Senin, 14 Januari 2008

QUO VADIS UGM?

JURUSAN Komunikasi UGM serta Pusat Pengkajian dan Penelitian Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI telah mengerjakan penelitian pesanan dari PT Asian Agri, anak perusahaan PT Raja Garuda Mas milik Soekanto Tanoto, pengusaha yang disebut majalah Forbes sebagai orang terkaya di Indonesia pada 2006 dan terkaya kedua 2007.

Penelitian itu menyatakan bahwa pemberitaan Tempo--mengenai indikasi penggelapan pajak senilai Rp 1,3 triliun yang dilakukan PT Asian Agri--tak menaati kaidah jurnalistik dan bersifat tendensius. Hasil penelitian itu telah dipaparkan dalam seminar publik "Menguak Misteri di Balik Berita Kasus Pajak Asian Agri": Pertaruhan Kredibilitas, Nama Baik dan Obyektivitas”, di Hotel Sultan, Jakarta, 18 Desember 2007.

Apa yang disampaikan Tempo bukan omong kosong. Temuan awal tim investigasi Dirjen Pajak Departemen Keuangan yang dipublikasikan pada 14 Mei 2007 menyebut, negara dirugikan sebesar Rp 786 miliar, jumlah penggelapan pajak terbesar dalam sejarah Republik!

Dengan bersedia mengerjakan proyek penelitian ini, Jurusan Komunikasi UGM telah bersikap partisan terhadap korporasi yang diduga kuat telah menilap uang negara. Fokus penelitian Jurusan Komunikasi UGM bisa dianggap sebagai bentuk pengalihan isu dari "korupsi pajak PT Asian Agri" ke arah "etika jurnalistik".

Penelitian itu boleh jadi "bisa dipertanggungjawabkan" secara akademik, tetapi siapa yang akan mempertanggungjawabkan implikasi dari penelitian itu? Kesimpulan penelitian ini merupakan pintu gerbang untuk menjerat media--dalam hal ini Tempo--dengan undang-undang yang dimaksudkan untuk melindunginya, yaitu UU Pokok Pers.

Kita pantas meragukan integritas Jurusan Komunikasi UGM sebagai institusi akademik. Karena itu, kami menyatakan:
1. Menuntut Jurusan Komunikasi UGM meminta maaf kepada publik dan insan media terkait dengan penelitian pesanan yang dilakukannya dan menyatakan mencabut hasil penelitian tadi untuk menghindari kemungkinan dimanfaatkan pihak-pihak tertentu yang bisa merugikan kepentingan umum yang lebih besar.
2. Meminta Senat Akademik UGM memberikan peringatan keras kepada staf pengajar yang terlibat dalam penelitian pesananan PT Asian Agri.

3. Menuntut agar perguruan tinggi menjunjung tinggi etika kesarjanaan dan menegaskan keberpihakannya kepada gerakan pemberantasan korupsi dan kebebasan pers sebagai bagian dari agenda reformasi dan demokrasi sosial.

KOMUNIKE BERSAMA
Komunitas Kembang Merak B-21
BPPM Balairung UGM
Komunitas Malam Selokan Mataram
Lembaga Analisis Sosial dan Kajian Ekonomi Politik
LPM Ekspresi UNY
LPM Himmah UII
LPPM Sintesa Fisipol UGM
Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan
Kota Yogyakarta
LPM Ekonomika FE UII
Masyarakat Peduli Media (MPM) Yogyakarta
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta
LPM Arena UIN Sunan Kalijaga
LPM Natas USD
BPPM Equilibrium FEB UGM
(Sumber: Surat Pembaca Tempo, 7-13 Januari 2008)

Harsutejo: Neraka Rezim Suharto

JUDUL di atas bukanlan bikinan saya, tetapi judul sebuah buku tipis (156 + xi halaman) yang kemudian diikuti sub-judul “Misteri Tempat Penyiksaan Orde Baru” susunan Margiyono dan Kurniawan Tri Yunanto, Spasi & VHRBook, Jakarta, 2007.

Bagi yang mengenal kekejaman rezim Orba, apalagi bagi mereka yang p ernah menjadi tapol Orba, dari sebagian daftar isinya dapat membayangkan apa kira-kira kisah di dalamnya: Bab I Rumah Setan di Gunung Sahari; Bab II Rumah Hantu di Menteng Atas; Bab III Kekejaman di Kremlin [Kramat Lima]; Bab IV Jeritan di Rumah Meester Cornelis; Bab V Horor di Gang Buntu; dst. Kedua penulis muda ini tidak sedang bercerita tentang kisah horor yang banyak muncul di televisi belakangan ini, tapi tentang kekejaman yang dialami para tapol, para terculik yang dilakukan rezim militer Orba Suharto sejak 1965 sampai 1998, bagian dari sejarah kelam horor.

Rumah Setan di Gunung Sahari terletak di Gunungsahari III, sebuah rumah besar milik seorang Tionghoa yang dirampas dan dijadikan markas Operasi Kalong setelah tragedi 1 Oktober 1965. Operasi di bawah Mayor Suroso ini pula yang berhasil menangkap orang keempat PKI Sudisman karena pengkhianatan kawan dekat dan pembantunya. Algojo yang bernama Letnan Bob tersohor kekejamannya, setiap tapol di Jakarta gemetar jika dibon olehnya ke markas Kalong. Alat penyiksa standar berupa pentungan kayu dan karet, buntut ikan pari yang dipasangi paku kecil, kabel dengan lempeng-lempeng yang dialiri listrik. Setiap tapol baru dikejutkan dan dihancurkan mentalnya dengan siksaan alat-alat tersebut, apapun yang diakuinya. Sengatan listrik merupakan ujung kekuatan seorang pesakitan berakhir. Setiap tapol perempuan diperiksa dengan telanjang bulat, demikian juga dengan interogatornya.

Di Kalong tersohor pula legenda seorang aktivis Gerwani bernama Sri Ambar yang tetap bungkam meski telah disiksa dengan gebukan, setruman, kemudian digantung telanjang bulat di pohon mangga. Bokongnya kemudian ditusuk bayonet oleh seorang tentara penyiksa. Siksaan berlanjut dengan didatangkannya ibu dan dua orang anaknya yang masih kecil (ketiganya juga ditahan) untuk menyaksikannya.

Seorang pemuda tapol yang kuat badannya berumur sekitar 30 tahun disiksa habis-habisan dengan gebukan dan sengatan listrik di markas Zinpur 8. Ia juga digantung selama seminggu di Lenteng Agung, banyak bagian badannya mengucurkan darah karena diiris silet. Luka itu kemudian disiram bensin. Ia pun menjadi sasaran latihan lemparan pisau komando. Pada suatu malam badannya ditembus tiga peluru, karena keterangannya masih diperlukan, ia dibawa ke RSPAD Gatot Subroto dan mendapatkan transfusi darah sebanyak 10 liter. Dalam keadaan masih sakit, ia berkali-kali diinterogasi, bahkan dengan disetrum. Ia kemudian dilemparkan ke sel Kodim 0505 Jatinegara, salah satu tempat penyiksaan tapol. Dalam sel 5x6 meter itu ia berjubel bersama 200 tapol lainnya.

Di bagian akhir terdapat kesaksian sejumlah aktivis muda dan mahasiswa, di antaranya dari PRD. Seperti kita ketahui sejumlah aktivis diculik rezim Suharto pada pertengahan pertama 1998 sebelum diktator militer itu jatuh. Sejumlah aktivis setelah diculik, semula berada di instansi militer resmi seperti Kodim Jakarta Timur, disiksa dan diinterogasi di instansi militer [rahasia] dalam keadaan mata terus ditutup. Tiba-tiba mereka sudah dibawa ke Polda Metro Jaya. Sejumlah aktivis kemudia n dibebaskan dalam bulan Juni 1998 setelah tumbangnya sang diktator.
Seperti kita ketahui masih ada 13 orang aktivis yang diculik oleh instansi yang sama di masa itu tidak pernah kembali, di antaranya aktivis buruh sekaligus penyair, Wiji Thukul dengan seruannya yang tersohor: HANYA ADA SATU KATA: LAWAN! Ketika itu seorang petinggi militer, Jenderal Syarwan Hamid yang amat ditakuti karena jabatannya, menyatakan bahwa Wiji Thukul telah menantang pemerintah. Rupanya rezim militer yang perkasa itu takut juga dengan seorang penyair miskin kerempeng.
Instansi militer penculik [rahasia] yang terang identitasnya di mata beberapa Kodim dan Polda Metro Jaya sampai saat ini belum diusut. Di mana 13 pemuda bibit bangsa itu telah dibunuh dan dikubur? Adakah HAM hanya untuk kaum koruptor dan tersangka koruptor serta Jenderal Besar (Purn) Suharto, dan tidak untuk para [bekas] tapol dan aktivis yang melawan kediktatoran rezim militer Orba?
Bekasi, 9 Januari 2008 (dikutip dari wwww.apakabar.ws)

Rahasia Pribadi Sang Benazir


KABAR tentang kematian Benazir Bhutto bukan hanya menyisakan duka mendalam bagi pendukungnya di Pakistan. Melainkan juga kepiluan tak terperi bagi seorang terapis kecantikan, Worro Harry Soeharman, 50 tahun, yang tinggal di Raffles Hills, Cibubur, Jakarta Timur. Wanita berjuluk grand master pijat bioenergi ini pernah hampir sebulan dipercaya merawat kecantikan dan kebugaran Benazir di Istana Perdana Menteri Pakistan, April 1996.

Sosok Benazir yang jelita, tegas, dan selalu tampil percaya diri masih terekam kuat dalam memori Worro. "Kepribadian beliau amat kuat dan mengesankan," ujar mantan kepala pelatih perawat kecantikan Martha Tilaar Group itu. "Sedih mendengar beliau meninggal, apalagi dengan cara dibunuh." Worr o merasa roh Benazir masih dekat dengannya, meski jasadnya telah wafat. Lebih-lebih pada saat ia membuka kembali kerudung putih berenda merah muda kesukaan Benazir yang secara spontan dihadiahkan pada Worro ketika pamitan pulang.

Pada saat Worro hendak mengenakan kerudung itu untuk dipotret Gatra, bibirnya spontan minta izin, "Excuse me, Madam!" Serasa Benazir masih berdiri di depannya. Bulu kuduk sekujur tangan dan tengkuk Worro berdiri. "Merinding rasanya," katanya.

Worro mengaku amat terpesona oleh figur Benazir. "Ia sosok negarawati yang mencurahkan seluruh pikiran dan tenaganya untuk Pakistan. Saya tahu persis, dia amat mencintai rakyat dan negaranya," ujar wanita yang memiliki dokumen keluarga sebagai keturunan Raja Majapahit, Brawijaya V, itu.

Worro merasa amat beruntung dipercaya bekerja di lingkaran dekat tokoh perempuan pertama yang terpilih lewat pemilu demokratis untuk memimpin negara Islam itu. Ia bisa banyak belajar dari keseharian dan kehidupan pribadi Benazir yang tak banyak diketahui khalayak luas. "Beliau berkali-kali mengajarkan pada saya agar menjadi perempuan yang kuat, teguh pendirian, dan punya keyakinan kokoh," kata Worro, mengenang.

"Kata yang paling sering beliau ucapkan, baik dalam pembiacaran via telepon maupun perbincangan langsung, adalah 'exactly' dengan sorot mata tajam. Itu cerminan sikap dasarnya yang punya keyakinan diri kuat," Worro memaparkan.

Sebagai pemimpin negara dengan kehidupan politik dikenal keras, kerap diwarnai aksi pembunuhan pemimpin politik, dan sering terlibat perang urat saraf dengan tetangga, India, karakter Benazir dibentuk menjadi sosok yang teguh. Ia dibesarkan dalam keluarga politisi terkemuka yang menjalani pergolakan politik keras.

Akhir 1970-an, Benazir ikut merasakan imbas politik sebagai putri sulung mantan Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto. Jenderal Zai-ul-Haq, yang menggulingkan Zulfikar, menjebloskan Benazir ke penjara bersama ayah dan ibunya, Nusrat Bhutto. Pada usia 26 tahun (1978), Benazir menyaksikan ayahnya dihukum mati rezim Zia-ul-Haq.

Tujuh tahun kemudian (1985), adik keduanya, Shahnawaz, ditemukan tewas di apartemen di Prancis. Diduga ia diracun akibat sikap kritisnya pada Jenderal Zia. Setelah Zia tewas pada Agustus 1988, Benazir yang tengah hamil sembilan bulan, dengan segala ketegarannya, melakukan perjuangan politik untuk merebut kembali kekuasaan ayahnya yang direnggut Zia.

Sebulan pasca-tumbangnya Zia, Benazir melahirkan putra pertama, Bilawal Bhutto Zardari, akhir September 1988. Keletihan fisik pasca-kelahiran tidak membuat perjuangan Benazir surut. Ia terus berkampanye, hingga memenangkan pemilu terbuka pertama di Pakistan pada 16 November 1988. Benazir dilantik menjadi perdana menteri pada usia 35 tahun, ketika bayi pertamanya belum genap empat bulan.

Prinsip menjadi perempuan kuat yang, antara lain, ditekankan Benazir pada Worro bukanlah sekadar pemanis bibir. Ia telah menjalaninya. Sebelum terjun ke politik, Benazir membekali diri dengan mengambil kuliah bidang perbandingan pemerintahan di Universitas Harvard (1969-1973), Amerika Serikat, dengan yudisium cum laude. Lalu dilanjutkan ke Universitas Oxford, Inggris, mendalami filsafat, politik, dan ekonomi, serta melengkapinya dengan kursus hukum internasional dan diplomasi.

Pada akhir 1977, benih kepemimpinannya mulai terlihat, ketika ia terpilih sebagai Presiden Oxford Union. Ia tercatat sebagai wanita pertama Asia yang memimpin forum debat yang prestisius itu.

Begitu terjun ke gelanggang politik Pakistan, Benazir menjalani pasang surut kehidupan politik. Baru 20 bulan memerintah, pada Agustus 1990, Benazir diturunkan dari kursi perdana menteri. Namun ia berusaha bangkit. Dan, tiga tahun kemudian, Oktober 1993, Benazir terpilih untuk kedua kalinya sebagai perdana menteri.

Lawan politik Benazir pada masa jabatan keduanya bukan hanya "orang lain". Intrik politik juga berlangsung di antara anggota keluarganya. Adik kandungnya, Murtaza Bhutto, memilih garis oposisi terhadap Benazir. Hal ini dipicu ketidaksukaan Murtaza pada perilaku korup suami Benazir, Asif Ali Zardani, yang pernah menjadi Menteri Lingkungan pada pemerintahan pertama Benazir.

Tidak hanya adik kandung, ibunda Benazir, Nusrat Bhutto, yang memihak Murtaza juga beroposisi terhadap Benazir. Hal ini membuat beban Benazir di penghujung kekuasaan keduanya kian berat. Dua bulan sebelum Benazir jatuh, pada September 1996, Murtaza tewas ditembak polisi. Ditengarai akibat perseteruannya dengan suami Benazir. Peristiwa itu membuat Benazir kian tidak populer hingga akhirnya jatuh pada November 1996, diiringi beragam tuduhan korupsi.

Pada tahun terakhir jabatan kedua Benazir itulah, Worro diundang ke istana Benazir di Islamabad. Ia menyaksikan sendiri bagaimana dampak tekanan sosial politik terhadap kehidupan pribadi dan keluarga Benazir. "Pada waktu itu, sedikit sedikit saya mendengar kabar ada bom meledak," papar Worro. Tingkat stres Benazir amat tinggi. Ia kerap tidak bisa tidur dan mengalami ketegangan otot punggung. Tapi Benazir berusaha tegar menghadapi semua itu.

Salah satunya dengan mendatangkan ahli pijat bioenergi dari Indonesia. Kalimat pertama Benazir ketika pertama menyabut kedatangan Worro di ruang pribadinya pada 7 April 1996, pukul 22.30 waktu setempat, "Worro, saya ingin bisa tidur nyaman." Benazir ketagihan pada layanan Worro ketika berkunjung ke Jakarta, Maret 1996. Ia sampai menulis di sehelai kertas, "Thank you for looking after me. I feel really relaxed and happy and ready to work again." Worro pada saat itu dikenal sebagai pemijat banyak tamu negara.

Tak cukup dilayani di Indonesia, Benazir mengundang Worro ke Pakistan. Pijatan Worro diperlukan untuk mengendurkan ketegangan Benazir dalam menghadapi tekanan politik yang bertubi-tubi. Ia paling suka dipijat otot punggung, kepala, dan kaki.

"Sekuat apa pun tampilan wanita di depan umum, ia tetap seorang wanita yang merindukan pelayanan, disentuh, dan dimanja," kata Worro, yang berperan utama mengendurkan otot, urat saraf, dan menciptakan relaksasi mental Benazir. Semua itu bukan hanya akibat tekanan pekerjaan, melainkan juga karena problem kewanitaan, seperti keluhan pinggang pasca-melahirkan dan gangguan emosi akibat menstruasi.

Tiap hari, Benazir menjalani layanan relaksasi dua sampai tiga jam. Sambil bersantai dipijat kakinya, Benazir masih menyempatkan diri menelepon menterinya, untuk memonitor pekerjaan atau merespons perkembangan terbaru. Kepada Worro, Benazir pernah bercerita bahwa ketika di penjara, ia diwasiati sang ayah agar melanjutkan peran politik ayahnya. Maka, gelanggang politik pun menjadi jalan hidupnya.

Sebagai ibu, Benazir juga selalu mengontrol pendidikan tiga anaknya: Bilawal, Bakhtwar, dan Aseefa --pada saat itu masing-masing berusia delapan, enam, dan empat tahun. "Ia selalu mengecek jadwal les dan ngaji anak-anaknya," kata Worro. Pendidikan anak diarahkan pada kemandirian, tanggung jawab, dan kepemimpinan.

Suatu hari, anak sulungnya, Bilawal, tersandung dan jatuh di salah satu sudut istana. Bilawal langsung memarahi suster yang mengasuhnya. "Mengapa kau tidak beritahu aku tempat itu berbahaya?"

Kebetulan Benazir mendengar dan segera menasihati Bilawal dengan lembut. "Darling, kesalahanmu itu akibat perbuatanmu sendiri yang tidak hati-hati. Kamu harus berani menanggung risiko atas tindakan yang kamu pilih," papar Benazir, sebagaimana disaksikan Worro.

Sekarang Bilawal menginjak usia 19 tahun. Bekal prinsip kepemimpinan yang banyak diarahkan ibunya kini dirasa penting. Minggu lalu, ia terpilih sebagai Ketua Partai Rakyat Pakistan (PPP), menggantikan mendiang ibunya. Tugas politik yang pernah dipesankan Zulfikar pada Benazir kini diteruskan Bilawal.

Setelah menuturkan panjang lebar pengalamannya mendampingi Benazir, Worro tiba-tiba tersentak. Ada sesuatu yang terlupa. "Saya belum memanjatkan doa khusus untuk beliau. Habis salat, saya akan berdoa khusus," ujarnya. Usai wawancara, ia mengambil air wudu, lalu naik ke lantai II rumahnya, untuk menunaikan salat isya dan berdoa buat mendiang pemimpin perempuan yang amat dikaguminya itu.

Asrori S. Karni
[Laporan Khusus, Gatra Nomor 8 Beredar Kamis, 3 Januari 2008]

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto