Orang Intelek Koq Anarkis?
Menyaksikan berita heboh di televisi tentang unjuk rasa Aliansi
Mahasiswa Jambi menolak kedatangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
Selasa (20/9), perasaan saya jadi miris.
Unjuk rasa itu memang bukan pertama pasca reformasi 1998. Bahkan, tiap hari kita bisa menyaksikan tayangan unjuk rasa di berbagai daerah dengan berbagai topik pula. Unjuk rasa menjadi menu sehari-hari pemirsa televisi, pembaca majalah dan koran, serta pendengar radio.
Perasaan saya menjadi miris. Apakah harus dengan unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasi. Apakah harus dengan tindakan brutal dan anarkis untuk menyatakan pendapat atau penolakan terhadap sesuatu?
Menyaksikan hal seperti itu saya merasa kehilangan “Indonesia”. Indonesia yang dulu terkenal dihuni oleh manusia-manusia santun dan beretika, kini berubah menjadi negara “hukum rimba”. Yang merasa kuat berusaha menunjukkan kekuatannya. Yang merasa punya wadya balad untuk kekuatan.
Mengapa Indonesiaku hilang?
Tentang kepimpinan, haruskan kita menunjukkan ketidak-puasan dengan tindakan penuh kemarahan dan bringas bagai binatang buas?
Apakah dengan marah dan bertindak anarkis, kita bisa mengubah sistem? Bisa mengganti pemerintahan? Bisa mengubah angka-angka di APBN?
Mengapa sekarang para mahasiswa gemar unjuk rasa? Mengapa pula mereka anarkis? Apakah mereka tidak belajar etika? Apakah mereka tidak mengerti hukum? Atau mungkin sengaja mengabaikan hukum?
Entahlah.
Saya pribadi was-was melihat tingkah polah mahasiswa sekarang. Ini mengingat saya punya seorang putra yang sebentar lagi menjadi mahasiswa.
Tiap melihat tayangan unjukrasa mahasiswa di televisi, wanti-wanti saya menasihati putra saya itu, agar nanti kelak menjadi mahasiswa tidak ikutan unjuk rasa.
“Kalau ada unek-unek terhadap pemerintah atau satu lembaga pemerintah, sampaikanlah kritikan melalui surat. Ini lebih punya makna dan lebih mulia,” kata saya kepada putra saya.
Terus terang, saya sangat setuju dan mendukung keterbukaan, tetapi keterbukaan yang bermartabat. Di era keterbukaan ini siapapun berhak menyampaikan aspirasinya. Siapapun berhak menyatakan ketidak-puasannya, protes dan lain-lain. Tetapi, apabila kita menyampaikannya dengan cara yang brutal, anarkis, penuh amarah, saya kira itu sudah tidak pantas, apalagi jika dilakukan orang-orang terpelajar.
Mahasiswa adalah orang-orang terpelajar. Orang terpelajar adalah sebutan untuk orang berpendidikan, orang berpendidikan adalah intelektual.
Sebagai intelektual mahasiswa semestinya menyampaikan aspirasi secara intelek pula. Banyak cara yang lebih elegan. Bisa menyampaikan petisi melalui lembaga Badan Eksekutif Mahasiswa, yang ditujukan kepada Presiden jika ada kebijakan pemerintah yang menyimpang.
“Masa orang intelek bertindak anarkis,” celetuk puteri saya yang kelas 6 SD, ketika menyaksikan aksi unjuk rasa mahasiwa, di Simpang Empat Bank Indonesia Jambi, Selasa (20/9).
Unjuk rasa itu memang bukan pertama pasca reformasi 1998. Bahkan, tiap hari kita bisa menyaksikan tayangan unjuk rasa di berbagai daerah dengan berbagai topik pula. Unjuk rasa menjadi menu sehari-hari pemirsa televisi, pembaca majalah dan koran, serta pendengar radio.
Perasaan saya menjadi miris. Apakah harus dengan unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasi. Apakah harus dengan tindakan brutal dan anarkis untuk menyatakan pendapat atau penolakan terhadap sesuatu?
Menyaksikan hal seperti itu saya merasa kehilangan “Indonesia”. Indonesia yang dulu terkenal dihuni oleh manusia-manusia santun dan beretika, kini berubah menjadi negara “hukum rimba”. Yang merasa kuat berusaha menunjukkan kekuatannya. Yang merasa punya wadya balad untuk kekuatan.
Mengapa Indonesiaku hilang?
Tentang kepimpinan, haruskan kita menunjukkan ketidak-puasan dengan tindakan penuh kemarahan dan bringas bagai binatang buas?
Apakah dengan marah dan bertindak anarkis, kita bisa mengubah sistem? Bisa mengganti pemerintahan? Bisa mengubah angka-angka di APBN?
Mengapa sekarang para mahasiswa gemar unjuk rasa? Mengapa pula mereka anarkis? Apakah mereka tidak belajar etika? Apakah mereka tidak mengerti hukum? Atau mungkin sengaja mengabaikan hukum?
Entahlah.
Saya pribadi was-was melihat tingkah polah mahasiswa sekarang. Ini mengingat saya punya seorang putra yang sebentar lagi menjadi mahasiswa.
Tiap melihat tayangan unjukrasa mahasiswa di televisi, wanti-wanti saya menasihati putra saya itu, agar nanti kelak menjadi mahasiswa tidak ikutan unjuk rasa.
“Kalau ada unek-unek terhadap pemerintah atau satu lembaga pemerintah, sampaikanlah kritikan melalui surat. Ini lebih punya makna dan lebih mulia,” kata saya kepada putra saya.
Terus terang, saya sangat setuju dan mendukung keterbukaan, tetapi keterbukaan yang bermartabat. Di era keterbukaan ini siapapun berhak menyampaikan aspirasinya. Siapapun berhak menyatakan ketidak-puasannya, protes dan lain-lain. Tetapi, apabila kita menyampaikannya dengan cara yang brutal, anarkis, penuh amarah, saya kira itu sudah tidak pantas, apalagi jika dilakukan orang-orang terpelajar.
Mahasiswa adalah orang-orang terpelajar. Orang terpelajar adalah sebutan untuk orang berpendidikan, orang berpendidikan adalah intelektual.
Sebagai intelektual mahasiswa semestinya menyampaikan aspirasi secara intelek pula. Banyak cara yang lebih elegan. Bisa menyampaikan petisi melalui lembaga Badan Eksekutif Mahasiswa, yang ditujukan kepada Presiden jika ada kebijakan pemerintah yang menyimpang.
“Masa orang intelek bertindak anarkis,” celetuk puteri saya yang kelas 6 SD, ketika menyaksikan aksi unjuk rasa mahasiwa, di Simpang Empat Bank Indonesia Jambi, Selasa (20/9).