Selasa, 27 September 2011

Orang Intelek Koq Anarkis?

Menyaksikan berita heboh di televisi tentang unjuk rasa Aliansi Mahasiswa Jambi menolak kedatangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa (20/9), perasaan saya jadi miris.

Unjuk rasa itu memang bukan pertama pasca reformasi 1998. Bahkan, tiap hari kita bisa menyaksikan tayangan unjuk rasa di berbagai daerah dengan berbagai topik pula. Unjuk rasa menjadi menu sehari-hari pemirsa televisi, pembaca majalah dan koran, serta pendengar radio.

Perasaan saya menjadi miris. Apakah harus dengan unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasi. Apakah harus dengan tindakan brutal dan anarkis untuk menyatakan pendapat atau penolakan terhadap sesuatu?

Menyaksikan hal seperti itu saya merasa kehilangan “Indonesia”. Indonesia yang dulu terkenal dihuni oleh manusia-manusia santun dan beretika, kini berubah menjadi negara “hukum rimba”. Yang merasa kuat berusaha menunjukkan kekuatannya. Yang merasa punya wadya balad untuk kekuatan.

Mengapa Indonesiaku hilang?

Tentang kepimpinan, haruskan kita menunjukkan ketidak-puasan dengan tindakan penuh kemarahan dan bringas bagai binatang buas?

Apakah dengan marah dan bertindak anarkis, kita bisa mengubah sistem? Bisa mengganti pemerintahan? Bisa mengubah angka-angka di APBN?
Mengapa sekarang para mahasiswa gemar unjuk rasa? Mengapa pula mereka anarkis? Apakah mereka tidak belajar etika? Apakah mereka tidak mengerti hukum? Atau mungkin sengaja mengabaikan hukum?
Entahlah.

Saya pribadi was-was melihat tingkah polah mahasiswa sekarang. Ini mengingat saya punya seorang putra yang sebentar lagi menjadi mahasiswa.

Tiap melihat tayangan unjukrasa mahasiswa di televisi, wanti-wanti saya menasihati putra saya itu, agar nanti kelak menjadi mahasiswa tidak ikutan unjuk rasa.

“Kalau ada unek-unek terhadap pemerintah atau satu lembaga pemerintah, sampaikanlah kritikan melalui surat. Ini lebih punya makna dan lebih mulia,” kata saya kepada putra saya.

Terus terang, saya sangat setuju dan mendukung keterbukaan, tetapi keterbukaan yang bermartabat. Di era keterbukaan ini siapapun berhak menyampaikan aspirasinya. Siapapun berhak menyatakan ketidak-puasannya, protes dan lain-lain. Tetapi, apabila kita menyampaikannya dengan cara yang brutal, anarkis, penuh amarah, saya kira itu sudah tidak pantas, apalagi jika dilakukan orang-orang terpelajar.

Mahasiswa adalah orang-orang terpelajar. Orang terpelajar adalah sebutan untuk orang berpendidikan, orang berpendidikan adalah intelektual.

Sebagai intelektual mahasiswa semestinya menyampaikan aspirasi secara intelek pula. Banyak cara yang lebih elegan. Bisa menyampaikan petisi melalui lembaga Badan Eksekutif Mahasiswa, yang ditujukan kepada Presiden jika ada kebijakan pemerintah yang menyimpang.

“Masa orang intelek bertindak anarkis,” celetuk puteri saya yang kelas 6 SD, ketika menyaksikan aksi unjuk rasa mahasiwa, di Simpang Empat Bank Indonesia Jambi, Selasa (20/9).

Senin, 26 September 2011

Dimanakah Budi Pekerti?

Satu peristiwa mengejutkan terjadi Senin (19/9) , di Jakarta. Pelajar SMA 6 bentrok dengan wartawan. Yang tepat sebenarnya Sekelompok pelajar SMA 6 menganiaya sejumlah wartawan, karena dalam peritiwa ini wartawan adalah korban dan tidak kuasa melawan. Ini peristiwa yang sungguh memalukan. Bagaimana mungkin sekumpulan pelajar, yang nota bene adalah anak-anak remaja menganiaya sekelompok orang dewasa.

Tindakan brutal seperti itu hanya bisa dilakukan oleh manusia-manusia yang tidak beradab dan tidak punya budi pekerti.

Menurut berita yang saya baca, SMA 6 Jakarta adalah sekolah elit. Para siswanya terdiri dari para putra-putri pejabat dan artis. Mereka adalah anak-anak orang berkantong tebal dan berpengaruh. Apakah karena mereka anak orang kaya dan berpengaruh sehingga tidak bisa lagi menghargai dan menghormati orang lain? Atau orang tua mereka tidak sempat lagi mengajari etika dan budi pekerti karena sibuk mencari uang?

Atau mungkin orang tua mereka yang pejabat itu mendapatkan uang dari korupsi? Sebab, apa yang kita makan akan menjadi darah dan daging. Apa yang kita makan juga akan memengaruhi perilaku kita. Kalau menyantap makanan dari sumber yang haram, maka perilaku pun akan seperti setan.

Kalau ada pelajar tawuran dengan sesama pelajar, kalau pun tidak bisa ditoleransi, tetapi masih bisa kita maklumi. Hal itu dianggap sebagai kenakalan remaja atau kenakalan anak-anak, karena mereka berkelahi dengan anak seusia. 

Nah, yang dilakukan oleh siswa SMA 6 Jakarta hari Senin itu, bukan lagi kenakalan remaja, tetapi kriminal dan tidak beradab. Selain memukuli sejumlah wartawan, mereka juga merampas barang dan uang milik wartawan korbannya. Para wartawan adalah orang-orang yang umurnya jauh lebih tua dari mereka, yang sepatutnya mereka hormati selaku orang yang lebih tua, bukan dianiaya.

Akibat peristiwa itu lima wartawan menjadi korban. Kelimanya yaitu Riman Wahyudi dari El Shinta, Panca dari Media Indonesia, Antonius Tarigan kontributor Metro TV, Septiawan dari Sinar Harapan dan Yudis dari Seputar Indonesia.

Saya masih ingat ketika seusia kelas 1 SD, orang tua dan guru mengajari agar selalu menghormati orang yang lebih tua. Jika kita berjalan di depan kita ada orang yang lebih tua, dan kita ingin mendahuluinya, kita harus permisi dan mohon maaf ingin mendahului. Mau makan pun kita harus mendahulukan orang tua mengambil makanan dan menyantapnya. Berkata pada orang yang lebih tua kita harus sopan. Kepada yang lebih muda kita harus melindungi dan menyayangi.

Dulu, orang yang menyandang predikat pelajar adalah orang elit. Para pelajar dan mahasiswa sampai era 70-an sangat menjaga predikat mereka sebagai pelajar atau mahasiswa. Cara berpakaian mereka rapih, rambut disisir rapih. Ketika sudah berpredikat pelajar dan mahasiwa mereka sangat menjaga etika dan sopan santun. Bertutur kata pun tidak sembarangan, takut salah ucap dan malu karena mereka pelajar.

Sekarang, nilai-nilai luhur seperti itu sudah lama hilang dari kehidupan kita. Anak-anak sekolah sudah tidak mengindahkan etika. Di jalan mereka teriak-teriak, bicara seenaknya, brutal tak punya sopan-santun.
Kita rindu pendidikan budi pekerti, dan kita membutuhkan itu. Dimanakah budi pekerti itu sekarang? Puluhan tahun kita kehilangan budi pekerti.

Sejumlah pendidik dan pemerhati pendidikan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pemerhati Pendidikan Yogyakarta meminta sekolah berinisiatif sendiri untuk kembali menyelenggarakan mata pelajaran budi pekerti. Dihapusnya mata pelajaran ini berakibat pada pendidikan yang miskin etika dan nilai budaya.

Ketua Forum Komunikasi Pemerhati Pendidikan Yogyakarta (FKPPY) Gideon Hartono mengatakan, saat ini pendidikan semakin pincang karena mengesampingkan pendidikan budi pekerti. Pendidikan mengutamakan aspek pengetahuan dan kemampuan akademis. Hal ini terlihat dari keberhasilan pendidikan yang hanya diukur dari prestasi akademis peserta didik, seperti nilai, olimpiade, maupun kompetisi. Akibatnya, anak semakin pandai namun semakin kehilangan nilai budi pekerti (kompas.com, Rabu, 21 Oktober 2009).

DICARI: Budi Pekerti. Siapa yang menemukan akan diberi hadiah.

Jumat, 23 September 2011

Dunia Anak-anak dan Dunia Kita

“…tiup lilinnya…tiup lilinnyannya…tiup lilinnya sekarang juga…sekarang juga”.

Penggalan lagu “Ulang Tahun” itu, aku simak dari semua rumah tak jauh dari tempat tinggalkku. Petang tadi, Minggu (19/9), saya “dipaksa” Rani, anak saya yang nomor 3 (12 tahun), dan adiknya, Gita (4,5 tahun), untuk mengantar mereka ke pesta ulang tahun.

“Pa, nanti sore antarin Rani ama Gita ke rumah guru Rani, anaknya ulang tahun,” rengek Rani. Sementara adinya, Gita, bolak-balik bertanya, “Nanti apa ngantar Rani ke ulang tahun, ya Pa?”. Menjawab permintaan dan pertanyaan kedua putri saya itu, saya hanya bisa berkata. “iya”.

Pesta ulang tahun bagi anak-anak merupakan suatu yang menyenangkan. Maka tak heran bila ada undangan pesta ulang tahun, mereka antusias ingin menghadiri. Biasanya, anak-anak tidak mau datang terlambat. Oleh karena itu, mereka mendesak orangtua agar berangkat secepat mungkin. Datang lebih awal tidak mengapa, asal jangan terlambat. Anak-anak saya itu merasa malu bila datang terlambat.

Itulah keistimewaan anak-anak. Mereka masih memiliki rasa malu yang kental. Dalam diri mereka masih ada rasa tanggung jawab yang besar meskipun itu tidak mereka sadari. Mungkin itu yang disebut fitrah. Mereka masih suci, bersih. Jiwa anak-anak belum ternodai oleh tingkah pola orang dewasa yang selalu mengenakan topeng kepura-puraan.

Terlambat bagi anak-anak adalah MALU. Bagi orang dewasa terlambat adalah hal biasa. Kita bisa membuat diri kita terlambat datang ke tempat kerja, terlambat tiba di pesta, terlambat pulang ke rumah. Bahkan, teramat sering terlambat membayar utang atau memenuhi janji.

Kita, para orang dewasa terlalu gampang mengucapkan janji. Sementara bagi anak-anak, janji adalah sesuatu yang harus ditagih. Janganlah menganggap remeh berjanji dengan anak-anak, mereka akan terus-menerus menagh janji kita sampai kita memenuhinya atau membatalkannya. Anak-anak tidak mengerti kata konsisten atau konsekuen. Tetapi kedua istilah tersebut ada pada diri mereka.

Bahkan, kadang kita harus belajar dari kemuliaan sikap anak-anak. Mereka sangat mudah memaafkan. Tidak ada dendam dan sakit hati bagi anak-anak. Lihat saja ketika mereka berkelahi dengan teman sepermainan, mereka akan berbaikan dalam waktu kurang dari lima menit.

Tetapi, karena keegoisan kita, para orangtua, sikap-sikap mulia yang ditunjukkan anak-anak itu, tidak membuat hati kita tersentuh. Kita selalu menganggap sepele anak-anak. Kita selalu memandang mereka begitu rendah, sehingga tidak layak ditiru. Mereka kita anggap sebagai anak kemarin sore. Kita juga tak segan berkata pada mereka “Tau apa kamu? Kamu itu masih bau kencur”.

Memang, kita harus berjiwa besar agar bisa menerima anak-anak sebagai manusia, bukan sebagai anak-anak.

Rabu, 21 September 2011

Makan Dulu, Tausiah Belakangan

Halal bihalal. Dua penggal kata ini sangat akrab di telinga kita manakala Lebaran tiba. Halal bihalal adalah kegiatan bersalam-salaman dengan tujuan saling memaafkan. Bagi lembaga pemerintah dan swasta halal bihalal menjadi agenda rutin setiap usai Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran. Kegiatan bisa diselenggaraan seminggu atau dua minggu setelah Hari Raya.

Di PT Gunung Madu Plantations, acara halal bihalal merupakan agenda wajib bagi tiap divisi dan departemen. Biasanya yang lebih dulu menyelenggarakan halal bihalal adalah divisi-divisi, setelah itu baru diadakan di tingkat departemen. Selain itu, ada pula organisasi Ikatan Isteri Karyawan, yang tak mau ketinggalan mengadakan acara halal bihalal secara khusus.

Dalam struktur organisasi di perusahaan gula tertua di Lampung ini terdapat empat departemen, yakni: Departemen Pertanian (Plantations), Departemen Riset dan Pengembangan (Research and Development), Departemen Factory (pabrik), dan Departemen SBF (Services, Bisnis and Finance). Di bawah depertemen ada divisi-divisi.

Khusus lingkup kerja Departemen Plantations memiliki 7 divisi area, 1 divisi T&FE, 1 divisi harvesting, dan 1. Departemen SBF memiliki satu divisi dan 1 sub divisi. Departemen Factory membawahi tiga divisi,dan Departemen Riset dua divisi.

Penyelenggaraan acara halal bihalal di PT Gunung Madu Plantations ini diadakan secara bergiliran oleh masing-masing divisi dan depertemen. Ada juga divisi yang menggabung acaranya menjadi satu, seperti Divisi Area 6 dan Divisi Area 7, serta Divisi Area 2 bergabung dengan Divisi T&FE dan Divisi Harvesting. Divisi Area 1 bergabung dengan Divisi Area 5.

Hal itu dikarenakan para karyawan dan stafnya berada di satu komplek perumahan. Misalnya, Divisi Area I dan Divisi Area 5, semua karyawan danstafnya bertempat tinggal di Perumahan (housing) 1; Divisi Area 6 dan Divisi Area 7 sama-sama berdomisili di Perumahan 6. Sedangkan karyawan dan staf Divisi Area 2, Divisi T&FE, dan Divisi Harvesting sebagian besar di Perumahan 2.

Jumat (16/9) malam, giliran Departemen Riset menyelenggarakan acara halal bihalal bagi pimpinan, staf, dan karyawannya. Saya mendapat kehormatan hadir, tentunya saya bertugas sebagai peliput. Karyawan PT Gunung Madu Plantations sangat suka bila kegiatan mereka dimuat di halaman Tabloid Tawon, sebuah media komunitas milik perusahaan. Sebagai insan media, setiap usai Lebaran saya dan kawan-kawan tentu saja sibuk menghadiri undangan halal bihalal di tiap divisi dan depertemen.

Acara halal bihalal di Depertemen Riset, yang dipusatkan di halaman parkir LSTC (Lampung Sugar Training Centre), itu agak berbeda dengan acara di tempat lain baik yang diselenggarakan divisi maupun departemen lain.

Di tempat lain, biasanya acara pokok dahulu: pembacaan ayat-ayat suci Alquran, sambutan-sambutan, tausiah dan doa. Setelah itu baru acara makan-makan, dan diakhiri dengan bersalam-salaman.
Nah, acara halal bihalal di Departemen Riset pada Jumat malam itu, agak berbeda. Para tamu yang datang langsung dipandu mengambil makan, lalu memilih tempat duduk. Begitu seterusnya sampai tamu terakhir. 
Begitu tiba saat acara dimulai seluruh tamu sudah makan dan nyaman duduk di tempatnya.

Sajian menunya cukup memancing selera, terutama gurame bubu pedasnya. Wah…cep..cep …nyem…nyem. Saya yang sebelum berangkat sudah mengganjal perut dengan nasi dan lauk ikan pun, tetap bernafsu ketika dipersilahkan makan.

Mungkin pihak panitia sengaja merancang acara makan terlebih dahulu, agar para tamu tidak gelisah ketika mengikuti acara demi acara, terutama saat mendengarkan sambutan kepala departemen dan tausiah dari ustad.

Taqobbalallah minna yaminkum taqobbal yakariim.

Senin, 19 September 2011

Selamat Jalan Pak Ruswandi

Pagi ini, Jumat (16/9), saya sangat terkejut ketika membaca sebuah judul berita di situs www.lampungpost.com, berjudul “Ruswandi Hasan Meninggal Dunia”. Almarhum adalah sosok yang sangat saya kenal.
Terakhir saya berjumpa beliau pada awal tahun 2010, pada acara rapat Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Provinsi Lampung. Rapat tersebut pesertanya adalah gubernur/wakil gubernur, seluruh walikota dan bupati, Muspida Tk I dan Tk II.
Kebetulan pada waktu itu yang menjadi tuan rumah adalah Kabupaten Lampung Tengah. Acaranya sendiri dipusatkan di Gedung Serba Guna (GSG) PT Gunung Madu Plantations (GMP). Saya, yang menjadi pengelola tabloid Tawon milik PT GMP, hadir pula di sana.
Pak Ruswandi Hasan hadir dalam acara itu, karena pada waktu itu beliau menjabat sebagai Bupati Mesuji. Di sela-sela waktu istirahat makan siang, saya menyempatkan diri menghampiri beliau. Hanya dalam waktu beberapa menit, saya dan Pak Ruswandi sempat saling menanya kabar. Kami sudah lama tidak berjumpa.
Pertemuan terakhir kami sebelum di acara Forkopimda tersebut adalah tahun 1995, di Lapangan Enggal Bandar Lampung. Kami yang sama-sama anggota Perguruan Tenaga Dalam Prana Sakti berjumpa di sana karena ada pembukaan latihan anggota baru oleh mendiang Guru Besar Drs. Asfanuddin Panjaitan.
Saya dan Pak Ruswandi Hasan kenal pertama tahun 1987, di Kalianda. Pada waktu itu beliau menjabat Kepala BKKBN Kabupaten Lampung Selatan. Dan, saya, adalah wartawan muda dari Harian Umum Lampung Post. Setelah mengikuti pelatihan jurnalistik selama kurang lebih 9 bulan, oleh pimpinan Harian Lampung Post, saya ditempatkan di Kalianda, ibukota Kabupaten Lampung Selatan.
Perkenalan antara seorang wartawan dengan seorang pejabat bukanlah hal luar biasa. Tetapi hubungan kami terjalin menjadi hubungan pribadi yang begitu kental. Beliau menganjurkan saya untuk ikut latihan tenaga dalam di Perguruan Tenaga Dalam Prana Sakti, “Kamu perlu menjaga diri dengan ilmu tenaga dalam. Pekerjaan kamu itu penuh resiko,” kata Pak Ruswandi kepada saya, suatu siang, ketika saya berkunjunga ke kantornya.
Hubungan kami, yang semula hanya hubungan wartawan dengan narasumber, makin lama makin akrab. Hubungan kami kemudian berubah seperti adik kakak. Saya yang semula memanggilnya “Bapak” berganti memanggil “kakak”, dan Pak Ruwandi cukup memanggil nama saya “Madjid” atau “Jid” saja.
Suatu ketika di tahun 1988, kurang lebih setahun setelah kami menjadi “saudara”, Pak Ruswandi berkata pada saya, “Jid, ini ada penerimaan calon PLKB (Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana). Kamu melamar aja, siapa tahu diterima. Pengangkatannya cepat. Kalau lulus tes, kamu menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) selama 6 bulan, setelah itu diangkat dengan status PNS 100%l.”
Mendengar tawaran tersebut, saya tertawa kecut. Saya merasa tidak mungkin bisa diterima jadi PNS, karena saya tidak punya uang untuk menyuap. Saya katakan pada beliau, “Saya gak punya uang Kak, apa mungkin saya diterima jadi PNS?”
“Dicoba dulu. Gak semua orang jadi PNS itu nyogok. Siapa tahu nasib kamu baik, bisa diterima tanpa nyogok,” kata Pak Ruswandi dengan nada agak marah.
Meskipun dengan perasaan bimbang, antara cinta dengan profesi wartawan dan tidak punya uang, saya akhirnya mengurus surat-surat untuk mendaftar PNS. Terus terang saya kurang berhasrat menjadi pegawai negeri, tetapi karena didesak Pak Ruswandi dan diimingi-imingi berbagai tunjangan dan uang pensiun kelak apabila pensiun, saya coba mengadu nasib.
Singkat cerita, saya lulus tes, dan diterima menjadi CPNS dan langsung bekerja. Saya ditempatkan di Kecamatan Sidomulyo. Beberapa bulan kemudian saya mengikuti penataran pra-jabatan. Tiga bulan kemudian saya menerima SK Pengangkatan sebagai PNS dari BAKN. Saya yakin ada campur tangan Pak Ruswandi memperjuangkan saya masuk jadi PNS, meskipun saya tidak mengeluarkan duit untuk menyogok.
Dua tahun setelah menjadi PNS di bawah pimpinan Pak Ruswandi Hasan, perasaan tidak cocok menjadi PNS semakin menggelitik hati. Jiwa saya selalu terpanggil untuk kembali ke dunia pers. Saya mengalami kesulitan beradaptasi dengan kehidupan PNS, terutama masalah disiplin waktu: jam 7.30 harus absen dan mengikuti apel pagi. Pulang pun demikian, ditentukan jamnya.
Saya juga tidak bisa bersikap sebagai bawahan terhadap Pak Ruswandi. Ketika masih wartawan saya biasa ngobrol bebas dengan beliau. Hal itu terbawa sampai saya menjadi PNS. Ketika beliau menginspeksi kecamatan kami, saya menemui beliau, bersalaman, lalu ngobrol seperti ketika saya masih wartawan. Hal itu membuat atasan saya Pengawas PLKB keki, dia menegur saya agar bersikap lebih hormat kepada Pak Ruswandi. “Saya tahu kamu bekas wartawan dan akrab dengan Pak Ruswandi, tetapi sekarang kamu itu bawahannya,” kata pengawas saya.
Suatu hari, dua tahun setelah saya jadi PNS, saya menghadap Pak Ruswandi Hasan. Saya menyatakan ingin mengundurkan diri dari PNS di jajarannya. Alasannya, saya tidak cocok menjadi PNS. Pak Ruswandi terkejut.
“Apa kamu gak salah ngomong..!?,” bentaknya.
“Gak Kak,” jawab saya.
“Tidak gampang orang menjadi PNS. Banyak orang mengikuti seleksi tidak lulus, dan banyak yang sanggup menyogok jutaan rupiah. Nah, kamu diterima jadi PNS tanpa nyogok, malah mau mengundurkan diri?” lanjutnya masih dengan nada tinggi.
“Saya beri kamu waktu satu bulan untuk berpikir. Sekarang pulanglah,” katanya menutup pembicaraan dengan saya.
Sebulan kemudian saya datang lagi masih dengan sikap dan pernyataan sebulan yang lalu. Karena merasa tidak kuasa melunakkan pendirian saya, akhirnya Pak Ruswandi meminta saya membuat surat permohonan mengundurkan diri. “Suratnya ditulis di kertas segel atau bermaterai,” katanya.
Saya mengikuti sarannya. Keesokan harinya saya sudah membawa surat pengunduran diri itu, lengkap dengan SK Pengangkatan yang asli untuk dikembalikan ke Negara. Pak Ruswandi hanya bisa geleng kepala seraya berkata, “Semoga kamu tidak salah pilih”.
Saya lalu kembali menggeluti profesi wartawan, tapi kali ini saya tidak lagi di lapangan. Harian Umum Lampung Post member saya posisi asisten redaktur karena ada pengembangan struktur organisasi.
Sejak mengundurkan diri itu, saya baru dua kali bertemu lagi Pak Ruswandi. Yang pertama seperti saya tulis di atas, yakni saat pembukaan latihan anggota baru Prana Sakti, tahun 1995. Dan, kedua tahun 2010 lalu, pada acara rapat koordinasi Forkopimda. Saat itu beliau sebagai penjabat bupati Mesuji.
Ketika meninggal, Kamis (15/9) sore, mantan pejabat Bupati Mesuji itu, dalam status sebagai salah satu calon bupati Mesuji yang akan mengikuti pilkada.
Drs. Ruswandi Hasan meninggal dunia di ruang HCU (High Care Unit) RS Bumi Waras Bandar Lampung. Menurut dokter yang merawatnya, almarhum menderita sakit ginjal dan paru-paru.
Selamat jalan Pak Ruswandi. Semoga Allah menerima amal ibadahnya dan mengampuni semua dosa-dosanya. Amiin

Anak-anak Butuh Dorongan


Pendekatan lepas-tangan itu tidak akan berhasil di rumah; apalagi di sekolah atau di kantor. Banyak penelitian yang memperlihatkan bahwa anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua yang bersikap keras tapi adil, di kemudian hari akan menjadi anak-anak yang merasa aman dengan dirinya. Anak-anak itu mungkin saja mengeluh dan berontak terhadap peraturan yang berlaku, tapi mereka juga akan bertumbuh menjadi anak yang lebih bahagia, lebih berambisi dan lebih bisa meyesuaikan diri dengan keadaan.
Kalau Anda menaruh perhatian terhadap anggota keluarga Anda, maka berarti Anda juga menaruh perhatian terhadap keberhasilan mereka, dan Anda mau mencurahkan waktu serta tenaga untuk belajar melakukan berbagai hal dengan baik.
Jika Anda terlalu pemurah terhadap anak-anak dan memberikan kebebasan untuk menggunakan wewenang dan uang, mereka memang boleh jadi akan mencium Anda dan berkata, “Ibu dan ayah memang hebat”. Tapi ciuman itu Anda peroleh karena Anda membelinya dari merka, dan Anda bukanlah hebat. Akan jauh lebih baik bila ciuman itu Anda peroleh ketika mereka telah berumur 25 tahun, menamatkan sekolahnya, diterima dalam suatu jabatan dan mereka berkata, “Terima kasih atas upaya ibu dan ayah dalam mengajar saya bekerja.”
“Anak didik senang didorong,” kata Bill Homig, inspektur sekolah negeri di California “Anak-anak menghargai dorongan. Mereka selalu berpendapat, ‘Jika Anda tidak mengusahakan agar saya melakukannya, maka saya tidak akan peduli untuk melakukannya.’
Mula-mula mereka menolak, tapi akhirnya melakukan juga.

Jumat, 16 September 2011

10 Tahun untuk Mantan Bupati

Tuntutan hukuman 10 tahun penjara untuk mantan Bupati Lampung Tengah Andy Achmad Sampurnajaya. Tuntutan itu dibacakan Tim Jaksa Kejaksaan Tinggi Lampung dalam sidang di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Robert Simorangkir dan dua anggotanya Itong Isnaeni dan Ida Ratnawati, Rabu (14/9).
Mantan bupati yang juga penyanyi terkenal asal Terbanggibesar, Lampung Tengah, itu dituntut atas tuduhan korupsi dana APBD Lampung Tengah 2008, senilai Rp28 miliar.
Dalam persidangan ini, Andy Achmad didampingi dua kuasa hukum: Suyitno Landung (mantan Kabareskrim Polri) dan Yuzar Akuan (pengacara terkenal di Lampung).
Tim jaksa yang terdiri dari A. Kohar, Yusna Adia, Sri Aprilinda, dan Yosef membacakan tuntutan secara bergantian. Menurut Tim Jaksa, berdasarkan keterangan para saksi di persidangan, diantaranya Herman Hasbullah, Musawir Subing, Puncak (putra terdakwa), Andy Achmad terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakkan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
Atas kejahatannya itu, Andy Achmad dinyatakan telah melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dan ditambah dengan UU No.20/2001 jo Psal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dalam dakwaan subside.
Selain menuntut Andy Achmad hukuman 10 tahun penjara, Tim Jaksa juga menuntut terdakwa membayar denda Rp500 juta subside 6 bulan kurungan. Terdakwa juga diperintahkan membayar uang pengganti sebesar rp20,5 miliar. Uang pengganti dibayarkan sesuai dengan Pasal 136 ayat (1) dan (2) PP No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Menurut Jaksa, hal-hal yang memberatkan terdakwa tidak mengindahkan program pemerintah tentang aparatur negara yang bebas korupsi kolusi dan nepotisme (KKN). Sedangkan yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, bersikap sopan dan baik di persidangan, serta masih memilik tanggungan keluarga (istri dan anak).
Masyarakat Lampung meragukan persidangan kasus korupsi APBD Lampung Tengah ini berjalan fair. Ini mengingat proses pengusutan sampai persidangan berjalan sangat lambat. Bahkan pada akhir Juni lalu, ada yang berjumpa Andy Achmad di Bandara Radin Intan II Bandar Lampung untuk penerbangan ke Jakarta. Padahal, saat itu dia berstatus tahanan kota.
Belum lagi tuduhan yang ditimpakan kepada Andy Achmad dinilai tidak sesuai dengan fakta hukum. Dalam berita salah satu harian lokal disebutkan bahwa tuntutan jaksa terhadap Andy Achmad adalah bersalah karena memindahkan uang APBD 2008 senilai Rp.28 milir dari Bank Lampung ke Bank Tripanca.
Padahal, sebenarnya perkara itu adalah korupsi. Uang APBD Lampung Tengah dipergunakan oleh terdakwa untuk biaya pencalonannya dalam bursa pilgub Lampung.


Rabu, 14 September 2011

Mau Jadi Jurkam? Cuti Dulu Dong

Ini kisah dari Lampung, tiga kepala daerah menjadi juru kampanye pasangan calon bupati dan wakil bupati Pringsewu. Ketiga kepala daerah itu adalah: Gubernur Lampung Drs. Sjahroeddin ZP; Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza, dan; Bupati Tanggamus Bambang Kurniawan, ST.
Tapi sayang, ketiga kepala daerah ini mengabaikan peraturan harus cuti, sesuai dengan aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No 14/2004, yang menyebutkan keharusan mengajukan cuti bagi pejabat negara yang tidak menjadi calon kepala daerah (KDh) atau Wakil Kepala daerah tetapi ikut dalam pelaksanaan kampanye.
Sebagaimana dilansir salah satu harian lokal, Selasa (13/9), disebutkan bahwa ketiga kepala daerah itu berkampanye untuk pasangan Sujadi-Handitya yang diusung koalisi PDIP.
Secara politis, Sjachroedin Z.P. adalah ketua DPD PDIP Lampung dan Rycko menjabat wakil ketua Bidang Pemuda DPD PDIP Lampung. Secara kekerabatan, Sjachroedin adalah ayah kandung Handitya dan Rycko adalah kakak kandung Handitya.
Bambang Kurniawan juga akan berusaha memenangkan Sujadi yang secara struktural masih menjabat wakil bupati Tanggamus. “Mereka harus memiliki surat izin cuti saat menghadiri kampanye,” kata Ketua Pokja Pencalonan KPU Pringsewu M. Ilham, Selasa (13-9).
Dia menilai kampanye Bambang di Sukoharjo dua hari lalu termasuk pelanggaran karena Bambang tidak menunjukkan surat cuti. Ia juga mempersoalkan panwas sebab tidak melaporkan pelanggaran tersebut.
KPU tidak bisa mengeluarkan surat peringatan karena mekanismenya harus ada laporan dari panwas terlebih dulu. “Jika nantinya pasangan ini menang, tentu akan ada gugatan yang bisa mengakibatkan pemilihan ulang,” ujarnya.
Ketua Pokja Kampanye KPU Pringsewu Andreas Andoyo menjelaskan Sjachroedin, Rycko, dan Bambang tidak menunjukkan surat cuti selama menjadi tim kampanye. “Panwasnya juga tidak melaporkan pelanggaran itu,” kata Andreas.
Menanggapi hal itu, Ketua Panwas Pringsewu Fatoni mengatakan pihaknya sudah meminta ketiga pejabat itu menunjukkan surat cuti. “Saya sudah meminta mereka membuat surat cuti. Kemarin kan baru hari pertama kampanye, jadi baru hari ini saya meminta agar surat cuti dibuat,” ujar dia.
Belajar dari Sumsel
Ketiga pejabat di Lampung tersebut seharusnya belajar dari Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin. Kepala daerah yang terkenal dengan program-program humanisnya itu mengajukan cuti sebelum berkampanye untuk calon bupati Banyu Asin.
Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin resmi mengajukan cuti jabatan selama 15 hari terhitung mulai hari ini.
Cuti kerja ini terkait statusnya sebagai salah satu juru kampanye Pilkada Musi Banyuasin (Muba) untuk pasangan Dodi Reza Alex-Islan Hanura yang diusung oleh Partai Golkar.
Seperti diketahui Dodi Reza Alex merupakan putra sulung Alex Noerdin yang juga Ketua DPD Partai Golkar Sumsel. Noerdin menyerahkan jalannya kepada Wakil Gubernur Eddy Yusuf dan Sekdaprov Sumsel Yusri Effendy Ibrahim.
“Terkait Pak Gubernur sebagai salah satu ketua partai, di mana partainya salah satu partai yang mengusung calon bupati dan wakil bupati Muba, maka pak gubernur mengajukan cuti. Izin cuti Pak Gubernur sudah disetujui Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang ditandatangani suratnya 9 September 2011,” kata Rizali, Kepala Biro Otonomi Daerah, Jumat (9/9/2011).
Menurut Rizali, langkah ini sudah sesuai dengan aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No 14/2004 yang menyebutkan keharusan mengajukan cuti bagi pejabat negara yang tidak menjadi calon kepala daerah (KDh) atau Wakil Kepala daerah tetapi ikut dalam pelaksanaan kampanye,
“Dukungan ini terkait dengan dukungan partai. Tetapi, jika ada kepala daerah ikut kampanye dan tidak ada kaitan dengan partai, jelas menyalahi aturan,” jelas Rizali.

Sssst Ada….di Ambon

Berita terakhir (12/9), yang saya baca di media online menyebutkan situasi Kota Ambon mulai kondusif. Mabes
Polri telah mengirim pasukan tambahan dari Satuan Brimob Polda Jawa Timur. Entahlah, kondisi
sebenarnya benar-benar kondusif atau “kondusif”?.
Kasus kerusuhan Ambon ini dipicu tewasnya seorang tukang ojek akibat kecelakaan.
Ada sinyalemen bahwa ada provokator di balik peristiwa kerusuhan itu. Menurut Kadiv Humas Mabes
Polri Irjan. Pol.Anton Bahrul Alam, Polri telah menelusuri SMS provokator yang membuat warga
terpancing.
Dalam setiap peristiwa kerusuhan, bentrok warga atau amuk massa, sudah pasti ada provokatornya.
Peristiwa seperti itu tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Sebuah peristiwa kecelakaan tak akan
meledak menjadi kerusuhan bila tak ada yang menyulut emosi massa.
Saya ingat ucapan seorang jenderal polisi ketika berjumpa saya tahun 1997, di Jakarta. Ia
mengatakan, “Dimana ada kerumunan massa, di situ berpotensi terjadi kerusuhan. Membakar emosi massa
itu sangat gampang,” katanya.
Sang jenderal bicara dalam posisi sebagai aparat keamanan. Menurut dia, aparat haruslah pandai
membaca situasi dan kondisi, melakukan analisis dan membuat perkiraan keadaan sebagai bahan laporan
kepada pimpinan agar bisa mengambil tindakan yang tepat.
Bila kita lihat dari kacamata berlawanan dari Sang Jenderal, seorang provokator bekerja juga
berdasarkan analisis keadaan. Dia membaca situasi dan kondisi, dan menunggu momentum untuk
memanfaatkannya.
Apa yang dilakukan oleh seorang provokator adalah hal biasa, dan merupakan salah satu keterampilan
seorang intelijen. Ada istilah pra-kondisi dan menciptakan kondisi. Kondisi pro dan kontra bisa
diciptakan oleh seorang intelijen tanpa harus melakukan rekayasa, tetapi dengan memanfaatkan
peristiwa di sekitar. Dan, intelijen bekerja atas perintah atasan. Atasan tertinggi intelijen-lah
yang tahu kemana muara  yang dituju untuk sebuah peristiwa. Setiap peristiwa tidak berdiri sendiri,
pasti ada hubungannya dengan peristiwa-peristiwa lain dan punya tujuan spesifik.
Saya tidak perlu terlalu dalam mengulas masalah intelijen, karena bukan itu tujuan tulisan ini
dibuat. Ini hanya sebagai mata pisau analisa saja terhadap peristiwa Ambon berdasarkan apa yang
diungkapkan Kadiv Humas Mabes Polri bahwa ada provokator dibalik peristiwa Ambon.
Nah, jika betul ada provokator, lantas pertanyaannya adalah :
siapakah yang berkepentingan atasadanya kerusuhan di Ambon? Karena provokator tidak mungkin bekerja
atas keinginan sendiri, diapasti mendapat sesuatu dari peristiwa itu, mendapat upah misalnya.
Siapa yang menangguk keuntungan? Jika tidak ada keuntungan untuk apa seseorang, kelompok, atau
kekuatan tertentu menciptakan kerusuhan di Ambon.
Terus apa target jangka pendek dan jangka panjangnya?
Apakah berkaitan dengan kepentingan politik Pusat?
Apakah berkaitan dengan kepentingan politik Lokal?
Apakah berkaitan dengan kepentingan financial?
Atau ada tangan asing yang bermain untuk menggoyang kedaulatan RI?
Jika semua pertanyaan tersebut tidak benar,lantas apa tujuan si provokator memancing kerusuhan?
Apapun alasannya dan apapun tujuannya, yang jelas saudara-saudara kita di Ambon sudah menjadi
korban.
Bentrok Ambon pecah Minggu (11-9) siang. Bentrokan disebabkan SMS provokatif yang disebarkan karena
kasus meninggalnya seorang tukang ojek akibat kecelakaan.
Polri menyebut 3 orang meninggal dunia, 24 luka berat dan 65 luka-luka. 3 Rumah, 4 motor dan 2
mobil rusak akibat bentrokan tersebut.

Kejujuran Seharga 50 Ribu Dollar

Hari ini (12/9) saya menemukan sebuah tulisan yang sangat menarik di www.kabarinews.com. Sebuah judul yang menggelitik hati dan menggerakkan keinginan untuk segera membacanya. Tulisan tersebut berjudul “Bocah Kembalikan Hadiah 50 Ribu dolar Amerika”, yang ditulis oleh Indah Winarso.
Berita itu menceritakan kejujuran seorang bocah bernama Nate Smith. Bocah ini rela mengembalikan hadiah sebesar 50 ribu dolar demi mengutamakan kejujuran.
Kejujuran yang dilakukan Nate Smith, bocah laki-laki 11 tahun asal Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat pantas ditiru. Meski akibat kejujurannya, Nate harus kehilangan hadiah uang sebesar US$50,000 atau sekitar Rp425 juta yang diperolehnya.
Kisahnya berawal saat Nate mendapatkan kesempatan untuk memukul bola hoki es ke sebuah lubang kecil dalam jarak 27 meter.Jika berhasil memasukkan bola dalam sekali pukul maka Nate akan menerima hadiah uang yang sangat banyak.
Ternyata bocah penggemar olahraga hoki es mampu melakukan ‘hole in one’. Sehingga Nate berhak atas hadiah uang yang disediakan panitia.
Sehari setelah menerima hadiah itu, sang ayah, Pat Smith mengembalikan uang tersebut. Pat mengatakan di rumah Nate mengakui bertindak tidak jujur sehingga memenangkan hadiah tersebut. Nate mengakui bahwa nama saudara kembarnya Nick yang dipanggil panitia untuk melakukan tembakan keberuntungan. Saat namanya dipanggil, Nick tengah keluar stadion bersama seorang temannya.
Pat kemudian menyuruh Nate untuk maju ke tengah lapangan menggantikan saudara kembarnya dan mencoba keberuntungannya.
Awalnya, Pat tidak berniat mengembalikan hadiah uang itu. Namun di rumah mereka,kedua saudara kembar itu terus menerus gelisah karena hadiah yang cukup besar itu. Akhirnya Pat memutuskan mengembalikan hadiah itu karena mereka yakin bahwa kejujuran adalah tindakan terbaik.
Kejujuran keluarga Smith ini mendapat penghargaan dan pujian dari banyak pihak. Sebagai gantinya, Odds On Promotion sebagai penyelenggara kemudian mendonasikan uang sebesar US$ 20.000 dolar atau sekitar Rp 170 juta untuk Asosiasi Hoki Remaja Owatonna tempat Nate dan Nick bermain. Sebagai penghargaan, maka donasi itu diberikan atas nama Nate dan Nick,” tambah Gilmartin ketua Odds On Promotion seperti dilansir AP.

Papa, Gita Mau Baju Lebaran…

“Papa, Gita Mau Baju Lebaran dan sepatu baru.” Kata-kata yang diucapkan putri bungsuku, Sagita, 4 tahun, terngiang di telinga, saat lewat di Bandarjaya Plaza.
Kata-kata anakku terngiang ketika aku melihat seorang anak seusia putriku sedang memilih baju baru bersama ibunya di sebuah toko pakaian.
Minggu terakhir bulan puasa ini memang saatnya orang berbelanja. Beruntung sekali anak itu, bisa mengenakan baju baru saat lebaran. Sementara anakku tak bisa kubelikan baju baru.
Tahun ini aku tak mampu membelikan anakku baju baru. Aku baru saja keluar dari rumah sakit karena asma akut. Biaya berobat masih terutang Rp.8 juta, dan aku belum bisa membayarnya. Perusahaan tempatku bekerja merasa tak punya kewajiban membiayai berobatku, karena aku hanya buruh kontrak, yang tak punya hak memperoleh fasilitas berobat.
Saat aku menatap ibu dan anak yang belanja pakaian itu, tiba-tiba hp di kantong celanaku bergetar. Segera kuangkat, di layar hp kulihat tulisan “panggilan di SIM 2″. Wah! ini nomor Simpatiku, nomor dari Telkomsel. Di hp dual SIM ini, aku memakai nomor Flash di SIM 1 untuk internetan, dan Simpati di SIM 2, untuk sms dan telepon.
“Hallo, Pa. Sudah sampai belum di apotik?,” suara isteriku terdengar nyaring dari seberang. “Kalau sudah di apotik, mama titip beliin obat sakit kepala,” sambungnya.
Sakit kepala. Akhir-akhir ini isteriku sering mengidap sakit kepala. Mungkin karena terlalu berat memikirkan keadaan ekonomi kami saat ini yang sedang dilanda krisis.
Tahun ini aku merasa jatuh terpuruk. Setelah jatuh sakit dan harus diopname di rumah sakit, aku menerima tagihan uang komite putraku yang di SMA. uang komite tahun lalu menunggak Rp.2,6 juta, ditambah lagi tagihan tahun ini Rp.2,4 juta. Pusing!
Ramadhan tahun ini kami betul-betul puasa. Puasa menahan haus dan lapar, serta puasa dari belanja baju lebaran. Bahkan untuk belanja kue lebaran pun rasanya tak mampu.
Kulanjutkan langkahku melewati kios-kios di Bandarjaya Plaza. Salah satu pusat belanja di Lampung Tengah ini, penuh sesak oleh ibu-ibu yang berbelanja. Di salah satu kios di sebelah kiri, kulihat kerumunan ibu-ibu memilih-milih toples warna-warni. Di kios sebelahnya, serombongan ibu lainnya sedang menawar kain gordin.
Toko pakaian, toko sepatu, dan toko kue penuh sesak ibu-ibu berbelanja.
Kembali aku teringat putri bungsu di rumah, yang meminta dibelikan baju lebaran. “Papa, Gita Mau Baju Lebaran.”
Hatiku tersayat ketika mendengar kata-kata anakku yang masih lucu itu. Dia belum punya dosa, belum bisa merasakan betapa sulit keuangan papa-nya saat ini. Kakak-kakaknya tidak minta apa-apa. Mereka diam. Tetapi dari tatapan mereka, aku bisa merasakan mereka juga punya keinginan. Mereka tak kuasa mengucapkan keinginannya, karena tahu aku tak bisa memenuhinya.
“Papa, Gia Mau Baju Lebaran…”. Tiap kali aku melihat orang berbelanja, ucapan Sagita selalu terngiang. Dan, aku hanya bisa menghela napas panjang kemudian memohon ampun kepada Allah, “Ya Allah ampuni dosa-dosaku. Limpahilah kami dengan rahmat dan rejekimu agar aku dapat memenuhi kebutuhan keluargaku”.
Meskipun aku tak bisa membelikan baju baru untuk anakku, tapi aku masih merasa beruntung, karena pulsa telkomselku masih tetap terisi.

“Kita Bukan Siapa-Siapa….”

“Di sini kita bukan siapa-siapa. Buang jauh-jauh kenangan tentang siapa dan bagaimana kita dulu”. Kalimat-kalimat itu meluncur dari mulut rekan. Kata-kata itu diucapkannya kepada saya pada suatu hari beberapa tahun lalu, ketika saya berkunjung ke ruangan kerjanya. Dulu kami sama-sama bekerja di sebuah koran harian. Sekarang rekan saya sudah menjadi officer di sebuah perusahaan perkebunan, saya menyusul menjadi pekerja kontrak.
Meskipun dia mengucapkan itu dengan kata “kita”, sebenarnya ucapan itu ditujukan kepada saya. Lebih tepatnya sebagai peringatan agar saya tidak macam-macam, banyak tingkah, banyak cerita, dan lain-lain.
Di sini, di tempat baru, di perusahaan tempat saya bekerja sekarang, sangat berbeda dengan tempat dulu kami masih sama-sama. Di sini, perusahaannya lebih besar. Dan, rekan saya itu menduduki posisi penting. Dia staf di perusahaan ini.
Pada waktu itu — ketika dia mengucapkan kata-kata “kita bukan siapa-siapa…” — saya baru saja bergabung di perusahaan itu sebagai tenaga kontrak. Beda jauh dengan dia.
Tenaga kontrak di sini hanya punya hak menerima gaji, tempat tinggal di mes hanya untuk diri sendiri, jaminan kesehatan gratis di medical perusahaan juga hanya untuk diri sendiri. Kalau berobat diluar medical perusahaan, biaya ditanggung sendiri. Begitu juga kalau keluarga berobat meskipun di medical perusahaan, tetap bayar.
Sedangkan rekan saya (sekarang mungkin lebih tepat sebagai mantan rekan) sebagai staf dia mendapat hak-hak yang luar biasa istimewa. Gaji besar plus tunjangan ini-itu, punya hak antar-jemput kendaraan kijang innova milik perusahaan. Kemudian ada hak menerima bonus 7x gaji, uang THR 1 bulan gaji. Berobat dimana pun ditanggung perusahaan. Ada lagi asuransi kesehatan, jamsostek, dan beasiswa untuk putra-putri mulai dari SD sampai perguruan tinggi.
Dulu ketika masih sama-sama di koran harian, hidup kami senasib sepenanggungan. Saya sedikit lebih dari dia, karena saya punya banyak kenalan kalangan perwira menengah dan perwira tinggi militer dan kepolisian. Saya juga sempat dipercaya memimpin organisasi pers. Bergaul dengan banyak pejabat pemerintahan.
Mungkin karena itu pula, mantan rekan saya itu mengingatkan bahwa “kita” bukan siapa-siapa di sini. Tentu saja yang dimaksud “kita” hanya diri saya. Di sini, di tempat baru ini, saya tidak boleh menceritakan bagaimana pergaulan saya dulu ketika belum masuk perusahaan ini.
Saya tidak tahu pasti apa tujuannya menekankan kata “Bukan siapa-siapa” tersebut.
Sebenarnya, tanpa diingatkan pun saya sudah tahu bahwa saya “bukan siapa-siapa”. Di perusahaan ini saya merasa hanya sebagai “orang numpang hidup”. Perasaan itu tentu saja muncul di hati saya lantaran perbedaan status dan hak dibanding para karyawan tetap dan staf.
Di perusahaan ini para karyawan dan staf merasa sebagai pemilik perusahaan ketimbang sebagai pekerja atau buruh. Padahal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hanya ada satu sebutan untuk orang yang bekerja pada orang lain, yakni buruh. Baik dia bekerja di perusahaan maupun pada orang pribadi sebutannya tetap saja buruh.
Jadi, sebenarnya meskipun saya tenaga kontrak dan mereka karyawan tetap maupun staf, pada hakikatnya tetap saja sama — sama-sama buruh atau pekerja. Toh kami sama-sama digaji oleh perusahaan, yang nota bene adalah milik seorang investor. Sebenarnya kami semua adalah kacung-kacung dari investor.
Apakah dia berstatus karyawan atau staf, tetap saja hakikatnya mereka adalah pesuruh atau orang suruhan Sang Investor. Mereka bukan pemilik perusahaan. Begitu juga dengan saya.
Dalam hati saya mengatakan bahwa mereka hanya pesuruh yang berlagak sebagai pemilik perusahaan. saya tidak perlu berkecil hati. Toh kami sama-sama pesuruh atau kacung.

Mau Jadi PNS? Fulus Dulu Dong

Suatu hari di awal tahun 2011, besan saya — mertua anak perempuan saya –bertandang ke rumah. Mereka datang satu mobil kijang : besan saya suami isteri, anak dan cucunya, termasuk putri saya bersama anaknya. Seingat saya waktu itu bulan Maret 2011, tanggalnya saya lupa.

Sebagaimana lazimnya pertemuan dua keluarga tentu dipenuhi basa-basi dan cerita-cerita ringan untuk mempererat hubungan perbesanan. Setelah ngalor-ngidul cerita sana-sini, besan saya yang laki-laki menyinggung soal pekerjaan puteranya, yang dimaksud adalah menantu saya.

“Sebentar lagi Pak, SK anak kita akan keluar. Dia akan bekerja di kantor Pemerintah Kabupaten….Dia diterima jadi PNS,” demikian Besan saya berkata pada saya.

“PNS Pak?” saya bertanya dengan nada bingung. Terus terang, saya bingung karena sepengetahuan saya, menatu saya tersebut tidak pernah memasukkan lamaran apalagi ikut tes CPNS. Bagaimana mungkin bisa diterima jadi PNS?

“Iya, PNS!,” tegas besan saya dengan nada tinggi untuk meyakinkan saya.

“Syukur alhamdulillah kalau begitu pak,” kata saya masih diliputi keraguan. Meskipun demikian saya berpura-pura percaya seratus persen pada besan. Ini untuk menjaga perasaannya agar tidak merasa diremehkan.

Mungkin karena masih melihat keraguan di wajah saya, tanpa diminta Besan saya menjelaskan bahwa dia dan isterinya telah memberikan uang Rp.90 juga kepada seorang oknum PNS di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Anu (nama kabupaten sengaja tidak ditulis).

Terus terang saya tidak terkejut mendengar tentang sogok-menyogok dalam penerimaan PNS. Tetapi, yang membuat saya terkejut adalah Besan saya memberikan uang Rp.90 juta untuk menjadikan 3 orang anaknya PNS. Ini jelas penipuan.

Mengapa saya katakan penipuan? Karena seperti saya tulis di atas bahwa masuk PNS harus menyogok itu sudah bukan rahasia lagi. Tetapi tiap jenjang itu ada tarifnya sendiri. Jenjang sarjana misalnya Rp.80 juta - Rp.100 juta; D3 kisaran Rp.75 juta - Rp.80 juta. Nah, untuk jenjang SMA Rp.60 juta per-orang.
Lah! Ini besan saya hanya diminta Rp.90 juta untuk tiga orang - dua dari tiga anaknya sarjana, satu orang SMA. Pejabat mana yang mau menjamin ketiga anak besan saya itu bisa jadi PNS dengan uang segitu? Apalagi tanpa tes. Jelas ini tidak masuk akal.

Seperti ingin lebih meyakinkan saya, Besan saya itu menegaskan “Bulan-bulan ini Pak! Paling lambat April nanti SK-nya kita terima dan anak kita langsung ditempatkan,” katanya pada waktu itu.

Dalam hati saya berkata “tunggu sajalah kau akan tahu bahwa engkatu telah ditipu”.

Sepulang besan dari rumah saya, saya katakan pada isteri bahwa besan kami itu telah kena tipu.

“Koq papa bisa tahu?” tanya isteri saya meragukan kemampuan saya membaca situasi.

“Papa tahu, karena papa sedikit banyak mengerti bagaimana permainan oknum-oknum di kantor pemerintahan memanfaatkan celah penerimaan CPNS.Kalau mama gak percaya tunggu saja nanti bulan April apa SK-nya benar-benar keluar atau tidak?” kata saya pada isteri.

Singkat cerita Bulan April pun berlalu, SK yang dijanjikan kepada besan saya tidak ada kabarnya.
Sebulan kemudian (Mei) Besan saya datang lagi ke rumah. Dia bilang ada kabar dari kontak person-nya soal SK PNS itu bahwa ada sedikit masalah administrasi. Si kontak person Besan saya mengatakan SK akan keluar Bulan Juni. Besan saya tampak mulai bimbang, itu terlihat dari ekspresinya yang kurang bersemangat.

Bulan Mei berlalu, kemudian Bulan Juni pun lewat, SK yang ditunggu tak kunjung keluar.

Awal Juli Besan saya mendapat kabar SK akan keluar akhir Juli. Kabar itu disertai janji kalau SK tidak keluar uang Rp.90 juta akan dikembalikan. Besan saya sudah punya rencana lain jika uang dikembalikan. Dia akan memberikan uang itu kepada menantu saya untuk modal usaha di pasar.

Sekarang bulan Juli sudah terlewati, janji oknum tersebut ternyata gombal belaka. Besan saya tak ada suaranya lagi. Baru tahu dia kalau sudah kena tipu.

Anak Singkong

Aku Anak Singkong, Engkau Anak Keju, Apa yang akan Kau Berikan Padaku? Demikian cuplikan syair lagu yang dilantunkan almarhum Arie Wibowo dan pernah popular di awal tahun 90-an.
Itu memang hanya sebuah lagu, tapi kenyataan tentang “Anak Singkong” ada di sekitar rumah saya. Anak-anak singkong. Mereka bekeliaran keluar rumah sejak pagi hingga petang. Anak-anak itu berusia dibawah 15 tahun, dan tak lagi bersekolah. Mereka mencari nafkah untuk membantu orang tua.
Lima tahun silam saya memutuskan pindah dari Kota Bandar Lampung ke sebuah desa di jalur Lintas Timur Trans Sumatera, Kabupaten Lampung Tengah. Daerah ini terkenal dengan produksi ubi kayu atau ketela pohon, atau bahasa awamnya – singkong.
Hampir di setiap kecamatan di kabupaten Lampung Tengah ini berdiri pabrik-pabrik pengolah tepung tapioka. Dan, di kabupaten ini pula berdiri perusahaan gula terbesar di Lampung (PT Gunung Madu Plantations), serta sebuah pabrik pengolahan nanas, PT Great Giant Pineapple (GGP). Kedua perusahaan raksasa ini memiliki kebun sendiri yang luasnya mencapai puluhan ribu hektar.
Kampung tempat tinggal saya sekarang tak jauh dari dua perusahaan tersebut. Bahkan, tak jauh dari rumah saya ada sebuah pabrik pengolah tebung tapioka yang berproduksi setiap hari. Dengan keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut, jadilah Kabupaten Lampung Tengah sebagai kabupaten kaya di Lampung.
Tetapi, hal itu ironi dengan kenyataan di sekeliling saya, banyak anak usia belasan tahun tidak bersekolah lagi karena orang tua tidak mampu. Di antara mereka ada yang putus sekolah saat kelas 4, kelas 5, dan kelas 6 SD. Ada yang lulus SD tapi tak bisa melanjutkan ke SMP. Ada pula yang bisa masuk SMP tapi putus saat kelas 2 atau ketika naik kelas 3.
Dan, anak-anak itu kemudian menjadi “Anak Singkong”. Mereka disebut “Anak Singkong” karena bekerja di ladang singkong sebagai buruh cabut atau buruh angkut. Upah mereka hanya separuh dari upah orang dewasa. Mungkin karena mereka bekerja bersama orang dewasa yang lebih kuat dan cekatan. Untuk upah muat singkong ke mobil mereka hanya dibayar Rp.10.000 sekali muat. Upah cabut hanya Rp.20.000 per-hektar.
Upah yang mereka dapat dari mencabut dan memuat singkong itu mereka bawa pulang untuk diberikan kepada ibu di rumah. “Untuk membantu belanja ibu,” kata Santori, 11 tahun, ketika ditanya untuk apa uangnya.
Sementara Riska, 14 tahun, sejak tahun ajaran baru 2011 tidak lagi sekolah. Dia berhenti saat naik kelas 6. Orangtuanya meminta dia tidak bersekolah lagi. Dia dianggap sudah kuat membantu orang tua mencari uang. Orangtuanya mengaku tak kuat lagi membiayai sekolah anaknya. “Gantian sama adiknya yang masih TK. Riska kan sudah bisa baca-tulis, sedang adiknya belum. Lagi pula biaya sekolah sekarang tinggi,” kata Pak Riswan, ayah Riska.
Sekolah SD memang tidak dikenakan SPP. Tetapi para guru cukup pintar membuat dalih untuk mengeruk uang dari siswa. Tiap hari ada saja alasan guru menyuruh siswa membawa uang ke sekolah, beli buku-lah, uang les-lah, beli sapu dan bermacam-macam alasan lain.
Hal itu, menurut Riswan dan para orang tua “Anak Singkong” lainnya merasa terbebani menyekolahkan anak. Sementara penghasilan mereka dari menjadi buruh relative kecil dan itu pun dibayar mingguan.
Selain mencari upahan mencabut dan memuat singkong. Anak-anak itu masih bisa mencari tambahan penghasilan dari lahan singkong tersebut dengan cara meleles. Meleles adalah sebutan untuk kegiatan mencari sisa-sisa umbi singkong di lahan yang baru saja dipanen. Biasanya masih tersisa cukup banyak singkong di lahan tersebut, dan anak-anak sangat menyukainya.
Singkong-singkong hasil lelesan tersebut dijual ke pengepul yang disebut Lapak Singkong. Harga jual singkong lelesan ini kisaran Rp.400 – Rp.500/kg, jauh dibawah harga normal yang mencapai Rp.700-Rp.800/kg. Cukup lumayan bagi anak-anak tersebut karena satu anak bisa memperoleh hasil lelesan 5 – 10 kg dalam 1 hektar lahan.
Tulisan ini belumlah menggambarkan keadaan sebenarnya secara utuh. Untuk memaparkan secara utuh harus ada reportase yang mendalam. Tetapi, paling tidak sketsa ini bisa menyibak sedikit kondisi riil di salah satu belahan Bumi Indonesia bahwa masih ada anak-anak bangsa yang putus sekolah karena alasan ekonomi.
Paling tidak apa yang saya tuliskan di atas sedikit menggambarkan bahwa keberadaan perusahaan-perusahaan besar atau kehadiran kapitalis di sebuh daerah, tidak otomatis mensejahterakan masyarakat setempat

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto