Anak Singkong
Aku Anak Singkong, Engkau Anak Keju, Apa yang akan Kau Berikan Padaku? Demikian cuplikan syair lagu yang dilantunkan almarhum Arie Wibowo dan pernah popular di awal tahun 90-an.
Itu memang hanya sebuah lagu, tapi kenyataan
tentang “Anak Singkong” ada di sekitar rumah saya. Anak-anak singkong.
Mereka bekeliaran keluar rumah sejak pagi hingga petang. Anak-anak itu
berusia dibawah 15 tahun, dan tak lagi bersekolah. Mereka mencari nafkah
untuk membantu orang tua.
Lima tahun silam saya memutuskan pindah dari Kota
Bandar Lampung ke sebuah desa di jalur Lintas Timur Trans Sumatera,
Kabupaten Lampung Tengah. Daerah ini terkenal dengan produksi ubi kayu
atau ketela pohon, atau bahasa awamnya – singkong.
Hampir di setiap kecamatan di kabupaten Lampung
Tengah ini berdiri pabrik-pabrik pengolah tepung tapioka. Dan, di
kabupaten ini pula berdiri perusahaan gula terbesar di Lampung (PT
Gunung Madu Plantations), serta sebuah pabrik pengolahan nanas, PT Great
Giant Pineapple (GGP). Kedua perusahaan raksasa ini memiliki kebun
sendiri yang luasnya mencapai puluhan ribu hektar.
Kampung tempat tinggal saya sekarang tak jauh dari
dua perusahaan tersebut. Bahkan, tak jauh dari rumah saya ada sebuah
pabrik pengolah tebung tapioka yang berproduksi setiap hari. Dengan
keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut, jadilah Kabupaten Lampung
Tengah sebagai kabupaten kaya di Lampung.
Tetapi, hal itu ironi dengan kenyataan di
sekeliling saya, banyak anak usia belasan tahun tidak bersekolah lagi
karena orang tua tidak mampu. Di antara mereka ada yang putus sekolah
saat kelas 4, kelas 5, dan kelas 6 SD. Ada yang lulus SD tapi tak bisa
melanjutkan ke SMP. Ada pula yang bisa masuk SMP tapi putus saat kelas 2
atau ketika naik kelas 3.
Dan, anak-anak itu kemudian menjadi “Anak
Singkong”. Mereka disebut “Anak Singkong” karena bekerja di ladang
singkong sebagai buruh cabut atau buruh angkut. Upah mereka hanya
separuh dari upah orang dewasa. Mungkin karena mereka bekerja bersama
orang dewasa yang lebih kuat dan cekatan. Untuk upah muat singkong ke
mobil mereka hanya dibayar Rp.10.000 sekali muat. Upah cabut hanya
Rp.20.000 per-hektar.
Upah yang mereka dapat dari mencabut dan memuat
singkong itu mereka bawa pulang untuk diberikan kepada ibu di rumah.
“Untuk membantu belanja ibu,” kata Santori, 11 tahun, ketika ditanya
untuk apa uangnya.
Sementara Riska, 14 tahun, sejak tahun ajaran baru
2011 tidak lagi sekolah. Dia berhenti saat naik kelas 6. Orangtuanya
meminta dia tidak bersekolah lagi. Dia dianggap sudah kuat membantu
orang tua mencari uang. Orangtuanya mengaku tak kuat lagi membiayai
sekolah anaknya. “Gantian sama adiknya yang masih TK. Riska kan sudah
bisa baca-tulis, sedang adiknya belum. Lagi pula biaya sekolah sekarang
tinggi,” kata Pak Riswan, ayah Riska.
Sekolah SD memang tidak dikenakan SPP. Tetapi para
guru cukup pintar membuat dalih untuk mengeruk uang dari siswa. Tiap
hari ada saja alasan guru menyuruh siswa membawa uang ke sekolah, beli
buku-lah, uang les-lah, beli sapu dan bermacam-macam alasan lain.
Hal itu, menurut Riswan dan para orang tua “Anak
Singkong” lainnya merasa terbebani menyekolahkan anak. Sementara
penghasilan mereka dari menjadi buruh relative kecil dan itu pun dibayar
mingguan.
Selain mencari upahan mencabut dan memuat singkong.
Anak-anak itu masih bisa mencari tambahan penghasilan dari lahan
singkong tersebut dengan cara meleles. Meleles adalah
sebutan untuk kegiatan mencari sisa-sisa umbi singkong di lahan yang
baru saja dipanen. Biasanya masih tersisa cukup banyak singkong di lahan
tersebut, dan anak-anak sangat menyukainya.
Singkong-singkong hasil lelesan tersebut dijual ke pengepul yang disebut Lapak Singkong. Harga jual singkong lelesan
ini kisaran Rp.400 – Rp.500/kg, jauh dibawah harga normal yang mencapai
Rp.700-Rp.800/kg. Cukup lumayan bagi anak-anak tersebut karena satu
anak bisa memperoleh hasil lelesan 5 – 10 kg dalam 1 hektar lahan.
Tulisan ini belumlah menggambarkan keadaan
sebenarnya secara utuh. Untuk memaparkan secara utuh harus ada reportase
yang mendalam. Tetapi, paling tidak sketsa ini bisa menyibak sedikit
kondisi riil di salah satu belahan Bumi Indonesia bahwa masih ada
anak-anak bangsa yang putus sekolah karena alasan ekonomi.
Paling tidak apa yang saya tuliskan di atas sedikit
menggambarkan bahwa keberadaan perusahaan-perusahaan besar atau
kehadiran kapitalis di sebuh daerah, tidak otomatis mensejahterakan
masyarakat setempat
Posting Komentar