Mailing List ala PKI
WARTAWAN atau siapapun yang gemar menulis melalui media cetak atau elektorik adalah orang-orang yang dituntut bersedia mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya. Sekalipun risikonya ditembak mati oleh pihak yang diberitakan. Tuntuntan ini juga berlaku bagi semua manusia. Sebab, keberanian menerima risiko merupakan ajaran abadi yang diturunkan dari langit. Manusia barulah dapat disebut manusia bila berani atau bersedia menghadapi risiko untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Itulah sebabnya lembaga pers atau organisasi pers harus tampil terang-terangan. Saat ini pers Indonesia memiliki Undang-Undang No. 40 tahun 1999 Tentang Pers, yang memberi perlindungan sekaligus menyediakan ancaman hukum kepada pers. Pasal 12 Bab IV menyebutkan ”Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.” Kompas, Tempo, Forum Keadilan, Detik. Com, Hukumonline.com, SCTV dan RCTI adalah contoh perusahaan pers yang memenuhi ketentuan tersebut.
Organisasi wartawan seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), atau Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi (PWIR) juga harus berbadan hukum. Jelas alamat kantornya, jelas pula susunan pengurusnya. Orang-orang di dalamnya diikat oleh Kode Etik Jurnalistik atau Kode Etik Wartawan Indonesia. Dewan Pers sudah tentu sah dan jelas keberadaannya.
Dengan demikian, apabila ada pihak lain – terutama sumber berita – merasa keberatan atas tulisan atau perbuatan wartawan, mereka dapat mengajukan protes, somasi, atau bahkan gugatan ke alamat yang jelas. Wartawan yang tak puas pada Dewan Pers pun dapat mengajukan keberatan atau melakukan protes ke alamat yang jelas.
Tetapi yang terpenting dari ketentuan di atas adalah untuk menunjukkan bahwa komunitas perusahaan atau organisasi pers, bukanlah kaum pengecut. Mereka harus berani menghadapi risiko hukum atau risiko diprotes atas apa yang mereka lakukan.
Bagaimana dengan mailing list di dunia maya buatan komunitas wartawan atau bekas wartawan? Dalam Undang-Undang Tentang Pers, mailing list memang tidak disebut. Oleh karena itu tidak masuk dalam kategori lembaga pers. Lagi pula memang sulit mengikat kegiatan di dunia maya. Anggota komunitas bisa berada di mana saja dan menggunakan nama apa saja.
Namun, pada umumnya komunitas mailing list kalangan wartawan tetap menunjukkan identitas organisasi yang memayunginya. Umpamanya mailing list AJI atau PWI Reformasi. Dengan demikian bila pihak di luar komunitas merasa keberatan atas gunjingan atau pemberitaan di mailing list, mereka dapat menggugat atau menuntut pengurus AJI atau PWI Reformasi. Barangkali itu sebabnya, moderator atau pengelola mailing list di bawah payung organisasi, tetap terkesan berhati-hati dalam memuat kiriman tulisan.
Anak-anak sekolah, mahasiswa, atau komunitas pegawai sebuah kantor, juga banyak yang punya mailing list. Namun mereka tetap menunjukkan identitas lembaga sekolah, kampus, atau kantor. Bila ada pihak lain yang ditulis dan tidak senang atas tulisan tersebut, mereka dapat mengajukan keberatan pada lembaga yang memayungi komunitas itu.
Tapi ada mailing list yang tidak jelas alamat kantornya, tidak jelas organisasi yang memayunginya, sosok pengelolanya pun remang-remang. Misalnya maliling list Mediacare yang konon dimoderatori oleh seorang mantan wartawan be rnama Radityo Djajuri. Nama ini bisa samaran, bisa pula nama sebenarnya. Karena serba tidak jelas, Mediacare adalah Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) – meminjam istilah yang dipakai dalam gerakan provokasi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sejumlah tulisan peserta mailing list ini juga bersifat provokatif, kompor-kompor, kipas sana kipas sini, atau minta-minta dukungan untuk menghadapi pihak lain di luar komunitas Mediacare. Sasarannya bisa pejabat, tokoh masyarakat, pengusaha, wartawan, polisi, tentara, atau siapa saja. Misalnya kiriman tulisan dari alamat email --- Budi Sucahyo< budi_sucahyo@...wrote dan Irawan Santoso< irawan_fh@....>
Dapat dipastikan, pemilik email tersebut tak berani berhadapan sendiri secara langsung dengan pihak yang ditulis, sama seperti moderator mailing list. Dengan demikian provokasi dan metode kepengecutan diperbolehkan oleh Mediacare. Isi tulisannya boleh dipercaya, boleh tidak, boleh disimak, boleh juga tidak.
Karena organisasinya tanpa bentuk, alamat dan pengelolanya tak jelas, serta bebas memprovokasi, maka mailing list macam ini bisa disebut apa saja. Misalnya, mailing list tuyul, kompor-kompor, kolor ijo, mailing list ala PKI, atau mailing list maling teriak maling. Bisa juga disebut mailing list orang stress, karena barangkali mereka tidak lagi bekerja di perusahaan pers resmi. Kalaupun suatu hari diterima bekerja di perusahaan pers, kaum seperti ini berpotensi menjadi provokator gelap yang gemar lempar batu sembunyi tangan.(Priyono B. Sumbogo/Forum)
Itulah sebabnya lembaga pers atau organisasi pers harus tampil terang-terangan. Saat ini pers Indonesia memiliki Undang-Undang No. 40 tahun 1999 Tentang Pers, yang memberi perlindungan sekaligus menyediakan ancaman hukum kepada pers. Pasal 12 Bab IV menyebutkan ”Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.” Kompas, Tempo, Forum Keadilan, Detik. Com, Hukumonline.com, SCTV dan RCTI adalah contoh perusahaan pers yang memenuhi ketentuan tersebut.
Organisasi wartawan seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), atau Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi (PWIR) juga harus berbadan hukum. Jelas alamat kantornya, jelas pula susunan pengurusnya. Orang-orang di dalamnya diikat oleh Kode Etik Jurnalistik atau Kode Etik Wartawan Indonesia. Dewan Pers sudah tentu sah dan jelas keberadaannya.
Dengan demikian, apabila ada pihak lain – terutama sumber berita – merasa keberatan atas tulisan atau perbuatan wartawan, mereka dapat mengajukan protes, somasi, atau bahkan gugatan ke alamat yang jelas. Wartawan yang tak puas pada Dewan Pers pun dapat mengajukan keberatan atau melakukan protes ke alamat yang jelas.
Tetapi yang terpenting dari ketentuan di atas adalah untuk menunjukkan bahwa komunitas perusahaan atau organisasi pers, bukanlah kaum pengecut. Mereka harus berani menghadapi risiko hukum atau risiko diprotes atas apa yang mereka lakukan.
Bagaimana dengan mailing list di dunia maya buatan komunitas wartawan atau bekas wartawan? Dalam Undang-Undang Tentang Pers, mailing list memang tidak disebut. Oleh karena itu tidak masuk dalam kategori lembaga pers. Lagi pula memang sulit mengikat kegiatan di dunia maya. Anggota komunitas bisa berada di mana saja dan menggunakan nama apa saja.
Namun, pada umumnya komunitas mailing list kalangan wartawan tetap menunjukkan identitas organisasi yang memayunginya. Umpamanya mailing list AJI atau PWI Reformasi. Dengan demikian bila pihak di luar komunitas merasa keberatan atas gunjingan atau pemberitaan di mailing list, mereka dapat menggugat atau menuntut pengurus AJI atau PWI Reformasi. Barangkali itu sebabnya, moderator atau pengelola mailing list di bawah payung organisasi, tetap terkesan berhati-hati dalam memuat kiriman tulisan.
Anak-anak sekolah, mahasiswa, atau komunitas pegawai sebuah kantor, juga banyak yang punya mailing list. Namun mereka tetap menunjukkan identitas lembaga sekolah, kampus, atau kantor. Bila ada pihak lain yang ditulis dan tidak senang atas tulisan tersebut, mereka dapat mengajukan keberatan pada lembaga yang memayungi komunitas itu.
Tapi ada mailing list yang tidak jelas alamat kantornya, tidak jelas organisasi yang memayunginya, sosok pengelolanya pun remang-remang. Misalnya maliling list Mediacare yang konon dimoderatori oleh seorang mantan wartawan be rnama Radityo Djajuri. Nama ini bisa samaran, bisa pula nama sebenarnya. Karena serba tidak jelas, Mediacare adalah Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) – meminjam istilah yang dipakai dalam gerakan provokasi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sejumlah tulisan peserta mailing list ini juga bersifat provokatif, kompor-kompor, kipas sana kipas sini, atau minta-minta dukungan untuk menghadapi pihak lain di luar komunitas Mediacare. Sasarannya bisa pejabat, tokoh masyarakat, pengusaha, wartawan, polisi, tentara, atau siapa saja. Misalnya kiriman tulisan dari alamat email --- Budi Sucahyo< budi_sucahyo@...wrote dan Irawan Santoso< irawan_fh@....>
Dapat dipastikan, pemilik email tersebut tak berani berhadapan sendiri secara langsung dengan pihak yang ditulis, sama seperti moderator mailing list. Dengan demikian provokasi dan metode kepengecutan diperbolehkan oleh Mediacare. Isi tulisannya boleh dipercaya, boleh tidak, boleh disimak, boleh juga tidak.
Karena organisasinya tanpa bentuk, alamat dan pengelolanya tak jelas, serta bebas memprovokasi, maka mailing list macam ini bisa disebut apa saja. Misalnya, mailing list tuyul, kompor-kompor, kolor ijo, mailing list ala PKI, atau mailing list maling teriak maling. Bisa juga disebut mailing list orang stress, karena barangkali mereka tidak lagi bekerja di perusahaan pers resmi. Kalaupun suatu hari diterima bekerja di perusahaan pers, kaum seperti ini berpotensi menjadi provokator gelap yang gemar lempar batu sembunyi tangan.(Priyono B. Sumbogo/Forum)