Selasa, 15 April 2008

Perjalanan Dinas DPRD Diduga Banyak Fiktif

BANDAR LAMPUNG (Berita Nasional): Anggota DPRD Lampung diduga banyak yang memanipulasi anggaran Dewan dengan mencairkan surat perintah perjalanan dinas (SPPD) fiktif.
Meskipun namanya tercatat dalam rombongan perjalanan dinas yang dibalut kegiatan studi banding atau kunjungan kerja ke luar provinsi, anggota DPRD Lampung itu terlihat di gedung Dewan. Banyaknya anggota Dewan yang melakukan perjalanan dinas fiktif diungkapkan anggota DPRD Lampung yang tidak mau disebutkan namanya, Senin (14-4).

Sumber tersebut mengungkapkan dua modus anggota DPRD membuat SPPD fiktif. Pertama, memang benar-benar tidak berangkat. Dana yang dicairkan biasanya dipotong Rp1 juta atau sampai 50 persen. "Kalau pakai modus ini memang benar-benar untung karena tidak ke mana-mana, tetapi dapat duit," kata dia.

Modus kedua, mengikuti perjalanan dinas ke luar provinsi, tetapi jumlah hari kunjungan kerjanya dikurangi. "Kalau dijadwalkan enam hari, setiap anggota dapat Rp8,3 juta. Tetapi yang dilaksanakan hanya dua hari," kata dia.

Menurut dia, perjalanan dinas biasanya dilakukan dalam kelompok atau rombongan dan tidak pernah seluruhnya ikut. "Kalau rombongan, yang berangkat paling-paling cuma separo, tetapi yang mencairkan uang SPPD pasti semuanya. Modus itu biasa dilakukan SPPD diurus staf. Dari keuangan dicairkan sesuai dengan jumlah rombongan," kata dia.

Pernyataan itu dibenarkan staf DPRD yang tidak mau disebutkan namanya. "Besarnya biaya perjalanan dinas ditentukan jumlah hari dan jarak tempuh dari Lampung," jelasnya.

Sejak Jumat (11-4), Bawasda Provinsi Lampung tengah memeriksa adanya perjalanan dinas fiktif yang dilakukan Pansus Sembilan Raperda yang diketuai Abdulah Fadri Auli. Pansus beranggotakan 14 orang ini studi banding ke Riau.

Aturan Selektif

Dihubungi terpisah, Ketua DPRD Lampung Indra Karyadi mengakui ada anggotanya yang mencairkan SPPD fiktif. "Sebab itu, kami mengeluarkan aturan selektif. Proses pencairan SPPD harus sesuai dengan aturan, hanya untuk hal yang betul-betul penting," kata Indra.

Menurut Indra, pimpinan DPRD tengah mempelajari mekanisme pemberian sanksi bagi anggota DPRD yang mencairkan SPPD fiktif. "Yang jelas kalau ada pengaduan akan ditindaklanjuti Badan Kehormatan. Sanksi selanjutnya terserah BK. Apakah mengembalikan uang perjalanan dinas atau sanksi lain. Kalaupun Bawasda mau memeriksa, silakan," kata Indra.

Berdasar pada catatan di Sekretariat DPRD Lampung sejak Januari hingga April 2008, anggota DPRD Lampung telah melakukan studi banding dalam kelompok Panitia Khusus (Pansus) ke delapan provinsi.

Sementara itu, DPRD Lampung dalam rapat pimpinan, Senin (14-4), kembali mengagendakan studi banding 65 anggota Dewan pada 8--14 Mei 2008.(sumber: Lampung Post)

Jumat, 11 April 2008

SLANK II

SAYA membaca ulang beberapa naskah Tajuk Rakyat ini, setelah menyimak keterangan Gayus Lumbuun, Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR semalam di SCTV. Tidak banyak pokok pikiran yang disampaikannya, ihwal lagu SLANK yang berjudul Gossip Jalanan, yang dianggap menghujat kewiba waan DPR itu. Kepada Fajroel, tamu pendamping dalam wawancara SCTV itu, Gayus mengatakan, “Kalau tidak tahu arti santun masuk ke sekolah SMA lagi.” Ia menatap pembawa acara.

Pada 8 April 2008, saya menuliskan tajuk berjudul SLANK. Hari ini di berita pagi televisi swasta, hangat membahas ihwal meradang-nya anggota dewan di DPR, soal lagu SLANK itu.

Kemudian saya membaca ulang buku Sembilan elemen Jurnalisme, Bill Kovach & Tom Rosenstiel. Saya merasa perlu mengkritik diri sendiri agar ke depan rendah hati. Tajuk ini kendati essai, sudah saya tabalkan berlenggam reportase. Sebuah reportase berisi paparan, deskripsi, bahkan beberapa di antaranya saya coba menulis reportase literair, agar terhindar dari kesan nyinyir. Beberapa tulisan yang ada, sudah mulai nyinyir macam nenek lampir saja.

Suatu waktu ketika berdiskusi dengan rekan di Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi (PWI-Reformasi), organisasi di mana saya ada, saya terperanjat mendengar keterangan, bahwa kemampuan reportase dalam iklim sekarang tidak mutlak perlu bagi seorang wartawan. Lah, bila demikian adanya, menjadi tanya, apanya yang di-reformasi sebagai reporter?

PWI-Reformasi adalah organisasi yang memiliki sejarah. Ia didirikan pada November 1998, diprakarsai oleh beberapa wartawan senior, bahkan nama reformasi, diucapkan langsung oleh Dahlan Iskan, Pemimpin Jawa Pos Group. Organisasi ini diharapkan mengoreksi cara berorganisasi PWI, yang dalam catatan sejarah turut mendukung pembredelan TEMPO, Detik - - di antaranya - - di era Orde Baru.

Hingga kini, PWI-Reformasi - - salah satu dari 29 organisasi pers - - belum masuk ke daftar anggota Dewan Pers. Mereka yang sudah ada di Dewan Pers, adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), dan IJTI (Ikatan Juranalis Televisi Indonesia).

Salah satu syarat terdaftar di Dewan pers, memiliki kepengurusan setidaknya di 10 propinsi. PWI-Reformasi kendati memiliki kepengurusan di 26 propinsi, namun secara kelembagaan belum memdaftar ke Dewan Pers. Ia laksana partai politik baru, masih dalam upaya membenahi diri. Bahkan namanya pun sempat beralih menjadi PJI (Persatuan Jurnalis Indonesia) - - yang kemudian jalan sendiri - - lalu menegaskan kembali bahwa PWI-Reformasi, masih perlu ada.

Apa yang direformasi?

Inilah pertanyaan membucah di benak saya selalu. Kini hampir di semua propinsi dan kabupaten, jurnalis terkotak-kotak berpihak di dalam pilkada. Media terkooptasi oleh uang dan kekuasaan. Dengan sendirinya wartawan, manusia di dalamnya menjadi terkotak-kotak pula.

Di beberapa propinsi, saya mencatat, 100% wartawan menerima amplop. Kemampuan reportase lemah, lebih-lebih melakukan verifikasi investigasi. Bila pun mereka berorganisasi, mereka masih saling gontok-gontokkan, memojokkan kelemahan kawan kiri kanan, tidak mencari solusi perbaikan, terutama perbaikan ke arah meningkatnya kemampuan reportase, yang memberi andil bagi keberpihakan kepada kesejahteraan masyarakat.

Tak dipungkiri laku jurnalis kini yang ada kian jauh panggang dari api bekerja profesional. Saya minimal mengingatkan diri sendiri. Sering sekali saya menginjak jempol kaki dalam menulis, terutama untuk mengingatkan keberpihakan. Sebagai jurnalis, keberpihakan mutlak kepada warga.

Ketika mendapatkan laporan dari Tuah F, Rado, PWI-Reformasi Kalimantan Tengah, yang datang ke Jakarta kemarin, mengatakan bahwa Ketua Umum PWI, Tarman Azzam, kini sering sekali ke Kalimantan Tengah dan ke kabupaten-kabupaten yang ada, bahkan memberikan penghargaan kepada Bupati yang ada di Kalteng, saya bertanya-tanya, gerakan apa pula yang dilakukan? Apakah penghargaan yang diberikan Tarman kepada pejabat itu, sudah merupakan hasil keputusan rapat PWI Pusat?

Menurut Tuah, pada penghujung 2007, Tarman pernah berpidato di depan jajaran Pemda Kabupaten Pulang Pisang, Kalimantan Tengah, bahwa, “Hanya ada tiga organisasi pers yang diakui secara resmi. Selain itu jangan dilayani, dan jangan diterima.”

Sebuah kalimat provokatif.

Sebuah kalimat arogan.

Omongan Tarman itu berimplikasi kini.

Banyak Pemda di tingkat kabupaten di Kalteng, tidak berkenan melayani wartawan yang berorganisasi di luar PWI. Keadaan, bahkan lebih parah dibanding di era Orde Baru. Wartawan, dikoordinir oleh humas Pemda. Berita melalui satu atap. Prioritas satu saja untuk PWI. Langkah ini secara nyata hari ini dilakukan oleh Rumah Sakit Umum Doris Sylvanus, Palangkaraya, yang sampai harus mengeluarkan semacam kartu identitas izin peliputan khusus bagi wartawan PWI saja, untuk lingkungan rumah sakit tersebut.

Bila wartawan sakit, atau butuh uang, ia tinggal meminta bantuan Pemda. Dan tinggal datang ke Humas, maka teken tanda terima, uang cair untuk sang wartawan. Langgam demikian bukan lagi isu. Tetapi seakan sudah diformalkan. Dan wartawan yang bukan PWI, tidak mendapatkan fasilitas apa-apa dari Pemda.

Saya memang menghimbau jajaran PWI- Reformasi untuk tidak mengunakan dana Pemda bagi berbagai keperluan jurnalistik. Jika tidak siap kere dan menderita jadi jurnalis, saya meminta mereka meninggalkan profesi itu. Ada cara meningkatkan taraf ekonomi, dengan menjadi pedagang koran, membuka warung nasi dan seterusnya. Ini demi menjaga independensi. Karenanya PWI-Reformasi Papua, sebagai contoh, yang pernah mendapatkan bantuan dana Pemda, saya minta membuatkan laporan penggunaan, untuk dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat.

PADA Agustus 2007, saya mendampingi Agung Firmansyah, yang berprofesi mengerjakan tulisan pariwara Pemda ke beberapa media. Ia mengajak saya ke Puruk Cahu, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah. Tentunya saya berterimakasih kepada Agung, bisa berjalan-jalan ke Puruk Cahu. Willy M Yosep, Bupati, begitu bangga memperlihatkan fotonya dengan Tarman Azzam, Ketua Umum PWI Pusat, di dinding rumah dinasnya. Tarman disambut laksana pejabat pemerintah dari pusat, bila datang ke kabupaten-kabupaten di Kalimantan Tengah.

Wartawan di Puruk Cahu, mendapatkan fasilitas ruang kerja ber-AC. Mereka mendapatkan bantuan motor. Mantan Ketua PWI Puruk Cahu, kini salah satu camat. Dalam keadaan demikian bagaimana wartawan mengritisi pembangunan rumah Bupati yang harus mencapai Rp 19 miliar. Termasuk pembangunan jembatan, sebagai infrastruktur yang bermasalah.

Bagaimana wartawan mengkritisi, bila kantor PWI Puruk Cahu dibiayai dari PAD Kabupaten, mencapai Rp 500 juta? Bukankah pembangunan kantor wartawan itu dananya lebih mendesak mengembangkan perpusatakaan kelililing desa, misalnya? Karena jumlah penduduk buta huruf cukup tinggi.

Di kemudian hari Tarman Azzam memberikan penghargaan pula kepada Willy yang tahun ini kembali mencalonkan diri sebagai Bupati itu, sebagaimana dituturkan Tuah F. Rado.

Di kabupaten yang memiliki tambang emas dan beberapa tambang batubara berkalori tinggi itu memang unik. Ketua DPRD, Henry Yosep, adalah kakak kandung Bupati, dan seorang kepala dinas, juga kakak kandung Willy. Tidak salah tentu. Tetapi bila media difasilitasi, corong media cuma PWI yang terfasilitasi itu, dan Ketua Umum Pusatnya, Tarman Azzam, beberapa kali pula ke Puruk Cahu, yang terindikasi bukan untuk urusan jurnalistik, tentulah layak kiranya jurnalis lain memverifikasinya, ada apa gerangan yang terjadi?

Dalam konteks ini, maka, diperlukan beberapa organisasi profesi wartawan, di sanalah gunanya anggotanya berperan, guna memberikan reportase dari sudut lain, yang ujung-ujung memberikan manfaat bagi masyarakat banyak, informasi yang sesungguhnya ada. Di tengah harapan kepada trias politika yang pupus, sedianya kekuatan keempat di bidang pers, media, wartawan, tumbuh.

Sayangnya, keberadaan wartawan lain itu, tidak diberi gerak, bahkan diusir macam yang terjadi di rumah sakit umum Doris Sylvana, Palangka Raya itu. Bila demikian kedaannya situasi di Kalimantan Tengah, sudah lebih parah dibanding iklim media massa di era Soeharto. Daerah sudah semacam negeri “feodal” baru. Lebih celaka, bila , feodalisme itu tumbuh difasilitasi oleh organisasi pers.

SUATU siang di empat tahun lalu, saya diajak Bambang Soepardjo, Ketua DHN 66, ke kantor Tarman Azzam, di perkantoran Gedung Dewan Pers,Jakarta Pusat. Inilah pertemuan tatap muka pertama saya dengan Ketua Umum PWI itu. Sejak itu saya tak pernah jumpa, dan mengikuti terus sepak terjangnya menjalankan organisasi PWI.

Di Harian Kalteng Pos, Selasa 8 April, ada tulisan Persiapan Jambore Wartawan Dimatangkan. Pelaksanannya di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Kegiatan itu dimotori PWI, dengan dukungan penuh Tarman Azzam. Untuk acara itu, berbagai lintas dinas Pemda terlibat, mulai dari dinas pekerjaan umum, Ditamperindag, PLN hingga PAM. Sudah dipastikan bahwa acara yang konon akan dihadiri oleh Menkominfo itu, bagi satu organisasi wartawan, PWI, jelas-jelas menggunakan dana APBD.

Di tengah situasi meningkatnya gizi buruk balita di berbagai daerah, adalah sebuah kenaifan bila organisasi jurnalis membebani anggaran negara, membebani anggaran daerah.

Lebih disayangkan kedekatan jurnalis, organisasi jurnalis, menjadi sebuah “kolusi” menyukseskan kekuasaan. Karenanya saya mengajak SLANK, bukan saja menulis lagu kritik bagi DPR, tetapi juga nyanyian mengkritik organisasi wartawan, juga profesi wartawan kini, yang mulai banyak “dilacurkan” kini.

Toh apalagi bila dilihat ditelevisi pagi ini, Ki Gendeng Pamungkas pun sudah ikut meluncurkan album lagu, mendukung SLANK. "Mana itu semua orang DPR, saya bela Slank, kalau berani gugat saya." Saatnya kini organisasi wartawan dan wartawan menunjukkan pula identitasnya yang pro warga, pro poor. Sebelum rakyat kebanyakan menggugatnya.

Iwan Piliang

Bongkar-pasang Ketua Parpol di Lampung

BANDAR LAMPUNG (Berita Nasional): Pembekuan pengurus partai di Lampung tidak terlepas dari tarik-menarik kepentingan pilkada. Pengartekeran juga wujud ketidakpercayaan pusat dan kontrol efektif pada pengurus daerah yang terlibat politik uang.

Penarikan wewenang pengurus wilayah partai di Lampung terjadi di PPP, PKB, dan Partai Demokrat. Wewenang Ketua DPD Partai Demokrat Lampung Thomas Azis Riska ditarik medio 2007 dan kepemimpinannya digantikan Plt. Ketua Peter Tji'din. Ketua DPW PPP Lampung Darwis Sani Merawi dibekukan 5 Oktober 2007 karena ditengarai DPP terlibat politik yang pilkada. Kemudian, kepemimpinan Ketua DPW PKB Lampung Musa Zainuddin dibekukan DPP berdasar pada keputusan rapat pleno 29 Februari 2008.

Dalam pandangan pengamat politik Unila Hertanto, pengambilalihan wewenang itu cerminan tarik-menarik kewenangan menetapkan calon gubernur dan calon bupati. Parpol yang sistem pengambilan keputusannya sentralistik merasa terganggu oleh struktur di daerah yang ingin punya peran lebih.

Pusat yang sentralistik, kata Dekan FISIP Unila ini saat dihubungi kemarin (10-4), terganggu oleh daerah yang ingin berperan menetapkan calon kepala daerah. Akhirnya, muncul konflik karena intervensi pusat terus digugat daerah. "Intinya rebutan selain juga terkait uang perahu," ujarnya.
Fenomena karteker juga terkait ketidakpercayaan pusat pada daerah. "Ini juga kontrol efektif bagi pengurus di daerah yang 'nakal'. Bisa saja ada pengurus daerah yang terlalu 'kasar' politik uangnya. Ada juga yang terkait dengan konflik," kata Hertanto.

Ke depan, Hertanto menyatakan turut campur pusat ke daerah harus berimbang. "Mesti ada kewenangan tertentu yang diberikan pada daerah seperti negosiasi koalisi dengan partai lain terkait calon gubernur."

Dihubungi terpisah, dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Unila Ari Darmastuti menyatakan parpol di Indonesia masih bersifat informal sentralistik. "Keputusan masih ditentukan perorangan atau tokoh, bukan melalui rapat atau musyawarah. Mereka juga terpusat, bukan membagi wewenang ke daerah-daerah."

Dengan begitu, lanjutnya, wajar bila di Lampung banyak marak fenomena karteker. "Di negara-negara maju, sistemnya sudah formal desentralistik. Mereka menentukan keputusan melalui rapat, musyawarah, serta membagi wewenang ke daerah-daerah," jelas Ari.

Di Indonesia pun Ari menilai harus mulai berkembang seperti di negara-negara maju. Pengambilalihan pengurus daerah oleh pusat melalui karteker harus berdasarkan syarat-syarat tertentu misalnya melanggar AD/ART atau persoalan moral seperti perselingkuhan, politik uang, dan korupsi.

Kasus PPP

Penarikan wewenang juga memunculkan masalah berkepanjangan. Kasus di DPW PPP Lampung sampai sekarang belum selesai. Untuk ketiga kali, musyawarah wilayah luar biasa (muswilub) gagal menyepakati keputusan.

Terakhir, pengurus DPW yang disodorkan formatur pada forum yang berlangsung Selasa (8-4) malam di kantor DPP PPP ditolak karteker. Formatur menetapkan M. Sofjan Jecoeb sebagai ketua, dan tiga ketua DPC sebagai wakil ketua mendampingi Sofjan.

Meskipun formatur menyatakan penetapan Sofjan Jacoeb tidak menyalahi AD/ART, Plt. Ketua PPP Lampung Emron Pangkapi dengan tegas menyatakan hal tersebut melanggar.Selain AD/ART, Emron menyatakan beberapa syarat menjadi pimpinan, baik DPP, DPW, maupun DPC, merujuk pada hasil Mukatamar VI 30 Januari--4 Februari 2007 lalu seperti Pasal 5 Ayat (C) dan Pasal 6 Ayat (2). "Semangat yang dibangun adalah mengantisipasi pendatang baru tidak bisa langsung jadi pemimpin," kata Emron yang dibenarkan Plt. Sekretaris PPP Lampung Teuku Taufiqulhadi. (sumber: Lampung Post)

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto