Istana Gebang
DI JALAN Sultan Agung, Blitar, Jawa Timur. Dari seberang jalan, rumah nomor 59 itu, tampak berdiri di lahan seluas lapangan sepak bola - - 15.000 meter tanahnya. Masuk ke dalamnya, melalui pintu pagar yang selalu terbuka, becak bisa langsung membawa penumpang ke mulut pintu rumah utama.
Rumah itu berukuran sedang, bangunan tua, catnya terawat. Bagian depannya berpendopo terbuka. Sehingga naik turun penumpang dari becak di pendopo itu bila pun hujan turun, dijamin Anda tak akan kuyup. Dua piliar bercat hijau menupang atap pendopo. Bagian tepi atap ada ukiran kayu bergerigi bercat hijau - - hiasan yang banyak ditemui di rumah tua di Indonesia umumnya.
D i rumah itulah dulu Bung Karno, sosok proklamator, menghabiskan masa kecilnya. Kini kediaman ini dihuni kerabat Bung Karno. Masyarakat Blitar akrab menyebutnya Istana Gebang.
Di Istana Gebang itulah, Sukarmini Wardoyo - - kakak kandung Bung Karno - - tinggal bersama keluarga besarnya. Saban hari selalu saja ada yang datang melihat-lihat barang peninggalan Bung Karno. Ada kamar tidur, meja-kursi, foto-foto kenangan Bung Karno masa silam.
Dalam dua pekan terakhir ini berita ihwal rencana penjualan rumah ini mencuat. Djarot Syaiful Hidayat, Wali Kota Blitar, kepada Liputan 6 SCTV, pada 24 April 2088 lalu menyatakan kesanggupannya untuk membeli atau mengelola rumah bersejarah itu. Mengingat bangunan tersebut sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya sejak 2001 oleh Pemda Blitar.
Menurut Djarot, rumah itu memang akan dijual sejak 1970. Namun ada sejumlah ahli waris yang tidak setuju sehingga rencana pun batal. “Baru sepekan ini muncul keputusan akan menjual rumah bersejarah itu atau menyerahkan pengelolaannya kepada pihak ketiga, “ ujar Djarot.
Bambang Suka Putra, cucu Soekarmini Wardoyo - - kakak Bung Karno - - mengatakan perhatian pemerintah terhadap rumah warisan sang proklamator itu sangat minim. Atas kesepakatan rapat keluarga, rumah itu diputuskan dijual saja kepada peminat.
Sejauh ini sudah ada sejumlah peminat asing yang menyampaikan penawarannya sejak Istana Gebang mulai diiklankan. Promosi penjualannya juga disebar ke internet.
Segenap ahli waris berharap anak-anak Bung Karno atau pemerintah-lah yang membelinya. Dan Pemkot Blitar melalui Wali Kota Djarot Syaiful Hidayat sempat mengungkapkan keinginan untuk membeli atau mengelola Istana Gebang. Namun harga tampaknya menjadi kendala. Keluarga hendak menjual di harga Rp 50 miliar. Djarot mengungkap jika saja harganya di kisaran Rp 15- 20 miliar, Pemkot Blitar berkenan membali.
Tampaknya, Pemkot memang tidak melakukan langkah proaktif. Jika harga menjadi kendala, karena pertimbangan akan mendapatkan historical value, juga berguna bagi pengembangan pariwisata kota, seharusnya Pemkot mengajak Pemda Jawa Timur, bahkan jika perlu turut meminta bantuan pemerintah pusat, bahu-membahu untuk mengambil alih asset itu - - termasuk jika perlu memasukkan ke dalam dua tahun anggaran berjalan.
Pihak ahli waris mengaku sudah membuat surat dan proposal ke Pemkot. Namun hingga kini tidak ada jawaban.
Sampai kepada kata proposal ini, saya jadi teringat bahwa di banyak depertemen pemerintah, BUMN, Pemda, baik tingkat kabupaten dan walikota, setiap tahunnya mereka membuat proposal proyek untuk tahun mendatang. Sering kali saya mengamati bahwa proposal yang disusun bukan mengacu ke inti permasalahan yang ada di masyarakat.
Pada Tajuk 12 April 2008, berjudul KALI, saya menuliskan bahwa sudah puluhan tahun kali di Pademangan, Jakarta Utara airnya tak mengalir. Tetapi hingga kini tak ada langkah proaktif mengalirkan kali itu. Pemda tidak pernah membuat masalah itu masuk ke dalam proposal proyek.
Proposal proyek yang diminati masuk ke anggaran proyek yang akan berjalan umumnya pengadaan barang. Pengadaan yang sudah “dititipkan”, untuk tahun berikutnya ditenderkan. Bahkan “tender”nya pun dipastikan diatur. Akibatnya entah hingga kapan, laku kolusi untuk korupi itu bisa akan punah di negeri ini.
Kini seorang pengusaha asal Malaysia, sudah menyatakan keinginan membeli Istana Gebang. Minat pihak swasta Malaysia itu, mohon maaf, saya artikan sebagai “tamparan”, betapa bahwa bangsa ini tidak memiliki sense akan pengetahuan bahwa intangible asset sejarah, berguna bagi masa depan peradaban. Pemerintah pusat, daerah, saling menunggu ihwal penjualan rumah proklamator itu.
IBU-IBU berkerudung, puluhan anak-anak usia sekolah pada 27 April 2008 lalu memanggul karton, bertuliskan: Jangan Jual Warisan Bung Karno ke Asing. Spanduk lain: Pemerintah Selamatkan Cagar Budaya. Ternyata ratusan orang ini yang dominan perempuan itu berdemo meminta perhatian pemerintah kota dan pemerintah pusat menyelamatkan aset bersejarah itu.
Demo itu berlangsung cukup lama di depan Istana Gebang. Aksi warga Blitar ini bukan sekadar mendemo. Mereka menggalang dana. Secara spontan dan sukarela warga dari berbagai kalangan tak segan merogoh kocek mereka. Dana yang terkumpul nantinya akan dipakai untuk membeli Istana Gebang. Forum Penyelamat Istana Gebang pun dibentuk masyarakat secara swadaya. Melihat rombongan pendemo itu di televisi, benak saya di kepala membayangkan wajah Megawati, anak Soekarno yang pernah menjadi Presiden RI itu. Kemana dia urusan rumah peninggalan ayahnya itu? Saya lalu teringat akan kediamannya yang hampir tiap hari saya lalui itu.
JALAN Teuku Umar, Menteng, Jakarta. Di kiri-kanan, bahkan di pembatas jalan, tumbuh berbagai pohon besar, ada Akasia, ada Asam Jawa. Pohon-pohon itu ada yang tumbuh sejak zaman Belanda. Jalanan lebar. Susana teduh.
Di pertengahan jalan antara Taman Suropati dan ujung jalan Teuku Umar itulah kediaman Megawati berada. Letaknya di sebelah kanan bila dari arah taman. Inilah kawasan yang menurut saya paling menyenangkan dilewati di Jakarta. Seakan masih tersisa Jakarta tempo doeloe di sana.
Ada perasaan mengatakan, dahulunya Belanda ingin membangun tata kota Batavia, macam jalan di Teuku Umar itu kini. Sayang sekali, hanya tinggal sepenggal jalan Teuku Umar.
Rumah Megawati mudah diketahui. Perhatikan kendaraan polisi yang masih berjaga-jaga yang parkir mengambil bahu jalan. Selalu ada satu atau dua orang berpakaian sipil berwarna gelap duduk di pos jaga yang tidak terlalu mencolok. Nah di situlah rumah Megawati. Rumah berpagar putih tinggi.
Luas lahannya bisa jadi sama dengan Istana Gebang. Namun untuk ukuran lokasi dan wujud bangunan, jika dilakukan appraisal, harga kediaman Megawati bisa tiga atau bahkan empat kali dari nilai Istana Gebang yang sedang ditawarkan.
Saya heran, hingga hari ini tak satupun anak Soekarno buka mulut soal Istana Gebang. Bukankah itu berkait ke asset peninggalan ayah Megawati sendiri? Apakah dengan mengeluarkan Rp 50 miliar, lalu sangat menganggu pundi-pundi pribadi Megawati - - toh mereka masih banyak punya usaha, antara lain jaringan pom bensin - - yang kini harus terus diperbesar demi mempersiapkan belanja kampanye presiden?
Lantas apakah keluarga Megawati tidak bertegur sapa dengan tantenya di Blitar itu? Menjadi kira yang tidak-tidak, jadinya!
Menurut kerabat Soekarno di Blitar, ada 10 keluarga ahli waris yang menunggu hasil penjualan rumah itu. Mereka kini umumnya masyarakat marjinal, yang kian hari kian sulit saja hidupnya.
Mereka tidak mampu lagi merawat rumah di lahan luas itu. Agar tidak menjadi silang sengketa di kemudian hari oleh cucu dan cicit, maka Istana Gebang dilego, menjadi sebuah logika yang masuk akal.
Saya lalu mencoba membulak-balik kamus umum Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, yang kebetulan sedang ada di atas meja. Saya mencari arti kata Gebang.
Di dalam kamus, Gebang artinya; pohon palem yang tingginya dapat mencapai 15 – 20 meter, hati batang dapat digunakan untuk makanan babi, Coryphautan.
Baik di Istana Gebang, maupun di kediaman Megawati kini, saya tak melihat ada coryphautan atau palem berbatang tinggi itu, yang hati batangnya digemari babi.
Saya heran, jangan-jangan baik keluarga Megawati, Pemerintah Pusat, Pemerintah Jawa Timur, Pemkot Blitar seakan “haram” membeli Istana Gebang. Sehingga untuk kesekian kalinya kita “dipermalukan” asing yang hendak membeli Istana Gebang. Wallahu!
Iwan Piliang (tajuk presstalk.info)