Kamis, 10 April 2008

JAKSA AJUKAN BANDING KASUS BERSIHAR LUBIS

DEPOK (Berita Nasional/ANTARA) : Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Depok melakukan upaya hukum banding terhadap putusan Pengadilan Negeri Depok yang menjatuhi vonis hukuman satu bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan kepada penulis opini di Koran Tempo, Bersihar Lubis.

"Kita telah mengajukan banding tujuh hari setelah vonis yang dijatuhakan PN Depok," kata Kepala Kejaksaan Negeri Depok, Triyono Harianto, di Depok, Rabu (9/4).

Dalam putusannya Ketua Majelis Hakim PN Depok, Suwidya mengatakan, Bersihar secara sah dan meyakinkan telah menghina institusi Kejaksaan Agung melalui tulisan opininya di Koran Tempo Edisi 17 Maret 2007 yang berjudul "Kisah Integrator yang Dungu."

Suwidya berharap dengan putusan tersebut pada masa yang akan datang pendapat dari masyarakat dapat disalurkan secara martabat dan elegan, sehingga tidak menyalahi aturan hukum. Ia mengatakan, saat ini sedang menyusun memori banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat.

Menanggapi hal tersebut kuasa hukum Bersihar dari LBH Pers, Hendrayana mengatakan, pihaknya hingga saat ini belum menerima surat pemberitahuan apapun. "Belum ada surat apapun mengenai pengajuan banding," kata Hendrayana.

Sedangkan Bersihar Lubis menyatakan hal yang sama dirinya belum menerima surat pemberitahuan apapun mengenai adanya pengajuan banding tersebut. "Harusnya surat pemberitahuan dilayangkan kepada kuasa hukum saya," jelasnya.

Sebelumnya Mejelis Hakim Pengadilan Negeri Depok yang menyidangkan kasus Bersihar Lubis menjatuhi vonis hukuman satu bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan. Bersihar merasa kecewa dengan putusan tersebut dan akan melakukan banding.

Dengan putusan tersebut Bersihar tidak perlu menjalani hukuman penjara jika dalam tiga bulan tidak melakukan hal yang sama. Vonis tersebut lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan Jaksa yang menuntut delapan bulan penjara karena melanggar pasal 207 KUHP.(sumber: milinglist jurnalis-indonesia@yahoogroups.com)

Kamis, 27 Maret 2008

Jurnalis Al Jazeera Bukan Monyet

SAYA sangat kecewa dengan sikap satpam menara global, jakarta. Sikapnya kasar, tidak sopan, dan emosional. Satpam disana hendak menyerang saya dan meneriaki saya dengan kata monyet, dihadapan banyak orang pada hari Rabu 26 maret 2008.
Semua terjadi ketika kami, tim dari TV Al Jazeera International hendak mewawancari pengacara Adnan Buyung Nasution, di kantornya Lt.3 Menara Global, Jl. Gatot Subroto Kav.27, Jakarta.
Kronologisnya, bermula ketika kami tiba di lobi menara global sekitar jam 13.30 wib.
Saat itu saya hendak menurunkan peralatan berupa kamera, tripod, dan kotak lampu dari mobil. Satpam disana sempat menyambut kami dengan ramah.
"Mau ke lantai 3 ya pak? Silakan," kata salah seorang satpam. Kami memang sudah ada janji dengan Adan Buyung, pukul 14.00 WIB.Namun kesan sopan itu, tak lama lenyap. Datang seorang satpam bernama Regen Yusup, tiba-tiba datang dan menghardik kami dengan emosi. Dia memerintahkan kami untuk cepat menurunkan barang.
Dengan alasan ada mobil di belakang kami yg terhalang. Padahal, ketika kami lihat kebelakang, tidak ada mobil yang terhalang. Bahkan, kami parkir sementara, dengan memberikan ruang yang cukup untuk mobil lain lewat di lobi. Lalu saya jawab perintah satpam regen dengan anjuran agar tidak emosi. Lalu sambil menurunkan barang, saya mengatakan kepada satpam tersebut, kalau barang kami banyak, dan berat. Dan kami berusaha untuk cepat.
Namun satpam tersebut tetap menghardik kami, dan bukannya malam membantu. Saya pun membalas; "Tolong pak jangan pake emosi yah," ujar saya, sambil menurunkan peralatan lampu kami yang lumayan berat.Lalu satpam Regen pergi kedalam lobi.
Kami pun menyusul masuk kedalam lobi. Seperti sudah siap-siap, kami tiba-tiba dihalangi masuk lift oleh satpam yang sama. "Tidak boleh. Sudah ada ijin?," kata Satpam Regen dengan wajah tidak bersahabat. Lalu, tak lama, satpam yang sopan -- yang pertama bertemu dengan kami--lari menghampiri. "Ini sudah ada ijin ke lantai 3," kata satpam yang berprilaku sopan.Untuk pembaca ketahui, kami sudah ada janji dan ijin menuju kantor pengacara Adnan Buyung Nasution.
Karena dihalangi masuk lift, produser saya terpaksa menelpon sekretaris Bang Adnan--nama akrab Adnan Buyung Nasution.Ketika sekretaris bang Adnan tiba di lobi, dia menjelaskan kalau kami memang tamu Bang Adnan, dan pihak bang Adnan pun sudah kordinasi dengan satpam menara global, tentang kehadiran tim dari Al Ajazeera.Entah kenapa, satpam regen tidak puas. Dia menghalangi kami, dan mengancam kami bahwa, dia akan melaporkan kami ke komandan regu atau danru satpam.
Tak lama, kami diperbolehkan menuju lantai 3. Tapi kami kaget. "Tidak boleh lewat lift ini," kata Regen.Regen lalu kembali memerintahkan kami untuk menggunakan lift barang, yang berada di belakang gedung. Al hasil, sekretaris bang Adnan naik lift normal, dan kami terpaksa berjalan memutar menggunakan lift barang. ditengah jalan, satpam tersebut memanggil kami lagi. Tim kami diminta berpisah.
Saya--kameramen-- diwajibkan menggunakan lift barang. Sementara Reporter/koresponden dan produser menggunakan lift normal. Saya pun menuju lift barang. Kebetulan saat itu, saya ditemani pegawai Bang Adnan, yang mebantu membawakan tripod lampu.Setibanya menuju lift barang, kehadiran saya seperti sudah ditunggu. Ada beberapa satpam berseragam normal, dan satpam berpakaian safari tanpa identitas.
Kami diperintahkan menunggu didepan lift barang. Lalu saya pun menunggu. Mereka menjanjikan petugas yang akan mengoperasikan lift.Lama menunggu, petugas lift tidak juga kunjung tiba. Yang ada, saya di interogasi oleh salah seorang satpam dengan tanda kain merah di lengannya.
Dia bertanya saya dari mana? Lalu sudah ada ijin belum dari manajemen gedung? Dan mulailah saya merasa ada yang tidak beres dengan satpam di gedung menara global.Saya pun menjawab, kalau saya pernah bekerja di gedung Jak TV. Dan satpam yang bertugas disana juga berasal dari perusahaan SGA (Security Grup Artha)--satu perusahaan dengan mereka.
Saya menjelaskan kepada satpan yang mencoba menginterogasi saya, jika satpam Jak TV lebih sopan. lalu saya jelaskan, bahwa di Mabes Polri--lembaga resmi negara yang mengurusi keamanan-- juga bertindak sopan. Bahkan saya pernah meliput di kantor Kostrad, dan saya boleh menaiki lift normal.Lama menunggu lift, dan tidak nyaman dengan satpam di sekitar lokasi lift barang, saya akhirnya habis kesabaran.
"Tolong pak, saya takut telat wawancara dengan Adnan Buyung nasution. Kapan lift ini bisa beroperasi?," tanya saya.Satpam meminta saya untuk sabar.
Lalu saya pun menunggu lagi. Menit berganti menit, lift barang belum juga beroperasi.Sedangkan waktu sudah mendekati pukul 14.00 wib. Akhirnya saya menjelaskan kepada satpam yang sedang berkerumuk di ruangan tersebut, bahwa saya bisa kehilangan pekerjaan jika terlambat wawancara dengan nara sumber.
Karena disiplin waktu, adalah bagian dari etos kerja kami. Lalu saya mengatakan kepada mereka bahwa saya akan menuntut satpam tersebut jika saya dipecat gara-gara terlambat wawancara.Satpam kembali meminta saya menunggu.
Saya pun kembali menunggu. Dan lift barang masih juga tidak beroperasi. Akhirnya, karena saya sudah terlambat wawancara, saya meminta tolong kepada satpan agar diberi ijin menggunakan lift normal. Satpam menolak.
Lalu, saya nekad keluar dari ruangan yang penuh dengan satpam tersebut. Ketika saya akan membuka pintu, satpan berpakaian safari, mendorong saya dengan pintu dan marah-marah. Dengan mata melotot dan tangannya yang kekar, dia terus mendorong pintu ke arah saya sambil membentak-bentak, lalu saya meminta satpam tanpa identitas tersebut, agar tidak emosi dan tenang.Pegawai bang Adnan, akhirnya meminta saya untuk kembali menunggu lift barang. Dan saya pun kembali menunggu lift barang. karena saya merasa percuma berdebat melayani emosi satpam menara global.Tiba-tiba, satpan berpakaoan safari datang dan mendekati saya sambil marah-marah.
Lalu saya kembali meminta dengan baik-baik agar dia jangan emosi. Tapi anjuran saya dibalas, dengan ejekan: "Monyet luh !!!," kata satpam berpakaian safari tanpa identitas. Lalu, saya bertanya ulang kepada dia: "Maaf, tadi bilang apa?," tanya saya. "Monyet," kata satpam menujuk ke karah saya sambil hendak menyerang saya secara fisik.
Untunglah ada pegawai bang Adnan yang mencegah aksi fisik tersebut.Saya menyesalkan tindakan tercela dan tidak profesional satpam menara global. Saya merasa terancam, dan dihalangi dalam meliput. Dimana kebebasan pers? Saya ingatkan kepada satpam menara global, bahwa jurnalis dilindungi oleh Undang Undang RI No.40 tahun 1999 tentang pers. Dalam pasal 18, disebutkan bahwa barang setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).Adanan Buyung Nasution sendiri dan timnya sudah melayangkan keberatan terhadap manajemen gedung bank global atas sikap satpam yang tidak profesional.
"Anda tamu kami," ujar Bang Adnan kepada crew Al Jazeera.Keberadaan kami di menara global tidak bermaksdu negatif, atau meliput menara global atau keberadaan bank global yang bermasalah.
Kami hanya ingin mewawancarai Adnan Butung Nasution dengan topik yayasan almarhum soeharto. Itu saja. Bukan luka, atau derita yang kami minta. Kami hanya mau mewarta.
Jakarta 26 Maret 2008
Bobby Gunawan
Cameraman/Video EditorAljazeera
Jakarta BureauSuite 1102, Level 11,
Deutsche Bank Building, No.80 Jl.Imam Bonjol, Jakarta 10310, Indonesia
Tel : +62 21 39831305
Fax:+622139831306
Mob:+628176449954,
+62 8111891800

Senin, 24 Maret 2008

Rp4,1 Juta, Upah Layak Minimum Jurnalis

SEJAK lahirnya revisi Undang-Undang Pers pada 1999, keran kebebasan persterbuka lebar. SIUPP ditutup, sensor dan bredel pun tak berlaku lagi. RakyatIndonesia menikmati kebebasan pers terbesar sepanjang sejarahnya.Konsekuensinya, masyarakat membutuhkan informasi dari media yangberkualitas, akuntabel, profesional, dan independen.

Menjawab tuntutan publik ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakartatelah membuat berbagai program untuk meningkatkan pengetahuan, skilljurnalistik, serta ketaatan terhadap kode etik. Berbagai trainingjurnalistik dan kampanye anti- amplop/suap selalu jadi prioritas dalamsetiap periode kepengurusan.

Sayangnya, upaya peningkatan profesionalisme sering terhambat oleh buruknyakesejahteraan jurnalis. Banyak pemodal berkantong cekak nekat mendirikanmedia. Akibatnya, lahirlah perusahaan pers yang bermutu rendah dengan upahjurnalis yang minim. Situasi ini jelas berbahaya karena bisa menggiring parajurnalis permisif terhadap suap atau amplop dari narasumbernya.

Alhasil,independensi dan profesionalisme jurnalis hampir mustahil ditegakkan. Fakta masih banyaknya pengusaha media yang tidak mengimbangi kerjajurnalisnya dengan upah/kesejahteran yang layak terungkap dalam survei AJIIndonesia.

Menurut survei atas 400 jurnalis dari 77 media di 17 kota itu,masih ada jurnalis yang diupah kurang dari Rp 200 ribu-jauh lebih rendahketimbang upah minimum yang ditetapkan pemerintah. Dari sekitar 850 media cetak yang masih terbit di awal 2008, hanya 30% yangsehat bisnis.

Dari sekitar 2.000 stasiun radio dan 115 stasiun televisi padakurun yang sama, hanya 10% yang sehat bisnis. Kondisi industri media yangbelum matang inilah yang kerap menjadi alasan pembenar bagi pengusaha persuntuk tetap menggaji rendah jurnalisnya.

Padahal, Pasal 10 UU Pers memberi mandat kepada segenap perusahaan mediauntuk meningkatkan kesejahteraan pekerjanya. Bentuk kesejahteraan itu berupakepemilikan saham, kenaikan gaji, bonus, serta asuransi yang layak.

Pendekkata, menuntut kebebasan pers tanpa menyertakan kesejahteraan jurnalisnya,sama halnya mereduksi UU Pers itu sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya jurnalis non-organik alias koresponden jugaharus mendapatkan perhatian khusus. Mereka adalah golongan yang palingrentan dalam gurita industri media di Indonesia.

Kontrak kerja yang takjelas, tiadanya jaminan asuransi, kaburnya standar upah serta beban kerjayang tak kalah tinggi menyebabkan koresponden di daerah bekerja dalamkondisi yang tak terjamin oleh perusahaan. Hal itu masih diperunyam dengan jenjang karier yang juga buram. Kendatisudah mengabdikan dan mendedikasikan dirinya selama bertahun-tahun, statusmereka masih belum beranjak menjadi karyawan tetap.

Yang lebih mengenaskan,kini makin marak fenomena jurnalis "tuyul" alias jurnalis yang rela menjadi"koresponden"-nya koresponden dengan kompensasi yang pas-pasan. Praktiksemacam ini tentunya selain bertentangan dengan kode etik juga lebih parahdari sistem outsourching.

Memang ada perusahaan yang menggaji jurnalisnya dengan lebih baik. Tapi,tetap saja, jika dibandingkan jurnalis di negara berkembang lainnya sepertiMalaysia dan Thailand, rata-rata gaji jurnalis di Indonesia masih terpautsekitar empat kali lebih rendah.

Agar profesionalisme jurnalis bisa ditingkatkan, AJI Jakarta menetapkanstandar upah layak minimum sebesar Rp 4.106.636. Standar upah ini berlakubagi seorang jurnalis muda di Jakarta yang baru diangkat menjadi karyawantetap. Standar upah layak minimum ini dirumuskan berdasarkan komponen dan hargakebutuhan hidup layak pada 2008.

Metodenya, kami mengukur perubahan biayahidup (living cost) seiring kenaikan harga barang di pasaran yang sesuaidengan kebutuhan seorang jurnalis lajang. Satu komponen baru yang kami masukkan adalah kebutuhan akan laptop yangpembayarannya dicicil selama tiga tahun. Komputer jinjing ini bukanlahbarang mewah bagi jurnalis, melainkan kebutuhan riil demi menunjang kinerjajurnalis di lapangan yang makin dituntut lebih cepat dalam menyajikaninformasi.

Di luar upah layak minimum, AJI Jakarta menuntut perusahaan media menerapkansistem kenaikan upah reguler yang memperhitungkan angka inflasi, prestasikinerja, jabatan, dan masa kerja setiap jurnalis. Kami juga meminta perusahaan media memberikan sejumlah jaminan, sepertiasuransi keselamatan kerja, jaminan kesehatan, jaminan hari tua, dan jaminansosial bagi keluarganya.

Bagi perusahaan yang karena kondisi keuangannya belum bisa memenuhi standargaji layak minimum ini, kami menuntut beberapa hal:

1. Manajemen harus melakukan transparansi keuangan agar semuajurnalis/karyawan mengetahui alokasi anggaran setiap bagian dari prosesproduksi, untuk mencegah pemborosan atau melakukan penghematan.

2. Manajemen harus mempersempit kesenjangan gaji terendah dan gajitertinggi (pimpinan) untuk memenuhi rasa keadilan bersama dan melakukanpenghematan.

3. Manajemen harus mengalihkan hasil penghematan untuk memperbesarpersentase anggaran bagi upah/kesejahteraan karyawan.

4. Terhadap perusahaan media yang telah bertahun-tahun mempekerjakankoresponden, manajemen harus memberikan kesempatan berkarier kepada merekauntuk menjadi karyawan tetap dengan tingkat kesejahteraan yang setara.

5. Apabila perusahaan media yang dengan alasan tertentu tidak bersediamenjadikan koresponden sebagai karyawan tetap, maka selain memberikan honorlaporan, manajemen juga harus memberikan jaminan asuransi, klaimtransportasi dan honor basis sesuai Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) dimana seorang koresponden bertugas.

Jakarta, 18 Maret 2008

Jurnalis Tolak Amplop, Perjuangkan Upah Layak Rp 4,1 Juta!

Winuranto Adhi

Koordinator Divisi Serikat Pekerja. (sumber: milis jurnalis-indonesia@yahoogroups.com

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto