Rabu, 14 September 2011

Kejujuran Seharga 50 Ribu Dollar

Hari ini (12/9) saya menemukan sebuah tulisan yang sangat menarik di www.kabarinews.com. Sebuah judul yang menggelitik hati dan menggerakkan keinginan untuk segera membacanya. Tulisan tersebut berjudul “Bocah Kembalikan Hadiah 50 Ribu dolar Amerika”, yang ditulis oleh Indah Winarso.
Berita itu menceritakan kejujuran seorang bocah bernama Nate Smith. Bocah ini rela mengembalikan hadiah sebesar 50 ribu dolar demi mengutamakan kejujuran.
Kejujuran yang dilakukan Nate Smith, bocah laki-laki 11 tahun asal Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat pantas ditiru. Meski akibat kejujurannya, Nate harus kehilangan hadiah uang sebesar US$50,000 atau sekitar Rp425 juta yang diperolehnya.
Kisahnya berawal saat Nate mendapatkan kesempatan untuk memukul bola hoki es ke sebuah lubang kecil dalam jarak 27 meter.Jika berhasil memasukkan bola dalam sekali pukul maka Nate akan menerima hadiah uang yang sangat banyak.
Ternyata bocah penggemar olahraga hoki es mampu melakukan ‘hole in one’. Sehingga Nate berhak atas hadiah uang yang disediakan panitia.
Sehari setelah menerima hadiah itu, sang ayah, Pat Smith mengembalikan uang tersebut. Pat mengatakan di rumah Nate mengakui bertindak tidak jujur sehingga memenangkan hadiah tersebut. Nate mengakui bahwa nama saudara kembarnya Nick yang dipanggil panitia untuk melakukan tembakan keberuntungan. Saat namanya dipanggil, Nick tengah keluar stadion bersama seorang temannya.
Pat kemudian menyuruh Nate untuk maju ke tengah lapangan menggantikan saudara kembarnya dan mencoba keberuntungannya.
Awalnya, Pat tidak berniat mengembalikan hadiah uang itu. Namun di rumah mereka,kedua saudara kembar itu terus menerus gelisah karena hadiah yang cukup besar itu. Akhirnya Pat memutuskan mengembalikan hadiah itu karena mereka yakin bahwa kejujuran adalah tindakan terbaik.
Kejujuran keluarga Smith ini mendapat penghargaan dan pujian dari banyak pihak. Sebagai gantinya, Odds On Promotion sebagai penyelenggara kemudian mendonasikan uang sebesar US$ 20.000 dolar atau sekitar Rp 170 juta untuk Asosiasi Hoki Remaja Owatonna tempat Nate dan Nick bermain. Sebagai penghargaan, maka donasi itu diberikan atas nama Nate dan Nick,” tambah Gilmartin ketua Odds On Promotion seperti dilansir AP.

Papa, Gita Mau Baju Lebaran…

“Papa, Gita Mau Baju Lebaran dan sepatu baru.” Kata-kata yang diucapkan putri bungsuku, Sagita, 4 tahun, terngiang di telinga, saat lewat di Bandarjaya Plaza.
Kata-kata anakku terngiang ketika aku melihat seorang anak seusia putriku sedang memilih baju baru bersama ibunya di sebuah toko pakaian.
Minggu terakhir bulan puasa ini memang saatnya orang berbelanja. Beruntung sekali anak itu, bisa mengenakan baju baru saat lebaran. Sementara anakku tak bisa kubelikan baju baru.
Tahun ini aku tak mampu membelikan anakku baju baru. Aku baru saja keluar dari rumah sakit karena asma akut. Biaya berobat masih terutang Rp.8 juta, dan aku belum bisa membayarnya. Perusahaan tempatku bekerja merasa tak punya kewajiban membiayai berobatku, karena aku hanya buruh kontrak, yang tak punya hak memperoleh fasilitas berobat.
Saat aku menatap ibu dan anak yang belanja pakaian itu, tiba-tiba hp di kantong celanaku bergetar. Segera kuangkat, di layar hp kulihat tulisan “panggilan di SIM 2″. Wah! ini nomor Simpatiku, nomor dari Telkomsel. Di hp dual SIM ini, aku memakai nomor Flash di SIM 1 untuk internetan, dan Simpati di SIM 2, untuk sms dan telepon.
“Hallo, Pa. Sudah sampai belum di apotik?,” suara isteriku terdengar nyaring dari seberang. “Kalau sudah di apotik, mama titip beliin obat sakit kepala,” sambungnya.
Sakit kepala. Akhir-akhir ini isteriku sering mengidap sakit kepala. Mungkin karena terlalu berat memikirkan keadaan ekonomi kami saat ini yang sedang dilanda krisis.
Tahun ini aku merasa jatuh terpuruk. Setelah jatuh sakit dan harus diopname di rumah sakit, aku menerima tagihan uang komite putraku yang di SMA. uang komite tahun lalu menunggak Rp.2,6 juta, ditambah lagi tagihan tahun ini Rp.2,4 juta. Pusing!
Ramadhan tahun ini kami betul-betul puasa. Puasa menahan haus dan lapar, serta puasa dari belanja baju lebaran. Bahkan untuk belanja kue lebaran pun rasanya tak mampu.
Kulanjutkan langkahku melewati kios-kios di Bandarjaya Plaza. Salah satu pusat belanja di Lampung Tengah ini, penuh sesak oleh ibu-ibu yang berbelanja. Di salah satu kios di sebelah kiri, kulihat kerumunan ibu-ibu memilih-milih toples warna-warni. Di kios sebelahnya, serombongan ibu lainnya sedang menawar kain gordin.
Toko pakaian, toko sepatu, dan toko kue penuh sesak ibu-ibu berbelanja.
Kembali aku teringat putri bungsu di rumah, yang meminta dibelikan baju lebaran. “Papa, Gita Mau Baju Lebaran.”
Hatiku tersayat ketika mendengar kata-kata anakku yang masih lucu itu. Dia belum punya dosa, belum bisa merasakan betapa sulit keuangan papa-nya saat ini. Kakak-kakaknya tidak minta apa-apa. Mereka diam. Tetapi dari tatapan mereka, aku bisa merasakan mereka juga punya keinginan. Mereka tak kuasa mengucapkan keinginannya, karena tahu aku tak bisa memenuhinya.
“Papa, Gia Mau Baju Lebaran…”. Tiap kali aku melihat orang berbelanja, ucapan Sagita selalu terngiang. Dan, aku hanya bisa menghela napas panjang kemudian memohon ampun kepada Allah, “Ya Allah ampuni dosa-dosaku. Limpahilah kami dengan rahmat dan rejekimu agar aku dapat memenuhi kebutuhan keluargaku”.
Meskipun aku tak bisa membelikan baju baru untuk anakku, tapi aku masih merasa beruntung, karena pulsa telkomselku masih tetap terisi.

“Kita Bukan Siapa-Siapa….”

“Di sini kita bukan siapa-siapa. Buang jauh-jauh kenangan tentang siapa dan bagaimana kita dulu”. Kalimat-kalimat itu meluncur dari mulut rekan. Kata-kata itu diucapkannya kepada saya pada suatu hari beberapa tahun lalu, ketika saya berkunjung ke ruangan kerjanya. Dulu kami sama-sama bekerja di sebuah koran harian. Sekarang rekan saya sudah menjadi officer di sebuah perusahaan perkebunan, saya menyusul menjadi pekerja kontrak.
Meskipun dia mengucapkan itu dengan kata “kita”, sebenarnya ucapan itu ditujukan kepada saya. Lebih tepatnya sebagai peringatan agar saya tidak macam-macam, banyak tingkah, banyak cerita, dan lain-lain.
Di sini, di tempat baru, di perusahaan tempat saya bekerja sekarang, sangat berbeda dengan tempat dulu kami masih sama-sama. Di sini, perusahaannya lebih besar. Dan, rekan saya itu menduduki posisi penting. Dia staf di perusahaan ini.
Pada waktu itu — ketika dia mengucapkan kata-kata “kita bukan siapa-siapa…” — saya baru saja bergabung di perusahaan itu sebagai tenaga kontrak. Beda jauh dengan dia.
Tenaga kontrak di sini hanya punya hak menerima gaji, tempat tinggal di mes hanya untuk diri sendiri, jaminan kesehatan gratis di medical perusahaan juga hanya untuk diri sendiri. Kalau berobat diluar medical perusahaan, biaya ditanggung sendiri. Begitu juga kalau keluarga berobat meskipun di medical perusahaan, tetap bayar.
Sedangkan rekan saya (sekarang mungkin lebih tepat sebagai mantan rekan) sebagai staf dia mendapat hak-hak yang luar biasa istimewa. Gaji besar plus tunjangan ini-itu, punya hak antar-jemput kendaraan kijang innova milik perusahaan. Kemudian ada hak menerima bonus 7x gaji, uang THR 1 bulan gaji. Berobat dimana pun ditanggung perusahaan. Ada lagi asuransi kesehatan, jamsostek, dan beasiswa untuk putra-putri mulai dari SD sampai perguruan tinggi.
Dulu ketika masih sama-sama di koran harian, hidup kami senasib sepenanggungan. Saya sedikit lebih dari dia, karena saya punya banyak kenalan kalangan perwira menengah dan perwira tinggi militer dan kepolisian. Saya juga sempat dipercaya memimpin organisasi pers. Bergaul dengan banyak pejabat pemerintahan.
Mungkin karena itu pula, mantan rekan saya itu mengingatkan bahwa “kita” bukan siapa-siapa di sini. Tentu saja yang dimaksud “kita” hanya diri saya. Di sini, di tempat baru ini, saya tidak boleh menceritakan bagaimana pergaulan saya dulu ketika belum masuk perusahaan ini.
Saya tidak tahu pasti apa tujuannya menekankan kata “Bukan siapa-siapa” tersebut.
Sebenarnya, tanpa diingatkan pun saya sudah tahu bahwa saya “bukan siapa-siapa”. Di perusahaan ini saya merasa hanya sebagai “orang numpang hidup”. Perasaan itu tentu saja muncul di hati saya lantaran perbedaan status dan hak dibanding para karyawan tetap dan staf.
Di perusahaan ini para karyawan dan staf merasa sebagai pemilik perusahaan ketimbang sebagai pekerja atau buruh. Padahal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hanya ada satu sebutan untuk orang yang bekerja pada orang lain, yakni buruh. Baik dia bekerja di perusahaan maupun pada orang pribadi sebutannya tetap saja buruh.
Jadi, sebenarnya meskipun saya tenaga kontrak dan mereka karyawan tetap maupun staf, pada hakikatnya tetap saja sama — sama-sama buruh atau pekerja. Toh kami sama-sama digaji oleh perusahaan, yang nota bene adalah milik seorang investor. Sebenarnya kami semua adalah kacung-kacung dari investor.
Apakah dia berstatus karyawan atau staf, tetap saja hakikatnya mereka adalah pesuruh atau orang suruhan Sang Investor. Mereka bukan pemilik perusahaan. Begitu juga dengan saya.
Dalam hati saya mengatakan bahwa mereka hanya pesuruh yang berlagak sebagai pemilik perusahaan. saya tidak perlu berkecil hati. Toh kami sama-sama pesuruh atau kacung.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto