Senin, 14 Januari 2008

Salam Doa Wartawan Tua

Oleh ROSIHAN ANWAR
BERKAITAN dengan telah tiba saatnya kita memasuki Tahun Baru 2008, terimalah salam hormat dari seorang wartawan tua beserta doa।

Saya doakan wartawan Indonesia, baik yang sudah memenuhi standardisasi profesional dan kompetensi, maupun yang belum memperolehnya, baik yang sudah mantap maupun yang masih susah agar tetap bekerja sesuai dengan tradisi pers pergerakan nasional pada awal abad ke-20 yaitu melindungi golongan yang lemah dan terjajah, membela rakyat yang dizalimi oleh penguasa, atau dalam bahasa kaum muda sosdem (sosial demokrasi) sekarang agar memihak kaum miskin atau pro-poor.

Dengan begitu, wartawan Indonesia tetap jujur pada dirinya, berbuat benar menaati jati diri dan idealismenya.

Kepada sesama anak bangsa, saya sampaikan salam silaturahmi disertai doa semoga kita semua mampu menjaga agar Indonesia tetap jujur terhadap dirinya, mampu menegakkan martabat dan harga dirinya, tidak terombang-ambing di tengah pergolakan globalisasi dunia dan tersihir oleh pengaruh neokapitalisme dan neoliberalisme yang tidak berperikemanusiaan.

Betapa pun sulitnya dirasakan beban tekanan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari, betapa pun suramnya masa depan, betapa besarnya kekecewaan akibat ketertingggalan Indonesia dari negeri-negeri lain di kawasan Asia Tenggara, namun janganlah lupa berterima kasih tiap hari kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Jika di negara lain di benua lain terdapat peperangan, pengeboman, pembunuhan, kita di Indonesia relatif masih aman. Oleh karena itu, marilah kita bersyukur tiap kali bangun pagi kepada Tuhan Yang Maha Pelindung.

Banyak generasi muda, kendati telah menyelesaikan studi dan meraih gelar kesarjanaan, amat sulit memperoleh pekerjaan. Banyak rakyat kita mengalami pengangguran, menghadapi kesukaran di bidang pendidikan, kesehatan dan mereka tidak bisa keluar dari keterpurukan karena pemimpin yang tanpa visi dan tanpa peduli, karena elite dan oligarki politik dan bisnis lebih sibuk dengan kepentingan dan kekuasaannya sendiri ketimbang menolong rakyat yang mayoritas.

Dalam keadaan sulit demikian, kita makin terdorong mendoakan dan mengharapkan supaya anak bangsa mengubah kehidupannya, mentransformasi sikap dan wataknya. Mereka yang terimpit dalam kesakitan agar berusaha bangkit berdiri menjadi insan yang kreatif dan bekerja walaupun di bidang terbatas dan sekecil-kecilnya. Namun, mereka yang di atas memegang kekuasaan berubah menjadi insan yang menaruh welas-asih dan memberikan perhatian kepada keadilan dan kesejahteraan sosial bagi rakyat ini yang telah begitu lama menderita.

Saya doakan agar kita semua punya sikap membantu orang-orang lain. Jangan lupa memuliakan kaum ibu kita, usahakan memberdayakan kaum perempuan supaya mereka lebih tangguh berfungsi sebagai pendidik anak bangsa. Ingat selalu ibu-ibu kita yang selama sembilan bulan mengandung anak mereka, kemudian membesarkan dan mengasuh anak dengan kasih sayang. Kita berutang budi pada mereka. Bantulah mereka.

Saya doakan agar dalam keadaan bagaimanapun juga kita tetap bersikap positif. Tidak terus mengomel dan mengkritik. Berusaha mengurangi kesenjangan sosial dan melenyapkan kecemburuan sosial. Berusaha bersama-sama mencari cahaya terang di ujung terowongan gelap. Berusaha memperbaiki lingkungan hidup.

Tidak ada yang orisinal, tidak ada yang luar biasa dalam salam dan doa di atas tadi. Saya hanya mengutip filsafat Oprah Winfrey, tokoh media televisi ternama di Amerika, seorang Afro-America, talkshow hostess yang berpengaruh dan berwibawa. Filsafat Oprah dirumuskan dalam kata-katanya sendiri adalah (1) Be true yourself, (2) Be grateful every day, (3) Transform your life, (4) Help others, (5) Stay positive.

Mungkin biasa-biasa saja kedengarannya, tetapi bagi saya cukup mengesankan justru karena biasa-biasa itu, namun mengandung suatu kebenaran yang mendalam. Dengan pengharapan agar bangsa Indonesia dalam tahun 2008 akan lebih baik keadaannya, sekali lagi bersama ini terimalah salam dan doa akhir tahun dari seorang wartawan tua. Semoga Tuhan memberkati kita semua.***

*) Penulis, wartawan senior.

QUO VADIS UGM?

JURUSAN Komunikasi UGM serta Pusat Pengkajian dan Penelitian Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI telah mengerjakan penelitian pesanan dari PT Asian Agri, anak perusahaan PT Raja Garuda Mas milik Soekanto Tanoto, pengusaha yang disebut majalah Forbes sebagai orang terkaya di Indonesia pada 2006 dan terkaya kedua 2007.

Penelitian itu menyatakan bahwa pemberitaan Tempo--mengenai indikasi penggelapan pajak senilai Rp 1,3 triliun yang dilakukan PT Asian Agri--tak menaati kaidah jurnalistik dan bersifat tendensius. Hasil penelitian itu telah dipaparkan dalam seminar publik "Menguak Misteri di Balik Berita Kasus Pajak Asian Agri": Pertaruhan Kredibilitas, Nama Baik dan Obyektivitas”, di Hotel Sultan, Jakarta, 18 Desember 2007.

Apa yang disampaikan Tempo bukan omong kosong. Temuan awal tim investigasi Dirjen Pajak Departemen Keuangan yang dipublikasikan pada 14 Mei 2007 menyebut, negara dirugikan sebesar Rp 786 miliar, jumlah penggelapan pajak terbesar dalam sejarah Republik!

Dengan bersedia mengerjakan proyek penelitian ini, Jurusan Komunikasi UGM telah bersikap partisan terhadap korporasi yang diduga kuat telah menilap uang negara. Fokus penelitian Jurusan Komunikasi UGM bisa dianggap sebagai bentuk pengalihan isu dari "korupsi pajak PT Asian Agri" ke arah "etika jurnalistik".

Penelitian itu boleh jadi "bisa dipertanggungjawabkan" secara akademik, tetapi siapa yang akan mempertanggungjawabkan implikasi dari penelitian itu? Kesimpulan penelitian ini merupakan pintu gerbang untuk menjerat media--dalam hal ini Tempo--dengan undang-undang yang dimaksudkan untuk melindunginya, yaitu UU Pokok Pers.

Kita pantas meragukan integritas Jurusan Komunikasi UGM sebagai institusi akademik. Karena itu, kami menyatakan:
1. Menuntut Jurusan Komunikasi UGM meminta maaf kepada publik dan insan media terkait dengan penelitian pesanan yang dilakukannya dan menyatakan mencabut hasil penelitian tadi untuk menghindari kemungkinan dimanfaatkan pihak-pihak tertentu yang bisa merugikan kepentingan umum yang lebih besar.
2. Meminta Senat Akademik UGM memberikan peringatan keras kepada staf pengajar yang terlibat dalam penelitian pesananan PT Asian Agri.

3. Menuntut agar perguruan tinggi menjunjung tinggi etika kesarjanaan dan menegaskan keberpihakannya kepada gerakan pemberantasan korupsi dan kebebasan pers sebagai bagian dari agenda reformasi dan demokrasi sosial.

KOMUNIKE BERSAMA
Komunitas Kembang Merak B-21
BPPM Balairung UGM
Komunitas Malam Selokan Mataram
Lembaga Analisis Sosial dan Kajian Ekonomi Politik
LPM Ekspresi UNY
LPM Himmah UII
LPPM Sintesa Fisipol UGM
Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan
Kota Yogyakarta
LPM Ekonomika FE UII
Masyarakat Peduli Media (MPM) Yogyakarta
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta
LPM Arena UIN Sunan Kalijaga
LPM Natas USD
BPPM Equilibrium FEB UGM
(Sumber: Surat Pembaca Tempo, 7-13 Januari 2008)

Harsutejo: Neraka Rezim Suharto

JUDUL di atas bukanlan bikinan saya, tetapi judul sebuah buku tipis (156 + xi halaman) yang kemudian diikuti sub-judul “Misteri Tempat Penyiksaan Orde Baru” susunan Margiyono dan Kurniawan Tri Yunanto, Spasi & VHRBook, Jakarta, 2007.

Bagi yang mengenal kekejaman rezim Orba, apalagi bagi mereka yang p ernah menjadi tapol Orba, dari sebagian daftar isinya dapat membayangkan apa kira-kira kisah di dalamnya: Bab I Rumah Setan di Gunung Sahari; Bab II Rumah Hantu di Menteng Atas; Bab III Kekejaman di Kremlin [Kramat Lima]; Bab IV Jeritan di Rumah Meester Cornelis; Bab V Horor di Gang Buntu; dst. Kedua penulis muda ini tidak sedang bercerita tentang kisah horor yang banyak muncul di televisi belakangan ini, tapi tentang kekejaman yang dialami para tapol, para terculik yang dilakukan rezim militer Orba Suharto sejak 1965 sampai 1998, bagian dari sejarah kelam horor.

Rumah Setan di Gunung Sahari terletak di Gunungsahari III, sebuah rumah besar milik seorang Tionghoa yang dirampas dan dijadikan markas Operasi Kalong setelah tragedi 1 Oktober 1965. Operasi di bawah Mayor Suroso ini pula yang berhasil menangkap orang keempat PKI Sudisman karena pengkhianatan kawan dekat dan pembantunya. Algojo yang bernama Letnan Bob tersohor kekejamannya, setiap tapol di Jakarta gemetar jika dibon olehnya ke markas Kalong. Alat penyiksa standar berupa pentungan kayu dan karet, buntut ikan pari yang dipasangi paku kecil, kabel dengan lempeng-lempeng yang dialiri listrik. Setiap tapol baru dikejutkan dan dihancurkan mentalnya dengan siksaan alat-alat tersebut, apapun yang diakuinya. Sengatan listrik merupakan ujung kekuatan seorang pesakitan berakhir. Setiap tapol perempuan diperiksa dengan telanjang bulat, demikian juga dengan interogatornya.

Di Kalong tersohor pula legenda seorang aktivis Gerwani bernama Sri Ambar yang tetap bungkam meski telah disiksa dengan gebukan, setruman, kemudian digantung telanjang bulat di pohon mangga. Bokongnya kemudian ditusuk bayonet oleh seorang tentara penyiksa. Siksaan berlanjut dengan didatangkannya ibu dan dua orang anaknya yang masih kecil (ketiganya juga ditahan) untuk menyaksikannya.

Seorang pemuda tapol yang kuat badannya berumur sekitar 30 tahun disiksa habis-habisan dengan gebukan dan sengatan listrik di markas Zinpur 8. Ia juga digantung selama seminggu di Lenteng Agung, banyak bagian badannya mengucurkan darah karena diiris silet. Luka itu kemudian disiram bensin. Ia pun menjadi sasaran latihan lemparan pisau komando. Pada suatu malam badannya ditembus tiga peluru, karena keterangannya masih diperlukan, ia dibawa ke RSPAD Gatot Subroto dan mendapatkan transfusi darah sebanyak 10 liter. Dalam keadaan masih sakit, ia berkali-kali diinterogasi, bahkan dengan disetrum. Ia kemudian dilemparkan ke sel Kodim 0505 Jatinegara, salah satu tempat penyiksaan tapol. Dalam sel 5x6 meter itu ia berjubel bersama 200 tapol lainnya.

Di bagian akhir terdapat kesaksian sejumlah aktivis muda dan mahasiswa, di antaranya dari PRD. Seperti kita ketahui sejumlah aktivis diculik rezim Suharto pada pertengahan pertama 1998 sebelum diktator militer itu jatuh. Sejumlah aktivis setelah diculik, semula berada di instansi militer resmi seperti Kodim Jakarta Timur, disiksa dan diinterogasi di instansi militer [rahasia] dalam keadaan mata terus ditutup. Tiba-tiba mereka sudah dibawa ke Polda Metro Jaya. Sejumlah aktivis kemudia n dibebaskan dalam bulan Juni 1998 setelah tumbangnya sang diktator.
Seperti kita ketahui masih ada 13 orang aktivis yang diculik oleh instansi yang sama di masa itu tidak pernah kembali, di antaranya aktivis buruh sekaligus penyair, Wiji Thukul dengan seruannya yang tersohor: HANYA ADA SATU KATA: LAWAN! Ketika itu seorang petinggi militer, Jenderal Syarwan Hamid yang amat ditakuti karena jabatannya, menyatakan bahwa Wiji Thukul telah menantang pemerintah. Rupanya rezim militer yang perkasa itu takut juga dengan seorang penyair miskin kerempeng.
Instansi militer penculik [rahasia] yang terang identitasnya di mata beberapa Kodim dan Polda Metro Jaya sampai saat ini belum diusut. Di mana 13 pemuda bibit bangsa itu telah dibunuh dan dikubur? Adakah HAM hanya untuk kaum koruptor dan tersangka koruptor serta Jenderal Besar (Purn) Suharto, dan tidak untuk para [bekas] tapol dan aktivis yang melawan kediktatoran rezim militer Orba?
Bekasi, 9 Januari 2008 (dikutip dari wwww.apakabar.ws)

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto