Sabtu, 24 Mei 2008

Penculikan terhadap PemRed Tabloid Jejak

1. Senin, 3 Maret 2008 pagi. Ir. Henry John C. Peuru, Pemimpin Redaksi Tabloid Jejak, Manado, diminta oleh Herry Palangiten untuk bertemu di Dinas UKM Provinsi Sulawesi Utara. Herry berpesan agar Henry “datang sendirian, tidak membawa teman.” Ia juga memberi tahu akan memberi sebagian dari uang sejumlah Rp 1 milyar yang ia terima dari Gubernur Sulut. Sekitar jam 19:00 Henry (yang ditemani oleh Sutojo Kamidin) menerima telepon dari Herry, minta bertemu di Manado Town Square Mall (Mantos). Sekitar jam 19.30 mereka bertemu di Mantos. Herry, yang ditemani oleh Welly Siwi, kembali memberi tahu akan menerima uang Rp 1 milyar dari Gubernur Sulut dan akan membaginya sebagian kepada Henry. Tapi Henry sama sekali tidak tahu apa maksudnya. Mendadak Herry meninggalkan mereka sambil menyodorkan uang Rp 50.000 untuk membayar kopi (mungkin karena polisi akan datang!).
2. Sekitar pukul 19:45, di tempat parkir Mantos, Henry dan Sutojo dicegat oleh dua orang berpakaian sipil yang mengaku dari Poso, Sulawesi Tengah. Henry dan Sutojo diajak mengikuti mereka, tapi menolak. Tiba-tiba muncul Kompol H.R. Wibowo, Kasat Reskrim Poltabes Manado, bersama beberapa orang anggota polisi. Ajakan untuk mengikuti mereka pun ditolak oleh Henry karena tidak ada surat penangkapan. Dengan suara keras Kompol Wibowo mengatakan, “Kamu tertangkap tangan”, tapi oleh Henry dibantah dan dipersoalkan, “apa yang dimaksud dengan tertangkap tangan?”
3. Akhirnya mereka dibawa ke Poltabes Manado dan diinterogasi sekitar jam 21:00 oleh tiga orang anggota polri di ruangan KBO. Henry hanya mengenal salah seorang di antara ketiga anggota polri itu yang bernama Tulus. Intinya, Henry ditangkap (“diculik”) dan diperiksa sebagai saksi atas kasus penyelundupan senjata dari Manado ke Poso pada 2007. Salah satu pertanyaan yang diucapkan oleh pemeriksa ialah: Apakah Anda mengetahui pemasukan senjata yang dilakukan oleh Wagub Sulut Freddy Sualang ke Poso? (Catatan: pertanyaan tersebut diucapkan oleh anggota polri yang memeriksa Henry). Inti jawaban Henry ialah: dia pernah melacak kasus tersebut tetapi tidak memperoleh data cukup, dan tidak pernah memuatnya di Tabloid Jejak. Dia juga menyatakan tidak pernah menghubungi para pejabat di Poso dan tidak pernah berkunjung ke Tomata, Poso.
4. Rupanya, pada 13 November 2007, Kasat Reskrim Polres Poso, AKP Soeryadan, telah mengirimkan Surat Panggilan No.Pol: S.Pgl/615/XI/ 2007/Reskrim kepada Ir. Henry Peuru untuk menghadap AKP Soeryadani pada hari Selasa, 20 November 2007 jam 09:00 WITA di ruang Kasat Reskrim untuk didengar keterangannya sebagai saksi dalam perkara pemasokan senjata api dari Sulawesi Utara ke Kabupaten Poso, Sulteng. Tapi, Henry tidak pernah menerima Surat Panggilan tersebut. Surat Panggilan itu baru ia ambil sendiri pada tanggal 2 Maret 2008 dari Kepala Jaga Kompleks Perumahan Helsa Tateli, Manado, tempat domisili Henry.
5. Adapun Surat Perintah Penangkapan (No.Pol SP.Kap/124/III/ 2008/Reskrim) tertanggal 3 Maret 2008 telah dipersiapkan dan ditandatangani oleh Kompol RH Wibowo. Surat tersebut memerintahkan kepada AKP Haryansyah SH, Bripka L. Hadi Purwanto, Brigadir Bartholomeus Dambe dan Briptu Romi untuk melakukan penangkapan terhadap Henry sebagai tersangka melakukan tindak perbuatan tidak menyenangkan dan pidana pemerasan dan pengancaman (Pasal 335 KUHP dan Pasal 368 ayat (1) KUHP). Tapi, Surat Perintah Penangkapan tertanggal 3 Maret 2008 tersebut baru diterima oleh Henry pada tanggal 21 Maret 2008. Mestinya Henry bisa bebas, namun masa penahanannya yang 20 hari diperpanjang.
6. Keesokan harinya, Selasa 4 Maret 2008, sekitar jam 18:30, Henry dipanggil untuk menanda tangani berita acara pemeriksaan atas laporan Ir. Ricky Tumanduk, Kadis Kimpraswil Prov Sulut tertanggal 3 Maret 2008 yang menyebutkan bahwa Henry telah melakukan “pemerasan dan pengancaman” terhadap ybs. Artinya, posisi sebagai saksi perkara penyelundupan senjata dialihkan secara mendadak ke kasus “pemerasan dan pengancaman”. Anehnya, dalam pertemuannya dengan John Lalonsang (085298359539), Kepala Perwakilan Tabloid Jejak di Manado, Ricky Tumanduk membantah telah melaporkan kasus “pemerasan dan pengancaman” itu kepada polisi. Anehnya lagi, ketika Henry minta BAP, tiba-tiba tiga orang anggota polri merampasnya dengan dalih sebagai “dokumen negara”. Padahal, saksi atau tersangka berhak atas naskah BAP.
7. Mengenai kasus “pemerasan dan pengancaman” tersebut, terungkap dalam BAP, Selasa, 4 Maret 2008 jam 17:50 WIT. Bertindak sebagai penyidik/pemeriksa Bripka L. Hadi Purwanto. Intinya, sekitar bulan Oktober 2007, Henry sebanyak dua kali telah mewawancari Ir. Ricky S. Tumanduk, Kepala Dinas Kimpraswil Prov Sulut mengenai proyek pembangunan Jembatan Megawati, yang menurut Henry janggal karena fondasi jembatan tua tidak dibongkar. Menurut Ricky, tiang-tiang yang lama (tua) tidak dibongkar karena mempunyai nilai sejarah. Tetapi, Henry sama sekali belum pernah memuat kasus tersebut di Tabloid Jejak, karena bahan-bahannya belum cukup. Mungkin wawancara inilah yang dianggap sebagai “pengancaman” (meskipun Henry sama sekali tidak mengancam akan melaporkan kasus itu), namun agaknya Ricky sendiri yang merasa terancam.
8. Mengenai apa yang disebut “pemerasan” terhadap Ricky, mungkin yang dimaksud ialah pengajuan proposal pembangunan sebuah gereja yang diajukan oleh Dandi, yang datang ke kantor Ricky ditemani oleh Henry -- setelah wawancara tersebut. Selain itu, juga pengajuan permintaan iklan senilai Rp5.000.000 oleh John Lalonsang kepada Ricky yang kemudian dimuat di cover belakang Tabloid Jejak edisi 108 Desember 2007, bersama iklan Pemda Prov Sulut. Iklan tersebut adalah iklan ucapan “Selamat Idul Adha 1428 H, Selamat Natal 2007 dan Tahun Baru 2008”. Jika pengajuan proposal pembangunan sebuah gereja (oleh Dandi) dan permintaan iklan (oleh John Lalonsang) tersebut dilakukan secara baik-baik dan diterima secara baik-baik oleh Ricky, tentulah sama sekali bukan pemerasan. Apalagi yang melakukannya bukanlah Henry, sementara Ricky menyatakan (kepada John Lalonsang) bahwa dia tidak pernah melaporkan Henry kepada polisi.
9. Satu hal yang sangat jelas ialah, bahwa dua kali pemeriksaan (interogasi) yang dilakukan oleh pihak kepolisian Poltabes Manado telah melanggar UU Nomor 40/1999. Pertama, polisi tidak berhak menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan masalah keredaksian, pencarian berita, materi berita dan sumber berita, karena dalam melakukan tugas kewajibannya wartawan Indonesia dijamin oleh UU. Kedua, Henry mempunyai Hak Tolak atau Hak Ingkar untuk tidak menjawab pertanyaan polisi, apalagi menyangkut sumber berita. Ketiga, semua hal yang disangkakan oleh polisi (sebagai saksi kasus penyelundupan senjata, dan tersangka pengancaman dan pemerasan) sama sekali tidak terbukti, sementara Henry belum/tidak pernah memuat masalah tersebut di Tabloid Jejak.
10. Kesimpulan: Pertama, Wartawan Ir. Henry John C. Peuru telah ditangkap dan ditahan secara tidak sah karena polisi tidak membawa Surat Perintah Penangkapan. Dengan demikian bisa ditafsirkan bahwa telah terjadi penculikan. Kedua, penahanan pertama tidak sah karena sebagai saksi, Henry tidak melihat atau mengetahui kasus penyelundupan senjata dari Manado ke Poso (yang oleh penyidik dikatakan dilakukan oleh Wagub Sulut, F.H. Sualang). Mestinya Henry sudah bisa bebas, tetapi perkaranya dialihkan pada kasus “pengancaman dan pemerasan”. Ketiga, perpanjangan penahanan oleh Poltabes Manado dan Kejari Manado (sehubungan dengan kasus “pengancaman dan pemerasan”), juga tidak sah dan seharusnya Henry sudah bebas, karena Ricky Tumanduk (si pelapor) membantah telah melaporkan Henry kepada polisi. Keempat, polisi telah melanggar UU Nomor 40/1999 tentang Pers, dalam hal ini menghalang-halangi kebebasan pers, oleh karena itu dapat dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40/1999 tersebut.

Jakarta, 1 Mai 2008.

Jumat, 02 Mei 2008

Istana Gebang

DI JALAN Sultan Agung, Blitar, Jawa Timur. Dari seberang jalan, rumah nomor 59 itu, tampak berdiri di lahan seluas lapangan sepak bola - - 15.000 meter tanahnya. Masuk ke dalamnya, melalui pintu pagar yang selalu terbuka, becak bisa langsung membawa penumpang ke mulut pintu rumah utama.

Rumah itu berukuran sedang, bangunan tua, catnya terawat. Bagian depannya berpendopo terbuka. Sehingga naik turun penumpang dari becak di pendopo itu bila pun hujan turun, dijamin Anda tak akan kuyup. Dua piliar bercat hijau menupang atap pendopo. Bagian tepi atap ada ukiran kayu bergerigi bercat hijau - - hiasan yang banyak ditemui di rumah tua di Indonesia umumnya.

D i rumah itulah dulu Bung Karno, sosok proklamator, menghabiskan masa kecilnya. Kini kediaman ini dihuni kerabat Bung Karno. Masyarakat Blitar akrab menyebutnya Istana Gebang.

Di Istana Gebang itulah, Sukarmini Wardoyo - - kakak kandung Bung Karno - - tinggal bersama keluarga besarnya. Saban hari selalu saja ada yang datang melihat-lihat barang peninggalan Bung Karno. Ada kamar tidur, meja-kursi, foto-foto kenangan Bung Karno masa silam.

Dalam dua pekan terakhir ini berita ihwal rencana penjualan rumah ini mencuat. Djarot Syaiful Hidayat, Wali Kota Blitar, kepada Liputan 6 SCTV, pada 24 April 2088 lalu menyatakan kesanggupannya untuk membeli atau mengelola rumah bersejarah itu. Mengingat bangunan tersebut sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya sejak 2001 oleh Pemda Blitar.

Menurut Djarot, rumah itu memang akan dijual sejak 1970. Namun ada sejumlah ahli waris yang tidak setuju sehingga rencana pun batal. “Baru sepekan ini muncul keputusan akan menjual rumah bersejarah itu atau menyerahkan pengelolaannya kepada pihak ketiga, “ ujar Djarot.

Bambang Suka Putra, cucu Soekarmini Wardoyo - - kakak Bung Karno - - mengatakan perhatian pemerintah terhadap rumah warisan sang proklamator itu sangat minim. Atas kesepakatan rapat keluarga, rumah itu diputuskan dijual saja kepada peminat.

Sejauh ini sudah ada sejumlah peminat asing yang menyampaikan penawarannya sejak Istana Gebang mulai diiklankan. Promosi penjualannya juga disebar ke internet.

Segenap ahli waris berharap anak-anak Bung Karno atau pemerintah-lah yang membelinya. Dan Pemkot Blitar melalui Wali Kota Djarot Syaiful Hidayat sempat mengungkapkan keinginan untuk membeli atau mengelola Istana Gebang. Namun harga tampaknya menjadi kendala. Keluarga hendak menjual di harga Rp 50 miliar. Djarot mengungkap jika saja harganya di kisaran Rp 15- 20 miliar, Pemkot Blitar berkenan membali.

Tampaknya, Pemkot memang tidak melakukan langkah proaktif. Jika harga menjadi kendala, karena pertimbangan akan mendapatkan historical value, juga berguna bagi pengembangan pariwisata kota, seharusnya Pemkot mengajak Pemda Jawa Timur, bahkan jika perlu turut meminta bantuan pemerintah pusat, bahu-membahu untuk mengambil alih asset itu - - termasuk jika perlu memasukkan ke dalam dua tahun anggaran berjalan.

Pihak ahli waris mengaku sudah membuat surat dan proposal ke Pemkot. Namun hingga kini tidak ada jawaban.

Sampai kepada kata proposal ini, saya jadi teringat bahwa di banyak depertemen pemerintah, BUMN, Pemda, baik tingkat kabupaten dan walikota, setiap tahunnya mereka membuat proposal proyek untuk tahun mendatang. Sering kali saya mengamati bahwa proposal yang disusun bukan mengacu ke inti permasalahan yang ada di masyarakat.

Pada Tajuk 12 April 2008, berjudul KALI, saya menuliskan bahwa sudah puluhan tahun kali di Pademangan, Jakarta Utara airnya tak mengalir. Tetapi hingga kini tak ada langkah proaktif mengalirkan kali itu. Pemda tidak pernah membuat masalah itu masuk ke dalam proposal proyek.

Proposal proyek yang diminati masuk ke anggaran proyek yang akan berjalan umumnya pengadaan barang. Pengadaan yang sudah “dititipkan”, untuk tahun berikutnya ditenderkan. Bahkan “tender”nya pun dipastikan diatur. Akibatnya entah hingga kapan, laku kolusi untuk korupi itu bisa akan punah di negeri ini.

Kini seorang pengusaha asal Malaysia, sudah menyatakan keinginan membeli Istana Gebang. Minat pihak swasta Malaysia itu, mohon maaf, saya artikan sebagai “tamparan”, betapa bahwa bangsa ini tidak memiliki sense akan pengetahuan bahwa intangible asset sejarah, berguna bagi masa depan peradaban. Pemerintah pusat, daerah, saling menunggu ihwal penjualan rumah proklamator itu.

IBU-IBU berkerudung, puluhan anak-anak usia sekolah pada 27 April 2008 lalu memanggul karton, bertuliskan: Jangan Jual Warisan Bung Karno ke Asing. Spanduk lain: Pemerintah Selamatkan Cagar Budaya. Ternyata ratusan orang ini yang dominan perempuan itu berdemo meminta perhatian pemerintah kota dan pemerintah pusat menyelamatkan aset bersejarah itu.

Demo itu berlangsung cukup lama di depan Istana Gebang. Aksi warga Blitar ini bukan sekadar mendemo. Mereka menggalang dana. Secara spontan dan sukarela warga dari berbagai kalangan tak segan merogoh kocek mereka. Dana yang terkumpul nantinya akan dipakai untuk membeli Istana Gebang. Forum Penyelamat Istana Gebang pun dibentuk masyarakat secara swadaya. Melihat rombongan pendemo itu di televisi, benak saya di kepala membayangkan wajah Megawati, anak Soekarno yang pernah menjadi Presiden RI itu. Kemana dia urusan rumah peninggalan ayahnya itu? Saya lalu teringat akan kediamannya yang hampir tiap hari saya lalui itu.

JALAN Teuku Umar, Menteng, Jakarta. Di kiri-kanan, bahkan di pembatas jalan, tumbuh berbagai pohon besar, ada Akasia, ada Asam Jawa. Pohon-pohon itu ada yang tumbuh sejak zaman Belanda. Jalanan lebar. Susana teduh.

Di pertengahan jalan antara Taman Suropati dan ujung jalan Teuku Umar itulah kediaman Megawati berada. Letaknya di sebelah kanan bila dari arah taman. Inilah kawasan yang menurut saya paling menyenangkan dilewati di Jakarta. Seakan masih tersisa Jakarta tempo doeloe di sana.

Ada perasaan mengatakan, dahulunya Belanda ingin membangun tata kota Batavia, macam jalan di Teuku Umar itu kini. Sayang sekali, hanya tinggal sepenggal jalan Teuku Umar.

Rumah Megawati mudah diketahui. Perhatikan kendaraan polisi yang masih berjaga-jaga yang parkir mengambil bahu jalan. Selalu ada satu atau dua orang berpakaian sipil berwarna gelap duduk di pos jaga yang tidak terlalu mencolok. Nah di situlah rumah Megawati. Rumah berpagar putih tinggi.

Luas lahannya bisa jadi sama dengan Istana Gebang. Namun untuk ukuran lokasi dan wujud bangunan, jika dilakukan appraisal, harga kediaman Megawati bisa tiga atau bahkan empat kali dari nilai Istana Gebang yang sedang ditawarkan.

Saya heran, hingga hari ini tak satupun anak Soekarno buka mulut soal Istana Gebang. Bukankah itu berkait ke asset peninggalan ayah Megawati sendiri? Apakah dengan mengeluarkan Rp 50 miliar, lalu sangat menganggu pundi-pundi pribadi Megawati - - toh mereka masih banyak punya usaha, antara lain jaringan pom bensin - - yang kini harus terus diperbesar demi mempersiapkan belanja kampanye presiden?

Lantas apakah keluarga Megawati tidak bertegur sapa dengan tantenya di Blitar itu? Menjadi kira yang tidak-tidak, jadinya!

Menurut kerabat Soekarno di Blitar, ada 10 keluarga ahli waris yang menunggu hasil penjualan rumah itu. Mereka kini umumnya masyarakat marjinal, yang kian hari kian sulit saja hidupnya.

Mereka tidak mampu lagi merawat rumah di lahan luas itu. Agar tidak menjadi silang sengketa di kemudian hari oleh cucu dan cicit, maka Istana Gebang dilego, menjadi sebuah logika yang masuk akal.

Saya lalu mencoba membulak-balik kamus umum Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, yang kebetulan sedang ada di atas meja. Saya mencari arti kata Gebang.

Di dalam kamus, Gebang artinya; pohon palem yang tingginya dapat mencapai 15 – 20 meter, hati batang dapat digunakan untuk makanan babi, Coryphautan.

Baik di Istana Gebang, maupun di kediaman Megawati kini, saya tak melihat ada coryphautan atau palem berbatang tinggi itu, yang hati batangnya digemari babi.

Saya heran, jangan-jangan baik keluarga Megawati, Pemerintah Pusat, Pemerintah Jawa Timur, Pemkot Blitar seakan “haram” membeli Istana Gebang. Sehingga untuk kesekian kalinya kita “dipermalukan” asing yang hendak membeli Istana Gebang. Wallahu!

Iwan Piliang (tajuk presstalk.info)

Siaran Pers PWI Reformasi pada Hari Pers Sedunia

Kordinator Nasional Persatuan wartawan Indonesia Reformasi
(PWI-Reformasi)
Manggala Wanabakti, Ruang 212, Wing B, Senayan,Jakarta Pusat.Telepon/Fax: 021-5746724

Siaran Pers, Dalam Rangka Hari Pers Sedunia, 3 Mei 2008

Pertama, kami Kornas PWI-Reformasi, menyampaikan Selamat Merayakan Hari Pers Sedunia (Press Freedom), kepada rekan-rekan jurnalis, wartawan, dan kalangan pers umumnya di seluruh Indonesia yang berpegang teguh kepada prinsip dan kaedah jurnalistik.

Menghimbau Jurnalis, wartawan, terus berpihak kepada warga, pro poor, menjunjung tinggi profesionalisme kerja, menjauhkan diri dari laku menerima “amplop” , menjauhkan diri dari laku berpihak ke segenap lini aparat di lintas Pilkada./Pilres, di berbagai daerah di Indonesia, sehingga tercipta pers yang independen, yang mampu mengembalikan “kekuatan” keempat dalam hidup berdemokrasi.

Kedua, kami Kornas PWI-Reformasi, mendesak pemerintah untuk menindak lanjuti hasil laporan investigasi wartawan TEMPO , Metta Dharmasaputra, terhadap kasus penggelapan pajak PT Asian Agri yang kini sudah terbukti mencapai Rp 1,5 triliun. Kendati undang-undang membenarkan penggelapan itu diselesaikan di luar pengadilan, sudah sepantasnya negara membukakan mata publik, berapa pun nominal denda yang dapat diterima negara secara riil, harus disampaikan secara transparan. Dan jika pun belum terselesaikan, adalah hak publik untuk mengetahui sebab-musabab penggelapan pajak tambun itu pengusutannya te rhambat.

Ketiga, Kornas PWI-Reformasi yang turut mendukung protes keras wartawan Desi Anwar, Metro TV, melalui surat kami pada 25 April 2008 lalu, kembali menegaskan meneruskan dukungan langkah hukum, menggugat Presiden Ramos Horta, yang memberikan pernyataan tidak berdasar, merusak citra wartawan dan pers Indonesia khususnya - - kendati pernyataan maaf sudah disampaikan oleh Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao, dengan mengatakan Ramos Horta dalam kedaan stress, sakit.

Keempat, Kornas PWI-Reformasi, saat ini meminta dukungan segenap organisasi pers, memberi perhatian khusus kepada rekan kami, Bung Hendri John, Pemimpin Redaksi Tabloid JEJAK, Manado, yang hampir dua bulan ini ditahan di Poltabes Manado, Sulut.
Penangkapannya oleh Densus 88, dengan tanpa surat penangkapan, dan hingga kini sesuai dengan keterangan Esau Mozes Riupassa SH, lawyer yang difasilitasi Korda PWI-Refo rmasi Sulut, mengerucut terindikasi sebagai penangkapan dipaksakan oleh Gubernur Sulut, akibat dari pemberitaan kritis terhadap indikasi korupsi pembuatan jembatan Megawati, dan mengritisi rencana World Ocean Conferences 2009, di mana Gubernur Sulut sebagai Wakil Ketua Panitia, sesuai dengan Kepres 23, 2007.

Bung Hendry John, juga ketua tim pencari fakta (TPF Bulik) atas penculikan dan pembunuhan sadis terhadap DR. Ir. Oddy Manus, Msc, Dosen Universitas SamRatulangi, ahli kelautan dan perikanan lulusan Jepang itu.

Khusus mengenai penangkapan Bung Henry John ini, kami sedang melakukan kordinasi untuk melaporkan cara-cara penangkapan wartawan ini kepada Propam, Mabes Polri, sehingga kebenaran dapat diteggakkan, dan tugas-tugas jurnalistik yang mengembalikan pencerahan bagi masyarakat dapat kita lakukan secara bersama-sama.

Akhirnya, kami percaya, di tengah kepercayaan yang “pudar” kepada trias politika negeri ini, wartawan, jurnalis, pers yang mengedepankan profesionalisme menjadi tumpuan harapan. Semoga pers mampu memuhi harapan itu. Tarima casi.


Jakarta 2 Mei 2008
Kornas PWI-Reformasi
Kaka Suminta, Sekretaris Umum (085222277122)
Iwan Piliang, KetuaUmum (08128808108)

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto