Kamis, 02 Desember 2010

Jenderal Polisi Timur Pradopo


Proses pemilihan Kepala Kepolisian Republik Indonesia tengah menuai sorotan. Dua nama yang sebelumnya lolos dalam seleksi Wanjak (Dewan Jabatan dan Kepangkatan) Polri dan telah diajukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yakni Komisaris Jenderal (Komjen) Nanan Soekarna dan Komjen Jenderal Imam Soedjarwo, ternyata ditolak Presiden.

Yayat Suratmo menulis di www.kabarinews.com, mengatakan, tak cuma itu, detik-detik menjelang pengajuan dua nama tersebut ke DPR, muncul nama Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Komjen Ito Sumardi sebagai kuda hitam. Ito disebut-sebut hampir pasti menjadi Kapolri.

Tetapi hanya berselang sehari setelah media melansir nama Ito, Presiden memanggil Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD) ke Istana hari Senin (04/10/2010) sore. Diduga pertemuan itu terkait pemilihan Kapolri.

Keesokan paginya, Selasa (05/10/2010), di Markas Polri Jalan Trunojoyo, Jakarta, BHD melantik Inspektur Jenderal Timur Pradopo sebagai Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan (Kabaharkam) Polri dengan pangkat tiga bintang di pundaknya menjadi Komisaris Jenderal. Sebelumnya Timur Pradopo menjabat Kepala Kepolisan Daerah Metro Jakarta.

Beberapa jam setelah pelantikan, atau sore hari sekitar pukul 18.00 WIB, Presiden mengirimkan surat resmi ke DPR yang isinya mengajukan nama Komjen Timur Pradopo sebagai calon tunggal Kapolri menggantikan BHD.

Kontroversi pun menyeruak. Pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar melihat hal ini sebagai sesuatu yang tak lazim dan dapat mengundang pertanyaan publik. Sementara sejumlah anggota DPR Komisi III dari partai oposisi menilai, ada politisasi pemilihan Kapolri.

Di sisi lain, banyak pihak menyatakan setuju, karena pemilihan Kapolri sesuai UU adalah hak prerogratif Presiden.

Terlepas dari itu semua, publik menjadi bertanya-tanya, siapakah dan bagaimanakah sosok Komjen Timur Pradopo.

Profil Komjen Timur Pradopo

Timur Pradopo lahir di Jombang, 10 Januari 1956, itu berarti usianya 45 tahun dan masih memiliki waktu setidaknya sepuluh tahun berkarir sebelum pensiun. Timur Pradopo lulusan Akademi Polisi (Akpol) tahun 1978.

Ia pernah bertugas sebagai perwira di Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Semarang. Kemudian ia naik menjadi Kepala Seksi Operasi Poltabes Semarang. Dalam tempo beberapa tahun ia diangkat menjadi Kepala Kepolisian Sektor Kota (Kapolsekta) Semarang Timur.

Dari sana ia dipindahtugaskan ke wilayah Kedu, Jawa Tengah sebagai Kepala Bagian Lalu Lintas (Kabag Lantas) Kepolisian Wilayah (Polwil) Kedu.

Dari Kedu, ia pindah ke Jakarta sebagai Kabag Operasi Direktorat Lantas Polda Metro Jaya pada dekade 90-an.

Fungsi teritorial kembali ia emban ketika menjabat Kasat Lantas Wilayah Jakarta Pusat dan selanjutnya menjadi Kepala Polsek Sawah Besar.

Dari Jakarta, Timur Pradopo dipindah ke Tangerang menjadi Wakil Kepala Kepolisian Resor (Wakapolres) Tangerang. Kemudian ia ditarik lagi ke Jakarta menjadi Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Metro Jakarta Barat tahun 1998 dengan pangkat Komisaris Besar Polisi atau setara Kolonel dalam militer. Saat menjabat Kapolres Jakarta Barat itulah, peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti terjadi.

Setelah itu ia menjabat Kapolres Metro Jakarta Pusat selama dua tahun. Kemudian ia dipindah lagi ke Jawa Barat. Jabatannya terus naik dan sempat menjadi Kepala Kepolisan Wilayah Kota Besar (Kapolwiltabes) Bandung.

Ia terus berpindah-pindah dengan jabatan yang semakin tinggi. Tak perlu waktu lama, ia dipercaya menjadi Kapolda Banten dengan pangkat bintang dua di pundak. Dianggap berhasil di Banten, ia ditarik ke Mabes Polri sebagai staf ahli Kapolri Bidang Sosial Politik.

Tahun 2008 ia diangkat menjadi orang nomor satu di Kepolisian Jawa Barat dengan jabatan Kapolda. Tanda-tanda karirnya bakal cemerlang sudah terlihat sejak ia kembali ditarik ke Jakarta dan ditunjuk menjadi Kapolda Metro Jaya.

Di lingkungan kepolisian, jabatan Kapolda Metro Jaya tergolong prestise. Banyak perwira Polri melesat karirnya setelah menduduki kursi nomor satu kepolisian Jakarta.

Baru sembilan bulan menjabat Kapolda Metro Jaya, bintang Timur Pradopo semakin benderang. Ia memperoleh bintang tiga setelah diangkat menjadi Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan (Kabaharkam) Polri. Pangkatnya menjadi Komisaris Jenderal.

Tak sampai di situ, namanya kemudian diajukan sebagai calon tunggal Kapolri oleh Presiden menyisihkan tiga nama elit di jajaran kepolisian, Komjen Ito Sumardi (lulusan Akpol 1977), Komjen Nanan Soekarna (Akpol 1978) dan Komjen Imam Sudjarwo (Akpol 1980).

Pengesahan Komjen Timur Pradopo sebagai Kapolri tinggal menunggu waktu, sebab DPR telah memberi sinyal setuju. Jika demikian, maka pria yang beristrikan Irianti Sari Andayani dan memiliki dua anak ini, akan menjadi Jenderal bintang empat hanya dalam waktu satu bulan.

Sejumlah kalangan menilai prestasi Komjen Timur Pradopo tergolong biasa-biasa saja, namun ia dikenal loyalis. Faktor ini yang diduga menjadi pertimbangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dan sebagai calon tunggal, Komjen Timur Pradopo hampir dapat dipastikan melenggang mulus ke kursi Trunojoyo One.

Total kekayaannya berdasarkan data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rp 2,1 miliar pada tahun 2008. Sementara, data kekayaan terbaru berdasarkan data LHKPN tahun 2010 baru diterima KPK 3 September lalu dan masih diverifikasi.

Pertanyaannya, sanggupkah ia menghadapi tantangan Polri yang semakin berat dalam mencapai tujuan Grand Strategy 2020 Polri?

Kasus Bank Century, kasus Susno Duadji, kasus mafia pajak Gayus Tambunan, adalah sedikit dari deretan tantangan besar yang harus dijawab Komjen Timur Pradopo.

Kuasa Hukum Gayus Pertanyakan Uang Senilai Rp 390 Juta

Kuasa hukum terdakwa kasus penggelapan pajak Gayus Tambunan, Adnan Buyung Nasution mempertanyakan uang senilai Rp 390 juta yang disita pihak kepolisian.

Adnan menuding bahwa pihak kepolisian telah melakukan penipuan terhadap pengadilan karena hanya memberikan bukti penyitaan saja ke Pengadilan Negeri Tanggerang tanpa didukung dengan uang hasil sitaannya.

"Yang diberikan hanya bukti penyitaannya saja. Bukti uangnya tidak dibawa ke persidangan. Harusnya barang buktinya juga dibawa ke pengadilan. Ini bukan kejanggalan tapi ini dengan sengaja melakukan penipuan," tegas Adnan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (29/11).

Ia juga sangat kecewa dengan sikap Bank BCA yang dinilainya sangat ceroboh. Hal ini karena Bank BCA telah berani mengeluarkan surat pemblokiran dan penyitaan rekening Gayus Tambunan sebesar Rp 390 juta kepada pihak kepolisian tanpa melakukan pengecakan terlebih dahulu.

"Padahal uang di rekening itu cuma sebesar Rp 16 juta, lalu bagaiman bisa disita Rp 390 juta? Saat saya tanya saksi dari Bank Bca, berkas-berkas itu sudah disiapkan polisi, tinggal ditanda tangani saja," kata Adnan.

Di persidangan lanjutan tersebut, Senin (29/11), Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghadirkan saksi-saksi dari pihak Bank BCA, yakni Wanisabu, Hendarto dan Inda Imawati.

Salah satu saksi, Inda Imawati, memaparkan bahwa dirinya menandatangani surat penyitaan tersebut karena takut kepada polisi, selain itu semua berkas-berkas pun telah disiapkan oleh pihak kepolisian.

"Saya takut, saya tidak tahu apa-apa. Sebab jika saya tidak tanda tangan dibilangnya saya tidak membantu polisi," ujar Inda.

Jumat, 26 November 2010

Sukemi dan Sawiyah, Potret Lusuh Kemiskinan

Bibir Soetono (64) terasa kelu. Matanya sembab menyaksikan jenazah istrinya, Sukemi, terbujur kaku dihantam penyakit kanker. Sontak pikirannya melayang, betapa almarhumah istrinya adalah perempuan yang tegar. Setiap sehabis subuh, istrinya berangkat ke pasar membeli makanan kecil. Dengan modal Rp 25.000 ia membeli sekitar 30 sampai 50 macam kue untuk dijual kembali. Pulang dari pasar, Sukemi kemudian menyiapkan sarapan pagi ala kadarnya untuk keluarga. Terkadang hanya nasi putih dan sepotong kerupuk. Soetono dan istrinya hidup bersama seorang anak perempuannya Wiwit (26) dan seorang cucunya, Riska (8). Wiwit (26) sudah bercerai dan kini menganggur setelah pabrik tekstil tempatnya bekerja tutup. Untuk membantu orang tua dan membiayai sekolah anaknya Wiwit bekerja sebagai buruh cuci.

Soetono, Sukemi dan Wiwit, mereka sekeluarga adalah potret nyata sebuah kegigihan. Saat Sukemi divonis menderita kanker payudara, mereka sekuat tenaga mencari uang untuk pengobatan orang yang mereka cintai.

Wiwit bahkan sampai bekerja sebagai tenaga pengamplas kusen di sebuah bengkel meubel. Pekerjaan yang seharusnya dilakoni seorang lelaki. Usai menjadi buruh cuci, setiap sore Wiwit menjadi pengamplas kusen sampai jam sembilan malam. Dengan waktu kerja sekitar lima jam ia dibayar Rp 12.000. Penghasilan Soetono sebagai pemulung pun sangat pas-pasan, dari barang bekas yang terkumpul selama seminggu, paling-paling ia hanya mendapatkan uang Rp 50.000 saja.

Meski digabung, penghasilan mereka jauh dari cukup. Uang yang terkumpul yang sedianya untuk mengobati penyakit kanker Sukemi, hanya cukup untuk mengurus surat miskin saja. Setidaknya demi mendapatkan surat GAKIN (Keluarga Miskin) yang bisa dipergunakan untuk mendapat pengobatan gratis di rumah sakit, Soetono dan Wiwit menghabiskan Rp 15.000.

Sementara kanker payudara Sukemi sudah semakin parah. “Setiap malam istri saya menangis menahan sakit di payudaranya.” ujar Soetono lirih. Akhirnya berbekal surat GAKIN, Sukemi bisa dioperasi di sebuah RS milik pemerintah daerah. Operasi terbilang sukses meski Sukemi terpaksa kehilangan satu payudaranya. Namun karena tidak punya biaya untuk pengobatan lanjutan, luka bekas operasi tersebut menjadi infeksi dan bernanah. Bahkan kini mulai muncul benjolan baru di payudaranya. Wajahnya semakin pucat, kulitnya menguning. Ia kemudian dirujuk ke RS Cipto Mangunkusumo. Malang, di sana Sukemi tak dapat dirawat dengan alasan kamar rawat penuh. Akhirnya Sukemi dipaksa untuk berobat jalan.

“Istri saya disuruh pulang, gimana mau pulang. Untuk jalan saja dia sudah enggak sanggup.Lagipula ongkos juga sudah tidak punya” ujar Soetono lagi.

Mereka bisa pulang ke rumah karena jasa seorang sopir taksi yang bersedia mengantarkan tanpa memungut biaya. “Semoga di dunia ini masih banyak orang-orang seperti sopir taksi tersebut.” kata Soetono.

Dua minggu kemudian sakit Sukemi semakin parah. Benjolan di payudaranya semakin membesar diiringi darah yang bercucuran. Diantar Wiwit, Sukemi kembali ke RS Cipto Mangunkusumo naik angkutan umum. Setidaknya butuh tiga kali ganti angkutan umum.

Tak terbayang penderitaan hebat yang dialami Sukemi saat harus terguncang-guncang di dalam angkutan umum.

Sesampainya di RS Cipto Mangunkusumo, lagi-lagi RS terbesar se-Indonesia itu menolak merawat Sukemi dengan alasan kamar penuh. Sukemi terpaksa pulang dengan dada yang berdarah-darah. Masih dengan angkutan umum.

Berkat bantuan seorang tetangganya, beberapa hari kemudian Sukemi berhasil mendapatkan perawatan memadai di sebuah Rumah Sakit pemerintah yang lain. Tapi keadaan Sukemi sudah demikian parah. Hanya perlu satu minggu saja, penyakit kanker tersebut merenggut nyawa Sukemi.

Ada satu lagi potret buram yang membuat kita tercenung. Namanya Sawiyah (48) dan Mutharah (13), Ibu dan anak itu tewas tenggelam di kolam bekas galian tanah tak jauh dari rumah mereka. Menurut penuturan Suharto (45) suami Sawiyah, istri dan anaknya itu tewas saat mencari kayu bakar untuk keperluan memasak.

Pasangan Sawiyah dan Suharto memiliki empat anak perempuan, Linda (17), Lidya (15), Megawati (14) dan si bungsu Mutharah yang tewas bersama Sawiyah.

Mereka berenam tinggal di sebuah rumah petak yang sempit di daerah Duri Kosambi Tangerang. Dirumah tersebut tak ada satupun barang mewah, kecuali sebuah pesawat televisi kecil. Suharto bekerja sebagai pedagang alat-alat rumah tangga keliling. Setiap hari sehabis Subuh, ia menjajakan dagangannya dengan berjalan kaki sejauh puluhan kilometer. Demi penghematan, Sawiyah sekeluarga sehari-hari memasak dengan kayu bakar. Harga minyak tanh yang selternya mencapi Rp 7.000 tak sanggup lagi dibeli oleh keluarga itu. Alhasil setiap sore, ditemani anaknya Mutharah, Sawiyah mencari kayu bakar di sekitar kampungnya.

Namun sore itu merupakan sore yang kelabu bagi keluarga Suharto. Sawiyah dan Mutharah diduga jatuh dan tenggelam di bekas galian berair sedalam 3 meter. Galian itu berada di atas lahan terlantar tak jauh dari rumahnya. Jumat sore pukul 17.00 WIB jenazah sawiyah dan Mutharah ditemukan mengambang di galian tersebut. Sebilah golok dan seikat kayu bakar menjadi saksi bisu kepergian mereka.

Suharto hanya bisa tercenung. Ia sama sekali tak menyangka begitu cepat istri dan putri bungsunya itu pergi untuk selama-lamanya.

Kemiskinan memang menjadi persoalan besar bagi bangsa yang kaya raya ini. Di tengah melimpahnya kekayaan alam, begitu banyak rakyatnya yang didera kemiskinan. Tidak hanya Sukemi dan Sawiyah saja yang terenggut oleh maut karena kemiskinan. Tetapi begitu masih banyaknya. Mungkin tak terhitung.

Sukemi dan Sawiyah memang sudah menjalani takdir mereka. Tetapi, akan diamkah kita melihat kemiskinan menggerogoti bangsa besar ini?(sumber: www.kabarinews.com)

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto