Jumat, 19 Juni 2009

Dihukum 2 Tahun, Syahril Sabirin Kecewa

MANTAN Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin merasa dizalimi dan kecewa terhadap keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) terhadap perkara hak tagih (cessie) Bank Bali.

Syahril mengatakan pada tahun 2002 dirinya diputuskan sebagai tersangka kasus Bank Bali, dan pada pengadilan pertama diputuskan bersalah dengan 3 tahun penjara.

"Padahal semua saksi tidak ada yang memberatkan saya. Saya tidak tahu yang terjadi di belakang layar seperti apa, saya ajukan banding di pengadilan tinggi ternyata saya bebas murni. Kebebasan itu saya sudah nikmati selama 5 tahun," tuturnya dalam jumpa pers di Gedung BI, Jalan Thamrin, Jakarta, Jumat (12/6/2009).

Namun dirinya merasa kecewa karena pada Kamis (11/6/2009), Kejaksaan agung mengajukan PK ke MA dan diterima.

"Kemarin saya diputuskan dihukum 2 tahun saya sangat kecewa karena pada dasarnya PK yang diajukan oleh Kejagung ke MA tidak wajar," ujarnya.

Alasannya adalah yang dapat mengajukan PK itu seharusnya pihak yang terpidana atau terdakwa.

"Jadi bukannya Kejaksaan Agung. Dalam keputusan Mahkamah Konstitusi juga disebutkan kalau yang bisa mengajukan PK adalah terpidana. Untuk itu saya merasa dizalimi. Dalam hal ini majelis Hakim Agung itu melanggar Mahkamah Konstitusi," tandasnya didampingi kuasa hukunmnya M. Assegaf.

Jumat, 27 Februari 2009

Selama Dua Bulan, 1.462 Polisi Nakal Ditindak



BERPERAN sebagai penegak hukum tidak secara otomatis membuat personel polri bersih dari tindak pidana, penyalahgunaan wewenang, dan pelanggaran disiplin. Terbukti dalam kurun waktu dua bulan, 1.462 polisi nakal telah dijatuhi hukuman beragam.


Berdasarkan data Mabes Polri dalam Operasi Bersih yang digelar mulai 1 November hingga 31 Desember 2008 terjaring 1.462 anggota yang melakukan pelanggaran. Mereka telah terbukti melakukan tindak pidana, penyalahgunaan wewenang, pungutan liar, dan pelanggaran disiplin.

"Mereka telah mendapatkan tindakan tegas sesuai dengan tingkat pelanggarannya," ujar Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Dahuri dalam rapat dengar pendapat di hadapan anggota Komisi III DPR di Gedung DPR, Jakarta, Senin (9/2/2009).

Dari jumlah tersebut, 232 di antaranya adalah kasus penyalahgunaan wewenang, pungli 753 kasus, tindak pidana 37 kasus, dan pelanggaran disiplin 440 kasus. Sedangkan dari 1.462 anggota yang melakukan pelanggaran, 48 orang adalah perwira menengah, 183 perwira pertama, 1.198 bintara, dan PNS 33 orang.

Sanksi tegas yang dimaksud Kapolri BHD sifatnya beragam. Mulai dari sekadar teguran kepada 565 personel, penyerahan 897 anggota kepada Ankum, hingga mutasi yang bersifat demosi terhadap 4 Kapoltabes yang diduga terkait dengan kasus perjudian dan illegal logging.

"Termasuk pemberhentian dengan tidak hormat terhadap beberapa perwira, bintara, dan PNS yang diduga terlibat kasus narkoba," pungkasnya.

Senin, 05 Januari 2009

Yayasan TNI Tidak Disentuh

INSTITUSI TNI ternyata tidak termasuk dalam 99 instansi dan lembaga pemerintah yang akan diawasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal penggunaan dana yayasan. Pasalnya, pengawasan terhadap TNI dan yayasannya tidak masuk dalam ranah tugas KPK.

Hal itu diungkapkan Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar di Jakarta, kemarin. "Kami tidak menangani soal TNI. Baik lembaga itu sendiri maupun yayasannya. Itu sudah ada di UU," kata dia.

Haryono menjelaskan dalam UU No. 20 Tahun 2002 tentang KPK, lembaga negara ini memang tidak diamanatkan untuk menangani TNI. KPK baru bisa menangani atau masuk ke TNI jika berkaitan dengan koleksitas dan hal itu masih menunggu UU Peradilan Militer. Sedangkan, lanjut Haryono, sampai sekarang keberadaan UU tersebut belum sepenuhnya jelas. "Daripada tidak jelas, lebih baik kami tidak menangani dulu," ujarnya.

Selain itu, TNI dan bisnis yang dinaunginya, menurut Haryono, sudah berada di bawah kebijakan Timnas Pengalihan Aktivitas Bisnis (TPAB) TNI yang dipimpin oleh mantan Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas.

Tim tersebut bertugas melakukan penilaian meliputi inventarisasi, identifikasi, dan pengelompokan terhadap seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola TNI baik secara langsung maupun tak langsung, merumuskan langkah kebijakan dalam rangka pengalihan bisnis TNI. Dan ketiga, memberikan rekomendasi langkah-langkah kebijakan kepada Presiden dalam rangka pengalihan aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola TNI baik secara langsung maupun tidak langsung kepada pemerintah.

"Tim itulah yang bertugas dan memiliki wewenang untuk mengatur, bukan KPK," pungkasnya.

Akan tetapi, menurut Erry Riyana, KPK seharusnya bisa memasukkan yayasan di lingkungan Departemen Pertahanan termasuk TNI ke dalam daftar yang jadi sasaran pemeriksaan. Alasannya, TPAB yang dipimpinnya bertugas bukan untuk mengawasi, melainkan menginventarisasi, menilai, dan membuat rekomendasi cara pengambilalihannya oleh pemerintah.

"Jadi, hemat saya, KPK bisa memasukkan yayasan di lingkungan Dephan termasuk TNI ke dalam daftar sasaran pemeriksaan," kata dia.

Terkait UU yang mengatakan TNI bukan ruang lingkup KPK, Erry menjelaskan yayasan di lingkungan TNI bukan bagian organik dari institusi. Artinya, yayasan tersebut berdiri sendiri.

"TNI sebagai institusi dan individualnya memang iya (tak dapat diawasi). Tapi yayasan kan bukan bagian organik dari institusi dan sebagian besar pengurusnya pensiunan. Memang bisa debatable, tinggal soal niat saja apakah mau ditertibkan atau tidak," pungkasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, dari 99 instansi pemerintah yang disurati KPK, baru 50 instansi yang membalas. Dari 50 instansi yang memberikan jawaban itu, hanya 14 instansi yang menyatakan memiliki yayasan. "Dari surat balasan yang kita terima, dari 14 yang mengakui tersebut, ada yang bilang punya satu yayasan, punya tiga yayasan, bahkan ada yang sebelas. Itu Departemen Pertanian yang sebelas. Nah, itu mengelolanya gimana," kata Haryono.

Namun, Menteri Pertanian Anton Apriantono menegaskan departemen yang dipimpinnya saat ini tidak lagi memiliki kaitan dengan sebelas yayasan yang ditemukan KPK. Yayasan-yayasan tersebut merupakan bentukan pemerintahan masa lalu. "Setahu saya sudah tidak ada kaitan dengan Deptan yayasan-yayasan tersebut. Itu produk masa lalu," tegas Anton.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto