Penculikan terhadap PemRed Tabloid Jejak
1. Senin, 3 Maret 2008 pagi. Ir. Henry John C. Peuru, Pemimpin Redaksi Tabloid Jejak, Manado, diminta oleh Herry Palangiten untuk bertemu di Dinas UKM Provinsi Sulawesi Utara. Herry berpesan agar Henry “datang sendirian, tidak membawa teman.” Ia juga memberi tahu akan memberi sebagian dari uang sejumlah Rp 1 milyar yang ia terima dari Gubernur Sulut. Sekitar jam 19:00 Henry (yang ditemani oleh Sutojo Kamidin) menerima telepon dari Herry, minta bertemu di Manado Town Square Mall (Mantos). Sekitar jam 19.30 mereka bertemu di Mantos. Herry, yang ditemani oleh Welly Siwi, kembali memberi tahu akan menerima uang Rp 1 milyar dari Gubernur Sulut dan akan membaginya sebagian kepada Henry. Tapi Henry sama sekali tidak tahu apa maksudnya. Mendadak Herry meninggalkan mereka sambil menyodorkan uang Rp 50.000 untuk membayar kopi (mungkin karena polisi akan datang!).
2. Sekitar pukul 19:45, di tempat parkir Mantos, Henry dan Sutojo dicegat oleh dua orang berpakaian sipil yang mengaku dari Poso, Sulawesi Tengah. Henry dan Sutojo diajak mengikuti mereka, tapi menolak. Tiba-tiba muncul Kompol H.R. Wibowo, Kasat Reskrim Poltabes Manado, bersama beberapa orang anggota polisi. Ajakan untuk mengikuti mereka pun ditolak oleh Henry karena tidak ada surat penangkapan. Dengan suara keras Kompol Wibowo mengatakan, “Kamu tertangkap tangan”, tapi oleh Henry dibantah dan dipersoalkan, “apa yang dimaksud dengan tertangkap tangan?”
3. Akhirnya mereka dibawa ke Poltabes Manado dan diinterogasi sekitar jam 21:00 oleh tiga orang anggota polri di ruangan KBO. Henry hanya mengenal salah seorang di antara ketiga anggota polri itu yang bernama Tulus. Intinya, Henry ditangkap (“diculik”) dan diperiksa sebagai saksi atas kasus penyelundupan senjata dari Manado ke Poso pada 2007. Salah satu pertanyaan yang diucapkan oleh pemeriksa ialah: Apakah Anda mengetahui pemasukan senjata yang dilakukan oleh Wagub Sulut Freddy Sualang ke Poso? (Catatan: pertanyaan tersebut diucapkan oleh anggota polri yang memeriksa Henry). Inti jawaban Henry ialah: dia pernah melacak kasus tersebut tetapi tidak memperoleh data cukup, dan tidak pernah memuatnya di Tabloid Jejak. Dia juga menyatakan tidak pernah menghubungi para pejabat di Poso dan tidak pernah berkunjung ke Tomata, Poso.
4. Rupanya, pada 13 November 2007, Kasat Reskrim Polres Poso, AKP Soeryadan, telah mengirimkan Surat Panggilan No.Pol: S.Pgl/615/XI/ 2007/Reskrim kepada Ir. Henry Peuru untuk menghadap AKP Soeryadani pada hari Selasa, 20 November 2007 jam 09:00 WITA di ruang Kasat Reskrim untuk didengar keterangannya sebagai saksi dalam perkara pemasokan senjata api dari Sulawesi Utara ke Kabupaten Poso, Sulteng. Tapi, Henry tidak pernah menerima Surat Panggilan tersebut. Surat Panggilan itu baru ia ambil sendiri pada tanggal 2 Maret 2008 dari Kepala Jaga Kompleks Perumahan Helsa Tateli, Manado, tempat domisili Henry.
5. Adapun Surat Perintah Penangkapan (No.Pol SP.Kap/124/III/ 2008/Reskrim) tertanggal 3 Maret 2008 telah dipersiapkan dan ditandatangani oleh Kompol RH Wibowo. Surat tersebut memerintahkan kepada AKP Haryansyah SH, Bripka L. Hadi Purwanto, Brigadir Bartholomeus Dambe dan Briptu Romi untuk melakukan penangkapan terhadap Henry sebagai tersangka melakukan tindak perbuatan tidak menyenangkan dan pidana pemerasan dan pengancaman (Pasal 335 KUHP dan Pasal 368 ayat (1) KUHP). Tapi, Surat Perintah Penangkapan tertanggal 3 Maret 2008 tersebut baru diterima oleh Henry pada tanggal 21 Maret 2008. Mestinya Henry bisa bebas, namun masa penahanannya yang 20 hari diperpanjang.
6. Keesokan harinya, Selasa 4 Maret 2008, sekitar jam 18:30, Henry dipanggil untuk menanda tangani berita acara pemeriksaan atas laporan Ir. Ricky Tumanduk, Kadis Kimpraswil Prov Sulut tertanggal 3 Maret 2008 yang menyebutkan bahwa Henry telah melakukan “pemerasan dan pengancaman” terhadap ybs. Artinya, posisi sebagai saksi perkara penyelundupan senjata dialihkan secara mendadak ke kasus “pemerasan dan pengancaman”. Anehnya, dalam pertemuannya dengan John Lalonsang (085298359539), Kepala Perwakilan Tabloid Jejak di Manado, Ricky Tumanduk membantah telah melaporkan kasus “pemerasan dan pengancaman” itu kepada polisi. Anehnya lagi, ketika Henry minta BAP, tiba-tiba tiga orang anggota polri merampasnya dengan dalih sebagai “dokumen negara”. Padahal, saksi atau tersangka berhak atas naskah BAP.
7. Mengenai kasus “pemerasan dan pengancaman” tersebut, terungkap dalam BAP, Selasa, 4 Maret 2008 jam 17:50 WIT. Bertindak sebagai penyidik/pemeriksa Bripka L. Hadi Purwanto. Intinya, sekitar bulan Oktober 2007, Henry sebanyak dua kali telah mewawancari Ir. Ricky S. Tumanduk, Kepala Dinas Kimpraswil Prov Sulut mengenai proyek pembangunan Jembatan Megawati, yang menurut Henry janggal karena fondasi jembatan tua tidak dibongkar. Menurut Ricky, tiang-tiang yang lama (tua) tidak dibongkar karena mempunyai nilai sejarah. Tetapi, Henry sama sekali belum pernah memuat kasus tersebut di Tabloid Jejak, karena bahan-bahannya belum cukup. Mungkin wawancara inilah yang dianggap sebagai “pengancaman” (meskipun Henry sama sekali tidak mengancam akan melaporkan kasus itu), namun agaknya Ricky sendiri yang merasa terancam.
8. Mengenai apa yang disebut “pemerasan” terhadap Ricky, mungkin yang dimaksud ialah pengajuan proposal pembangunan sebuah gereja yang diajukan oleh Dandi, yang datang ke kantor Ricky ditemani oleh Henry -- setelah wawancara tersebut. Selain itu, juga pengajuan permintaan iklan senilai Rp5.000.000 oleh John Lalonsang kepada Ricky yang kemudian dimuat di cover belakang Tabloid Jejak edisi 108 Desember 2007, bersama iklan Pemda Prov Sulut. Iklan tersebut adalah iklan ucapan “Selamat Idul Adha 1428 H, Selamat Natal 2007 dan Tahun Baru 2008”. Jika pengajuan proposal pembangunan sebuah gereja (oleh Dandi) dan permintaan iklan (oleh John Lalonsang) tersebut dilakukan secara baik-baik dan diterima secara baik-baik oleh Ricky, tentulah sama sekali bukan pemerasan. Apalagi yang melakukannya bukanlah Henry, sementara Ricky menyatakan (kepada John Lalonsang) bahwa dia tidak pernah melaporkan Henry kepada polisi.
9. Satu hal yang sangat jelas ialah, bahwa dua kali pemeriksaan (interogasi) yang dilakukan oleh pihak kepolisian Poltabes Manado telah melanggar UU Nomor 40/1999. Pertama, polisi tidak berhak menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan masalah keredaksian, pencarian berita, materi berita dan sumber berita, karena dalam melakukan tugas kewajibannya wartawan Indonesia dijamin oleh UU. Kedua, Henry mempunyai Hak Tolak atau Hak Ingkar untuk tidak menjawab pertanyaan polisi, apalagi menyangkut sumber berita. Ketiga, semua hal yang disangkakan oleh polisi (sebagai saksi kasus penyelundupan senjata, dan tersangka pengancaman dan pemerasan) sama sekali tidak terbukti, sementara Henry belum/tidak pernah memuat masalah tersebut di Tabloid Jejak.
10. Kesimpulan: Pertama, Wartawan Ir. Henry John C. Peuru telah ditangkap dan ditahan secara tidak sah karena polisi tidak membawa Surat Perintah Penangkapan. Dengan demikian bisa ditafsirkan bahwa telah terjadi penculikan. Kedua, penahanan pertama tidak sah karena sebagai saksi, Henry tidak melihat atau mengetahui kasus penyelundupan senjata dari Manado ke Poso (yang oleh penyidik dikatakan dilakukan oleh Wagub Sulut, F.H. Sualang). Mestinya Henry sudah bisa bebas, tetapi perkaranya dialihkan pada kasus “pengancaman dan pemerasan”. Ketiga, perpanjangan penahanan oleh Poltabes Manado dan Kejari Manado (sehubungan dengan kasus “pengancaman dan pemerasan”), juga tidak sah dan seharusnya Henry sudah bebas, karena Ricky Tumanduk (si pelapor) membantah telah melaporkan Henry kepada polisi. Keempat, polisi telah melanggar UU Nomor 40/1999 tentang Pers, dalam hal ini menghalang-halangi kebebasan pers, oleh karena itu dapat dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40/1999 tersebut.
Jakarta, 1 Mai 2008.