Rabu, 26 Oktober 2011

Lingkaran Setan Pungli di Lintas Sumatera

Nasib pengemudi truk di Jalan Lintas Trans Sumatera (Jalinsum) sepanjang perjalanannya tak pernah lepas dari pungutan liar (pungli). Pungli biasa dilakukan oknum-oknum aparat Negara baik atas nama pribadi maupun instusi. Ada yang melakukannya perorangan, ada pula bersama-sama. Para sopir truk-lah korbannya.

Pungli di jalanan sudah ada sejak dulu, bahkan sebelum jalan trans sumatera dibuat. Setelah ruas jalan yang membelah Pulau Sumatera dari Lampung sampai Aceh itu ada, pungli makin menjadi-jadi. Ini bukan rahasia lagi. Dari dulu sampai sekarang korbannya selalu para sopir truk.

Para sopir truk tak kuasa lepas dari ulah oknum nakal dijalanan, karena mereka memang tak punya daya. Apa pun alasan yang diutarakan para sopir truk kepada petugas di jalanan agar tidak kena pungli, tetap saja mereka diperas. Berbagai alasan memojokkan para sopir jadi senjata ampuh aparat untuk melumpuhkan perlawanan mereka. Muatan berlebih, spion rusak, lampu sein tak berfungsi, sampai pentil ban pun dipersoalkan untuk melemahkan posisi sopir.

Asdison, pengemudi truk asal Kota Padang, Kamis (6/10/01), mengungkapkan, perjalanan dari Lampung ke Padang bisa menghabiskan uang Rp.2 juta hanya untuk ‘mel’ kepada aparat di jalanan. Yang paling besar, katanya, setor di jembatan timbang rata-rata Rp.350 ribu per jembatan timbang. 

Dari Lampung ke Padang dia bisa melewati empat jembatan timbang, diantaranya di Pematang Panggang (perbatasan Lampung-Sumsel) dan perbatasan Sumsel – Jambi. Ada dua jembatan timbang lagi yang harus dilewati dari Jambi ke Padang. Hanya untuk jembatan timbang saja dia harus merogoh kocek sebesar Rp.1,4 juta. Jumlah itu bisa lebih besar bila para petugas jembatan timbang “rewel” mempersoalkan muatan berlebih.

Yang tidak bisa diabaikan adalah para oknum polisi lalulintas dan PJR (Patroli Jalan Raya). “Asal truk ada muatan, sudah pasti mereka minta uang,” ungkap Ijal, sopir truk lainnya kepada penulis. “Sepuluh ribu sampai duapuluh ribu kita lempar di jalan untuk mereka,” tambahnya.

Menurut Ijal, tak jarang mereka harus tawar-menawar dengan petugas. “Kalau ketemu petugas yang “ganas” mereka bisa minta Rp.50 ribu. Kita tawar Rp.10 ribu atau Rp.20 ribu,” ungkap Ijal. Ada juga petugas yang marah karena ditawar dan mengancam akan mengkandangkan mobil.

“Kalau sudah begitu kita menyerah sajalah, ujung-ujungnya duit juga. Dari pada kita kehilangan waktu berurusan dengan mereka kita kasih saja uang yang mereka minta,” papar Ijal. 

Lantas, uang siapa yang mereka berikan kepada petugas tersebut? “Itu uang kami sendiri. Uang jalan dari boss. Kami hanya kebagian sisa-sisanya saja,” tutur Asdison. Polisi mana mau tau hal itu. Mereka mengatakan, “Itu resiko kamu”, kata Asdison tentang duka di jalan lintas Sumatera.

“Para polisi itu hanya bisa menyalahkan kami para sopir, padahal kami ini hanya menjalankan perintah boss. Boss memerintahkan bawa muatan 30 ton, ya kami bawa. Kami tahu itu melebihi kapasitas angkut, tapi mau apa? Kami khan hanya anakbuah yang digaji. Kalau menolak kami bisa dipecat. Sementara resiko di jalan kami sendiri yang menanggung,” papar Asdison dengan dialek minangnya.

Pungli di Jalan Lintas Sumatera ini sulit diberantas karena sulit menemukan ujung dan pangkalnya. Perkara ini seperti lingkaran setan. Di sini terlibat para cukong pemilik armada truk yang ingin untung besar dengan muatan sebanyak-banyaknya, para sopir yang butuh pekerjaan, oknum petugas butuh uang tambahan. Semua saling membutuhkan. 

Memutus mata rantai pungli di jalan raya tidak semudah membalik telapak tangan. Upaya pemerintah, khususnya Mabes Polri tidak kurang-kurang, tetapi oknum di lapangan tidak ada yang mengontrol. Semuanya mengatasnamakan undang-undang dan peraturan, padahal tindakan mereka justru melanggar undang-undang dan peraturan itu sendiri.

Jalur Maut Lintas Sumatera

Berita tentang korban kecelakaan lalulintas di jalur lintas Trans Sumatera bukan lagi hal aneh. Hampir tiap hari kecelakaan lalulintas yang menelan korban jiwa terjadi di ruas jalan yang membentang dari Bakauheni Lampung hingga ke Aceh itu.

Korban kecelakaan pada umumnya para pengendara sepeda motor, warung atau rumah di tepi jalan, bahkan pejalan kaki. Jumlah tertinggi adalah pengendara sepeda motor.

Yang menyedihkan adalah kejadian tabrak lari. Pelakunya biasanya pengendara kendaraan roda empat, dan korbannya pengendara sepeda motor. Korbannya ditinggalkan tergeletak begitu saja di jalan, sementara pelaku tancap gas.

Beberapa pekan lalu, seorang pelajar SMKN I Terusan Nunyai, Lampung Tengah, menjadi korban tabrak lari di ruas Jalan Lintas Timur Bandarjaya - Menggala. Peristiwa itu terjadi tengah hari ketika korban pulang sekolah mengendarai sepeda motor dari Kampung Gunungbatin Udik ke Kampung Gunungagung, Kecamatan Terusan Nunyai, Lampung Tengah.

Korban memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi dan berusaha mendahului sebuah truk fuso di depannya. Dalam waktu bersamaan dari arah berlawanan meluncur sebuah kijang - juga dengan kecepatan tinggi. Pengendara sepeda motor bernama Hasan itu tak dapat menghindar, dia diserempet kijang, lalu terpental bergulingan di jalan. Akibatnya cukup tragis, jari telunjuk kanannya putus dan luka memenuhi sekujur tubuh dan lengan kiri-kanan.

Tanpa mempedulikan korban yang terkapar di jalan pengendara kijang langsung tancap gas menuju arah Menggala, Kabupaten Tulangbawang. Untung ada orang berbaik hati menolong Hasan dan membawanya ke Puskesmas Bandaragung untuk menerima pertolongan pertama.

Keesokan harinya ayah si Hasan bernama Pak Udin mengalami hal serupa, tetapi di tempat beda meskipun sama-sama di jalan lintas sumatera. Ketika hendak pulang ke rumah setelah mengurus anaknya di Rumah Sakit Umum Abdoel Moeloek Bandar Lampung, Pak Udin diserempet orang tak dikenal di Hajimena, Natar, Kabupaten Lampung Selatan.

Akibat peristiwa itu, sepeda motor dinas pelat merah yang dikendarainya rusak parah, sementara Pak Udin luka-luka di kaki. Dia mengaku diserempet mobil dari belakang. Mobil yang menyerempet pun melarikan diri.

“Yang saya sedihkan warga sekitar yang melihat kejadian itu, tidak tergerak membantu,” kata Pak Udin. Warga hanya melihat dari rumah masing-masing, tambahnya.

“Terdapat 29 titik rawan kecelakaan di Lampung yang juga merupakan jalan lintas Sumatera,” kata Kepala Biro Operasi Polda Lampung, Kombes Rahyono di Bandarlampung, Jumat (5/8).

Titik-titik rawan kecelakan lalu lintas itu, yakni wilayah Kabupaten Waykanan di Desa Negeri Baru, tepatnya kilometer 198-199, kemudian di Kabupaten Lampung Utara kilometer 140-142 Abung Barat, Abung Selatan (Km 122-124), Blambangan Pasir (Km 94-95) dan Gunung Panggung (Km 54-56).
Kemudian, Kabupaten Lampung Barat di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) kilometer 86, Marang Pesisir (Km 23) dan Bengkunat (Km 87).

Selanjutnya, Kabupaten Tanggamus sekitar Gisting (Km 77-78), Tanjung Pugung (Km 62-64), Gading Rejo (Km 33-35) dan Pagelaran (Km 44-51), di Bandarlampung Jl Antasari, Jl Sultan Agung, Jl Yos Sudarso dan Jl Soekarno-Hatta.

Untuk Kabupaten Tulangbawang, kawasan rawan kecelakaan terdapat di Simpang Mesuji (Km 180), Menggala Timur (Km 128-132), sedangkan daerah rawan kecelakaan di Kabupaten Lampung Timur, yakni Way Bungur (Km 95), Mataram Baru (Km 105) dan Labuhan Ratu (Km 135).

Kabupaten Lampung Tengah, yakni Gunung Sugih (Km 88-89), Terbanggi Besar (Km 57-59) dan Panggungan (Km 54-56).

Sementara itu, di Kabupaten Lampung Selatan, titik rawan kecelakaan, yakni di Jl A Yani Gedung Tataan, Rangai Tarahan (Km 16-17), Wayharong Kalianda (Km 50-51) dan Bakauheni (Km 81-81).

Di Lampung terdapat empat ruas jalur lintas Trans Sumatera, yakni: Lintas Timur (menghubungakan Terbanggibesar Lampung Tengah - Palembang - Jambi dst), Lintas Tengah (Terbanggibesar Lampung Tengah - Martapura Sumsel - Baturaja - Muaraenim - Lahat), Lintas Barat (kabupaten Tanggamus Lampung - Krui Lampung Barat - Bengkulu) melintasi Pantai Barat Pulau Sumatera, terakhir Lintas Pantai Timur (Bakauheni - Menggala).

KPK Mau Dibubarkan? Nanti Dulu

Wacana yang dilontarkan anggota DPR-RI dari Fraksi PKS, Fachri Hamzah, yang menginginkan KPK dibubarkan,tidak perlu digubris. Itu adalah wacana tidak masuk akal.

Pada saat negara kita tengah dilanda demam korupsi, dan pengganyangan korupsi tengah gencar dilakukan KPK, Fahri Hamzah malah melontarkan pemikiran yang berlawanan dengan keinginan rakyat. Pernyataan itu tidak pantas dilontarkan oleh seorang anggota Dewan yang terhormat, apalagi dari PKS, yang terkenal menjunjung tinggi moral.

Yang lebih mengejutkan lagi, Partai PKS justru mendukung pernyataan kadernya itu.

Timbul pertanyaan mengapa Fahri Hamzah dan PKS menginginkan KPK dibubarkan? Apa karena kadernya ada yang terlibat korupsi? Atau mungkin partai tsb ikut menikmati uang-uang kotor dari para koruptor?

Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang kepada Detik.com, Selasa (4/9/01), mengatakan  pernyataan Fahri itu tidak akan mendapat perhatian dan dukungan dari publik.

Menurut Salang, saat ini publik masih percaya pada KPK dalam hal pemberantasan korupsi ketimbang Polri dan Kejaksaan Agung. Keberadaan KPK dinilai penting, untuk membersihkan negeri ini dari para koruptor.
Publik mendukung KPK. Dengan catatan KPK bekerja profesional, tidak tebang pilih dan serius membongkar mafia anggaran, kata Sebastian Salang.

Salang menilai, pernyataan Fahri terkesan emosional. Dia juga melihat itu sebagai pendapat pribadi bukan mengatasnamakan partai.

Mungkin saja pernyataan Fahri itu didorong oleh kekecewaannya, karena menilai KPK terlalu lamban menjalankan tugasnya dan terkesan tebang-pilih.

Adanya wacana semacam itu hendaknya tidak membuat KPK terganggu. Sebagai benteng terakhir pemberantasan korupsi, masyarakat menaruh harapan besar terhadap KPK.
Ada-ada saja.

Jabatkan Tangan, Sucikan Hati


 Adzan penanda shalat Isya’ baru saja berkumandang dari Masjid Al Ikhlas Perumahan II PT. GMP, para tamu sudah berdatangan ke Gedung Grha Swagata Gurna (GSG). Hari ini adalah Jumat , 23 September, malam Sabtu, di GSG ada acara makan malam, yang diselenggarakan Factory Departement PT. Gunung Madu Plantations. 

Di barisan kursi paling depan terlihat sudah hadir General Manager PT. GMP, H.M. Jimmy Mahshun, didampingi Kadep Factory, Alex Kesaulya dan para kepala divisi (Ir.H. Desmal Zainuddin serta H. Yuliastono, ST), Pak Syamsani, dan Pak Paul.

Masih di barisan depan berjarak 1 meter dari kursi para manager, tampak para pengurus IIK lingkup Departemen Factory. Diantaranya, Ny. Desmal , Ny. Yuliastono, Ny. Syamsani dll.

Ketika penulis  tiba di dalam gedung, masih banyak kursi di bagian belakang yang belum terisi. Meskipun demikian, hiburan tunggal tetap berjalan. Yang tampil sebagai penghibur pada malam itu adalah grup nasyid Galaxi dari Unila, Bandar Lampung. Grup ini hanya terdiri dari 4 personil, semuanya mahasiswa Universitas Lampung.

Lagu-lagu yang mereka bawakan semuanya bernuansa islami, yang diambil dari berbagai album lagu religius di Tanah Air. Lagu-lagu yang mereka bawakan semuanya klop dengan suasana malam itu, yakni halal bihalal, saling memaafkan untuk mencapai kebersihan hati.

Seirng berputar waktu, tamu pun makin banyak berdatangan. Satu demi satu tempat duduk mulai terisi. Suasana gedung kian ramai. Nuansa kekeluargaan sangat kental terasa, apalagi para karyawan dan staf masing-masing datang bersama keluarga.

Di jajaran Perusahaan PT. GMP, khususnya tingkat departemen, Factory yang terakhir menyelenggarakan acara halal bihalal. Departemen lain seperti SBF, Plantations, dan R&D sudah lebih dahulu menyelenggarakan halal bihalal. Satu minggu sebelum Departemen Factory ini, Departemen R&D mengadakan halal bihalal di Site A, yang dipusatkan di halaman LSTC (Lampung Sugar Training Centre).

Setelah mendengarkan lantunan suara grup nasyid Galaxi yang membawakan beberapa judul lagu religi, pembawa acara mengumumkan bahwa acara pokok segera dimulai. Sang Pembawa Acara pun kemudian membuka acara dengan bacaan basmalah. Mata acara berikutnya adalah sambutan Kepala Departemen Factory, Alex Kesaulya.

Pak Alex menyampaikan betapa pentingnya saling memaafkan antara sesam rekan kerja, atasan memaafkan bawahan, bawahan memaafkan atasan. “Mari berjabat tangan dan sucikan hati, untuk meraih kesuksesan dalam kebersamaan,” katanya kepada seluruh jajaran Departemen Factory.

Menurut Pak Alex, kekompakan para karyawan, staf, dan pimpinan menjadi modal dasar untuk mencapai target produksi. Karena keberhasilan yang dicapai salama ini adalah berkat kekompakan semua elemen yang ada. 

“Tanpa ada kekompakan, maka jangan berharap target bisa tercapai,” tegas Pak Alex dalam sambutan singkatnya.

Acara halal bihalal Departemen Factory ini bertema “Jabatkan Tangan, Sucikan Hati. Raih Kesuksesan dalam Kebersamaan”.

Usai mendengarkan sambutan Kepala Departemen Factory, Alex Kesaulya, acara berlanjut ke ceramah agama sekaligus doa. Pada malam itu, pihak panitia menghadirkan K.H. Imam Rofi’I dari Kota Metro sebagai penceramah. 

K.H. Imam Rofi’I dalam ceramahnya mengajak para hadirin mengenali penyakit hati, yakni: sombong, ujub (riya’), iri dan dengki, pelit (kikir), dan pemarah.

“Allah melarang kita iri pada yang lain karena rezeki yang mereka dapat itu sesuai dengan usaha mereka dan juga sudah jadi ketentuan Allah,” kata K.H. Imam Rofi’i.

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [An Nisaa’ 32].

Dengki lebih parah dari iri. Orang yang dengki ini merasa susah jika melihat orang lain senang. Dan merasa senang jika orang lain susah. Tak jarang dia berusaha mencelakakan orang yang dia dengki baik dengan lisan, tulisan, atau pun perbuatan. Oleh karena itu Allah menyuruh kita berlindung dari kejahatan orang yang dengki.

Jumat, 07 Oktober 2011

Kisah Para Penjaga Gerbang

“Selamat pagi, Pak? Ada yang bisa dibantu?” 

Sapaan ramah itu meluncur dari Pak Kahartono, anggota Satpam Pos Maingate (gerbang utama)  PT Gunung Madu Plantations seraya memberi hormat kepada seorang tamu, pengendara mobil pribadi. 

Si tamu yang sejak mendekati pos maingate sudah menurunkan kaca pintu mobilnya, tersenyum sambil memberitahu keperluannya. Setelah memberi petunjuk arah yang harus dituju, Pak Kahar pun meminta si pengendara mobil menitipkan SIM di pos. “Mohon SIM-nya ditinggal di pos, Pak,” kata Pak Kahar ramah.

Kesiapan, kesigapan, dan keramahan melayani tamu-tamu yang masuk ke PT. Gunung Madu Plantations, Lampung Tengah, sudah menjadi keseharian para petugas Satpam di pos Maingate. Sopan dan ramah sudah menjadi performance wajib petugas di pos ini. Selain itu, mereka juga dituntut selalu berpenampilan rapi dengan wajah berseri. Tak peduli di rumah ada masalah atau tidak, yang penting ketika tiba di pos, anggota harus menunjukkan sikap ramah dan bersahabat.

“Orang yang kami layani bermacam ragam karakternya. Latar belakang sosialnya pun berbeda,” kata Kepala Unit Satpam Research & Development (R&D) yang membawahi Pos Maingate, Tri Sujatmiko. Dia menggambarkan, tak jarang tamu yang datang adalah pejabat, orang berpangkat, bahkan petugas keamanan. Suka duka mereka rasakan setiap hari di pos ini ketika berhadapan dengan bermacam karakter orang.

“Tugas kami di sini melayani, tetapi kami juga harus menjalankan peraturan yang ada,” kata Pak Mulyanto, Wakanit Satpam R&D. Karena itu pula, kata Pak Mul, dalam menjalankan tugas mereka sering berhadapan dengan orang yang minta dilayani, tetapi mengabaikan peraturan.

“Suatu kali ada tamu marah-marah ketika ditanya tujuannya dan diminta menitipkan SIM di Pos. Sambil mengisap cangklong orang itu ngomel-ngomel, menyalahkan perusahaan yang banyak birokrasi,” kata Pak Mul. 

“Padahal, kita menanyakan tujuannya untuk memudahkan para tamu juga. Kalau tahu tujuannya, kita bisa membantu menunjukkan arah,” kata Tri Sujatmiko menyambung ucapan Pak Mul.

Yang repot, timpal Kahartono, menghadapi tamu yang mengaku kenal sama pimpinan, tetapi dia tidak bersedia mengikuti peraturan kita. “Ditanya mau kemana, dia marah. Diminta SIM, dia membentak,” kata Kahar. Padahal, tambah Kahar, kalau si tamu tersesat di dalam, yang dimarahi ya petugas di Pos Maingate karena dianggap tidak melayani tamu dengan baik.

Kerepotan sering terjadi ketika melayani para sopir yang mengambil SIM. Para sopir biasa menyuruh kernetnya mengambil SIM di pos, biasanya mereka terburu-buru jika hendak keluar Maingate. Di sini sering terjadi masalah. SIM tertukar karena kesamaan nama. 

Pengalaman pahit pernah dialami Pak Mul dan Marwan Balau lantaran ada SIM tertukar. Pak Mul suatu hari harus berangkat ke Bandar Lampung, menyusul sopir truk gula yang membawa SIM orang lain. “Ketika saya tiba di rumah si sopir di Bandar Lampung, orangnya sudah berangkat ke Jakarta membawa SIM yang tertukar itu,” kata Pak Mul terkekeh mengenang pengalamannya.

Hal serupa juga dialami Marwan Balau, meskipun tidak seberat Pak Mul. Ketika dia bertugas mencatat tamu keluar-masuk, ada SIM yang tertukar. “Untungnya sopir yang lebih dulu keluar itu, rumahnya di Yukum. Saya susul ke rumahnya, Alhamdulillah ketemu,” kenang Marwan tersenyum.

“Dibalik suka dan duka bertugas di Pos Maingate, terselip kisah-kisah lucu meskipun kadang menjengkelkan,” kata Tri Sujatmiko.

Suatu ketika ada tamu datang ke pos. Dia melapor ingin ke rumah familinya bernama si “A”. Menurut tamu tadi, familinya itu minta dia menyebutkan namanya di pos satpam, anggota satpam pasti tahu. Nama yang disebut itu, di Gunung Madu ini, kata Tri Sujatmiko ada hampir 20 orang. “Kita bingung, siapa yang dimaksud?” tuturnya.

Yang sering pula terjadi dan dialami hampir semua anggota satpam di Maingate adalah telepon tanpa identitas. Yang dimaksud telepon tanpa identitas adalah ada yang nelpon ke pos tanpa menyebutkan nama dan dari mana.

“Telpon bordering, ketika diangkat dari seberang terdengar suara ‘Pak, anak saya sudah sampai belum di sana?’. Kita bingung menjawabnya, anak yang mana yang dimaksud? Ketika ditanya dari siapa, telpon sudah ditutup,” kata Marwan Balau menceritakan pengalamannya.

Ada juga yang melalui telepon menitipkan anaknya agar dicarikan tumpangan masuk ke housing, kata Tri Sujatmiko. “Yang mau dicarikan tumpangan siapa? Di sini banyak sekali orang, dan dia sendiri tidak member tahu dirinya siapa?” kata Kanit Satpam R&D itu. 

“Mereka menyangka satpam di Post Maingate ini kenal semua orang di dalam,” katanya sambil terkekeh.
Kalau soal sukanya bertugas di Pos Maingate, kata Pak Mul, banyak juga sukanya. Ada isteri manajer yang kalau keluar atau masuk selalu memberi buah kepada satpam di sini. 

“Isteri Pak Sutarto sering member kami buah,” kata Pak Mul. Ada juga pedagang makanan yang bermurah hari membagi sedikit dagangannya. Ada pisang goring, kerupuk, kue, bahkan kacang goreng. Cukuplah untuk teman minum kopi.

Satpam di Pos Maingate ini berjumlah 14 orang, termasuk kanit dan wakanit. Mereka dibagi dalam tiga regu: Regu A (Sugondo, Deni Sumpena, Ah. Nahrowi, Yuslihun), Regu B (Gunawan B, Joni Mawardi, Supriyono, Agustinus Robert W), Regu C (Kahartono, Roni Wakasala, Marwan Balau, B.J. Hunter Simamora).

Selamat Pagi

Pagi ini udara terasa lebih segar dibanding kemarin, setidaknya di tempat saya. Matahari bersinar terang tanpa penghalang. Suasana cerah ini saya rasakan mungkin karena pagi ini saya berada di perumahan di tengah-tengah areal perkebunan tebu.

Perumahan di sini ditata lebih asri dengan pepohonan yang sengaja ditanam untuk mengimbangi polusi udara pabrik gula dan debu. Jumlah populasi pepohonan di komplek perumahan ini jauh lebih banyak dibanding jumlah rumah. Belum lagi rumput-rumput hijau yang tumbuh di perkantoran, pekarangan rumah, dan lapangan sepakbola, yang membuat segar udara dan pemandangan. Rerumputan itu tetap hijau meskipun musim kemarau, karena setiap pagi, siang dan sore disiram air.

Meskipun kemarau di sini tidak pernah kekurangan air. Banyak lebung (rawa) yang dijadikan tandon air, sehingga air tetap melimpah meskipun kemarau panjang.

Tempat itu dinamakan Perumahan 2 PT. Gunung Madu Plantations. Dinamakan Perumahan 2, karena PT. Gunung Madu Plantations atau PT. GMP memiliki 6 perumahan. Ke-tujuh perumahan itu adalah: Perumahan Site A, Perumahan 1, Perumahan 2, Perumahan 3, Perumahan 4, dan Perumahan 6. Perumahan 2 adalah “ibukota”-nya PT. GMP. Di Perumahan 2 ini berdiri pabrik gula, Kantor Pusat Manajemen. General Manager dan tiga kepala departemen berkantor di Perumahan 2.

Pagi ini sebenarnya saya tidak puny ide menulis. Kalau pun tulisan ini saya buat dan saya tayangkan di kompasiana, itu untuk memenuhi target menulis saya. Saya membuat target untuk diri sendiri untuk menulis setiap hari. Hitung-hitung berlatih agar kemampuan menulis tidak hilang. Siapa tahu ada kompanianer yang memberi pencerahan melalui komentarnya dan bisa saya jadikan pemacu semangat.

Saya jadi ingat salah satu tulisan Pak Jonru di kursus menulis.com, bahwa menulis itu bukanlah teori, tetapi praktek. Tulis saja apa yang ingin ditulis, tidak perlu banyak berpikir. Soal kesalahan kata atau kalimat bisa diperbaiki setelah selesai menulis. Begitulah kira-kira panduannya.

Memang betul apa yang dikatakan Pak Jonru dalam tulisannya bahwa menulis adalah tindakan. Jika kita terlalu banyak berpikir dan banyak pertimbangan,maka jangan harap tulisan itu akan jadi. Pada mulanya kita memang dihantui rasa takut untuk menulis: takut dicela, takut tulisannya jelek, takut ditertawakan dll.

Rasa takut seperti itu merupakan penghalang-penghalang yang harus kita singkirkan dari pikiran kita. Jika tidak, kita tidak akan pernah menjadi penulis. Bagaimana bisa menulis, belum apa-apa sudah digayuti rasa takut dan cemas. Padahal, apa yang kita cemaskan itu belum tentu jadi kenyataan. Kalaupun ada kritikan atau celaan, itu bisa kita jadikan doping pemacu semangat menulis kita. Perbaiki apa yang salah, lalu menulis lagi.

Tulisan ini bukanlah sebuah tips, tetapi hanya sekedar sharing. Saya beritahu kepada Anda sekalian bahwa saya sangat berterimakasih kepada Kompas yang meluncurkan produknya: kompasiana. Melalui kompasiana saya bisa menyalurkan hobi menulis. Saya puas karena tulisan yang diupload ke kompasiana pasti dimuat dan dibaca orang.

Sejak saya menulis di kompasiana beban pikiran dan batin saya menjadi enteng. Saya merasa lebih sehat dari sebelumnya. Derita karena penyakit asma yang mendera saya sejak bulan Maret 2011 sedikit-demi sedikit berkurang karena saya menulis di kompasiana. Stress hilang karena saya menulis

Kematian


Misterikah kematian? Bukan! Kematian bukan sebuah misteri, tetapi suatu kepastian dan nyata. Seperti disebutkan dalam kitab suci bahwa setiap yang mempunyai nyawa pasti mati. Saya, kamu, dan semua mahluk hidup di muka bumi ini, pasti mati.

Yang menjadi misteri bukanlah kematian, tetapi kapan kematian itu datang. Kita tidak tahu kapan ajal menjemput. Yang tua belum tentu lebih cepat mati dari yang muda. Jika ada yang berani mengatakan bahwa dia tahu kapan seseorang akan mati. Maka, orang itu adalah pembohong. Disebutkan di dalam Al Quran, bahwa rejeki, jodoh, dan maut adalah mutlak hanya Allah yang tahu.

Hari Sabtu (24/9/2011), salah satu warga di kampung saya mendapat musibah ditinggal mati puterinya sematawayang. Anak berusia 4 bulan itu meninggal lantaran diare yang sudah diderita selama empat hari.
Ayah dan ibu si anak menangis tiada henti hingga tiada lagi air mata yang keluar, yang tinggal hanya sedu-sedan. Keesokan harinya, saat si bayi mau dikubur, ayah dan ibu masih berduka. Terlihat kesedihan mendalam di wajah si ayah. Sementara si ibu hanya bisa terkulai tak berdaya, duduk bersandar di pembaringan.

Mengapa mereka bersedih? Sedih karena anaknya pergi? Atau sedih karena mereka ditinggal?
Iya, iyalah, pasti bersedih dong! Namanya juga ditinggal mati anak satu-satunya.

Saya jadi teringat satu penggal tulisan mendiang Asmaraman S. Kho Ping Ho, penulis cerita silat cina. Dalam setiap judul ceritanya pasti ada ulasan tentang hidup dan mati, sedih dan gembira. Pesan-pesan penuh makna yang ditulisnya dikemas dalam bentuk dialog para tokoh dalam ceritanya.

Hidup dan mati, sedih dan gembira ibarat dua sisi mata uang. Keduanya tidak terpisahkan. Ada hidup, ada mati. Ada sedih, pasti ada gembira.

Pertanyaannya, mengapa kita bersedih? Apakah kita menangisi orang yang kembali ke pangkuan penciptanya? Ataukah kita menangis karena kehilangan?

Sebenarnya, yang kita tangisi adalah diri kita sendiri. Kita egois. Meratap karena orang yang kita kasihi pergi. Padahal, kita berduka karena orang yang membuat kita gembira, bahagia telah pergi. Sebenarnya kita memang egois. Yang dipentingkan hanya diri kita sendiri. Kita menangis bukan lantaran kasihan tehadap yang mati, tetapi menangisi diri sendiri.
Yang mati kembali kepada Yang Menciptakannya. Bayi adalah sesosok anak manusia belum bernoda. Dia lahir suci, dan kembali kepada Sang Khalik pun dalam keadaan suci. Dia akan bahagia hidup di alam sana. Ada yang menyayangi dan mengasihinya.

Nah, kita, orang tua yang ditinggal, mengapa harus bersedih? Bukankah anak kita bahagia di pangkuan Sang Pencipta? Tidak ada alasan untuk menangis, kecuali ego diri.

Rasa ego membuat kita lupa bahwa kita bukan siapa-siapa. Setelah merasa kehilangan, kita biasanya mencari kambing hitam untuk sasaran kemarahan, tak terkecuali tuhan. Buktinya, seorang ayah atau ibu, yang kehilangan anak kesayangan, akan menjerit “Tuhaaaannn! Mengapa kau ambil anak kamiiiii…?”. Sebuah teriakan tanpa rasa bersalah.
Padahal, jika kita mau introspeksi diri, kita ini adalah gudangnya dosa dan kesalahan. Mungkin Tuhan tidak mau hambanya yang suci bersih diasuh oleh seorang penuh dosa, sehingga si bayi diambil kembali.

Atau mungkin Tuhan memperingatkan kepada kita, bahwa Dia-lah yang maha berkuasa dan maha berkehendak terhadap seluruh hamba. Maka, Dia tunjukkan bahwa di tangan-Nya nyawa manusia berada. Dalam genggamannyalah nasib kita. Dan, kepada Dia-lah kita dan seluruh alam bergantung.

Terkadang, kita menjumpai banyak orang yang takut akan kematian lantaran dibayang-bayangi dosa. Tetapi, mereka tidak mau insyaf dan bertobat.

“Saya belum mengerjakan sholat karena belum ada panggilan,” ucap seorang tetangga saya. Masya Allah! Belum ada panggilan, katanya? Bukankan panggilan Allah itu berkumandang lima kali sehari dari masjid dan mushola?
Itulah salah satu bentuk kesombongan manusia. Dia merasa dibutuhkan oleh Sang Maha Pencipta, padahal dialah yang membutuhkan Tuhan. Dia tidak sadar bahwa kitalah para hamba yang membutuhkan Allah Yang Maha Agung

Selasa, 27 September 2011

Orang Intelek Koq Anarkis?

Menyaksikan berita heboh di televisi tentang unjuk rasa Aliansi Mahasiswa Jambi menolak kedatangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa (20/9), perasaan saya jadi miris.

Unjuk rasa itu memang bukan pertama pasca reformasi 1998. Bahkan, tiap hari kita bisa menyaksikan tayangan unjuk rasa di berbagai daerah dengan berbagai topik pula. Unjuk rasa menjadi menu sehari-hari pemirsa televisi, pembaca majalah dan koran, serta pendengar radio.

Perasaan saya menjadi miris. Apakah harus dengan unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasi. Apakah harus dengan tindakan brutal dan anarkis untuk menyatakan pendapat atau penolakan terhadap sesuatu?

Menyaksikan hal seperti itu saya merasa kehilangan “Indonesia”. Indonesia yang dulu terkenal dihuni oleh manusia-manusia santun dan beretika, kini berubah menjadi negara “hukum rimba”. Yang merasa kuat berusaha menunjukkan kekuatannya. Yang merasa punya wadya balad untuk kekuatan.

Mengapa Indonesiaku hilang?

Tentang kepimpinan, haruskan kita menunjukkan ketidak-puasan dengan tindakan penuh kemarahan dan bringas bagai binatang buas?

Apakah dengan marah dan bertindak anarkis, kita bisa mengubah sistem? Bisa mengganti pemerintahan? Bisa mengubah angka-angka di APBN?
Mengapa sekarang para mahasiswa gemar unjuk rasa? Mengapa pula mereka anarkis? Apakah mereka tidak belajar etika? Apakah mereka tidak mengerti hukum? Atau mungkin sengaja mengabaikan hukum?
Entahlah.

Saya pribadi was-was melihat tingkah polah mahasiswa sekarang. Ini mengingat saya punya seorang putra yang sebentar lagi menjadi mahasiswa.

Tiap melihat tayangan unjukrasa mahasiswa di televisi, wanti-wanti saya menasihati putra saya itu, agar nanti kelak menjadi mahasiswa tidak ikutan unjuk rasa.

“Kalau ada unek-unek terhadap pemerintah atau satu lembaga pemerintah, sampaikanlah kritikan melalui surat. Ini lebih punya makna dan lebih mulia,” kata saya kepada putra saya.

Terus terang, saya sangat setuju dan mendukung keterbukaan, tetapi keterbukaan yang bermartabat. Di era keterbukaan ini siapapun berhak menyampaikan aspirasinya. Siapapun berhak menyatakan ketidak-puasannya, protes dan lain-lain. Tetapi, apabila kita menyampaikannya dengan cara yang brutal, anarkis, penuh amarah, saya kira itu sudah tidak pantas, apalagi jika dilakukan orang-orang terpelajar.

Mahasiswa adalah orang-orang terpelajar. Orang terpelajar adalah sebutan untuk orang berpendidikan, orang berpendidikan adalah intelektual.

Sebagai intelektual mahasiswa semestinya menyampaikan aspirasi secara intelek pula. Banyak cara yang lebih elegan. Bisa menyampaikan petisi melalui lembaga Badan Eksekutif Mahasiswa, yang ditujukan kepada Presiden jika ada kebijakan pemerintah yang menyimpang.

“Masa orang intelek bertindak anarkis,” celetuk puteri saya yang kelas 6 SD, ketika menyaksikan aksi unjuk rasa mahasiwa, di Simpang Empat Bank Indonesia Jambi, Selasa (20/9).

Senin, 26 September 2011

Dimanakah Budi Pekerti?

Satu peristiwa mengejutkan terjadi Senin (19/9) , di Jakarta. Pelajar SMA 6 bentrok dengan wartawan. Yang tepat sebenarnya Sekelompok pelajar SMA 6 menganiaya sejumlah wartawan, karena dalam peritiwa ini wartawan adalah korban dan tidak kuasa melawan. Ini peristiwa yang sungguh memalukan. Bagaimana mungkin sekumpulan pelajar, yang nota bene adalah anak-anak remaja menganiaya sekelompok orang dewasa.

Tindakan brutal seperti itu hanya bisa dilakukan oleh manusia-manusia yang tidak beradab dan tidak punya budi pekerti.

Menurut berita yang saya baca, SMA 6 Jakarta adalah sekolah elit. Para siswanya terdiri dari para putra-putri pejabat dan artis. Mereka adalah anak-anak orang berkantong tebal dan berpengaruh. Apakah karena mereka anak orang kaya dan berpengaruh sehingga tidak bisa lagi menghargai dan menghormati orang lain? Atau orang tua mereka tidak sempat lagi mengajari etika dan budi pekerti karena sibuk mencari uang?

Atau mungkin orang tua mereka yang pejabat itu mendapatkan uang dari korupsi? Sebab, apa yang kita makan akan menjadi darah dan daging. Apa yang kita makan juga akan memengaruhi perilaku kita. Kalau menyantap makanan dari sumber yang haram, maka perilaku pun akan seperti setan.

Kalau ada pelajar tawuran dengan sesama pelajar, kalau pun tidak bisa ditoleransi, tetapi masih bisa kita maklumi. Hal itu dianggap sebagai kenakalan remaja atau kenakalan anak-anak, karena mereka berkelahi dengan anak seusia. 

Nah, yang dilakukan oleh siswa SMA 6 Jakarta hari Senin itu, bukan lagi kenakalan remaja, tetapi kriminal dan tidak beradab. Selain memukuli sejumlah wartawan, mereka juga merampas barang dan uang milik wartawan korbannya. Para wartawan adalah orang-orang yang umurnya jauh lebih tua dari mereka, yang sepatutnya mereka hormati selaku orang yang lebih tua, bukan dianiaya.

Akibat peristiwa itu lima wartawan menjadi korban. Kelimanya yaitu Riman Wahyudi dari El Shinta, Panca dari Media Indonesia, Antonius Tarigan kontributor Metro TV, Septiawan dari Sinar Harapan dan Yudis dari Seputar Indonesia.

Saya masih ingat ketika seusia kelas 1 SD, orang tua dan guru mengajari agar selalu menghormati orang yang lebih tua. Jika kita berjalan di depan kita ada orang yang lebih tua, dan kita ingin mendahuluinya, kita harus permisi dan mohon maaf ingin mendahului. Mau makan pun kita harus mendahulukan orang tua mengambil makanan dan menyantapnya. Berkata pada orang yang lebih tua kita harus sopan. Kepada yang lebih muda kita harus melindungi dan menyayangi.

Dulu, orang yang menyandang predikat pelajar adalah orang elit. Para pelajar dan mahasiswa sampai era 70-an sangat menjaga predikat mereka sebagai pelajar atau mahasiswa. Cara berpakaian mereka rapih, rambut disisir rapih. Ketika sudah berpredikat pelajar dan mahasiwa mereka sangat menjaga etika dan sopan santun. Bertutur kata pun tidak sembarangan, takut salah ucap dan malu karena mereka pelajar.

Sekarang, nilai-nilai luhur seperti itu sudah lama hilang dari kehidupan kita. Anak-anak sekolah sudah tidak mengindahkan etika. Di jalan mereka teriak-teriak, bicara seenaknya, brutal tak punya sopan-santun.
Kita rindu pendidikan budi pekerti, dan kita membutuhkan itu. Dimanakah budi pekerti itu sekarang? Puluhan tahun kita kehilangan budi pekerti.

Sejumlah pendidik dan pemerhati pendidikan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pemerhati Pendidikan Yogyakarta meminta sekolah berinisiatif sendiri untuk kembali menyelenggarakan mata pelajaran budi pekerti. Dihapusnya mata pelajaran ini berakibat pada pendidikan yang miskin etika dan nilai budaya.

Ketua Forum Komunikasi Pemerhati Pendidikan Yogyakarta (FKPPY) Gideon Hartono mengatakan, saat ini pendidikan semakin pincang karena mengesampingkan pendidikan budi pekerti. Pendidikan mengutamakan aspek pengetahuan dan kemampuan akademis. Hal ini terlihat dari keberhasilan pendidikan yang hanya diukur dari prestasi akademis peserta didik, seperti nilai, olimpiade, maupun kompetisi. Akibatnya, anak semakin pandai namun semakin kehilangan nilai budi pekerti (kompas.com, Rabu, 21 Oktober 2009).

DICARI: Budi Pekerti. Siapa yang menemukan akan diberi hadiah.

Jumat, 23 September 2011

Dunia Anak-anak dan Dunia Kita

“…tiup lilinnya…tiup lilinnyannya…tiup lilinnya sekarang juga…sekarang juga”.

Penggalan lagu “Ulang Tahun” itu, aku simak dari semua rumah tak jauh dari tempat tinggalkku. Petang tadi, Minggu (19/9), saya “dipaksa” Rani, anak saya yang nomor 3 (12 tahun), dan adiknya, Gita (4,5 tahun), untuk mengantar mereka ke pesta ulang tahun.

“Pa, nanti sore antarin Rani ama Gita ke rumah guru Rani, anaknya ulang tahun,” rengek Rani. Sementara adinya, Gita, bolak-balik bertanya, “Nanti apa ngantar Rani ke ulang tahun, ya Pa?”. Menjawab permintaan dan pertanyaan kedua putri saya itu, saya hanya bisa berkata. “iya”.

Pesta ulang tahun bagi anak-anak merupakan suatu yang menyenangkan. Maka tak heran bila ada undangan pesta ulang tahun, mereka antusias ingin menghadiri. Biasanya, anak-anak tidak mau datang terlambat. Oleh karena itu, mereka mendesak orangtua agar berangkat secepat mungkin. Datang lebih awal tidak mengapa, asal jangan terlambat. Anak-anak saya itu merasa malu bila datang terlambat.

Itulah keistimewaan anak-anak. Mereka masih memiliki rasa malu yang kental. Dalam diri mereka masih ada rasa tanggung jawab yang besar meskipun itu tidak mereka sadari. Mungkin itu yang disebut fitrah. Mereka masih suci, bersih. Jiwa anak-anak belum ternodai oleh tingkah pola orang dewasa yang selalu mengenakan topeng kepura-puraan.

Terlambat bagi anak-anak adalah MALU. Bagi orang dewasa terlambat adalah hal biasa. Kita bisa membuat diri kita terlambat datang ke tempat kerja, terlambat tiba di pesta, terlambat pulang ke rumah. Bahkan, teramat sering terlambat membayar utang atau memenuhi janji.

Kita, para orang dewasa terlalu gampang mengucapkan janji. Sementara bagi anak-anak, janji adalah sesuatu yang harus ditagih. Janganlah menganggap remeh berjanji dengan anak-anak, mereka akan terus-menerus menagh janji kita sampai kita memenuhinya atau membatalkannya. Anak-anak tidak mengerti kata konsisten atau konsekuen. Tetapi kedua istilah tersebut ada pada diri mereka.

Bahkan, kadang kita harus belajar dari kemuliaan sikap anak-anak. Mereka sangat mudah memaafkan. Tidak ada dendam dan sakit hati bagi anak-anak. Lihat saja ketika mereka berkelahi dengan teman sepermainan, mereka akan berbaikan dalam waktu kurang dari lima menit.

Tetapi, karena keegoisan kita, para orangtua, sikap-sikap mulia yang ditunjukkan anak-anak itu, tidak membuat hati kita tersentuh. Kita selalu menganggap sepele anak-anak. Kita selalu memandang mereka begitu rendah, sehingga tidak layak ditiru. Mereka kita anggap sebagai anak kemarin sore. Kita juga tak segan berkata pada mereka “Tau apa kamu? Kamu itu masih bau kencur”.

Memang, kita harus berjiwa besar agar bisa menerima anak-anak sebagai manusia, bukan sebagai anak-anak.

Rabu, 21 September 2011

Makan Dulu, Tausiah Belakangan

Halal bihalal. Dua penggal kata ini sangat akrab di telinga kita manakala Lebaran tiba. Halal bihalal adalah kegiatan bersalam-salaman dengan tujuan saling memaafkan. Bagi lembaga pemerintah dan swasta halal bihalal menjadi agenda rutin setiap usai Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran. Kegiatan bisa diselenggaraan seminggu atau dua minggu setelah Hari Raya.

Di PT Gunung Madu Plantations, acara halal bihalal merupakan agenda wajib bagi tiap divisi dan departemen. Biasanya yang lebih dulu menyelenggarakan halal bihalal adalah divisi-divisi, setelah itu baru diadakan di tingkat departemen. Selain itu, ada pula organisasi Ikatan Isteri Karyawan, yang tak mau ketinggalan mengadakan acara halal bihalal secara khusus.

Dalam struktur organisasi di perusahaan gula tertua di Lampung ini terdapat empat departemen, yakni: Departemen Pertanian (Plantations), Departemen Riset dan Pengembangan (Research and Development), Departemen Factory (pabrik), dan Departemen SBF (Services, Bisnis and Finance). Di bawah depertemen ada divisi-divisi.

Khusus lingkup kerja Departemen Plantations memiliki 7 divisi area, 1 divisi T&FE, 1 divisi harvesting, dan 1. Departemen SBF memiliki satu divisi dan 1 sub divisi. Departemen Factory membawahi tiga divisi,dan Departemen Riset dua divisi.

Penyelenggaraan acara halal bihalal di PT Gunung Madu Plantations ini diadakan secara bergiliran oleh masing-masing divisi dan depertemen. Ada juga divisi yang menggabung acaranya menjadi satu, seperti Divisi Area 6 dan Divisi Area 7, serta Divisi Area 2 bergabung dengan Divisi T&FE dan Divisi Harvesting. Divisi Area 1 bergabung dengan Divisi Area 5.

Hal itu dikarenakan para karyawan dan stafnya berada di satu komplek perumahan. Misalnya, Divisi Area I dan Divisi Area 5, semua karyawan danstafnya bertempat tinggal di Perumahan (housing) 1; Divisi Area 6 dan Divisi Area 7 sama-sama berdomisili di Perumahan 6. Sedangkan karyawan dan staf Divisi Area 2, Divisi T&FE, dan Divisi Harvesting sebagian besar di Perumahan 2.

Jumat (16/9) malam, giliran Departemen Riset menyelenggarakan acara halal bihalal bagi pimpinan, staf, dan karyawannya. Saya mendapat kehormatan hadir, tentunya saya bertugas sebagai peliput. Karyawan PT Gunung Madu Plantations sangat suka bila kegiatan mereka dimuat di halaman Tabloid Tawon, sebuah media komunitas milik perusahaan. Sebagai insan media, setiap usai Lebaran saya dan kawan-kawan tentu saja sibuk menghadiri undangan halal bihalal di tiap divisi dan depertemen.

Acara halal bihalal di Depertemen Riset, yang dipusatkan di halaman parkir LSTC (Lampung Sugar Training Centre), itu agak berbeda dengan acara di tempat lain baik yang diselenggarakan divisi maupun departemen lain.

Di tempat lain, biasanya acara pokok dahulu: pembacaan ayat-ayat suci Alquran, sambutan-sambutan, tausiah dan doa. Setelah itu baru acara makan-makan, dan diakhiri dengan bersalam-salaman.
Nah, acara halal bihalal di Departemen Riset pada Jumat malam itu, agak berbeda. Para tamu yang datang langsung dipandu mengambil makan, lalu memilih tempat duduk. Begitu seterusnya sampai tamu terakhir. 
Begitu tiba saat acara dimulai seluruh tamu sudah makan dan nyaman duduk di tempatnya.

Sajian menunya cukup memancing selera, terutama gurame bubu pedasnya. Wah…cep..cep …nyem…nyem. Saya yang sebelum berangkat sudah mengganjal perut dengan nasi dan lauk ikan pun, tetap bernafsu ketika dipersilahkan makan.

Mungkin pihak panitia sengaja merancang acara makan terlebih dahulu, agar para tamu tidak gelisah ketika mengikuti acara demi acara, terutama saat mendengarkan sambutan kepala departemen dan tausiah dari ustad.

Taqobbalallah minna yaminkum taqobbal yakariim.

Senin, 19 September 2011

Selamat Jalan Pak Ruswandi

Pagi ini, Jumat (16/9), saya sangat terkejut ketika membaca sebuah judul berita di situs www.lampungpost.com, berjudul “Ruswandi Hasan Meninggal Dunia”. Almarhum adalah sosok yang sangat saya kenal.
Terakhir saya berjumpa beliau pada awal tahun 2010, pada acara rapat Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Provinsi Lampung. Rapat tersebut pesertanya adalah gubernur/wakil gubernur, seluruh walikota dan bupati, Muspida Tk I dan Tk II.
Kebetulan pada waktu itu yang menjadi tuan rumah adalah Kabupaten Lampung Tengah. Acaranya sendiri dipusatkan di Gedung Serba Guna (GSG) PT Gunung Madu Plantations (GMP). Saya, yang menjadi pengelola tabloid Tawon milik PT GMP, hadir pula di sana.
Pak Ruswandi Hasan hadir dalam acara itu, karena pada waktu itu beliau menjabat sebagai Bupati Mesuji. Di sela-sela waktu istirahat makan siang, saya menyempatkan diri menghampiri beliau. Hanya dalam waktu beberapa menit, saya dan Pak Ruswandi sempat saling menanya kabar. Kami sudah lama tidak berjumpa.
Pertemuan terakhir kami sebelum di acara Forkopimda tersebut adalah tahun 1995, di Lapangan Enggal Bandar Lampung. Kami yang sama-sama anggota Perguruan Tenaga Dalam Prana Sakti berjumpa di sana karena ada pembukaan latihan anggota baru oleh mendiang Guru Besar Drs. Asfanuddin Panjaitan.
Saya dan Pak Ruswandi Hasan kenal pertama tahun 1987, di Kalianda. Pada waktu itu beliau menjabat Kepala BKKBN Kabupaten Lampung Selatan. Dan, saya, adalah wartawan muda dari Harian Umum Lampung Post. Setelah mengikuti pelatihan jurnalistik selama kurang lebih 9 bulan, oleh pimpinan Harian Lampung Post, saya ditempatkan di Kalianda, ibukota Kabupaten Lampung Selatan.
Perkenalan antara seorang wartawan dengan seorang pejabat bukanlah hal luar biasa. Tetapi hubungan kami terjalin menjadi hubungan pribadi yang begitu kental. Beliau menganjurkan saya untuk ikut latihan tenaga dalam di Perguruan Tenaga Dalam Prana Sakti, “Kamu perlu menjaga diri dengan ilmu tenaga dalam. Pekerjaan kamu itu penuh resiko,” kata Pak Ruswandi kepada saya, suatu siang, ketika saya berkunjunga ke kantornya.
Hubungan kami, yang semula hanya hubungan wartawan dengan narasumber, makin lama makin akrab. Hubungan kami kemudian berubah seperti adik kakak. Saya yang semula memanggilnya “Bapak” berganti memanggil “kakak”, dan Pak Ruwandi cukup memanggil nama saya “Madjid” atau “Jid” saja.
Suatu ketika di tahun 1988, kurang lebih setahun setelah kami menjadi “saudara”, Pak Ruswandi berkata pada saya, “Jid, ini ada penerimaan calon PLKB (Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana). Kamu melamar aja, siapa tahu diterima. Pengangkatannya cepat. Kalau lulus tes, kamu menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) selama 6 bulan, setelah itu diangkat dengan status PNS 100%l.”
Mendengar tawaran tersebut, saya tertawa kecut. Saya merasa tidak mungkin bisa diterima jadi PNS, karena saya tidak punya uang untuk menyuap. Saya katakan pada beliau, “Saya gak punya uang Kak, apa mungkin saya diterima jadi PNS?”
“Dicoba dulu. Gak semua orang jadi PNS itu nyogok. Siapa tahu nasib kamu baik, bisa diterima tanpa nyogok,” kata Pak Ruswandi dengan nada agak marah.
Meskipun dengan perasaan bimbang, antara cinta dengan profesi wartawan dan tidak punya uang, saya akhirnya mengurus surat-surat untuk mendaftar PNS. Terus terang saya kurang berhasrat menjadi pegawai negeri, tetapi karena didesak Pak Ruswandi dan diimingi-imingi berbagai tunjangan dan uang pensiun kelak apabila pensiun, saya coba mengadu nasib.
Singkat cerita, saya lulus tes, dan diterima menjadi CPNS dan langsung bekerja. Saya ditempatkan di Kecamatan Sidomulyo. Beberapa bulan kemudian saya mengikuti penataran pra-jabatan. Tiga bulan kemudian saya menerima SK Pengangkatan sebagai PNS dari BAKN. Saya yakin ada campur tangan Pak Ruswandi memperjuangkan saya masuk jadi PNS, meskipun saya tidak mengeluarkan duit untuk menyogok.
Dua tahun setelah menjadi PNS di bawah pimpinan Pak Ruswandi Hasan, perasaan tidak cocok menjadi PNS semakin menggelitik hati. Jiwa saya selalu terpanggil untuk kembali ke dunia pers. Saya mengalami kesulitan beradaptasi dengan kehidupan PNS, terutama masalah disiplin waktu: jam 7.30 harus absen dan mengikuti apel pagi. Pulang pun demikian, ditentukan jamnya.
Saya juga tidak bisa bersikap sebagai bawahan terhadap Pak Ruswandi. Ketika masih wartawan saya biasa ngobrol bebas dengan beliau. Hal itu terbawa sampai saya menjadi PNS. Ketika beliau menginspeksi kecamatan kami, saya menemui beliau, bersalaman, lalu ngobrol seperti ketika saya masih wartawan. Hal itu membuat atasan saya Pengawas PLKB keki, dia menegur saya agar bersikap lebih hormat kepada Pak Ruswandi. “Saya tahu kamu bekas wartawan dan akrab dengan Pak Ruswandi, tetapi sekarang kamu itu bawahannya,” kata pengawas saya.
Suatu hari, dua tahun setelah saya jadi PNS, saya menghadap Pak Ruswandi Hasan. Saya menyatakan ingin mengundurkan diri dari PNS di jajarannya. Alasannya, saya tidak cocok menjadi PNS. Pak Ruswandi terkejut.
“Apa kamu gak salah ngomong..!?,” bentaknya.
“Gak Kak,” jawab saya.
“Tidak gampang orang menjadi PNS. Banyak orang mengikuti seleksi tidak lulus, dan banyak yang sanggup menyogok jutaan rupiah. Nah, kamu diterima jadi PNS tanpa nyogok, malah mau mengundurkan diri?” lanjutnya masih dengan nada tinggi.
“Saya beri kamu waktu satu bulan untuk berpikir. Sekarang pulanglah,” katanya menutup pembicaraan dengan saya.
Sebulan kemudian saya datang lagi masih dengan sikap dan pernyataan sebulan yang lalu. Karena merasa tidak kuasa melunakkan pendirian saya, akhirnya Pak Ruswandi meminta saya membuat surat permohonan mengundurkan diri. “Suratnya ditulis di kertas segel atau bermaterai,” katanya.
Saya mengikuti sarannya. Keesokan harinya saya sudah membawa surat pengunduran diri itu, lengkap dengan SK Pengangkatan yang asli untuk dikembalikan ke Negara. Pak Ruswandi hanya bisa geleng kepala seraya berkata, “Semoga kamu tidak salah pilih”.
Saya lalu kembali menggeluti profesi wartawan, tapi kali ini saya tidak lagi di lapangan. Harian Umum Lampung Post member saya posisi asisten redaktur karena ada pengembangan struktur organisasi.
Sejak mengundurkan diri itu, saya baru dua kali bertemu lagi Pak Ruswandi. Yang pertama seperti saya tulis di atas, yakni saat pembukaan latihan anggota baru Prana Sakti, tahun 1995. Dan, kedua tahun 2010 lalu, pada acara rapat koordinasi Forkopimda. Saat itu beliau sebagai penjabat bupati Mesuji.
Ketika meninggal, Kamis (15/9) sore, mantan pejabat Bupati Mesuji itu, dalam status sebagai salah satu calon bupati Mesuji yang akan mengikuti pilkada.
Drs. Ruswandi Hasan meninggal dunia di ruang HCU (High Care Unit) RS Bumi Waras Bandar Lampung. Menurut dokter yang merawatnya, almarhum menderita sakit ginjal dan paru-paru.
Selamat jalan Pak Ruswandi. Semoga Allah menerima amal ibadahnya dan mengampuni semua dosa-dosanya. Amiin

Anak-anak Butuh Dorongan


Pendekatan lepas-tangan itu tidak akan berhasil di rumah; apalagi di sekolah atau di kantor. Banyak penelitian yang memperlihatkan bahwa anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua yang bersikap keras tapi adil, di kemudian hari akan menjadi anak-anak yang merasa aman dengan dirinya. Anak-anak itu mungkin saja mengeluh dan berontak terhadap peraturan yang berlaku, tapi mereka juga akan bertumbuh menjadi anak yang lebih bahagia, lebih berambisi dan lebih bisa meyesuaikan diri dengan keadaan.
Kalau Anda menaruh perhatian terhadap anggota keluarga Anda, maka berarti Anda juga menaruh perhatian terhadap keberhasilan mereka, dan Anda mau mencurahkan waktu serta tenaga untuk belajar melakukan berbagai hal dengan baik.
Jika Anda terlalu pemurah terhadap anak-anak dan memberikan kebebasan untuk menggunakan wewenang dan uang, mereka memang boleh jadi akan mencium Anda dan berkata, “Ibu dan ayah memang hebat”. Tapi ciuman itu Anda peroleh karena Anda membelinya dari merka, dan Anda bukanlah hebat. Akan jauh lebih baik bila ciuman itu Anda peroleh ketika mereka telah berumur 25 tahun, menamatkan sekolahnya, diterima dalam suatu jabatan dan mereka berkata, “Terima kasih atas upaya ibu dan ayah dalam mengajar saya bekerja.”
“Anak didik senang didorong,” kata Bill Homig, inspektur sekolah negeri di California “Anak-anak menghargai dorongan. Mereka selalu berpendapat, ‘Jika Anda tidak mengusahakan agar saya melakukannya, maka saya tidak akan peduli untuk melakukannya.’
Mula-mula mereka menolak, tapi akhirnya melakukan juga.

Jumat, 16 September 2011

10 Tahun untuk Mantan Bupati

Tuntutan hukuman 10 tahun penjara untuk mantan Bupati Lampung Tengah Andy Achmad Sampurnajaya. Tuntutan itu dibacakan Tim Jaksa Kejaksaan Tinggi Lampung dalam sidang di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Robert Simorangkir dan dua anggotanya Itong Isnaeni dan Ida Ratnawati, Rabu (14/9).
Mantan bupati yang juga penyanyi terkenal asal Terbanggibesar, Lampung Tengah, itu dituntut atas tuduhan korupsi dana APBD Lampung Tengah 2008, senilai Rp28 miliar.
Dalam persidangan ini, Andy Achmad didampingi dua kuasa hukum: Suyitno Landung (mantan Kabareskrim Polri) dan Yuzar Akuan (pengacara terkenal di Lampung).
Tim jaksa yang terdiri dari A. Kohar, Yusna Adia, Sri Aprilinda, dan Yosef membacakan tuntutan secara bergantian. Menurut Tim Jaksa, berdasarkan keterangan para saksi di persidangan, diantaranya Herman Hasbullah, Musawir Subing, Puncak (putra terdakwa), Andy Achmad terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakkan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
Atas kejahatannya itu, Andy Achmad dinyatakan telah melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dan ditambah dengan UU No.20/2001 jo Psal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dalam dakwaan subside.
Selain menuntut Andy Achmad hukuman 10 tahun penjara, Tim Jaksa juga menuntut terdakwa membayar denda Rp500 juta subside 6 bulan kurungan. Terdakwa juga diperintahkan membayar uang pengganti sebesar rp20,5 miliar. Uang pengganti dibayarkan sesuai dengan Pasal 136 ayat (1) dan (2) PP No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Menurut Jaksa, hal-hal yang memberatkan terdakwa tidak mengindahkan program pemerintah tentang aparatur negara yang bebas korupsi kolusi dan nepotisme (KKN). Sedangkan yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, bersikap sopan dan baik di persidangan, serta masih memilik tanggungan keluarga (istri dan anak).
Masyarakat Lampung meragukan persidangan kasus korupsi APBD Lampung Tengah ini berjalan fair. Ini mengingat proses pengusutan sampai persidangan berjalan sangat lambat. Bahkan pada akhir Juni lalu, ada yang berjumpa Andy Achmad di Bandara Radin Intan II Bandar Lampung untuk penerbangan ke Jakarta. Padahal, saat itu dia berstatus tahanan kota.
Belum lagi tuduhan yang ditimpakan kepada Andy Achmad dinilai tidak sesuai dengan fakta hukum. Dalam berita salah satu harian lokal disebutkan bahwa tuntutan jaksa terhadap Andy Achmad adalah bersalah karena memindahkan uang APBD 2008 senilai Rp.28 milir dari Bank Lampung ke Bank Tripanca.
Padahal, sebenarnya perkara itu adalah korupsi. Uang APBD Lampung Tengah dipergunakan oleh terdakwa untuk biaya pencalonannya dalam bursa pilgub Lampung.


Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto