Jumat, 16 September 2011

10 Tahun untuk Mantan Bupati

Tuntutan hukuman 10 tahun penjara untuk mantan Bupati Lampung Tengah Andy Achmad Sampurnajaya. Tuntutan itu dibacakan Tim Jaksa Kejaksaan Tinggi Lampung dalam sidang di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Robert Simorangkir dan dua anggotanya Itong Isnaeni dan Ida Ratnawati, Rabu (14/9).
Mantan bupati yang juga penyanyi terkenal asal Terbanggibesar, Lampung Tengah, itu dituntut atas tuduhan korupsi dana APBD Lampung Tengah 2008, senilai Rp28 miliar.
Dalam persidangan ini, Andy Achmad didampingi dua kuasa hukum: Suyitno Landung (mantan Kabareskrim Polri) dan Yuzar Akuan (pengacara terkenal di Lampung).
Tim jaksa yang terdiri dari A. Kohar, Yusna Adia, Sri Aprilinda, dan Yosef membacakan tuntutan secara bergantian. Menurut Tim Jaksa, berdasarkan keterangan para saksi di persidangan, diantaranya Herman Hasbullah, Musawir Subing, Puncak (putra terdakwa), Andy Achmad terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakkan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
Atas kejahatannya itu, Andy Achmad dinyatakan telah melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dan ditambah dengan UU No.20/2001 jo Psal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dalam dakwaan subside.
Selain menuntut Andy Achmad hukuman 10 tahun penjara, Tim Jaksa juga menuntut terdakwa membayar denda Rp500 juta subside 6 bulan kurungan. Terdakwa juga diperintahkan membayar uang pengganti sebesar rp20,5 miliar. Uang pengganti dibayarkan sesuai dengan Pasal 136 ayat (1) dan (2) PP No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Menurut Jaksa, hal-hal yang memberatkan terdakwa tidak mengindahkan program pemerintah tentang aparatur negara yang bebas korupsi kolusi dan nepotisme (KKN). Sedangkan yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, bersikap sopan dan baik di persidangan, serta masih memilik tanggungan keluarga (istri dan anak).
Masyarakat Lampung meragukan persidangan kasus korupsi APBD Lampung Tengah ini berjalan fair. Ini mengingat proses pengusutan sampai persidangan berjalan sangat lambat. Bahkan pada akhir Juni lalu, ada yang berjumpa Andy Achmad di Bandara Radin Intan II Bandar Lampung untuk penerbangan ke Jakarta. Padahal, saat itu dia berstatus tahanan kota.
Belum lagi tuduhan yang ditimpakan kepada Andy Achmad dinilai tidak sesuai dengan fakta hukum. Dalam berita salah satu harian lokal disebutkan bahwa tuntutan jaksa terhadap Andy Achmad adalah bersalah karena memindahkan uang APBD 2008 senilai Rp.28 milir dari Bank Lampung ke Bank Tripanca.
Padahal, sebenarnya perkara itu adalah korupsi. Uang APBD Lampung Tengah dipergunakan oleh terdakwa untuk biaya pencalonannya dalam bursa pilgub Lampung.


Rabu, 14 September 2011

Mau Jadi Jurkam? Cuti Dulu Dong

Ini kisah dari Lampung, tiga kepala daerah menjadi juru kampanye pasangan calon bupati dan wakil bupati Pringsewu. Ketiga kepala daerah itu adalah: Gubernur Lampung Drs. Sjahroeddin ZP; Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza, dan; Bupati Tanggamus Bambang Kurniawan, ST.
Tapi sayang, ketiga kepala daerah ini mengabaikan peraturan harus cuti, sesuai dengan aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No 14/2004, yang menyebutkan keharusan mengajukan cuti bagi pejabat negara yang tidak menjadi calon kepala daerah (KDh) atau Wakil Kepala daerah tetapi ikut dalam pelaksanaan kampanye.
Sebagaimana dilansir salah satu harian lokal, Selasa (13/9), disebutkan bahwa ketiga kepala daerah itu berkampanye untuk pasangan Sujadi-Handitya yang diusung koalisi PDIP.
Secara politis, Sjachroedin Z.P. adalah ketua DPD PDIP Lampung dan Rycko menjabat wakil ketua Bidang Pemuda DPD PDIP Lampung. Secara kekerabatan, Sjachroedin adalah ayah kandung Handitya dan Rycko adalah kakak kandung Handitya.
Bambang Kurniawan juga akan berusaha memenangkan Sujadi yang secara struktural masih menjabat wakil bupati Tanggamus. “Mereka harus memiliki surat izin cuti saat menghadiri kampanye,” kata Ketua Pokja Pencalonan KPU Pringsewu M. Ilham, Selasa (13-9).
Dia menilai kampanye Bambang di Sukoharjo dua hari lalu termasuk pelanggaran karena Bambang tidak menunjukkan surat cuti. Ia juga mempersoalkan panwas sebab tidak melaporkan pelanggaran tersebut.
KPU tidak bisa mengeluarkan surat peringatan karena mekanismenya harus ada laporan dari panwas terlebih dulu. “Jika nantinya pasangan ini menang, tentu akan ada gugatan yang bisa mengakibatkan pemilihan ulang,” ujarnya.
Ketua Pokja Kampanye KPU Pringsewu Andreas Andoyo menjelaskan Sjachroedin, Rycko, dan Bambang tidak menunjukkan surat cuti selama menjadi tim kampanye. “Panwasnya juga tidak melaporkan pelanggaran itu,” kata Andreas.
Menanggapi hal itu, Ketua Panwas Pringsewu Fatoni mengatakan pihaknya sudah meminta ketiga pejabat itu menunjukkan surat cuti. “Saya sudah meminta mereka membuat surat cuti. Kemarin kan baru hari pertama kampanye, jadi baru hari ini saya meminta agar surat cuti dibuat,” ujar dia.
Belajar dari Sumsel
Ketiga pejabat di Lampung tersebut seharusnya belajar dari Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin. Kepala daerah yang terkenal dengan program-program humanisnya itu mengajukan cuti sebelum berkampanye untuk calon bupati Banyu Asin.
Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin resmi mengajukan cuti jabatan selama 15 hari terhitung mulai hari ini.
Cuti kerja ini terkait statusnya sebagai salah satu juru kampanye Pilkada Musi Banyuasin (Muba) untuk pasangan Dodi Reza Alex-Islan Hanura yang diusung oleh Partai Golkar.
Seperti diketahui Dodi Reza Alex merupakan putra sulung Alex Noerdin yang juga Ketua DPD Partai Golkar Sumsel. Noerdin menyerahkan jalannya kepada Wakil Gubernur Eddy Yusuf dan Sekdaprov Sumsel Yusri Effendy Ibrahim.
“Terkait Pak Gubernur sebagai salah satu ketua partai, di mana partainya salah satu partai yang mengusung calon bupati dan wakil bupati Muba, maka pak gubernur mengajukan cuti. Izin cuti Pak Gubernur sudah disetujui Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang ditandatangani suratnya 9 September 2011,” kata Rizali, Kepala Biro Otonomi Daerah, Jumat (9/9/2011).
Menurut Rizali, langkah ini sudah sesuai dengan aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No 14/2004 yang menyebutkan keharusan mengajukan cuti bagi pejabat negara yang tidak menjadi calon kepala daerah (KDh) atau Wakil Kepala daerah tetapi ikut dalam pelaksanaan kampanye,
“Dukungan ini terkait dengan dukungan partai. Tetapi, jika ada kepala daerah ikut kampanye dan tidak ada kaitan dengan partai, jelas menyalahi aturan,” jelas Rizali.

Sssst Ada….di Ambon

Berita terakhir (12/9), yang saya baca di media online menyebutkan situasi Kota Ambon mulai kondusif. Mabes
Polri telah mengirim pasukan tambahan dari Satuan Brimob Polda Jawa Timur. Entahlah, kondisi
sebenarnya benar-benar kondusif atau “kondusif”?.
Kasus kerusuhan Ambon ini dipicu tewasnya seorang tukang ojek akibat kecelakaan.
Ada sinyalemen bahwa ada provokator di balik peristiwa kerusuhan itu. Menurut Kadiv Humas Mabes
Polri Irjan. Pol.Anton Bahrul Alam, Polri telah menelusuri SMS provokator yang membuat warga
terpancing.
Dalam setiap peristiwa kerusuhan, bentrok warga atau amuk massa, sudah pasti ada provokatornya.
Peristiwa seperti itu tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Sebuah peristiwa kecelakaan tak akan
meledak menjadi kerusuhan bila tak ada yang menyulut emosi massa.
Saya ingat ucapan seorang jenderal polisi ketika berjumpa saya tahun 1997, di Jakarta. Ia
mengatakan, “Dimana ada kerumunan massa, di situ berpotensi terjadi kerusuhan. Membakar emosi massa
itu sangat gampang,” katanya.
Sang jenderal bicara dalam posisi sebagai aparat keamanan. Menurut dia, aparat haruslah pandai
membaca situasi dan kondisi, melakukan analisis dan membuat perkiraan keadaan sebagai bahan laporan
kepada pimpinan agar bisa mengambil tindakan yang tepat.
Bila kita lihat dari kacamata berlawanan dari Sang Jenderal, seorang provokator bekerja juga
berdasarkan analisis keadaan. Dia membaca situasi dan kondisi, dan menunggu momentum untuk
memanfaatkannya.
Apa yang dilakukan oleh seorang provokator adalah hal biasa, dan merupakan salah satu keterampilan
seorang intelijen. Ada istilah pra-kondisi dan menciptakan kondisi. Kondisi pro dan kontra bisa
diciptakan oleh seorang intelijen tanpa harus melakukan rekayasa, tetapi dengan memanfaatkan
peristiwa di sekitar. Dan, intelijen bekerja atas perintah atasan. Atasan tertinggi intelijen-lah
yang tahu kemana muara  yang dituju untuk sebuah peristiwa. Setiap peristiwa tidak berdiri sendiri,
pasti ada hubungannya dengan peristiwa-peristiwa lain dan punya tujuan spesifik.
Saya tidak perlu terlalu dalam mengulas masalah intelijen, karena bukan itu tujuan tulisan ini
dibuat. Ini hanya sebagai mata pisau analisa saja terhadap peristiwa Ambon berdasarkan apa yang
diungkapkan Kadiv Humas Mabes Polri bahwa ada provokator dibalik peristiwa Ambon.
Nah, jika betul ada provokator, lantas pertanyaannya adalah :
siapakah yang berkepentingan atasadanya kerusuhan di Ambon? Karena provokator tidak mungkin bekerja
atas keinginan sendiri, diapasti mendapat sesuatu dari peristiwa itu, mendapat upah misalnya.
Siapa yang menangguk keuntungan? Jika tidak ada keuntungan untuk apa seseorang, kelompok, atau
kekuatan tertentu menciptakan kerusuhan di Ambon.
Terus apa target jangka pendek dan jangka panjangnya?
Apakah berkaitan dengan kepentingan politik Pusat?
Apakah berkaitan dengan kepentingan politik Lokal?
Apakah berkaitan dengan kepentingan financial?
Atau ada tangan asing yang bermain untuk menggoyang kedaulatan RI?
Jika semua pertanyaan tersebut tidak benar,lantas apa tujuan si provokator memancing kerusuhan?
Apapun alasannya dan apapun tujuannya, yang jelas saudara-saudara kita di Ambon sudah menjadi
korban.
Bentrok Ambon pecah Minggu (11-9) siang. Bentrokan disebabkan SMS provokatif yang disebarkan karena
kasus meninggalnya seorang tukang ojek akibat kecelakaan.
Polri menyebut 3 orang meninggal dunia, 24 luka berat dan 65 luka-luka. 3 Rumah, 4 motor dan 2
mobil rusak akibat bentrokan tersebut.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto