Senin, 23 Juni 2008

PEKA

PEKA alias mudah merasa; mudah terangsang. Kata PEKA bisa juga diartikan sebagai suatu perasaan mudah ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Ketika orang lain sedih, kita ikut merasa sedih. Orang gembira, kita bisa merasakan kegembiraan itu.

Sedangkan Kepekaan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Terbitan Balai Pustaka berarti kesanggupan bereaksi terhadap suatu keadaan.

Bicara masalah kepekaan atau sensitifitas ternyata sudah luntur di kalangan masyarakat kita. Rasa peduli orang-orang kaya terhadap orang miskin sangat tipis. Egoisme dan memeningkan diri sendiri justru yang menonjol. Jika melihat ada orang lain kesusahan di depan mata itu hanya dianggap sebagai pemandangan biasa saja. Perasaannya tidak tersentuh sedikit pun untuk ikut membantu meringankan apalagi memberi solusi.

Hal itu dapat kita simak dari berita kompas baru-baru ini, seperti yang tertulis dibawah ini:
Orang miskin berebut barang kebutuhan pokok merupakan pemandanganmakin biasa di negeri ini. Akan tetapi, melihat orang kaya berebutbantal adalah pemandangan langka. Itulah yang terjadi di tokoDebenhams, Senayan City, Jakarta, sejak Kamis (19/6) malam hinggaMinggu (22/6).

Bantal yang diperebutkan tentu bukan sembarang bantal. Bantal-bantalitu punya keistimewaan, empuk dan nyaman bagi kepala. Tentu saja itubarang impor bermerek terkenal dari Florence sampai King Koil.

Menurut seorang staf penjualan Debenhams yang sabar melayanipertanyaan dan permintaan pembeli, harga normal bantal warna putihtulang itu mencapai Rp 700.000 per buah. Dalam Pesta Diskon TengahMalam Senayan City pada 19-22 Juni, bantal itu dijual sekitar Rp350.000 per buah.

Bantal Lorence yang empuk dan bisa dicuci di mesin cuci harganormalnya Rp 300.000-an per buah, tengah malam itu didiskon jadi Rp69.000. Kehebohan selalu terjadi saat staf toko mengeluarkan sekarung bantal.

Pembeli, baik lelaki, perempuan, maupun anak-anak, berebut danmenarik bantal dari karung. "King Koil gitu loh bo...," kata seorangpembeli.

Mereka tak hanya membeli dua bantal, tetapi banyak yang memborongsampai enam bantal. "Mas, jam berapa bantalnya datang lagi. Buruandong," tanya seorang gadis cilik kepada seorang staf toko Debenhams.

Pembeli tak hanya menyerbu bantal atau seprai, tetapi juga kemeja dankaus lelaki. Baju perempuan, tas, dan sepatu penuh pembeli.

Gerai tasmerek Bonia ikut mendapat rezeki sekalipun tak memiliki banyak jenisbarang yang didiskon. Pesta Diskon Tengah Malam itu benar-benar menyedot pembelanja.

Sabtu(21/6) malam menjadi puncaknya. Jalan Asia Afrika mulai Hotel Muliahingga depan Plaza Senayan macet. Untuk mencapai Senayan City dariAsia Afrika butuh waktu sejam.

Di Senayan City, sejak Sabtu pukul 21.00 (saat pesta diskon dimulaihingga pukul 24.00), seluruh tempat parkir di dalam area penuh. Calonpembelanja harus parkir di tempat lain, misalnya Senayan Trade Centerdi seberang Senayan City, di jalanan samping pusat belanja itu, atauJalan Asia Afrika yang kemarin malam berkurang dua lajur untuk parkirmobil.

Public Relations and Tenant Communications Manager Senayan City SriAyu Ningsih menjelaskan, event yang kemarin digelar adalah bagian dariJakarta Great Sale dalam rangka ulang tahun ke-481 kota Jakarta.

Selain Debenhmas, ada beberapa tenant ikut berpartisipasi. Sebenarnya tak hanya Senayan City yang mengadakan pesta diskon hingga80 persen, pusat belanja papan atas lain seperti Mal Taman Anggrek,Mal Pondok Indah, dan Plaza Senayan juga mengadakan pesta diskon.

Rata-rata pengunjung pusat belanja tersebut naik. Pengunjung ke Mal Taman Anggrek Minggu kemarin membeludak. Pengelola harus menjadikan jalan di sisi kanan mal tempat parkir tambahan untukmotor.

Akan tetapi, kehebohan terjadi di Senayan City. Chief Operating Officer Senayan City Leigh Regan menargetkan,penjualan barang di Senayan City naik 50 persen-100 persen. Tampaknyatarget itu tak meleset jauh.

"Khusus di Debenhams terdapat kenaikanpenjualan 50-100 persen, sedangkan untuk tenant lain 20-30 persen,"kata Ayu semalam.

Nafsu belanja sebagian besar orang Indonesia memang luar biasa. Eventpesta diskon seperti ini ada baiknya juga. Minimal agar orang kayakita tak sering belanja ke Singapura yang kerap kali mengadakan pestadiskon.

Jumat, 06 Juni 2008

Adin Mati Kurang Makan

INGATAN saya melayang ke masa ke kepahitan hidup ketika pernah menetap di Pekanbaru, Riau, di penggalan 1971 -1979. Ingin sesungguhnya membawa kenangan itu ke alam kubur, tetapi ketika seorang kawan mem-forward sebuah artikel di harian Pos Kota, Rabu, 3 Juni 2008, berjudul: Penyapu Jalan Tewas Kelaparan, bayangan pernah memakan singkong dan air putih untuk sekadar bertahan hidup muncul mendadak di benak.

Syahdan, bagi banyak perantau, apalagi dalam usia kanak-kanak, kemandirian hidup mesti dilalui. Tiada lain, bersekolah dan mencari biaya makan sehari-hari, menjadi tuntutan.
Saya teringat kala itu, 1974, dengan Rp 5, bisa membeli goreng singkong yang tidak dipotong - - digoreng utuh - - dengan ukuran cukup besar. Kala itu, singkong goreng saya nikmati laksana hari ini memakan daging steak di restoran Angus, di top floor Chase Plaza, Jl. Sudirman, Jakarta Pusat.
Dengan uang Rp 25, saya bertahan tiga hari. Sepuluh rupiah hari pertama, sepuluh rupiah hari kedua. Lima rupiah hari ketiga.
Di hari ketiga, saya sudah menjadi kacung bola tenis, di lapangan tenis dekat asrama Brimob, Sukajadi, Pekanbaru. Hal hasil, baru di hari ketiga itu perut kembali terisi nasi. Dua hari sebelumnya hanya singkong dan air putih saja menari-nari bersama cacing di perut bergemerincing.
Ada petuah mengatakan, jika ingin merasakan bagaimana pahitnya hidup masyarakat kebanyakan, maka berlakulah macam kehidupan mereka sehari-hari.
Sehingga ketika membaca berita penyapu jalan yang tewas karena kurang makan, demi mepertahankan hidup, hanya meminum air putih dan singkong, bukan lagi sebuah romantisme biasa bagi saya.
Rasa, pengalaman hidup yang pernah berlalu, bukan lagi menjadi sekadar kata yang terucap.Kenyataan, empirik, yang saya lalui itulah kiranya menjadi salah satu angle tajuk-tajuk ini.
Di malam sebelum tewasnya Adin - - penyapu jalan itu - - isterinya tak sempat lagi memintakan singkong ke tetangga. Sebelum berangkat kerja, Adin hanya meminum air putih. Adin berujar kepada isterinya perutnya sedikit sakit. Ia melangkah bekerja menyapu jalan.
Di dalam tugas Adin berpulang.
Ajal memang di tangan Yang Maha Kuasa.
Namun di tahun 2008, 35 tahun setelah saya pernah merasakan makan singkong dan air putih untuk mengganjal perut itu, kini pun terjadi pada orang lain, di kota yang sejuk Bogor, Jabotabek, area yang konon lebih dari 60% uang beredar, saya menjadi betul-betul menjadi tidak habis pikir: Mengapa hal ini bisa terjadi? Selera saya seakan patah ketika duduk bersama keluarga di meja makan, yang menghidangkan makanan paling tidak mengandung empat sehat.

Saya kutipkan untuk Anda, berita di Pos Kota, Rabu, 4 Juni 2008

Penyapu Jalan Tewas Kelaparan
BOGOR (Pos Kota) - Harga kebutuhan pokok yang terus merangkak seiring kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) memunculkan beragam kisah pilu. Seorang penyapu jalan tewas di pinggir jalan Sukasari, Bogor Timur, Selasa (3/6) siang.
Diduga, Adin, 46, petugas kebersihan pada Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bogor, itu meninggal dunia karena kelaparan. Ia hanya makan satu kali sehari karena harus berbagi dengan ketiga anaknya.
Sebagaimana dituturkan Neglasari, 40, istri Adin, di RSUD PMI Bogor tempat jasad sang suami diotopsi, korban meninggal akibat menahan lapar sejak malam.
Menurut Neglasari sejak kenaikan BBM yang dibarengi dengan melonjaknya harga kebutuhan pokok, ia dan suaminya kelabakan mengatur pendapatan bulanan yang hanya Rp750 ribu.
Jumlah yang sangat minim ini harus diatur sehemat mungkin agar bisa menyisihkan dana untuk biaya sekolah dua dari tiga anaknya. "Biaya hidup dengan tiga anak sangat tidak mencukupi dengan gaji hanya Rp750 ribu sebulan," kata Neglasari saat berada di ruang forensik rumah sakit.
Cuma Minum Air Putih
Warga Kampung Cibitung RT 02/07, Desa Tenjolaya, Kabupaten Bogor, ini mengaku untuk bisa bertahan hingga gajian bulan berikutnya, terkadang mereka makan sehari sekali. Bahkan jika makanan yang tersedia tidak mencukupi untuk semua, ia dan suaminya terpaksa cuma minum air putih.
"Dengan gaji suami, kami bisa bertahan hingga dua minggu lebih. Selebihnya, sudah morat-marit. Untuk bertahan agar anak-anak tidak kelaparan, kami makan sehari sekali. Kadang diselipkan dengan rebus singkong dan daunnya yang saya minta dari warga," paparnya.
Kepergian sang suami, diakui ibu tiga anak ini, akibat sejak malam tidak makan. Menu yang seharusnya untuk sang suami, terpaksa dibagikan ke tiga anaknya yang mengaku sedang lapar.
Bahkan sebelum berangkat kerja, korban sempat mengeluh sakit pada bagian perutnya.
"Saya pikir sakit biasa. Rupanya sakit itu, pertanda lapar sejak malam," ujar sang istri sambil menambahkan dirinya tidak sempat keluar minta singkong ke tetangga untuk makan suami karena waktu sudah malam. (yopi/ok)
SUARA rakyat suara Tuhan. Rakyat giat bekerja, walaupun keadaan memang tidak berpihak di tanah bernama Indonesia kini, tidak pula harus mengecilkan harap. Semoga surganya Tuhan menerima jasad Adin. Amin!
SESUAI janji siang ini saya bertemu dengan Zahara, sosok kakak seorang kawan yang puterinya baru saja menyelesaikan sekolah S2 di Jerman.
Kami akan mengunjungi Ary Suta Centre di jam makan siang Rabu ini. Sang puteri, yang juga pernah menjadi atlit menembak nasional, saya sarankan untuk membuat saja sebuah program televisi bertajuk German Talk, talk show di televisi berbahasa Jerman - - dapat menampung komunitas Jerman yang ada di Indonesia. Dukungan sponsor bisa didapat dari beberapa perusahaan Jerman yang ada di indonesia.
Zahara mengatakan bahwa sponsor awal mungkin bisa ia mintakan kepada I Gde Ary Suta, mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) itu. Ary Suta kini memang memiliki lembaga think-thank, Ary Suta Centre, dan siang itu rupanya ada acara mengundang Wiranto, dari Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA), tampil sebagai pembicara tunggal dalam diskusi rutin bulanan lembaga itu.
Lokasi kantor Ary Suta Center di bilangan Prapanca III, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ia menempati sebuah rumah berukuran besar, khas Kebayoran. Begitu memasuki halaman, dua buah mobil VW Caravelle Transporter diparkir. Satu berwarna putih dan sebuah lagi hitam. Yang putih di bawah tenda putih, di sampingnya ada meja yang ditempati bagian promosi kendaraan itu. Begitu masuk, sosok pria muda memberikan kartu nama, dan menawarkan untuk test drive mobil berbahan bakar diesel itu.
Menurut saya inilah cara memasarkan mobil yang unik. Untuk kalangan terbatas, di event-event terbatas berkelas.
Di sampaing rumah sudah tersedia tenda yang menaungi makanan. Ada nasi Bali, lontong cap go meh, ada es puter. Acara makan siang dilanjutkan dengan presentasi Wiranto.
Begitu masuk dua buah lukisan di dinding menyambut. Sebuah lukisan di kanan menampilkan mobil jeep dalam susana off road. Lukisan di kiri, juga susana off road, tapi mobil yang di kanvas itu: VW Safari berwarna kaki di tengah padang pasir dan lumpur.
Di bagian depan tempat Wiranto bicara. Latarnya lukisan besar panorama yang lain, seakan bertutur alam yang tandus, sehingga pigura lukisan pun beraksen tua, bintik-bintik, coklat kusam, bolong-bolong, memberikan kesan tersendiri.
Di antara hadirin, tampak Christianto Wibisono, sosok pemilik Pusat Data Bisnis, yang usai kerusuhan Mei 1998 menetap di Amerika Serikat. Ada kalangan pengusaha, kebanyakan pelaku bursa. Ada anggota DPR asal Bali, seperti Gde Sumarjaya Linggih, anggota Komisi IV. Juga ada Syirikitsyah, tokoh pers dari Surabaya. Marissa Haque, artis yang menatan anggota DPR itu tampak datang terlambat.
Tidak ada hal baru yang dipaparkan Wiranto. Ia bertutur tentang peran-peran hebatnya masa lalu. Juga soal alasannya mencalonkan diri menjadi presiden ke depan. Sempat pula terucap bahwa yang menyarankan SBY menjadi Menteri Pertambangan dan Energi ke Gus Dur dulunya Wiranto.
Tanya jawab dibuka. Sebagaimana lazim di pertemuan macam begini, orang sering syur bicara tentang “kehebatannya” di depan forum, bukan bertanya.
Bahkan seorang Christianto Wibisono pun seakan demam panggung ketika diberi kesempatan bertanya, malah menyerocos untuk membuka mata. “Dulu IMF menolong Asia di saat krisis, kini IMF justeru mengalami masalah, mengurangi tenaga kerja, apa yang kita lakukan?” tutur Christianto. Ia mengingatkan bahwa ke depan tidak bisa lagi menghujat negara asing, lembaga asing. “Kita harus membuka mata lebar-lebar di tananan global,” ujarnya seakan menasehati.
Kejadian kecil mengganggu suasana yang tak sampai di hadiri 100 orang peserta itu. Hand Phone saya kendati sudah dibuat silent, eh, ternyata belum benar-benar diam. Begitu ada telepon masuk, suaranya belum berubah dari ring tone di lagu yang di volume paling kencang pula. Hal itu mendapat tanggapan sindiran oleh Wiranto. Tidak enak betul rasanya saya. Tapi mau apa. Keringat sempat mengalir di wajah saya.
Marissa Haque yang duduk dua kursi di kiri saya diberi kesempatan bertanya. Seperti biasa ia justeru tak bertanya. Marissa bicara tentang teori sekolahnya, yang sedang mengambil S3 di IPB, Bogor.
Ingin pula saya bertanya, mengapa Wiranto tidak memberi kesempatan atau mencari sosok muda yang sesungguhnya banyak dan layak jadi pemimpin di Indonesia kini?
Sejujurnya dari paparan Wiranto, tampak sekali segalanya sudah masa lalu. Tiga sosok mantan TNI akan beradu merebut kursi Presiden - - Soetiyoso, Prabowo, selain yang ke empat incumbent SBY - - kesemuanya saya asumsikan sulit menjadi pemenang.
Sosok berjilbab di belakang kiri saya, Syirikitsyah tampil berdiri. Mengawali pertanyaannya, tak dipungkiri adanya punjiannya terhadap Wiranto. Syirikit adalah nama yang selalu saya baca di lingkup media. Postingnya sering saya baca di milis di internet. Ketika saya memberikan kartu nama kepadanya, ia terperanjat.
“Oh ini toh …Iwan. Saya jangan ditulis ya.”
Syirikit ada memberi pengantar di buku yang diterbitkan oleh Ary Suta Centre.
Acara usai.
Bersama Zahara, saya menunggu untuk bisa bertemu Ary Suta. Wiranto datang menyalami peserta ke arah belakang, ke arah saya. Entah marah atau tidak, yang jelas orang lain disalami, saya berusaha mengulurkan tangan, seakan dilewatkan. Jika perkara hand phone berbunyi mengganjal hati Wiranto, wah betapa berdosa saya.
Untung pula saya tak jadi bertanya di forum itu, dan memang pertanyaan yang sedianya ingin saya tanyakan, tiada seorang pun yang menanyakan.
Obrolan justeru kemudian hangat bersama Sri Rachma Chandrawati, Ketua Umum Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), yang juga Ketua Umum Perempuan Hanura. Agaknya karena ada Zahara di samping saya. Tak lama kami sambil berdiri berbicara dengan Ary Suta. Ia sibuk sekali. Ary Suta mengantarkan ke pintu tamu-tamu lain yang ingin pulang. Kami pun berlalu.
Rupanya hand phone saya yang berbunyi siang di diskusi itu, memang sesuatu yang urgent. Setelah acara itu, kawan saya mengajak bertemu di Cilandak Town Square (Citos). Rupanya siang itu telah terjadi bacok-membacok di Crew & Co, Citos, Jakarta Selatan. Salah seorang yang kena bacok membuncah darah. Susana Citos tegang. Kawan saya ingin bicara langsung, mengingatkan jangan ke Citos.
Di media online saya membaca, bahwa ada dua kubu kelompok Ambon, yang umumnya bekerja sebagai debt collector berseteru. Amat disayangkan sebuah kawasan mall, senjata macam samurai bisa lolos dibawa pengunjung. Perkelahian mengakibatkan nyawa meradang.
Ada nyawa sekarat memperebutkan uang, ada mantan pejabat yang jor-joran membelanjakan uang beriklan berseminar, ada rakyat mati kelaparan tak punya uang.
Keyakinan saya, Indonesia ke depan memang harus berubah, dan perubahan itu hampir tak mungkin lagi ditumpukan kepada mereka yang hidup di masa lalu. Termasuk dari sosok-sosok yang menjual mimpi masa lalu, walaupun dengan ketambunan uang, segalanya bisa mereka beli, termasuk nyawa seseorang. Faktanya kini waktu sudah berlalu. Keinginan terhadap Indonesia baru, memerlukan sosok dan nafas baru.
Hari ini dan ke depan, Indonesia perlu perubahan mendasar, merubah haluan keberpihakannya kepada warga, kepada rakyat kebanyakan. Saya berdoa takzim agar tidak ada lagi berita penduduk mati kurang makan. Adin yang mati tidak makan.
Iwan Piliang, presstalk.info

Sabtu, 24 Mei 2008

Penculikan terhadap PemRed Tabloid Jejak

1. Senin, 3 Maret 2008 pagi. Ir. Henry John C. Peuru, Pemimpin Redaksi Tabloid Jejak, Manado, diminta oleh Herry Palangiten untuk bertemu di Dinas UKM Provinsi Sulawesi Utara. Herry berpesan agar Henry “datang sendirian, tidak membawa teman.” Ia juga memberi tahu akan memberi sebagian dari uang sejumlah Rp 1 milyar yang ia terima dari Gubernur Sulut. Sekitar jam 19:00 Henry (yang ditemani oleh Sutojo Kamidin) menerima telepon dari Herry, minta bertemu di Manado Town Square Mall (Mantos). Sekitar jam 19.30 mereka bertemu di Mantos. Herry, yang ditemani oleh Welly Siwi, kembali memberi tahu akan menerima uang Rp 1 milyar dari Gubernur Sulut dan akan membaginya sebagian kepada Henry. Tapi Henry sama sekali tidak tahu apa maksudnya. Mendadak Herry meninggalkan mereka sambil menyodorkan uang Rp 50.000 untuk membayar kopi (mungkin karena polisi akan datang!).
2. Sekitar pukul 19:45, di tempat parkir Mantos, Henry dan Sutojo dicegat oleh dua orang berpakaian sipil yang mengaku dari Poso, Sulawesi Tengah. Henry dan Sutojo diajak mengikuti mereka, tapi menolak. Tiba-tiba muncul Kompol H.R. Wibowo, Kasat Reskrim Poltabes Manado, bersama beberapa orang anggota polisi. Ajakan untuk mengikuti mereka pun ditolak oleh Henry karena tidak ada surat penangkapan. Dengan suara keras Kompol Wibowo mengatakan, “Kamu tertangkap tangan”, tapi oleh Henry dibantah dan dipersoalkan, “apa yang dimaksud dengan tertangkap tangan?”
3. Akhirnya mereka dibawa ke Poltabes Manado dan diinterogasi sekitar jam 21:00 oleh tiga orang anggota polri di ruangan KBO. Henry hanya mengenal salah seorang di antara ketiga anggota polri itu yang bernama Tulus. Intinya, Henry ditangkap (“diculik”) dan diperiksa sebagai saksi atas kasus penyelundupan senjata dari Manado ke Poso pada 2007. Salah satu pertanyaan yang diucapkan oleh pemeriksa ialah: Apakah Anda mengetahui pemasukan senjata yang dilakukan oleh Wagub Sulut Freddy Sualang ke Poso? (Catatan: pertanyaan tersebut diucapkan oleh anggota polri yang memeriksa Henry). Inti jawaban Henry ialah: dia pernah melacak kasus tersebut tetapi tidak memperoleh data cukup, dan tidak pernah memuatnya di Tabloid Jejak. Dia juga menyatakan tidak pernah menghubungi para pejabat di Poso dan tidak pernah berkunjung ke Tomata, Poso.
4. Rupanya, pada 13 November 2007, Kasat Reskrim Polres Poso, AKP Soeryadan, telah mengirimkan Surat Panggilan No.Pol: S.Pgl/615/XI/ 2007/Reskrim kepada Ir. Henry Peuru untuk menghadap AKP Soeryadani pada hari Selasa, 20 November 2007 jam 09:00 WITA di ruang Kasat Reskrim untuk didengar keterangannya sebagai saksi dalam perkara pemasokan senjata api dari Sulawesi Utara ke Kabupaten Poso, Sulteng. Tapi, Henry tidak pernah menerima Surat Panggilan tersebut. Surat Panggilan itu baru ia ambil sendiri pada tanggal 2 Maret 2008 dari Kepala Jaga Kompleks Perumahan Helsa Tateli, Manado, tempat domisili Henry.
5. Adapun Surat Perintah Penangkapan (No.Pol SP.Kap/124/III/ 2008/Reskrim) tertanggal 3 Maret 2008 telah dipersiapkan dan ditandatangani oleh Kompol RH Wibowo. Surat tersebut memerintahkan kepada AKP Haryansyah SH, Bripka L. Hadi Purwanto, Brigadir Bartholomeus Dambe dan Briptu Romi untuk melakukan penangkapan terhadap Henry sebagai tersangka melakukan tindak perbuatan tidak menyenangkan dan pidana pemerasan dan pengancaman (Pasal 335 KUHP dan Pasal 368 ayat (1) KUHP). Tapi, Surat Perintah Penangkapan tertanggal 3 Maret 2008 tersebut baru diterima oleh Henry pada tanggal 21 Maret 2008. Mestinya Henry bisa bebas, namun masa penahanannya yang 20 hari diperpanjang.
6. Keesokan harinya, Selasa 4 Maret 2008, sekitar jam 18:30, Henry dipanggil untuk menanda tangani berita acara pemeriksaan atas laporan Ir. Ricky Tumanduk, Kadis Kimpraswil Prov Sulut tertanggal 3 Maret 2008 yang menyebutkan bahwa Henry telah melakukan “pemerasan dan pengancaman” terhadap ybs. Artinya, posisi sebagai saksi perkara penyelundupan senjata dialihkan secara mendadak ke kasus “pemerasan dan pengancaman”. Anehnya, dalam pertemuannya dengan John Lalonsang (085298359539), Kepala Perwakilan Tabloid Jejak di Manado, Ricky Tumanduk membantah telah melaporkan kasus “pemerasan dan pengancaman” itu kepada polisi. Anehnya lagi, ketika Henry minta BAP, tiba-tiba tiga orang anggota polri merampasnya dengan dalih sebagai “dokumen negara”. Padahal, saksi atau tersangka berhak atas naskah BAP.
7. Mengenai kasus “pemerasan dan pengancaman” tersebut, terungkap dalam BAP, Selasa, 4 Maret 2008 jam 17:50 WIT. Bertindak sebagai penyidik/pemeriksa Bripka L. Hadi Purwanto. Intinya, sekitar bulan Oktober 2007, Henry sebanyak dua kali telah mewawancari Ir. Ricky S. Tumanduk, Kepala Dinas Kimpraswil Prov Sulut mengenai proyek pembangunan Jembatan Megawati, yang menurut Henry janggal karena fondasi jembatan tua tidak dibongkar. Menurut Ricky, tiang-tiang yang lama (tua) tidak dibongkar karena mempunyai nilai sejarah. Tetapi, Henry sama sekali belum pernah memuat kasus tersebut di Tabloid Jejak, karena bahan-bahannya belum cukup. Mungkin wawancara inilah yang dianggap sebagai “pengancaman” (meskipun Henry sama sekali tidak mengancam akan melaporkan kasus itu), namun agaknya Ricky sendiri yang merasa terancam.
8. Mengenai apa yang disebut “pemerasan” terhadap Ricky, mungkin yang dimaksud ialah pengajuan proposal pembangunan sebuah gereja yang diajukan oleh Dandi, yang datang ke kantor Ricky ditemani oleh Henry -- setelah wawancara tersebut. Selain itu, juga pengajuan permintaan iklan senilai Rp5.000.000 oleh John Lalonsang kepada Ricky yang kemudian dimuat di cover belakang Tabloid Jejak edisi 108 Desember 2007, bersama iklan Pemda Prov Sulut. Iklan tersebut adalah iklan ucapan “Selamat Idul Adha 1428 H, Selamat Natal 2007 dan Tahun Baru 2008”. Jika pengajuan proposal pembangunan sebuah gereja (oleh Dandi) dan permintaan iklan (oleh John Lalonsang) tersebut dilakukan secara baik-baik dan diterima secara baik-baik oleh Ricky, tentulah sama sekali bukan pemerasan. Apalagi yang melakukannya bukanlah Henry, sementara Ricky menyatakan (kepada John Lalonsang) bahwa dia tidak pernah melaporkan Henry kepada polisi.
9. Satu hal yang sangat jelas ialah, bahwa dua kali pemeriksaan (interogasi) yang dilakukan oleh pihak kepolisian Poltabes Manado telah melanggar UU Nomor 40/1999. Pertama, polisi tidak berhak menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan masalah keredaksian, pencarian berita, materi berita dan sumber berita, karena dalam melakukan tugas kewajibannya wartawan Indonesia dijamin oleh UU. Kedua, Henry mempunyai Hak Tolak atau Hak Ingkar untuk tidak menjawab pertanyaan polisi, apalagi menyangkut sumber berita. Ketiga, semua hal yang disangkakan oleh polisi (sebagai saksi kasus penyelundupan senjata, dan tersangka pengancaman dan pemerasan) sama sekali tidak terbukti, sementara Henry belum/tidak pernah memuat masalah tersebut di Tabloid Jejak.
10. Kesimpulan: Pertama, Wartawan Ir. Henry John C. Peuru telah ditangkap dan ditahan secara tidak sah karena polisi tidak membawa Surat Perintah Penangkapan. Dengan demikian bisa ditafsirkan bahwa telah terjadi penculikan. Kedua, penahanan pertama tidak sah karena sebagai saksi, Henry tidak melihat atau mengetahui kasus penyelundupan senjata dari Manado ke Poso (yang oleh penyidik dikatakan dilakukan oleh Wagub Sulut, F.H. Sualang). Mestinya Henry sudah bisa bebas, tetapi perkaranya dialihkan pada kasus “pengancaman dan pemerasan”. Ketiga, perpanjangan penahanan oleh Poltabes Manado dan Kejari Manado (sehubungan dengan kasus “pengancaman dan pemerasan”), juga tidak sah dan seharusnya Henry sudah bebas, karena Ricky Tumanduk (si pelapor) membantah telah melaporkan Henry kepada polisi. Keempat, polisi telah melanggar UU Nomor 40/1999 tentang Pers, dalam hal ini menghalang-halangi kebebasan pers, oleh karena itu dapat dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40/1999 tersebut.

Jakarta, 1 Mai 2008.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto