WALHI: Selamatkan Hutan Indonesia
WAHANA Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), organisasi lingkungan terbesar Indonesia, menyambut dan menjadi tuan rumah bagi Greenpeace dan kapal utama SV. Rainbow Warrior pada tanggal 21-23 Januari di Indonesia. Kedatangan Greenpeace adalah salah satu bentuk semakin meningkatnya perhatian masyarakat internasional atas krisis hutan Indonesia. Selanjutnya, WALHI dan Greenpeace akan berkampanye dan mengomunikasikan kepada dunia kondisi hutan Indonesia dan tentang perlunya dukungan dunia internasional bagi upaya-upaya penyelamatan hutan-hutan Indonesia yang tersisa.
WALHI mengingatkan bahwa hutan Indonesia berada dalam kondisi krisis dan sangat mengkhawatirkan. Pembalakan hutan--baik yang legal maupun ilegal-- tidak terkontrol dan telah menyebabkan kerusakan hutan yang masif di hampir seluruh kawasan hutan Indonesia.
Longgena Ginting, Direktur Eksekutif WALHI mengatakan, "Pemerintah Indonesia mengakui bahwa tingkat deforestasi saat ini telah mencapai 3,8 juta hektar per tahun, meningkat dua kali lipat dalam lima tahun terakhir. Ini berarti Indonesia kehilangan hutannya seluas 7,2 hektar setiap menitnya."
Dampak pembalakan hutan yang merusak ini tidak saja telah menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, hancurnya habitat-habitat satwa endemik serta semakin merosotnya kualitas sumberdaya Indonesia, namun juga menghasilkan seri bencana ekologi di seluruh Indonesia, seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan, yang merenggut ratusan korban jiwa setiap tahunnya. Lebih jauh lagi, kehidupan lebih dari 40 juta masyarakat adat dan lokal yang hidupnya tergantung langsung sumberdaya hutan terus memburuk dan miskin akibat kehancuran hutan tersebut.
Berbagai upaya penyelamatan hutan Indonesia kenyataannya belum berhasil karena tidak pernah mengatasi akar permasalahan kehutanan di Indonesia, seperti korupsi, tidak diakuinya hak-hak masyarakat adat dan banyaknya industri-industri kayu bermasalah. Di tengah krisis ini, WALHI percaya hanya solusi radikal yang mampu menghentikan kerusakan tersebut, yaitu dengan memberikan ruang ekologi dan kesempatan hutan untuk bernafas dan membenahi pengelolaan sumberdaya hutan yang lebih berkelanjutan.
"WALHI berkampanye untuk diberlakukannya jeda (moratorium) pembalakan hutan yang harus diikuti oleh implementasi seluruh rencana aksi dan pembaruan kebijakan kehutanan di Indonesia," demikian Ginting.
WALHI menyerukan kepada masyarakat internasional untuk mendukung upaya penyelamatan hutan Indonesia dengan melakukan aksi konkrit untuk tidak mengkonsumsi kayu dan produk yang berasal dari kayu Indonesia. WALHI juga menyeru untuk tidak mengkonsumsi kayu tropis dari Malaysia karena dikhawatirkan sebagian kayu-kayu tersebut diselundupkan dari hutan-hutan Indonesia.
WALHI percaya hanya jeda pembalakan hutan yang dapat menyelamatkan hutan Indonesia yang tersisa dari kehancuran total, serta menjadi solusi bagi bencana ekologi saat ini dan menyelamatkan jutaan dolar pengeluaran pemerintah yang dikeluarkan untuk biaya penanganan bencana-bencana yang terjadi dalam lima tahun terakhir ini. Jeda pembalakan hutan juga dapat meminimalisir hilangnya devisa akibat pencurian kayu.
"Saat ini, 80% penebangan kayu adalah ilegal, sehingga sebenarnya jeda pembalakan hutan tidak akan merugikan ekonomi Indonesia, malah justru akan menguntungkan Indonesia dalam jangka panjang. Jeda pembalakan hutan ini akan menyelamatkan hilangnya devisa hingga $1 milyar AS dari pembalakan haram," tambah Ginting.WALHI menganjurkan pemerintah agar mengembangkan skema pengalihan lapangan kerja penebangan hutan ke dalam program rehabilitasi hutan dengan menggunakan dana rehabilitasi hutan saat ini.(*)
WALHI mengingatkan bahwa hutan Indonesia berada dalam kondisi krisis dan sangat mengkhawatirkan. Pembalakan hutan--baik yang legal maupun ilegal-- tidak terkontrol dan telah menyebabkan kerusakan hutan yang masif di hampir seluruh kawasan hutan Indonesia.
Longgena Ginting, Direktur Eksekutif WALHI mengatakan, "Pemerintah Indonesia mengakui bahwa tingkat deforestasi saat ini telah mencapai 3,8 juta hektar per tahun, meningkat dua kali lipat dalam lima tahun terakhir. Ini berarti Indonesia kehilangan hutannya seluas 7,2 hektar setiap menitnya."
Dampak pembalakan hutan yang merusak ini tidak saja telah menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, hancurnya habitat-habitat satwa endemik serta semakin merosotnya kualitas sumberdaya Indonesia, namun juga menghasilkan seri bencana ekologi di seluruh Indonesia, seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan, yang merenggut ratusan korban jiwa setiap tahunnya. Lebih jauh lagi, kehidupan lebih dari 40 juta masyarakat adat dan lokal yang hidupnya tergantung langsung sumberdaya hutan terus memburuk dan miskin akibat kehancuran hutan tersebut.
Berbagai upaya penyelamatan hutan Indonesia kenyataannya belum berhasil karena tidak pernah mengatasi akar permasalahan kehutanan di Indonesia, seperti korupsi, tidak diakuinya hak-hak masyarakat adat dan banyaknya industri-industri kayu bermasalah. Di tengah krisis ini, WALHI percaya hanya solusi radikal yang mampu menghentikan kerusakan tersebut, yaitu dengan memberikan ruang ekologi dan kesempatan hutan untuk bernafas dan membenahi pengelolaan sumberdaya hutan yang lebih berkelanjutan.
"WALHI berkampanye untuk diberlakukannya jeda (moratorium) pembalakan hutan yang harus diikuti oleh implementasi seluruh rencana aksi dan pembaruan kebijakan kehutanan di Indonesia," demikian Ginting.
WALHI menyerukan kepada masyarakat internasional untuk mendukung upaya penyelamatan hutan Indonesia dengan melakukan aksi konkrit untuk tidak mengkonsumsi kayu dan produk yang berasal dari kayu Indonesia. WALHI juga menyeru untuk tidak mengkonsumsi kayu tropis dari Malaysia karena dikhawatirkan sebagian kayu-kayu tersebut diselundupkan dari hutan-hutan Indonesia.
WALHI percaya hanya jeda pembalakan hutan yang dapat menyelamatkan hutan Indonesia yang tersisa dari kehancuran total, serta menjadi solusi bagi bencana ekologi saat ini dan menyelamatkan jutaan dolar pengeluaran pemerintah yang dikeluarkan untuk biaya penanganan bencana-bencana yang terjadi dalam lima tahun terakhir ini. Jeda pembalakan hutan juga dapat meminimalisir hilangnya devisa akibat pencurian kayu.
"Saat ini, 80% penebangan kayu adalah ilegal, sehingga sebenarnya jeda pembalakan hutan tidak akan merugikan ekonomi Indonesia, malah justru akan menguntungkan Indonesia dalam jangka panjang. Jeda pembalakan hutan ini akan menyelamatkan hilangnya devisa hingga $1 milyar AS dari pembalakan haram," tambah Ginting.WALHI menganjurkan pemerintah agar mengembangkan skema pengalihan lapangan kerja penebangan hutan ke dalam program rehabilitasi hutan dengan menggunakan dana rehabilitasi hutan saat ini.(*)