Petani Kopi Makin Terpuruk
SETELAH harga kopi anjlok akibat terimbas krisis global. Petani kopi makin terpuruk akibat sejumlah pedagang pengumpul tidak mampu membayar produk mereka seiring kekisruhan yang terjadi di Bank Tripanca.
Selain itu, pedagang pengumpul untuk sementara menghentikan pembelian kopi karena ketiadaan dana sambil menunggu kejelasan pengembalian dana mereka yang masih tertahan.
Edi, salah seorang pedagang pengumpul kopi di Talang Padang, mengaku ia dan pedagang lain kini kesulitan membayar kopi dan lada milik petani yang telah mereka ambil lebih dahulu. Bahkan, ia terpaksa harus kucing-kucingan karena tidak tahan ditagih para pedagang rekanannya.
Seperti diketahui, hampir seluruh pedagang pengumpul kopi melakukan transaksi perbankan dengan Bank Tripanca yang juga menangani bisnis hasil bumi. Akibatnya ratusan ton kopi dan lada milik petani ikut tertahan di gudang-gudang milik Sugiharto Wiharjo alias Alay ini. Kondisi ini mengakibatkan banyak tunggakan para pedagang kepada petani yang tak terbayar.
Sementara itu, kuasa hukum/pengacara PT Tripanca Group, Albert Tiensa, Selasa (4-11), mengatakan berdasar pada faksimile yang dia terima, Komisaris Tripanca Group Sugiarto Wiharjo (Alay) menolak isi gudang 100% menjadi milik Bank Mega dan Deutsche Bank. Pasalnya dalam perjanjian pembiayaan resi gudang (warehouse receipt financing) hanya 70% yang dibayar bank.
"Walau ketentuannya 70%, kalau bisa kami hanya sanggup membayar 30%--50% ke bank," kata Albert Tiensa, tanpa bersedia menjelaskan nilai nominal yang dibayar kedua bank tersebut.
Isi faksimile yang dikirim Alay, menurut Albert, hanya membahas penyelesaian masalah utang kepada penyuplai kopi, kakao, lada, dan cengkih. Sedangkan masalah PT BPR Tripanca Setiadana (Bank Tripanca) tidak dibahas sama sekali. Mengenai rapat umum pemegang saham (RUPS) belum dapat dilaksanakan karena pemegang saham pengendali, yakni Alay, tidak dapat hadir.
Informasi yang dihimpun Lampung Post, Bank Mega tidak mau ikut rugi akibat turunnya harga kopi saat pembiayaan, yakni Rp20 ribu/kg menjadi Rp15 ribu/kg. Akibat penurunan harga 25% itu, bank meminta Alay menanggungnya. Jika tidak, seluruh isi gudang akan menjadi milik bank.
Mengenai hal ini, Albert mengatakan penurunan harga kopi bukan keinginan Alay. "Krisis ini termasuk force majeure (keadaan memaksa) dan diatur dalam perjanjian. Soal harga turun, mestinya jangan dibebankan ke debitur. Bank jangan bertindak sepihak dan mementingkan diri sendiri. Kalau pengusaha lagi sulit, ya, bantu dong. Katanya bank mitra masyarakat. Kalau perlu suntik dana," kata Albert.
Untuk membicarakan masalah ini, rencananya Tripanca bertemu Bank Mega dan Deutsche Bank, hari ini (5-11). "Kami akan bertemu besok (hari ini, red). Pada prinsipnya kami keberatakan kalau 100% disita," kata Albert. Terhadap masalah ini, Branch Manager Bank Mega Lampung, Dedy Solihin, tidak dapat dikonfirmasi. Pesan singkat yang dikirim sebanyak dua kali tidak dibalas.
Faksimile yang dikirim Alay, menurut Albert, juga menyinggung penyelesaian pembayaran kepada penyuplai. "Kami akan mencari solusi terbaik berdasarkan prinsip win-win solution. Memang tidak dijanjikan akan dibayar lunas, tapi bergantung pada kemampuan atas penjualan aset yang sedang kami audit. Masalah utang-piutang akan dicarikan solusi bersama," kata Albert.(sumber: Lampung Post)
Selain itu, pedagang pengumpul untuk sementara menghentikan pembelian kopi karena ketiadaan dana sambil menunggu kejelasan pengembalian dana mereka yang masih tertahan.
Edi, salah seorang pedagang pengumpul kopi di Talang Padang, mengaku ia dan pedagang lain kini kesulitan membayar kopi dan lada milik petani yang telah mereka ambil lebih dahulu. Bahkan, ia terpaksa harus kucing-kucingan karena tidak tahan ditagih para pedagang rekanannya.
Seperti diketahui, hampir seluruh pedagang pengumpul kopi melakukan transaksi perbankan dengan Bank Tripanca yang juga menangani bisnis hasil bumi. Akibatnya ratusan ton kopi dan lada milik petani ikut tertahan di gudang-gudang milik Sugiharto Wiharjo alias Alay ini. Kondisi ini mengakibatkan banyak tunggakan para pedagang kepada petani yang tak terbayar.
Sementara itu, kuasa hukum/pengacara PT Tripanca Group, Albert Tiensa, Selasa (4-11), mengatakan berdasar pada faksimile yang dia terima, Komisaris Tripanca Group Sugiarto Wiharjo (Alay) menolak isi gudang 100% menjadi milik Bank Mega dan Deutsche Bank. Pasalnya dalam perjanjian pembiayaan resi gudang (warehouse receipt financing) hanya 70% yang dibayar bank.
"Walau ketentuannya 70%, kalau bisa kami hanya sanggup membayar 30%--50% ke bank," kata Albert Tiensa, tanpa bersedia menjelaskan nilai nominal yang dibayar kedua bank tersebut.
Isi faksimile yang dikirim Alay, menurut Albert, hanya membahas penyelesaian masalah utang kepada penyuplai kopi, kakao, lada, dan cengkih. Sedangkan masalah PT BPR Tripanca Setiadana (Bank Tripanca) tidak dibahas sama sekali. Mengenai rapat umum pemegang saham (RUPS) belum dapat dilaksanakan karena pemegang saham pengendali, yakni Alay, tidak dapat hadir.
Informasi yang dihimpun Lampung Post, Bank Mega tidak mau ikut rugi akibat turunnya harga kopi saat pembiayaan, yakni Rp20 ribu/kg menjadi Rp15 ribu/kg. Akibat penurunan harga 25% itu, bank meminta Alay menanggungnya. Jika tidak, seluruh isi gudang akan menjadi milik bank.
Mengenai hal ini, Albert mengatakan penurunan harga kopi bukan keinginan Alay. "Krisis ini termasuk force majeure (keadaan memaksa) dan diatur dalam perjanjian. Soal harga turun, mestinya jangan dibebankan ke debitur. Bank jangan bertindak sepihak dan mementingkan diri sendiri. Kalau pengusaha lagi sulit, ya, bantu dong. Katanya bank mitra masyarakat. Kalau perlu suntik dana," kata Albert.
Untuk membicarakan masalah ini, rencananya Tripanca bertemu Bank Mega dan Deutsche Bank, hari ini (5-11). "Kami akan bertemu besok (hari ini, red). Pada prinsipnya kami keberatakan kalau 100% disita," kata Albert. Terhadap masalah ini, Branch Manager Bank Mega Lampung, Dedy Solihin, tidak dapat dikonfirmasi. Pesan singkat yang dikirim sebanyak dua kali tidak dibalas.
Faksimile yang dikirim Alay, menurut Albert, juga menyinggung penyelesaian pembayaran kepada penyuplai. "Kami akan mencari solusi terbaik berdasarkan prinsip win-win solution. Memang tidak dijanjikan akan dibayar lunas, tapi bergantung pada kemampuan atas penjualan aset yang sedang kami audit. Masalah utang-piutang akan dicarikan solusi bersama," kata Albert.(sumber: Lampung Post)