.80 juta - Rp.100 juta; D3 kisaran Rp.75 juta - Rp.80 juta. Nah, untuk jenjang SMA Rp.60 juta per-orang.
Lah! Ini besan saya hanya diminta Rp.90 juta untuk tiga orang - dua dari tiga anaknya sarjana, satu orang SMA. Pejabat mana yang mau menjamin ketiga anak besan saya itu bisa jadi PNS dengan uang segitu? Apalagi tanpa tes. Jelas ini tidak masuk akal.

Seperti ingin lebih meyakinkan saya, Besan saya itu menegaskan “Bulan-bulan ini Pak! Paling lambat April nanti SK-nya kita terima dan anak kita langsung ditempatkan,” katanya pada waktu itu.

Dalam hati saya berkata “tunggu sajalah kau akan tahu bahwa engkatu telah ditipu”.

Sepulang besan dari rumah saya, saya katakan pada isteri bahwa besan kami itu telah kena tipu.

“Koq papa bisa tahu?” tanya isteri saya meragukan kemampuan saya membaca situasi.

“Papa tahu, karena papa sedikit banyak mengerti bagaimana permainan oknum-oknum di kantor pemerintahan memanfaatkan celah penerimaan CPNS.Kalau mama gak percaya tunggu saja nanti bulan April apa SK-nya benar-benar keluar atau tidak?” kata saya pada isteri.

Singkat cerita Bulan April pun berlalu, SK yang dijanjikan kepada besan saya tidak ada kabarnya.
Sebulan kemudian (Mei) Besan saya datang lagi ke rumah. Dia bilang ada kabar dari kontak person-nya soal SK PNS itu bahwa ada sedikit masalah administrasi. Si kontak person Besan saya mengatakan SK akan keluar Bulan Juni. Besan saya tampak mulai bimbang, itu terlihat dari ekspresinya yang kurang bersemangat.

Bulan Mei berlalu, kemudian Bulan Juni pun lewat, SK yang ditunggu tak kunjung keluar.

Awal Juli Besan saya mendapat kabar SK akan keluar akhir Juli. Kabar itu disertai janji kalau SK tidak keluar uang Rp.90 juta akan dikembalikan. Besan saya sudah punya rencana lain jika uang dikembalikan. Dia akan memberikan uang itu kepada menantu saya untuk modal usaha di pasar.

Sekarang bulan Juli sudah terlewati, janji oknum tersebut ternyata gombal belaka. Besan saya tak ada suaranya lagi. Baru tahu dia kalau sudah kena tipu.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto