Rabu, 02 November 2011

Rahmat Itu Akhirnya Datang Juga

Kemarau berlangsung kurang lebih tiga bulan. Tidak lama. Tetapi panasnya sangat menyengat, cukup membuat kulit bagai disayat.

Kemarau. Ada yang menanti. Ada yang menghendaki dia segera pergi. Bagi para pengepul onggok (limbah pabrik tapioka untuk pakan ternak), terik matahari merupakan berkah. Onggok cepat kering, dan segera ditukar dengan uang. Makin singkat masa menjemur, makin besar ungung yang diperoleh.

Pada musim kemarau, merupakan paceklik bagi buruh cabut singkong. Pemilik kebun enggan memanen tanamannya khawatir umbi singkong kecil karena kekurangan air. Sementara pabrik demi merangsang pasokan singkong, saat kemarau berlomba menaikkan harga. Tetapi upaya itu tidak banyak menolong karena para pemilik kebun bertahan tidak panen, kecuali petani yang kepepet butuh uang segera.

Kemarau bagi sebagian orang merupakan petaka. Tetapi, bagi yang memiliki kesadaran akan hukum alam, pergantian musim dianggap hal biasa. Toh itu merupakan hukum yang telah ditetapkan oleah Sang Maha Pencipta. Tak dapat ditolak, juga tidak bisa diminta segera berganti sekehendak kita.

Tetapi, kemarau yang singkat tahun ini, cukup membuat sebagian warga masyarakat mengeluh lantaran kekuarangan air bersih. Seperti di kampung tempat tinggal saya, Gunungagung, Kecamatan Terusan Nunyai, Kabupaten Lampung Tengah, air menjadi begitu sulit didapat. Sumur-sumur kering. Tetangga yang satu minta pada tetangga yang lain, yang pada akhirnya sumurnya pun kering juga.

Masih beruntung penduduk yang bertempat tinggal di desa-desa (kampung) yang bertetangga dengan PT. Gunung Madu Plantations dan PT. Great Giant Pineaple (GGP). Kedua perusahaan PMA itu memiliki kepedulian tinggi kepada warga desa tetangganya.

Kampung saya, Gunungagung, mendapat suplai dari PT. Gunung Madu Plantations. Begitu juga kampung tetangga, seperti Gunungbatin Udik, Gunungbatin Ilir, Gunungbatin Baru, Bandaragung, Tanjunganom, dan Bandarsakti. Sementara Kampung Lempuyangbandar, mendapat suplai dari PT. GGP.

Setiap hari PT. Gunung Madu Plantations mengirimkan truk tanki pengangkut air ke desa-desa terdekat. Satu desa mendapat jatah 1 tanki setiap hari.

Meskipun suplai air datang terus, tak urung kebutuhan air tetap saja tidak mencukupi. Suplai dari perusahaan hanya cukup untuk memasak dan mencuci piring. Sedangkan untuk mandi dan mencuci pakaian air harus dihemat.

Selama kemarau yang singkat itu kebanyakan warga mandi 2 hari sekali, selebihnya hanya membasahi badan dengan lap basah.

Maka, pada Jumat (7/10/11) malam Sabtu, hujan untuk pertama kalinya tercurah di kampung kami. Ucapan syukur tak terkira segera dipersembahkan kepada Ilahi. Sang Maha Pemberi telah menurunkan Rahmatnya malam itu. Semua warga bersyukur. Sumur-sumur mulai terisi meskipun masih keruh.

Dan, pada Minggu (9/10/11) petang, hujan lebat kembali turun. Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah atas segala rahmat-Nya. Sumur kami sudah penuh. Begitu juga sumur-sumur tetangga. Perusahaan pun menghentikan bantuan airnya.

Rahmat yang dinanti itu pun akhirnya datang juga.

Cara Terbunuhnya Khaddafy, Langgar Hukum Humaniter?

Tindakan tentara perlawanan Dewan Transisi Nasional Libya (NTC) terhadap Khaddafy tidak dapat diterima oleh Hukum Humaniter Internasional (HHI) atau International Humanitarian Law, karena secara terbuka mempertontonkan pelanggaran hak seseorang saat berperang dalam konvensi Jenewa dan hukum perang Den Haag.

Hukum humaniter hendak menjaminkan penegakan kemanusiaan saat situasi perang. Tidak ada satu pun alasan dapat membenarkan bahwa mereka menembaknya dari jarak amat dekat, pada saat Khaddafy tidak lagi bersenjata, berlumuran darah, dan berteriak meminta tolong.

Hukum humaniter berhaluan Jenewa maupun Den Haag tidak membenarkan penyerangan terhadap seseorang yang sedang tidak bersenjata. Dan, bahwa mustahil ia melakukan perlawanan. Kemarahan tentara perlawanan harus diberitahu dengan nada sedih dan kecaman, bahwa dendam kesumat terhadap pribadi Khaddafy telah melanggar azas-azas yang lain dalam konvensi dan hukum internasional.

Perlakuan terhadap Khaddafy memang tidak sepenuhnya dibebankan ke pundak tentara perlawanan NTC. Amerika dan NATO, serta Pemimpin Dunia harus meminta maaf, dan menyatakan penyesalan atas perlakuan terhadap manusia Khaddafy. Setiap orang punya alasan pribadi untuk melakukan tindakannya sendiri, tetapi pelanggaran atas azas-azas HHI yang harus diterima dan ditegakkan bersama,  tidak dapat dihapus atau dianggap tidak ada, hanya karena dia seorang Moammar Khaddafy.

Minimum tiga prinsip HHI ini telah dilanggar dalam tewasnya Moammar Khaddafy, pertama, “Korban luka dan korban sakit dirawat dan dilindungi oleh peserta konflik yang menguasai mereka. Lambang “Palang Merah” atau “Bulan Sabit Merah” harus dihormati sebagai tanda perlindungan.” Kedua, “Kombatan dan orang sipil yang tertangkap harus dilindungi terhadap tindakan kekerasan dan pembalasan.” Ketiga, “Tak seorang pun boleh dikenai penyiksaan, hukuman badan, ataupun perlakuan yang kejam atau merendahkan martabat.”

Tanpa permohonan maaf atas perlakuan yang tidak adil itu, dunia internasional mempertontonkan ketidak-mampuannya untuk menegakkan hukum internasional di samping pembelaan terhadap nasib suatu bangsa dan negara Libya. Mahkamah Kejahatan Internasional tidak boleh membiarkan tindakan tidak adil terhadap Khaddafy, karena akan menjadi preseden buruk bagi penegakkan pelanggaran hukum humaniter lainnya.

Berita pelbagai media menunjukkan, bahwa Khaddafy berhak atas perlakuan sebagai seorang tawanan perang, dan bahwa tontonan vulgar menyeret Khaddafy tidak patut menjadi berita kemenangan yang menyedihkan.   

Masyarakat Libya boleh memasuki era baru tanpa Khaddafy, tetapi lebih dari itu, mereka harus mengakhiri dendam, seperti diserukan  Perdana Menteri Mahmoud Jibril di ibukota Tripoli. “Saya ingin menyerukan seluruh warga Libya agar menyingkirkan rasa dendam dan hanya menyimpan satu kata di hati, yaitu Libya.”

Singkatnya, siapa pun tidak dapat melakukan suatu tindak kejahatan, atas suatu (dugaan) tindak kejahatan sekalipun. Karena, terhadap kedua tindak kejahatan, hukum harus ditegakkan. Tim independen untuk penyelidikan tragedi tewasnya Khaddafy, harus dibentuk sebagai pra-syarat penegakan HHI atau International Humanitarian Law.

Provokasi Barat

Pemberitaan media yang ikut memvonis Khaddafy sebagai sosok yang sadis pun menggiring opini publik untuk bersepakat dan mendukung pemberontakan oposisi plus serangan bertubi-tubi NATO. Semua sisi positif Khaddafy pun tertutupi oleh pemberitaan yang tidak seimbang. Berapa banyak publik Islam yang tahu bahwa Khaddafy adalah sosok pemimpin negara sekaligus imam sholat? seorang da’i yang menyerukan untuk menyelamatkan Palestina,Afghanistan, Irak dan negara-negara muslim lainnya?, sumbangsihnya terhadap dunia Islam sedemikian besarnya hingga hampir semua negara muslim terutama saudara-saudara kita di Afrika pernah dan selalu merasakan uluran tangannya.

Tapi inilah realitas sekarang, perang pemikiran yang demikian gencar dilakukan oleh Dunia Barat dibantu dengan manajemen media yang canggih akhirnya menutup mata kita. Dengan alasan demokrasi maka Khaddafy pun diserang, negara yang selama ini tergolong sejahtera dan maju pun membara, pembantaian dimana-mana dan semakin parah karena provokasi yang gencar dilakukan oleh Dunia Barat.

NATO telah menghalalkan pertumpahan darah atas nama demokrasi, mayat yang bergelimpangan harus dianggap wajar demi demokrasi, ribuan anak menjadi yatim piatu dinafikan atas nama demokrasi, duda dan janda bertebaran semua demi demokrasi, demokrasi dan demokrasi. Terakhir Khaddafy ditangkap, diseret, ditendang, diinjak dalam keadaan tidak berdaya, manusia tidak lagi diperlakukan selayaknya manusia, videonya disebarkan kemana-mana agar semua orang tahu betapa berbahayanya jika harus
melawan keinginan Barat (demokrasi).

Inikah Demokrasi yang kita inginkan? Demokrasi yang berdiri kokoh diatas tumpukan jenasah? Demokrasi yang akarnya kuat oleh siraman darah segar manusia? Daunnya yang menghijau karena tumpahan airmata kepedihan? Haruskah demokrasi membunuh kemanusiaan? Mengapa kita tidak mencoba memahami cara berfikir Khaddafy yang berbeda dengan pemahaman sebagian orang yang mengaku sebagai penegak demokrasi, bukankah memahami cara pandang orang lain bagian dari demokrasi itu sendiri.

Hakekat demokrasi menurut cara pandang saya seharusnya memanusiakan manusia meskipun perbedaan kita sangat tajam. Demokrasi juga seharusnya diterapkan sesuai dengan kultur, adat-istiadat, norma dan agama yang berlaku di negara tersebut. Sebagai contoh tidak mungkin demokrasi ala Amerika Serikat atau negara Barat lainnya yang menghalalkan aborsi bisa diterapkan di Indonesia karena kita memiliki norma dan adat yang berbeda.

Pelajaran Berharga 

Kita tahu bahwa selama empat dekade Khaddafi berkuasa sebagai diktator telah banyak melakukan tindakan kejam dan tidak berperikemanusiaan pada rakyatnya sendiri yang dianggap sebagai lawan politiknya. Singkatnya, nasib tragis kematian Khaddafi dianggap sebagai karma yang sepadan atas perbuatannya sendiri.

Benarkah demikian? Entahlah, nalar dan nurani ini tetap saja tidak bisa membenarkan aksi-aksi biadab seperti itu. Amat mungkin, karena kita telah berada di suatu zaman modern, dimana cara-cara penyelesaian konflik tidak lagi berpatokan pada era zaman dahulu. Kekuasaan harus direbut melalui cara-cara kekerasan, pertumpahan darah dan bumi hangus atas mereka yang dianggap musuh.

Tentu saja, masyarakat Indonesia pernah mengalami masa-masa seperti itu. Ambillah contoh, pada masa-masa zaman Kerajaan dahulu, dimana perebutan tahta kerajaan harus melalui aksi peperangan hingga tetes darah penghabisan. Selanjutnya, pertengahan tahun 60-an, adalah proses peralihan kekuasaan dari Orla ke Orba yang cukup membawa korban di masa Indonesia modern, pada masa seperempat tahun Indonesia merdeka. Meski terbatas, jelang kejatuhan penguasa Orde Baru pun sempat diwarnai oleh jatuhnya korban di kalangan rakyat.

Pelajaran apa yang dapat dipetik dari catatan itu semua? Pelembagaan proses peralihan kekuasaan yang tertib dan damai merupakan kata kuncinya. Inilah salah satu esensi demokrasi, dimana kekuasaan negara merupakan hak bagi siapapun jua, bukan hak eksklusif suatu golongan atau kalangan tertentu saja. Prinsip adil dan jujur perlu menjadi landasan atas proses peralihan kekuasaan tersebut melalui mekanisme dan sarana demokrasi yang telah disepakati, antara lain melalui pemilu secara periodik.

Kepercayaan rakyat menjadi sangat mutlak, agar kekuasaan menjadi efektif dan tidak kontraproduktif. Kekuasaan yang tidak berakar pada kepercayaan rakyat hanya akan menimbulkan apatisme politik rakyat, hingga dalam suatu masa tertentu akan berkembang menjadi bentuk perlawanan rakyat terhadap penguasa. Dalam kondisi yang demikian, sistem kelembagaan politik demokrasi menjadi tidak berarti lagi, segera akan digantikan oleh sebuah revolusi sosial, dimana anarkisme yang bercirikan kekerasan dan pertumpahan darah menjadi sesuatu yang dianggap absah dan lumrah.

Haruskah kita akan mengalami pengulangan sejarah, atau bahkan kisah tragis seperti yang terjadi baru-baru ini di Libya? Tentu saja tidak, dan semoga jangan pernah terjadi! Kesadaran dari semua pihak, terutama dari para penguasa dan elit politik menjadi keharusan, agar negeri ini masih bisa terawat menjadi bangsa yang benar-benar beradab.

Hari ini, kita masih sempat bersyukur karena tidak mengalami nasib tragis seperti bangsa Libya. Namun demikian, waktulah yang akan berbicara nanti. Apakah Indonesia akan benar-benar mampu terhindar dari anarkisme total yang akan menimbulkan pertumpahan darah antar sesama warga bangsa sendiri?

Bersyukur, bahwa di tengah banyak kekurangan, reformasi tahun 1998 telah memberikan fondasi yang sangat berharga bagi terbentuknya sistem politik demokrasi di Indonesia. Sebuah kondisi yang amat efektif dalam memberikan landasan yang kuat bagi proses peralihan kekuasaan secara tertib dan damai. Setidaknya, di negeri ini akan sulit terjadi dimana seseorang yang sama akan terus berkuasa dalam waktu yang sangat lama, hingga dilakukan cara-cara kekerasan untuk menjatuhkannya.

Faktor Asing

Namun demikian, faktor kepentingan dari luar pun perlu untuk diwaspadai. Fakta tak terbantahkan bahwa dibalik kejatuhan Khaddafi terdapat kepentingan politik atas penguasaan bisnis energi, khususnya minyak oleh pihak asing, dalam hal ini AS dan sejumlah negara Eropa. Sebuah kondisi yang hampir sama terjadi di sejumlah negara lain, seperti di Afghanistan, Irak, kemudian Tunisia, Mesir, terus Suriah, Yaman dan Iran.

Marshall Douglas Smith (2005), seorang profesional dan praktisi bisnis minyak, bahkan menyatakan bahwa faktor minyak merupakan variabel penting bagi pemicu Perang Dunia I dan II, termasuk pula jelang kemerdekaan Indonesia, hingga runtuhnya Uni Soviet dan Yugoslavia. Lebih jauh lagi, ia berani menyimpulkan bahwa perang Vietnam (Utara-Selatan) yang melibatkan AS secara berkepanjangan hanyalah merupakan “perang mainan” belaka yang sengaja diciptakan dalam rangka penguasaan sumber minyak di sekitar Laut Cina Selatan. Selama perang Vietnam berlangsung, perusahaan minyak AS, Standar Oil melakukan survei, kemudian mengeksplorasinya usai perang berakhir.

Lepasnya Timtim dari kekuasaan Indonesia tak lepas pula dari kepentingan bisnis minyak di celah Timor. Begitu pun, sengketa perbatasan antara Indonesia dan Malaysia atas Pulau Sipadan dan Ligitan, hingga Blok Ambalat, tak terlepas dari rebutan kandungan minyak dan gas di lepas pantai. Tak tertutup kemungkinan, tanah Papua yang kaya raya akan sumber bahan tambang akan menjadi pemicu keterlibatan pihak asing atas Indonesia.

Jadi, pelajaran apakah yang dapat dipetik lagi dari peristiwa Libya? Kemampuan untuk mengatasi intervensi asing yang akan mengganggu kedaulatan negara menjadi sangat penting. Tentu saja, harus meliputi kemampuan mempertahankan diri dari intervensi asing dalam bentuk agresi militer, dan terutama non militer. Proses penyusupan agenda kepentingan asing yang akan merugikan bangsa dan negara kita harus selalu menjadi kewaspadaan bersama.

Semoga, Indonesia akan mampu mengatasinya. Sehingga, tragedi kemanusiaan yang terjadi di negeri sana tidak akan berimbas pada Indonesia. Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, semoga masih menjadi pilar yang efektif bagi tetap tegaknya persatuan Indonesia yang sama-sama kita cintai.

Rabu, 26 Oktober 2011

Lingkaran Setan Pungli di Lintas Sumatera

Nasib pengemudi truk di Jalan Lintas Trans Sumatera (Jalinsum) sepanjang perjalanannya tak pernah lepas dari pungutan liar (pungli). Pungli biasa dilakukan oknum-oknum aparat Negara baik atas nama pribadi maupun instusi. Ada yang melakukannya perorangan, ada pula bersama-sama. Para sopir truk-lah korbannya.

Pungli di jalanan sudah ada sejak dulu, bahkan sebelum jalan trans sumatera dibuat. Setelah ruas jalan yang membelah Pulau Sumatera dari Lampung sampai Aceh itu ada, pungli makin menjadi-jadi. Ini bukan rahasia lagi. Dari dulu sampai sekarang korbannya selalu para sopir truk.

Para sopir truk tak kuasa lepas dari ulah oknum nakal dijalanan, karena mereka memang tak punya daya. Apa pun alasan yang diutarakan para sopir truk kepada petugas di jalanan agar tidak kena pungli, tetap saja mereka diperas. Berbagai alasan memojokkan para sopir jadi senjata ampuh aparat untuk melumpuhkan perlawanan mereka. Muatan berlebih, spion rusak, lampu sein tak berfungsi, sampai pentil ban pun dipersoalkan untuk melemahkan posisi sopir.

Asdison, pengemudi truk asal Kota Padang, Kamis (6/10/01), mengungkapkan, perjalanan dari Lampung ke Padang bisa menghabiskan uang Rp.2 juta hanya untuk ‘mel’ kepada aparat di jalanan. Yang paling besar, katanya, setor di jembatan timbang rata-rata Rp.350 ribu per jembatan timbang. 

Dari Lampung ke Padang dia bisa melewati empat jembatan timbang, diantaranya di Pematang Panggang (perbatasan Lampung-Sumsel) dan perbatasan Sumsel – Jambi. Ada dua jembatan timbang lagi yang harus dilewati dari Jambi ke Padang. Hanya untuk jembatan timbang saja dia harus merogoh kocek sebesar Rp.1,4 juta. Jumlah itu bisa lebih besar bila para petugas jembatan timbang “rewel” mempersoalkan muatan berlebih.

Yang tidak bisa diabaikan adalah para oknum polisi lalulintas dan PJR (Patroli Jalan Raya). “Asal truk ada muatan, sudah pasti mereka minta uang,” ungkap Ijal, sopir truk lainnya kepada penulis. “Sepuluh ribu sampai duapuluh ribu kita lempar di jalan untuk mereka,” tambahnya.

Menurut Ijal, tak jarang mereka harus tawar-menawar dengan petugas. “Kalau ketemu petugas yang “ganas” mereka bisa minta Rp.50 ribu. Kita tawar Rp.10 ribu atau Rp.20 ribu,” ungkap Ijal. Ada juga petugas yang marah karena ditawar dan mengancam akan mengkandangkan mobil.

“Kalau sudah begitu kita menyerah sajalah, ujung-ujungnya duit juga. Dari pada kita kehilangan waktu berurusan dengan mereka kita kasih saja uang yang mereka minta,” papar Ijal. 

Lantas, uang siapa yang mereka berikan kepada petugas tersebut? “Itu uang kami sendiri. Uang jalan dari boss. Kami hanya kebagian sisa-sisanya saja,” tutur Asdison. Polisi mana mau tau hal itu. Mereka mengatakan, “Itu resiko kamu”, kata Asdison tentang duka di jalan lintas Sumatera.

“Para polisi itu hanya bisa menyalahkan kami para sopir, padahal kami ini hanya menjalankan perintah boss. Boss memerintahkan bawa muatan 30 ton, ya kami bawa. Kami tahu itu melebihi kapasitas angkut, tapi mau apa? Kami khan hanya anakbuah yang digaji. Kalau menolak kami bisa dipecat. Sementara resiko di jalan kami sendiri yang menanggung,” papar Asdison dengan dialek minangnya.

Pungli di Jalan Lintas Sumatera ini sulit diberantas karena sulit menemukan ujung dan pangkalnya. Perkara ini seperti lingkaran setan. Di sini terlibat para cukong pemilik armada truk yang ingin untung besar dengan muatan sebanyak-banyaknya, para sopir yang butuh pekerjaan, oknum petugas butuh uang tambahan. Semua saling membutuhkan. 

Memutus mata rantai pungli di jalan raya tidak semudah membalik telapak tangan. Upaya pemerintah, khususnya Mabes Polri tidak kurang-kurang, tetapi oknum di lapangan tidak ada yang mengontrol. Semuanya mengatasnamakan undang-undang dan peraturan, padahal tindakan mereka justru melanggar undang-undang dan peraturan itu sendiri.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto