Rabu, 14 September 2011

Mau Jadi PNS? Fulus Dulu Dong

Suatu hari di awal tahun 2011, besan saya — mertua anak perempuan saya –bertandang ke rumah. Mereka datang satu mobil kijang : besan saya suami isteri, anak dan cucunya, termasuk putri saya bersama anaknya. Seingat saya waktu itu bulan Maret 2011, tanggalnya saya lupa.

Sebagaimana lazimnya pertemuan dua keluarga tentu dipenuhi basa-basi dan cerita-cerita ringan untuk mempererat hubungan perbesanan. Setelah ngalor-ngidul cerita sana-sini, besan saya yang laki-laki menyinggung soal pekerjaan puteranya, yang dimaksud adalah menantu saya.

“Sebentar lagi Pak, SK anak kita akan keluar. Dia akan bekerja di kantor Pemerintah Kabupaten….Dia diterima jadi PNS,” demikian Besan saya berkata pada saya.

“PNS Pak?” saya bertanya dengan nada bingung. Terus terang, saya bingung karena sepengetahuan saya, menatu saya tersebut tidak pernah memasukkan lamaran apalagi ikut tes CPNS. Bagaimana mungkin bisa diterima jadi PNS?

“Iya, PNS!,” tegas besan saya dengan nada tinggi untuk meyakinkan saya.

“Syukur alhamdulillah kalau begitu pak,” kata saya masih diliputi keraguan. Meskipun demikian saya berpura-pura percaya seratus persen pada besan. Ini untuk menjaga perasaannya agar tidak merasa diremehkan.

Mungkin karena masih melihat keraguan di wajah saya, tanpa diminta Besan saya menjelaskan bahwa dia dan isterinya telah memberikan uang Rp.90 juga kepada seorang oknum PNS di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Anu (nama kabupaten sengaja tidak ditulis).

Terus terang saya tidak terkejut mendengar tentang sogok-menyogok dalam penerimaan PNS. Tetapi, yang membuat saya terkejut adalah Besan saya memberikan uang Rp.90 juta untuk menjadikan 3 orang anaknya PNS. Ini jelas penipuan.

Mengapa saya katakan penipuan? Karena seperti saya tulis di atas bahwa masuk PNS harus menyogok itu sudah bukan rahasia lagi. Tetapi tiap jenjang itu ada tarifnya sendiri. Jenjang sarjana misalnya Rp.80 juta - Rp.100 juta; D3 kisaran Rp.75 juta - Rp.80 juta. Nah, untuk jenjang SMA Rp.60 juta per-orang.
Lah! Ini besan saya hanya diminta Rp.90 juta untuk tiga orang - dua dari tiga anaknya sarjana, satu orang SMA. Pejabat mana yang mau menjamin ketiga anak besan saya itu bisa jadi PNS dengan uang segitu? Apalagi tanpa tes. Jelas ini tidak masuk akal.

Seperti ingin lebih meyakinkan saya, Besan saya itu menegaskan “Bulan-bulan ini Pak! Paling lambat April nanti SK-nya kita terima dan anak kita langsung ditempatkan,” katanya pada waktu itu.

Dalam hati saya berkata “tunggu sajalah kau akan tahu bahwa engkatu telah ditipu”.

Sepulang besan dari rumah saya, saya katakan pada isteri bahwa besan kami itu telah kena tipu.

“Koq papa bisa tahu?” tanya isteri saya meragukan kemampuan saya membaca situasi.

“Papa tahu, karena papa sedikit banyak mengerti bagaimana permainan oknum-oknum di kantor pemerintahan memanfaatkan celah penerimaan CPNS.Kalau mama gak percaya tunggu saja nanti bulan April apa SK-nya benar-benar keluar atau tidak?” kata saya pada isteri.

Singkat cerita Bulan April pun berlalu, SK yang dijanjikan kepada besan saya tidak ada kabarnya.
Sebulan kemudian (Mei) Besan saya datang lagi ke rumah. Dia bilang ada kabar dari kontak person-nya soal SK PNS itu bahwa ada sedikit masalah administrasi. Si kontak person Besan saya mengatakan SK akan keluar Bulan Juni. Besan saya tampak mulai bimbang, itu terlihat dari ekspresinya yang kurang bersemangat.

Bulan Mei berlalu, kemudian Bulan Juni pun lewat, SK yang ditunggu tak kunjung keluar.

Awal Juli Besan saya mendapat kabar SK akan keluar akhir Juli. Kabar itu disertai janji kalau SK tidak keluar uang Rp.90 juta akan dikembalikan. Besan saya sudah punya rencana lain jika uang dikembalikan. Dia akan memberikan uang itu kepada menantu saya untuk modal usaha di pasar.

Sekarang bulan Juli sudah terlewati, janji oknum tersebut ternyata gombal belaka. Besan saya tak ada suaranya lagi. Baru tahu dia kalau sudah kena tipu.

Anak Singkong

Aku Anak Singkong, Engkau Anak Keju, Apa yang akan Kau Berikan Padaku? Demikian cuplikan syair lagu yang dilantunkan almarhum Arie Wibowo dan pernah popular di awal tahun 90-an.
Itu memang hanya sebuah lagu, tapi kenyataan tentang “Anak Singkong” ada di sekitar rumah saya. Anak-anak singkong. Mereka bekeliaran keluar rumah sejak pagi hingga petang. Anak-anak itu berusia dibawah 15 tahun, dan tak lagi bersekolah. Mereka mencari nafkah untuk membantu orang tua.
Lima tahun silam saya memutuskan pindah dari Kota Bandar Lampung ke sebuah desa di jalur Lintas Timur Trans Sumatera, Kabupaten Lampung Tengah. Daerah ini terkenal dengan produksi ubi kayu atau ketela pohon, atau bahasa awamnya – singkong.
Hampir di setiap kecamatan di kabupaten Lampung Tengah ini berdiri pabrik-pabrik pengolah tepung tapioka. Dan, di kabupaten ini pula berdiri perusahaan gula terbesar di Lampung (PT Gunung Madu Plantations), serta sebuah pabrik pengolahan nanas, PT Great Giant Pineapple (GGP). Kedua perusahaan raksasa ini memiliki kebun sendiri yang luasnya mencapai puluhan ribu hektar.
Kampung tempat tinggal saya sekarang tak jauh dari dua perusahaan tersebut. Bahkan, tak jauh dari rumah saya ada sebuah pabrik pengolah tebung tapioka yang berproduksi setiap hari. Dengan keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut, jadilah Kabupaten Lampung Tengah sebagai kabupaten kaya di Lampung.
Tetapi, hal itu ironi dengan kenyataan di sekeliling saya, banyak anak usia belasan tahun tidak bersekolah lagi karena orang tua tidak mampu. Di antara mereka ada yang putus sekolah saat kelas 4, kelas 5, dan kelas 6 SD. Ada yang lulus SD tapi tak bisa melanjutkan ke SMP. Ada pula yang bisa masuk SMP tapi putus saat kelas 2 atau ketika naik kelas 3.
Dan, anak-anak itu kemudian menjadi “Anak Singkong”. Mereka disebut “Anak Singkong” karena bekerja di ladang singkong sebagai buruh cabut atau buruh angkut. Upah mereka hanya separuh dari upah orang dewasa. Mungkin karena mereka bekerja bersama orang dewasa yang lebih kuat dan cekatan. Untuk upah muat singkong ke mobil mereka hanya dibayar Rp.10.000 sekali muat. Upah cabut hanya Rp.20.000 per-hektar.
Upah yang mereka dapat dari mencabut dan memuat singkong itu mereka bawa pulang untuk diberikan kepada ibu di rumah. “Untuk membantu belanja ibu,” kata Santori, 11 tahun, ketika ditanya untuk apa uangnya.
Sementara Riska, 14 tahun, sejak tahun ajaran baru 2011 tidak lagi sekolah. Dia berhenti saat naik kelas 6. Orangtuanya meminta dia tidak bersekolah lagi. Dia dianggap sudah kuat membantu orang tua mencari uang. Orangtuanya mengaku tak kuat lagi membiayai sekolah anaknya. “Gantian sama adiknya yang masih TK. Riska kan sudah bisa baca-tulis, sedang adiknya belum. Lagi pula biaya sekolah sekarang tinggi,” kata Pak Riswan, ayah Riska.
Sekolah SD memang tidak dikenakan SPP. Tetapi para guru cukup pintar membuat dalih untuk mengeruk uang dari siswa. Tiap hari ada saja alasan guru menyuruh siswa membawa uang ke sekolah, beli buku-lah, uang les-lah, beli sapu dan bermacam-macam alasan lain.
Hal itu, menurut Riswan dan para orang tua “Anak Singkong” lainnya merasa terbebani menyekolahkan anak. Sementara penghasilan mereka dari menjadi buruh relative kecil dan itu pun dibayar mingguan.
Selain mencari upahan mencabut dan memuat singkong. Anak-anak itu masih bisa mencari tambahan penghasilan dari lahan singkong tersebut dengan cara meleles. Meleles adalah sebutan untuk kegiatan mencari sisa-sisa umbi singkong di lahan yang baru saja dipanen. Biasanya masih tersisa cukup banyak singkong di lahan tersebut, dan anak-anak sangat menyukainya.
Singkong-singkong hasil lelesan tersebut dijual ke pengepul yang disebut Lapak Singkong. Harga jual singkong lelesan ini kisaran Rp.400 – Rp.500/kg, jauh dibawah harga normal yang mencapai Rp.700-Rp.800/kg. Cukup lumayan bagi anak-anak tersebut karena satu anak bisa memperoleh hasil lelesan 5 – 10 kg dalam 1 hektar lahan.
Tulisan ini belumlah menggambarkan keadaan sebenarnya secara utuh. Untuk memaparkan secara utuh harus ada reportase yang mendalam. Tetapi, paling tidak sketsa ini bisa menyibak sedikit kondisi riil di salah satu belahan Bumi Indonesia bahwa masih ada anak-anak bangsa yang putus sekolah karena alasan ekonomi.
Paling tidak apa yang saya tuliskan di atas sedikit menggambarkan bahwa keberadaan perusahaan-perusahaan besar atau kehadiran kapitalis di sebuh daerah, tidak otomatis mensejahterakan masyarakat setempat

Senin, 06 Desember 2010

Pemerintah Dipaksa Lakukan Konversi dari BBM ke BBG


Cara yang efektif untuk menekan anggaran subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), bukan dengan pelarangan pengunaan BBM bersubsidi untuk kendaraan
produksi tahun 2005 ke atas. Pemerintah seharusnya memperkuat infrastruktur Bahan Bakar Gas (BBG) untuk kepentingan kendaraan umum.

Demikian disampaikan Pengamat Perminyakan, Kurtubi dalam perbincangan dengan detikFinance di Jakarta, Minggu (28/11/2010).

"Pemerintah harus lakukan program lain, dengan meniru konversi minyak tanah ke elpiji yang telah sukses. Kebijakan konversi ini terbukti sudah banyak
yang dihemat. Ini bisa ditiru pada busway (mode transportasi Trans Jakarta), atau Bajaj yang pakai gas," ungkapnya.

Kurtubi menjelaskan, pemerintah juga harus konsentrasi dalam pembangunan infrastruktur pipa gas, bukan malah membatasi pemakaian BBM bersubsidi bagi
rakyat. Infrastuktur gas yang dimaksud adalah, penyambungan jalur pipa gas dari Tanjung Priok ke terminal Trans Jakarta, Bajaj ataupun Taxi berbahan
bakar gas.

"Jadi isi di tempat masing-masing. Di pool-nya. Tidak lagi menghambat lalu lintas, dan tidak perlu lagi mengantri di SPBBG. Jauh lebih bisa menghemat,"
paparnya.

Langkah ini juga mejadi contoh yang baik untuk masyarakat dan diharapkan lebih memanfaatkan transportasi umum. Tidak hanya itu, kendaraan pemerintah juga
diharapkan bisa mengkonversi bahan bakar mereka ke gas.

"Tahap selanjutnya, kendaraan pribadi ditawarkan secara sukarela untuk mengganti dari BBM ke BBG. Pemerintah kasih insentif berupa alat yang
diberikan secara gratis. Ini kan sama saja dengan mengkonversi gas. Juga bisa dilakukan dengan membangun SPBBG di area SPBU yang lahannya masih tersedia. Itu mungkin saja," imbuhnya.

Sebelumnya Menteri Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan pemerintah belum berniat mengajukan opsi pembatasan penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan mengalihkannya ke Bahan Bakar Gas (BBG) meski opsi tersebut sangat bagus. Hal ini karena belum tersedianya infrastruktur untuk menyediakan BBG.

"Kita semua setuju kalau gas yang ada semua kita mau pakai itu," ujar Hatta beberapa hari lalu.

Menurut Hatta, hal tersebut masih sulit dilakukan. Pasalnya, Indonesia belum memiliki infrastruktur untuk penyediaan gas sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk merealisasikan rencana pengalihan bahan bakar tersebut.

"Tapi kita memerlukan waktu yang lama untuk membangun infrastrukturnya, penyediaan gasnya, sekarang masih sangat terbatas. Kita masih memikirkan untuk industri, pupuk dan sebagainya. Tapi kita memikirkan itu," jelasnya.(sumber: detikfinance)

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto