Selasa, 14 Agustus 2007

Dulu Juragan Singkong, Kini Bertani Tebu


TULANGBAWANG (KORAN_ONLINE): Mulanya hanya iseng-iseng, lalu jatuh cinta. Begitulah pengalaman Basaradin berkenalan dengan tanaman tebu. Ketika masih menjadi juragan singkong, ia sekaligus pemilik armada angkutan truk yang sering dikontrak PT PSMI, PG Bunga Mayang, dan PT Sweet Indo Lampung untuk mengangkut tebu. Saat itu ia sama sekali tidak tertarik untuk ikut membudidaya tanaman yang mengandung gula itu. Kini Ia menjadi boss tebu di Tulangbawang.Namun, karena penasaran melihat perusahaan-perusahaan dari luar Lampung menanam investasi di bidang perkebunan tebu, lelaki yang sehari-hari disapa Pak Raden itu, diam-diam “mencuri” beberapa batang bibit tebu. Pak Raden menanam bibit tebu itu di kebunnya. Tanaman itu pun tumbuh subur.Ketika tebu itu sudah mencapai usia panen, Pak Raden menebangnya seperti yang dilakukan di perusahaan-perusahaan perkebunan tebu yang ada di Lampung Tengah dan Tulangbawang. Saat itu dia tidak menebang untuk produksi, melainkan hanya ditimbang bobotnya per batang.“Saya hanya menanam sedikit hanya untuk ujicoba,” kata Pak Raden ketika ditemui Tawon di kebun tebunya di Kampung Karta, Kecamatan Tulangbawang Udik, Kabupaten Tulangbawang.Uji coba menanam tebu itu dilakoninya sejak tahun 1996. Untuk itu lelaki berpostur tinggi langsing itu menyediakan lahan seluas kurang lebih seperempat hektar. Tata cara bertanam tebu yang diterapkan di beberapa perkebunan tebu di Lampung dia tiru. Begitu pula jadwal tanam dan tebang Pak Raden mengikuti jadwal di perusahaan-perusahaan di sekelilingnya.Tetapi, ketika itu Pak Raden tidak membawa hasil panen tebunya ke pabrik gula, melainkan langsung ia buang dan sebagian ia jadikan bibit. “Kebun saya bongkar pasang setiap tahun,” katanya kepada Tawon.Ketika ditanya alasannya, mantan juragan ubi kayu itu mengaku belum puas dengan hasil yang didapat dari tanamannya. Bobot per batang tebunya sangat rendah. Ia mencoba berbagai varietas dan bermacam pola tanam. Saking seringnya mencoba berbagai cara itu, ia hafal semua ragam menanam tebu di perusahaan-perusahaan perkebunan di Tulangbawang dan Way Kanan. Begitu pula dengan varietasnya.Dari ujicoba yang dilakukannya bertahun-tahun itu, ia berhasil menemukan cara menanam tebu yang paling baik dan dengan produktivitas yang tinggi pada tahun 2005. Ia lalu mendaftarkan diri ikut kemitraan mandiri di PT Gunung Madu Plantations tahun 2006.Dia menamakan teknik tanamnya itu dengan sebutan “bentuk kotak”. Dalam satu kotak itu tebu yang tumbuh akan membentuk rumpun yang jumlah batangnya mencapai 40 batang lebih.Selain itu, dengan cara tanam Pak Raden ini, satu batang tebu bisa berbobot 3 kg-4 kg per batang dan jumlah ruasnya pun bisa mencapai 35.Pak Raden sudah menghitung perkiraan hasil panen kebun tebunya paling rendah 150 ton per hektar. Jumlah ini jauh melampaui target produksi konvensional di PT Gunung Madu Plantations yang sekitar 80 ton perhektar. Dengan luas lahan 54,8 hektar Pak Raden optimis bisa mengantongi keuntungan Rp3 miliar pada panen tahun ini.“Saya yakin hasil tanam tebu saya bisa mencapai 250 ton perhektar. Kalau 150 ton perkehtar itu bisa sambil tidur saja,” katanya penuh keyakinan.Diikuti PetaniBertani tebu di Lampung, khususnya Kabupaten Tulangbawang belum begitu diminati masyarakat. Padahal, keuntungan berkebun tanaman berbatang manis ini cukup menggiurkan.“Kalau saja petani singkong di Tulangbawang beralih ke tanaman tebu, kehidupannya bakal lebih makmur,” ujar Basaradin.Basaradin mulai bercocok tanam sejak tahun 2005. Sebelumnya, ia pun bertani singkong. Dan, ternyata hasil tebu lebih menguntungkan. Tanaman tebunya di kampong tersebut kini mencapai 54,8 hektar.Karena keberhasilannya, sejumlah petani di Menggala pun mulai mengikuti jejaknya. Salah satunya Mahyuddin, yagn mulai tahun 2006 menyisihkan sebagian lahannya untuk ditanami tebu.Saat ini, tebu milik Mahyuddin yang sudah berumur tujuh bulan mencapai 23,4 ha, sedangkan yagn sedang dalam proses penanaman mencapai 45 ha.Menurut Mahyuddin, menanam tebu ternyata jauh lebih mudah dan menguntungkan. Sebab, dalam satu hektar bisa menghasilkan tebu 150-280 ton atau 20-22 ton gula. Harga gula di pasaran juga tidak pernah turun apalagi sudah dikontrak, sementara pajak langsung dibayar pabrik. Saat ini saja harga gula di pabrik mencapai Rp5.800/kg. “Sangat menguntungkan bagi petani jika mau bertaham tebu,” ujarnya.Keberhasilan Basaradin bertani tebu harus diakui. Bahkan, hasil panen tebunya jauh melebihi produksi kebun tebu perusahaan. Namun, keberhasilan itu tidak datang begitu saja. Pola tanam dan bibit unggul merupakan prioritaqs yagn dipilih Basaradin.Ada beberapa pola tanam dan beberapa varietas tebu yagn terus diuji coba untuk melihat bibit apa dan pola tanam bagaimana yang akan menghasilkan produksi tebu terbaik.Dengan berbagai uji coba tiga varietas bibit tebu: F-5, GM-19, dan SS-57, serta tiga pola tanam – segi empat, lajur lurus dan memotong – kini hasilnya sudah bisa dibuktikan.Produksi tebu yang sudah dipanen tahun lalu mencapai antara 150-280 ton/hectare yang menghasilkan 22 ton gula putih. Karena keberhasilannya, sejumlah perusahaan merasa penasaran dan sebagian melakukan survey ke lapangan seperti PTPN Surabaya sudah dua kali mengirim 30 karyawannya setiap kali melakuan penelitian di kebun tebu milik Basaradin.Kemudian, kata Basaradin, PG Cinta Manis dari Palembang dan PT GMP juga sudah pernah melakuan penelitian di kebunnya. Sementara PT GPM (Gula Putih Mataram) sudah menelepon akan masuk dan melihat kebun Basaradin. “Bahkan ada, ada perusahaan tebu dari Gorontalo yang menelepon mau survey ke sini,” katanya.Menurut dia, mulai tanam tahun 2005 sudah sekali panen dan hasilnya 280 ton tebu (22 ton gula putih) sudah dibuktikan, padahal perusahaan menargetkan 10 ton gula per hectare.Petani sukses itu pun tak ragu-ragu menjelaskan kiat suksesnya. Dengan mobil Estrada merah, ia pun mengajak wartawan berkeliling melihat tanaman tebunya yang berumur 5-8 bulan.Sesekali Basaradin berhenti sambil menunjuk tanaman tebu yang sudah mulai berumur yaitu antara 7-8 bulan, dan kemduian kembali melanjutkan perjalanan ke bagian kebun lainnya.(amd)

Penyair Bumi Empat Lawang

AIR keruh kembali keruh/ banjir sungai menjadi air mata/ gemuruh di hulu menyeret langkah/ menjadi mimpi yang menakutkan/mengikis buih menghanyutkan lumut. Menjelma pekik memilukan/ malam menjadi sangat kelam/ratusan hujan bersahutan/ meluapkan musibah banjir Galang.......... Itulah penggalan puisi berjudul "AIR KERUH KEMBALI KERUH" , yang dibaca SYAMSU INDRA USMAN dengan Hikmat di rumahnya di Desa Lubuk Puding, Kecamatan Ulu Musi, Kabupaten EMPAT LAWANG.Puisi ini ditulis untuk mengenang banjir bandang Sungai BETUNG, anak Sungai Musi, yang menghatam Desa GALANG tahun 1996, Banjir yang menerjang saat warga terlelap, pada dini hari itu menyapu habis perkampungan di tepian sungai serta menewaskan ratusan orang. Melalui tulisan kami coba untuk menampilkan sosok atau bisa dikatakan ASET Kabupaten EMPAT LAWANG, hamper semua warga Empat lawang belum begitu mengenal siapa Syamsu Indra Usman ini, beliau adalah sosok PENYAIR yang dimiliki daerah Lintang Empat Lawang, atau kalau mau jujur mungkin hanya satu satunya Penyair yang dimiliki daerah Lintang. Dilahirkan di Lahat pada Tanggal 12 Oktober 1956, dengan segala kekurangan yang dia miliki, tidak menjadikan dia patah semangat dalam meniti kehidupan ini, tinggal di desa Lubuk Puding ditengah perkampungan lama dekat hulu sungai Musi, menempati sebuah rumah panggung kayu. Untuk menuju kerumahnya, kita harus melewati 80 meter jembatan gantung yang dibuat pada zaman Belanda.Seperti kebanyakan warga dusun Lubuk Puding, Penyair ini menjalani hidup sebagai petani desa,tiap pagi dan petang dia mandi di sungai Musi dan disiang hari dia bergulat mengurus Enam Hektar kebon kopi dan tiga hektar Kebon kemiri, dari hasil kebon inilah dia menafkahi anak istrinya. Terlahir dengan kekurangan FISIK, memiliki tubuh yang mungil , hanya 100 Cm, tidak menjadikan Syamsu Indra mudah berputus asa.Banyak sudah Karya tangan yang dihasilkan, dan boleh dikatakan Syamsu Indra Usman termasuk penyair yang produktif, sudah sekitar 4.500 puisi dibuatnya.Sebagian puisi diterbitkan dalam tujuh antologi, antara lain Tembang Duka(1994), Sesembah Air Mata (2003) dan Mencari Ayat Ayat-MU (2003), disamping itu masih ada 109 Karya Tulis yang sudah dijilidkan dalam bundelan, ada 96 bundel kumpulan Puisi, 5 Novel dan 1 kumpulan Cerpen. Disamping itu juga Indra tekun mendokumentasikan budaya EMPAT LAWANG, yaitu kawasan Pemukiman di tepian Sungai, dan bahkan sempat menulis dua naskah lagu lagu daerah, menyusun satu kumpulan sastra tutur local yang di sebut REJUNG, kumpulan Petatah petitih, resep masakan daerah, adat istiadat, serta Kamus Bahasa Lintang Empat Lawang, yang memuat sekitar 5.000 entri kata.SYAMSU INDRA USMAN, adalah Tokoh Budayawan yang harus kita jaga dan pelihara serta kita Syiarkan ke penjuru Dunia karya karya nya......, dizaman saat ini sangatlah sulit untuk dapat kita menemukan Syamsu syamsu yang lain di BUMI LINTANG EMPAT LAWANG, dan beliau menjadi salah satu Tokoh Rujukan Budaya Empat Lawang. Atas pengabdian dan Prestasinya pada Tahun 2004 Gubernur Sumatra Selatan Menganugrahkan penghargaan SENI SASTRA. Semoga asset daerah kita yang satu ini, menjadi perhatian serius dari para Pejabat terutama Bupati Empat Lawang, dalam mengangkat Seni Budaya Daerah Lintang Empat Lawang. Disamping itu juga keikut sertaan Masyarakat Lintang Empat Lawang, dalam melestarikan Budaya Daerah kita, jangan sampai budaya Lintang hanya tinggal nama........... Semoga tulisan ini jadi cerminan kita dalam membangun daerah EMPAT LAWANG, untuk mengangkat Seni Budaya Lintang sebagai Aset Wisata Nasional.

Otonomi Kabupaten Empat Lawang

Tanggal 20 April 2007 lalu Kabupaten Empat Lawang di Sumatera Selatan resmi terbentuk. Peresmiannya membawa fase baru bagi derap pembangunan kawasan yang selama ini nyaris terabaikan oleh laju pembangunan. Kabupaten Empat Lawang, sekitar 400 kilometer arah barat Kota Palembang, merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Lahat. Kabupaten baru itu mempunyai luas 225.644 hektar atau 34 persen dari luas Kabupaten Lahat sebelum dimekarkan. Secara geografis, bagian utara wilayah Empat Lawang berbatasan dengan Kabupaten Musi Rawas, bagian selatan dengan Kabupaten Lahat dan Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu. Di bagian timur juga berbatasan dengan Lahat, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Rejang Lebong dan Kepahyang, juga di Provinsi Bengkulu. Wilayah Empat Lawang memiliki tujuh kecamatan, yaitu Muara Pinang, Pendopo, Ulu Musi, Tebing Tinggi, Lintang Kanan, Pasemah Air Keruh, dan Talang Padang. Ibu kota kabupatennya adalah Kecamatan Tebing Tinggi. Tidak banyak jejak pembangunan masa lalu yang tertoreh pada kecamatan-kecamatan itu. Kontur wilayah yang sebagian terdiri atas kawasan perbukitan yang berliku-liku dan terjal membuat daerah ini berpuluh-puluh tahun seperti tak tersentuh pembangunan. Hingga kini, satu-satunya akses penghubung antarkecamatan di wilayah itu hanyalah jalan provinsi, sedangkan akses jalan menuju ke ibu kota kabupaten berupa jalan negara. Itu pun kondisinya sangat memprihatinkan. Akses dari Lahat menuju ke Tebing Tinggi, misalnya, hanya bisa ditempuh melalui jalan lintas tengah (jalinteng) Sumatera. Ruas jalan negara sepanjang 76 kilometer itu sudah bertahun-tahun dibiarkan rusak parah, berlubang-lubang, dan aspalnya terkelupas. Ruas jalan Lahat-Tebing Tinggi itu bahkan tidak bisa dilalui oleh kendaraan bermuatan besar sejak ambruknya Jembatan Sungai Pangi di Desa Ulak Bandung, Kecamatan Kikim Barat, Lahat, Maret 2006. Jembatan darurat yang telah dibangun di samping jembatan yang roboh itu hanya bisa dilewati kendaraan berkapasitas maksimum lima ton. Pembangunan jembatan permanen yang menggantikan Jembatan Sungai Pangi sampai sekarang belum selesai dikerjakan. Akibatnya, truk-truk bermuatan besar dari Lubuk Linggau ke Palembang terpaksa memutar ke jalan lintas timur (jalintim) Sumatera melalui Sarolangun, Muara Bulian, Jambi, dan Bayung Lencir, dengan waktu tempuh jauh lebih lama. Pembangunan infrastruktur dan transportasi di kecamatan-kecamatan lainnya juga nyaris terabaikan. Di Ulu Musi (54 kilometer dari Tebing Tinggi), misalnya, hanya ada satu jalan utama yang juga merupakan akses penghubung ke Kabupaten Kepahyang. Sebagian ruas jalan provinsi itu juga rusak parah. Demikian pula di kawasan Pasemah Air Keruh, yang jaraknya paling jauh dari Tebing Tinggi (67 km), sangat jarang ditemukan angkutan umum. Fasilitas yang minim juga sangat terlihat pada bidang kesehatan. Di Kecamatan Ulu Musi, sebagian puskesmas dibiarkan tanpa dokter atau penjaga. Sarana yang serba terbatas menghambat kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Sampai kini belum ada investor yang menanamkan modal dan mengolah sumber daya alam di wilayah itu. Padahal, kabupaten baru itu telah menargetkan realisasi pendapatan asli daerah (PAD) Rp 84 miliar per tahun, dengan sumbangan dari sektor ekonomi sebesar Rp 16,8 miliar. Menurut Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kemasyarakatan Pemkab Lahat Marwan Mansyur, yang juga Penjabat Penghubung Persiapan Pembentukan Empat Lawang, kabupaten baru ini memiliki kandungan tambang emas, pasir, dan batu yang potensial mendorong kemajuan pembangunan. Namun, potensi itu belum tergarap. Hampir seluruh wilayah Empat Lawang merupakan daerah berbukit-bukit dan dialiri anak-anak Sungai Musi. Sebanyak 229.552 jiwa penduduknya hanya mengandalkan penghasilan dari pertanian dan perkebunan rakyat. Pertanian yang digarap antara lain berupa sawah seluas 9.172 hektar (ha), ladang (592 ha), kedelai (327 ha), kacang hijau (49 ha), kacang tanah (116 ha), jagung (253 ha), ubi kayu (144 ha), dan ubi jalar (33 ha). Selain itu, perkebunan rakyat di antaranya karet (716.074 ha), kopi (59.760 ha), kemiri (939,5 ha), kelapa (693,75 ha), dan pinang (538,3 ha). Dalam sambutannya saat peresmian Empat Lawang, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri Kausar AS mengemukakan, pemekaran wilayah Lahat menjadi Empat Lawang diperlukan karena pembangunan di wilayah itu belum optimal. "Sebagian besar wilayah Lahat berupa alur dataran tinggi dan jajaran pegunungan bukit barisan. Hal itu menyebabkan pembangunan belum menjangkau seluruh wilayah. Maka, perlu memperpendek rentang pemerintahan Kabupaten Lahat dengan membentuk Empat Lawang," katanya. Semangat yang ditanamkan oleh para elite pusat dan daerah dalam perjuangan pemekaran wilayah adalah mendorong pembangunan, mendekatkan pelayanan publik, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Janji itu membangkitkan secercah harapan, tetapi juga kekhawatiran bahwa Empat Lawang kelak bernasib sama dengan sejumlah daerah pemekaran lain yang sampai kini masih jalan di tempat. Bercermin pada sejumlah kabupaten/kota pemekaran yang terbentuk lebih dulu, semangat pembangunan daerah akhirnya menjadi jargon politik yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Pascapemekaran, potensi daerah tetap tak tergarap, pembangunan diabaikan, dan rakyat kembali ditinggalkan. Orientasi kekuasaan Pengamat politik dari Universitas Sriwijaya, Amzulian Rifai, mengatakan, hambatan terbesar pembangunan daerah adalah kepemimpinan yang hanya berorientasi kekuasaan dan memperkaya diri sendiri, seperti yang terlihat pada beberapa daerah pemekaran yang setelah beberapa tahun berdiri hanya menjadi beban keuangan negara. Karena itu, peran masyarakat untuk memilih kepala daerah sangat penting sebagai landasan awal pembangunan. Daerah pemekaran membutuhkan pemimpin yang memiliki kemampuan untuk merintis pembangunan dengan melakukan langkah-langkah terobosan. Tantangan bagi daerah hasil pemekaran adalah kemampuan untuk mendanai dan mengelola keuangan sendiri. Untuk itu, dalam waktu dua tahun, kabupaten/kota baru harus mampu melepaskan ketergantungan keuangan dari daerah induk dan provinsi. Kepala Pusat Penerangan Departemen Dalam Negeri Saut Situmorang yang hadir saat peresmian Empat Lawang, 20 April lalu, mengakui sebagian daerah pemekaran kinerjanya masih bermasalah. Depdagri sedang mengevaluasi 148 daerah pemekaran. Jika kinerja daerah itu tidak membaik dalam kurun 10 tahun, tidak tertutup kemungkinan daerah pemekaran akan digabung dengan daerah lain. Empat Lawang kini berada di persimpangan jalan yang membawanya menuju kemajuan, kemunduran, atau hanya jalan di tempat. Siapkah Kabupaten Empat Lawang berkembang, atau kelak hanya menjadi beban negara dan masyarakatnya? Hanya kesungguhan tekad pemerintah dan masyarakat yang akan menjawabnya.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto