Jumat, 06 Juni 2008

Adin Mati Kurang Makan

INGATAN saya melayang ke masa ke kepahitan hidup ketika pernah menetap di Pekanbaru, Riau, di penggalan 1971 -1979. Ingin sesungguhnya membawa kenangan itu ke alam kubur, tetapi ketika seorang kawan mem-forward sebuah artikel di harian Pos Kota, Rabu, 3 Juni 2008, berjudul: Penyapu Jalan Tewas Kelaparan, bayangan pernah memakan singkong dan air putih untuk sekadar bertahan hidup muncul mendadak di benak.

Syahdan, bagi banyak perantau, apalagi dalam usia kanak-kanak, kemandirian hidup mesti dilalui. Tiada lain, bersekolah dan mencari biaya makan sehari-hari, menjadi tuntutan.
Saya teringat kala itu, 1974, dengan Rp 5, bisa membeli goreng singkong yang tidak dipotong - - digoreng utuh - - dengan ukuran cukup besar. Kala itu, singkong goreng saya nikmati laksana hari ini memakan daging steak di restoran Angus, di top floor Chase Plaza, Jl. Sudirman, Jakarta Pusat.
Dengan uang Rp 25, saya bertahan tiga hari. Sepuluh rupiah hari pertama, sepuluh rupiah hari kedua. Lima rupiah hari ketiga.
Di hari ketiga, saya sudah menjadi kacung bola tenis, di lapangan tenis dekat asrama Brimob, Sukajadi, Pekanbaru. Hal hasil, baru di hari ketiga itu perut kembali terisi nasi. Dua hari sebelumnya hanya singkong dan air putih saja menari-nari bersama cacing di perut bergemerincing.
Ada petuah mengatakan, jika ingin merasakan bagaimana pahitnya hidup masyarakat kebanyakan, maka berlakulah macam kehidupan mereka sehari-hari.
Sehingga ketika membaca berita penyapu jalan yang tewas karena kurang makan, demi mepertahankan hidup, hanya meminum air putih dan singkong, bukan lagi sebuah romantisme biasa bagi saya.
Rasa, pengalaman hidup yang pernah berlalu, bukan lagi menjadi sekadar kata yang terucap.Kenyataan, empirik, yang saya lalui itulah kiranya menjadi salah satu angle tajuk-tajuk ini.
Di malam sebelum tewasnya Adin - - penyapu jalan itu - - isterinya tak sempat lagi memintakan singkong ke tetangga. Sebelum berangkat kerja, Adin hanya meminum air putih. Adin berujar kepada isterinya perutnya sedikit sakit. Ia melangkah bekerja menyapu jalan.
Di dalam tugas Adin berpulang.
Ajal memang di tangan Yang Maha Kuasa.
Namun di tahun 2008, 35 tahun setelah saya pernah merasakan makan singkong dan air putih untuk mengganjal perut itu, kini pun terjadi pada orang lain, di kota yang sejuk Bogor, Jabotabek, area yang konon lebih dari 60% uang beredar, saya menjadi betul-betul menjadi tidak habis pikir: Mengapa hal ini bisa terjadi? Selera saya seakan patah ketika duduk bersama keluarga di meja makan, yang menghidangkan makanan paling tidak mengandung empat sehat.

Saya kutipkan untuk Anda, berita di Pos Kota, Rabu, 4 Juni 2008

Penyapu Jalan Tewas Kelaparan
BOGOR (Pos Kota) - Harga kebutuhan pokok yang terus merangkak seiring kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) memunculkan beragam kisah pilu. Seorang penyapu jalan tewas di pinggir jalan Sukasari, Bogor Timur, Selasa (3/6) siang.
Diduga, Adin, 46, petugas kebersihan pada Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bogor, itu meninggal dunia karena kelaparan. Ia hanya makan satu kali sehari karena harus berbagi dengan ketiga anaknya.
Sebagaimana dituturkan Neglasari, 40, istri Adin, di RSUD PMI Bogor tempat jasad sang suami diotopsi, korban meninggal akibat menahan lapar sejak malam.
Menurut Neglasari sejak kenaikan BBM yang dibarengi dengan melonjaknya harga kebutuhan pokok, ia dan suaminya kelabakan mengatur pendapatan bulanan yang hanya Rp750 ribu.
Jumlah yang sangat minim ini harus diatur sehemat mungkin agar bisa menyisihkan dana untuk biaya sekolah dua dari tiga anaknya. "Biaya hidup dengan tiga anak sangat tidak mencukupi dengan gaji hanya Rp750 ribu sebulan," kata Neglasari saat berada di ruang forensik rumah sakit.
Cuma Minum Air Putih
Warga Kampung Cibitung RT 02/07, Desa Tenjolaya, Kabupaten Bogor, ini mengaku untuk bisa bertahan hingga gajian bulan berikutnya, terkadang mereka makan sehari sekali. Bahkan jika makanan yang tersedia tidak mencukupi untuk semua, ia dan suaminya terpaksa cuma minum air putih.
"Dengan gaji suami, kami bisa bertahan hingga dua minggu lebih. Selebihnya, sudah morat-marit. Untuk bertahan agar anak-anak tidak kelaparan, kami makan sehari sekali. Kadang diselipkan dengan rebus singkong dan daunnya yang saya minta dari warga," paparnya.
Kepergian sang suami, diakui ibu tiga anak ini, akibat sejak malam tidak makan. Menu yang seharusnya untuk sang suami, terpaksa dibagikan ke tiga anaknya yang mengaku sedang lapar.
Bahkan sebelum berangkat kerja, korban sempat mengeluh sakit pada bagian perutnya.
"Saya pikir sakit biasa. Rupanya sakit itu, pertanda lapar sejak malam," ujar sang istri sambil menambahkan dirinya tidak sempat keluar minta singkong ke tetangga untuk makan suami karena waktu sudah malam. (yopi/ok)
SUARA rakyat suara Tuhan. Rakyat giat bekerja, walaupun keadaan memang tidak berpihak di tanah bernama Indonesia kini, tidak pula harus mengecilkan harap. Semoga surganya Tuhan menerima jasad Adin. Amin!
SESUAI janji siang ini saya bertemu dengan Zahara, sosok kakak seorang kawan yang puterinya baru saja menyelesaikan sekolah S2 di Jerman.
Kami akan mengunjungi Ary Suta Centre di jam makan siang Rabu ini. Sang puteri, yang juga pernah menjadi atlit menembak nasional, saya sarankan untuk membuat saja sebuah program televisi bertajuk German Talk, talk show di televisi berbahasa Jerman - - dapat menampung komunitas Jerman yang ada di Indonesia. Dukungan sponsor bisa didapat dari beberapa perusahaan Jerman yang ada di indonesia.
Zahara mengatakan bahwa sponsor awal mungkin bisa ia mintakan kepada I Gde Ary Suta, mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) itu. Ary Suta kini memang memiliki lembaga think-thank, Ary Suta Centre, dan siang itu rupanya ada acara mengundang Wiranto, dari Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA), tampil sebagai pembicara tunggal dalam diskusi rutin bulanan lembaga itu.
Lokasi kantor Ary Suta Center di bilangan Prapanca III, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ia menempati sebuah rumah berukuran besar, khas Kebayoran. Begitu memasuki halaman, dua buah mobil VW Caravelle Transporter diparkir. Satu berwarna putih dan sebuah lagi hitam. Yang putih di bawah tenda putih, di sampingnya ada meja yang ditempati bagian promosi kendaraan itu. Begitu masuk, sosok pria muda memberikan kartu nama, dan menawarkan untuk test drive mobil berbahan bakar diesel itu.
Menurut saya inilah cara memasarkan mobil yang unik. Untuk kalangan terbatas, di event-event terbatas berkelas.
Di sampaing rumah sudah tersedia tenda yang menaungi makanan. Ada nasi Bali, lontong cap go meh, ada es puter. Acara makan siang dilanjutkan dengan presentasi Wiranto.
Begitu masuk dua buah lukisan di dinding menyambut. Sebuah lukisan di kanan menampilkan mobil jeep dalam susana off road. Lukisan di kiri, juga susana off road, tapi mobil yang di kanvas itu: VW Safari berwarna kaki di tengah padang pasir dan lumpur.
Di bagian depan tempat Wiranto bicara. Latarnya lukisan besar panorama yang lain, seakan bertutur alam yang tandus, sehingga pigura lukisan pun beraksen tua, bintik-bintik, coklat kusam, bolong-bolong, memberikan kesan tersendiri.
Di antara hadirin, tampak Christianto Wibisono, sosok pemilik Pusat Data Bisnis, yang usai kerusuhan Mei 1998 menetap di Amerika Serikat. Ada kalangan pengusaha, kebanyakan pelaku bursa. Ada anggota DPR asal Bali, seperti Gde Sumarjaya Linggih, anggota Komisi IV. Juga ada Syirikitsyah, tokoh pers dari Surabaya. Marissa Haque, artis yang menatan anggota DPR itu tampak datang terlambat.
Tidak ada hal baru yang dipaparkan Wiranto. Ia bertutur tentang peran-peran hebatnya masa lalu. Juga soal alasannya mencalonkan diri menjadi presiden ke depan. Sempat pula terucap bahwa yang menyarankan SBY menjadi Menteri Pertambangan dan Energi ke Gus Dur dulunya Wiranto.
Tanya jawab dibuka. Sebagaimana lazim di pertemuan macam begini, orang sering syur bicara tentang “kehebatannya” di depan forum, bukan bertanya.
Bahkan seorang Christianto Wibisono pun seakan demam panggung ketika diberi kesempatan bertanya, malah menyerocos untuk membuka mata. “Dulu IMF menolong Asia di saat krisis, kini IMF justeru mengalami masalah, mengurangi tenaga kerja, apa yang kita lakukan?” tutur Christianto. Ia mengingatkan bahwa ke depan tidak bisa lagi menghujat negara asing, lembaga asing. “Kita harus membuka mata lebar-lebar di tananan global,” ujarnya seakan menasehati.
Kejadian kecil mengganggu suasana yang tak sampai di hadiri 100 orang peserta itu. Hand Phone saya kendati sudah dibuat silent, eh, ternyata belum benar-benar diam. Begitu ada telepon masuk, suaranya belum berubah dari ring tone di lagu yang di volume paling kencang pula. Hal itu mendapat tanggapan sindiran oleh Wiranto. Tidak enak betul rasanya saya. Tapi mau apa. Keringat sempat mengalir di wajah saya.
Marissa Haque yang duduk dua kursi di kiri saya diberi kesempatan bertanya. Seperti biasa ia justeru tak bertanya. Marissa bicara tentang teori sekolahnya, yang sedang mengambil S3 di IPB, Bogor.
Ingin pula saya bertanya, mengapa Wiranto tidak memberi kesempatan atau mencari sosok muda yang sesungguhnya banyak dan layak jadi pemimpin di Indonesia kini?
Sejujurnya dari paparan Wiranto, tampak sekali segalanya sudah masa lalu. Tiga sosok mantan TNI akan beradu merebut kursi Presiden - - Soetiyoso, Prabowo, selain yang ke empat incumbent SBY - - kesemuanya saya asumsikan sulit menjadi pemenang.
Sosok berjilbab di belakang kiri saya, Syirikitsyah tampil berdiri. Mengawali pertanyaannya, tak dipungkiri adanya punjiannya terhadap Wiranto. Syirikit adalah nama yang selalu saya baca di lingkup media. Postingnya sering saya baca di milis di internet. Ketika saya memberikan kartu nama kepadanya, ia terperanjat.
“Oh ini toh …Iwan. Saya jangan ditulis ya.”
Syirikit ada memberi pengantar di buku yang diterbitkan oleh Ary Suta Centre.
Acara usai.
Bersama Zahara, saya menunggu untuk bisa bertemu Ary Suta. Wiranto datang menyalami peserta ke arah belakang, ke arah saya. Entah marah atau tidak, yang jelas orang lain disalami, saya berusaha mengulurkan tangan, seakan dilewatkan. Jika perkara hand phone berbunyi mengganjal hati Wiranto, wah betapa berdosa saya.
Untung pula saya tak jadi bertanya di forum itu, dan memang pertanyaan yang sedianya ingin saya tanyakan, tiada seorang pun yang menanyakan.
Obrolan justeru kemudian hangat bersama Sri Rachma Chandrawati, Ketua Umum Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), yang juga Ketua Umum Perempuan Hanura. Agaknya karena ada Zahara di samping saya. Tak lama kami sambil berdiri berbicara dengan Ary Suta. Ia sibuk sekali. Ary Suta mengantarkan ke pintu tamu-tamu lain yang ingin pulang. Kami pun berlalu.
Rupanya hand phone saya yang berbunyi siang di diskusi itu, memang sesuatu yang urgent. Setelah acara itu, kawan saya mengajak bertemu di Cilandak Town Square (Citos). Rupanya siang itu telah terjadi bacok-membacok di Crew & Co, Citos, Jakarta Selatan. Salah seorang yang kena bacok membuncah darah. Susana Citos tegang. Kawan saya ingin bicara langsung, mengingatkan jangan ke Citos.
Di media online saya membaca, bahwa ada dua kubu kelompok Ambon, yang umumnya bekerja sebagai debt collector berseteru. Amat disayangkan sebuah kawasan mall, senjata macam samurai bisa lolos dibawa pengunjung. Perkelahian mengakibatkan nyawa meradang.
Ada nyawa sekarat memperebutkan uang, ada mantan pejabat yang jor-joran membelanjakan uang beriklan berseminar, ada rakyat mati kelaparan tak punya uang.
Keyakinan saya, Indonesia ke depan memang harus berubah, dan perubahan itu hampir tak mungkin lagi ditumpukan kepada mereka yang hidup di masa lalu. Termasuk dari sosok-sosok yang menjual mimpi masa lalu, walaupun dengan ketambunan uang, segalanya bisa mereka beli, termasuk nyawa seseorang. Faktanya kini waktu sudah berlalu. Keinginan terhadap Indonesia baru, memerlukan sosok dan nafas baru.
Hari ini dan ke depan, Indonesia perlu perubahan mendasar, merubah haluan keberpihakannya kepada warga, kepada rakyat kebanyakan. Saya berdoa takzim agar tidak ada lagi berita penduduk mati kurang makan. Adin yang mati tidak makan.
Iwan Piliang, presstalk.info

Sabtu, 24 Mei 2008

Penculikan terhadap PemRed Tabloid Jejak

1. Senin, 3 Maret 2008 pagi. Ir. Henry John C. Peuru, Pemimpin Redaksi Tabloid Jejak, Manado, diminta oleh Herry Palangiten untuk bertemu di Dinas UKM Provinsi Sulawesi Utara. Herry berpesan agar Henry “datang sendirian, tidak membawa teman.” Ia juga memberi tahu akan memberi sebagian dari uang sejumlah Rp 1 milyar yang ia terima dari Gubernur Sulut. Sekitar jam 19:00 Henry (yang ditemani oleh Sutojo Kamidin) menerima telepon dari Herry, minta bertemu di Manado Town Square Mall (Mantos). Sekitar jam 19.30 mereka bertemu di Mantos. Herry, yang ditemani oleh Welly Siwi, kembali memberi tahu akan menerima uang Rp 1 milyar dari Gubernur Sulut dan akan membaginya sebagian kepada Henry. Tapi Henry sama sekali tidak tahu apa maksudnya. Mendadak Herry meninggalkan mereka sambil menyodorkan uang Rp 50.000 untuk membayar kopi (mungkin karena polisi akan datang!).
2. Sekitar pukul 19:45, di tempat parkir Mantos, Henry dan Sutojo dicegat oleh dua orang berpakaian sipil yang mengaku dari Poso, Sulawesi Tengah. Henry dan Sutojo diajak mengikuti mereka, tapi menolak. Tiba-tiba muncul Kompol H.R. Wibowo, Kasat Reskrim Poltabes Manado, bersama beberapa orang anggota polisi. Ajakan untuk mengikuti mereka pun ditolak oleh Henry karena tidak ada surat penangkapan. Dengan suara keras Kompol Wibowo mengatakan, “Kamu tertangkap tangan”, tapi oleh Henry dibantah dan dipersoalkan, “apa yang dimaksud dengan tertangkap tangan?”
3. Akhirnya mereka dibawa ke Poltabes Manado dan diinterogasi sekitar jam 21:00 oleh tiga orang anggota polri di ruangan KBO. Henry hanya mengenal salah seorang di antara ketiga anggota polri itu yang bernama Tulus. Intinya, Henry ditangkap (“diculik”) dan diperiksa sebagai saksi atas kasus penyelundupan senjata dari Manado ke Poso pada 2007. Salah satu pertanyaan yang diucapkan oleh pemeriksa ialah: Apakah Anda mengetahui pemasukan senjata yang dilakukan oleh Wagub Sulut Freddy Sualang ke Poso? (Catatan: pertanyaan tersebut diucapkan oleh anggota polri yang memeriksa Henry). Inti jawaban Henry ialah: dia pernah melacak kasus tersebut tetapi tidak memperoleh data cukup, dan tidak pernah memuatnya di Tabloid Jejak. Dia juga menyatakan tidak pernah menghubungi para pejabat di Poso dan tidak pernah berkunjung ke Tomata, Poso.
4. Rupanya, pada 13 November 2007, Kasat Reskrim Polres Poso, AKP Soeryadan, telah mengirimkan Surat Panggilan No.Pol: S.Pgl/615/XI/ 2007/Reskrim kepada Ir. Henry Peuru untuk menghadap AKP Soeryadani pada hari Selasa, 20 November 2007 jam 09:00 WITA di ruang Kasat Reskrim untuk didengar keterangannya sebagai saksi dalam perkara pemasokan senjata api dari Sulawesi Utara ke Kabupaten Poso, Sulteng. Tapi, Henry tidak pernah menerima Surat Panggilan tersebut. Surat Panggilan itu baru ia ambil sendiri pada tanggal 2 Maret 2008 dari Kepala Jaga Kompleks Perumahan Helsa Tateli, Manado, tempat domisili Henry.
5. Adapun Surat Perintah Penangkapan (No.Pol SP.Kap/124/III/ 2008/Reskrim) tertanggal 3 Maret 2008 telah dipersiapkan dan ditandatangani oleh Kompol RH Wibowo. Surat tersebut memerintahkan kepada AKP Haryansyah SH, Bripka L. Hadi Purwanto, Brigadir Bartholomeus Dambe dan Briptu Romi untuk melakukan penangkapan terhadap Henry sebagai tersangka melakukan tindak perbuatan tidak menyenangkan dan pidana pemerasan dan pengancaman (Pasal 335 KUHP dan Pasal 368 ayat (1) KUHP). Tapi, Surat Perintah Penangkapan tertanggal 3 Maret 2008 tersebut baru diterima oleh Henry pada tanggal 21 Maret 2008. Mestinya Henry bisa bebas, namun masa penahanannya yang 20 hari diperpanjang.
6. Keesokan harinya, Selasa 4 Maret 2008, sekitar jam 18:30, Henry dipanggil untuk menanda tangani berita acara pemeriksaan atas laporan Ir. Ricky Tumanduk, Kadis Kimpraswil Prov Sulut tertanggal 3 Maret 2008 yang menyebutkan bahwa Henry telah melakukan “pemerasan dan pengancaman” terhadap ybs. Artinya, posisi sebagai saksi perkara penyelundupan senjata dialihkan secara mendadak ke kasus “pemerasan dan pengancaman”. Anehnya, dalam pertemuannya dengan John Lalonsang (085298359539), Kepala Perwakilan Tabloid Jejak di Manado, Ricky Tumanduk membantah telah melaporkan kasus “pemerasan dan pengancaman” itu kepada polisi. Anehnya lagi, ketika Henry minta BAP, tiba-tiba tiga orang anggota polri merampasnya dengan dalih sebagai “dokumen negara”. Padahal, saksi atau tersangka berhak atas naskah BAP.
7. Mengenai kasus “pemerasan dan pengancaman” tersebut, terungkap dalam BAP, Selasa, 4 Maret 2008 jam 17:50 WIT. Bertindak sebagai penyidik/pemeriksa Bripka L. Hadi Purwanto. Intinya, sekitar bulan Oktober 2007, Henry sebanyak dua kali telah mewawancari Ir. Ricky S. Tumanduk, Kepala Dinas Kimpraswil Prov Sulut mengenai proyek pembangunan Jembatan Megawati, yang menurut Henry janggal karena fondasi jembatan tua tidak dibongkar. Menurut Ricky, tiang-tiang yang lama (tua) tidak dibongkar karena mempunyai nilai sejarah. Tetapi, Henry sama sekali belum pernah memuat kasus tersebut di Tabloid Jejak, karena bahan-bahannya belum cukup. Mungkin wawancara inilah yang dianggap sebagai “pengancaman” (meskipun Henry sama sekali tidak mengancam akan melaporkan kasus itu), namun agaknya Ricky sendiri yang merasa terancam.
8. Mengenai apa yang disebut “pemerasan” terhadap Ricky, mungkin yang dimaksud ialah pengajuan proposal pembangunan sebuah gereja yang diajukan oleh Dandi, yang datang ke kantor Ricky ditemani oleh Henry -- setelah wawancara tersebut. Selain itu, juga pengajuan permintaan iklan senilai Rp5.000.000 oleh John Lalonsang kepada Ricky yang kemudian dimuat di cover belakang Tabloid Jejak edisi 108 Desember 2007, bersama iklan Pemda Prov Sulut. Iklan tersebut adalah iklan ucapan “Selamat Idul Adha 1428 H, Selamat Natal 2007 dan Tahun Baru 2008”. Jika pengajuan proposal pembangunan sebuah gereja (oleh Dandi) dan permintaan iklan (oleh John Lalonsang) tersebut dilakukan secara baik-baik dan diterima secara baik-baik oleh Ricky, tentulah sama sekali bukan pemerasan. Apalagi yang melakukannya bukanlah Henry, sementara Ricky menyatakan (kepada John Lalonsang) bahwa dia tidak pernah melaporkan Henry kepada polisi.
9. Satu hal yang sangat jelas ialah, bahwa dua kali pemeriksaan (interogasi) yang dilakukan oleh pihak kepolisian Poltabes Manado telah melanggar UU Nomor 40/1999. Pertama, polisi tidak berhak menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan masalah keredaksian, pencarian berita, materi berita dan sumber berita, karena dalam melakukan tugas kewajibannya wartawan Indonesia dijamin oleh UU. Kedua, Henry mempunyai Hak Tolak atau Hak Ingkar untuk tidak menjawab pertanyaan polisi, apalagi menyangkut sumber berita. Ketiga, semua hal yang disangkakan oleh polisi (sebagai saksi kasus penyelundupan senjata, dan tersangka pengancaman dan pemerasan) sama sekali tidak terbukti, sementara Henry belum/tidak pernah memuat masalah tersebut di Tabloid Jejak.
10. Kesimpulan: Pertama, Wartawan Ir. Henry John C. Peuru telah ditangkap dan ditahan secara tidak sah karena polisi tidak membawa Surat Perintah Penangkapan. Dengan demikian bisa ditafsirkan bahwa telah terjadi penculikan. Kedua, penahanan pertama tidak sah karena sebagai saksi, Henry tidak melihat atau mengetahui kasus penyelundupan senjata dari Manado ke Poso (yang oleh penyidik dikatakan dilakukan oleh Wagub Sulut, F.H. Sualang). Mestinya Henry sudah bisa bebas, tetapi perkaranya dialihkan pada kasus “pengancaman dan pemerasan”. Ketiga, perpanjangan penahanan oleh Poltabes Manado dan Kejari Manado (sehubungan dengan kasus “pengancaman dan pemerasan”), juga tidak sah dan seharusnya Henry sudah bebas, karena Ricky Tumanduk (si pelapor) membantah telah melaporkan Henry kepada polisi. Keempat, polisi telah melanggar UU Nomor 40/1999 tentang Pers, dalam hal ini menghalang-halangi kebebasan pers, oleh karena itu dapat dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40/1999 tersebut.

Jakarta, 1 Mai 2008.

Jumat, 02 Mei 2008

Istana Gebang

DI JALAN Sultan Agung, Blitar, Jawa Timur. Dari seberang jalan, rumah nomor 59 itu, tampak berdiri di lahan seluas lapangan sepak bola - - 15.000 meter tanahnya. Masuk ke dalamnya, melalui pintu pagar yang selalu terbuka, becak bisa langsung membawa penumpang ke mulut pintu rumah utama.

Rumah itu berukuran sedang, bangunan tua, catnya terawat. Bagian depannya berpendopo terbuka. Sehingga naik turun penumpang dari becak di pendopo itu bila pun hujan turun, dijamin Anda tak akan kuyup. Dua piliar bercat hijau menupang atap pendopo. Bagian tepi atap ada ukiran kayu bergerigi bercat hijau - - hiasan yang banyak ditemui di rumah tua di Indonesia umumnya.

D i rumah itulah dulu Bung Karno, sosok proklamator, menghabiskan masa kecilnya. Kini kediaman ini dihuni kerabat Bung Karno. Masyarakat Blitar akrab menyebutnya Istana Gebang.

Di Istana Gebang itulah, Sukarmini Wardoyo - - kakak kandung Bung Karno - - tinggal bersama keluarga besarnya. Saban hari selalu saja ada yang datang melihat-lihat barang peninggalan Bung Karno. Ada kamar tidur, meja-kursi, foto-foto kenangan Bung Karno masa silam.

Dalam dua pekan terakhir ini berita ihwal rencana penjualan rumah ini mencuat. Djarot Syaiful Hidayat, Wali Kota Blitar, kepada Liputan 6 SCTV, pada 24 April 2088 lalu menyatakan kesanggupannya untuk membeli atau mengelola rumah bersejarah itu. Mengingat bangunan tersebut sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya sejak 2001 oleh Pemda Blitar.

Menurut Djarot, rumah itu memang akan dijual sejak 1970. Namun ada sejumlah ahli waris yang tidak setuju sehingga rencana pun batal. “Baru sepekan ini muncul keputusan akan menjual rumah bersejarah itu atau menyerahkan pengelolaannya kepada pihak ketiga, “ ujar Djarot.

Bambang Suka Putra, cucu Soekarmini Wardoyo - - kakak Bung Karno - - mengatakan perhatian pemerintah terhadap rumah warisan sang proklamator itu sangat minim. Atas kesepakatan rapat keluarga, rumah itu diputuskan dijual saja kepada peminat.

Sejauh ini sudah ada sejumlah peminat asing yang menyampaikan penawarannya sejak Istana Gebang mulai diiklankan. Promosi penjualannya juga disebar ke internet.

Segenap ahli waris berharap anak-anak Bung Karno atau pemerintah-lah yang membelinya. Dan Pemkot Blitar melalui Wali Kota Djarot Syaiful Hidayat sempat mengungkapkan keinginan untuk membeli atau mengelola Istana Gebang. Namun harga tampaknya menjadi kendala. Keluarga hendak menjual di harga Rp 50 miliar. Djarot mengungkap jika saja harganya di kisaran Rp 15- 20 miliar, Pemkot Blitar berkenan membali.

Tampaknya, Pemkot memang tidak melakukan langkah proaktif. Jika harga menjadi kendala, karena pertimbangan akan mendapatkan historical value, juga berguna bagi pengembangan pariwisata kota, seharusnya Pemkot mengajak Pemda Jawa Timur, bahkan jika perlu turut meminta bantuan pemerintah pusat, bahu-membahu untuk mengambil alih asset itu - - termasuk jika perlu memasukkan ke dalam dua tahun anggaran berjalan.

Pihak ahli waris mengaku sudah membuat surat dan proposal ke Pemkot. Namun hingga kini tidak ada jawaban.

Sampai kepada kata proposal ini, saya jadi teringat bahwa di banyak depertemen pemerintah, BUMN, Pemda, baik tingkat kabupaten dan walikota, setiap tahunnya mereka membuat proposal proyek untuk tahun mendatang. Sering kali saya mengamati bahwa proposal yang disusun bukan mengacu ke inti permasalahan yang ada di masyarakat.

Pada Tajuk 12 April 2008, berjudul KALI, saya menuliskan bahwa sudah puluhan tahun kali di Pademangan, Jakarta Utara airnya tak mengalir. Tetapi hingga kini tak ada langkah proaktif mengalirkan kali itu. Pemda tidak pernah membuat masalah itu masuk ke dalam proposal proyek.

Proposal proyek yang diminati masuk ke anggaran proyek yang akan berjalan umumnya pengadaan barang. Pengadaan yang sudah “dititipkan”, untuk tahun berikutnya ditenderkan. Bahkan “tender”nya pun dipastikan diatur. Akibatnya entah hingga kapan, laku kolusi untuk korupi itu bisa akan punah di negeri ini.

Kini seorang pengusaha asal Malaysia, sudah menyatakan keinginan membeli Istana Gebang. Minat pihak swasta Malaysia itu, mohon maaf, saya artikan sebagai “tamparan”, betapa bahwa bangsa ini tidak memiliki sense akan pengetahuan bahwa intangible asset sejarah, berguna bagi masa depan peradaban. Pemerintah pusat, daerah, saling menunggu ihwal penjualan rumah proklamator itu.

IBU-IBU berkerudung, puluhan anak-anak usia sekolah pada 27 April 2008 lalu memanggul karton, bertuliskan: Jangan Jual Warisan Bung Karno ke Asing. Spanduk lain: Pemerintah Selamatkan Cagar Budaya. Ternyata ratusan orang ini yang dominan perempuan itu berdemo meminta perhatian pemerintah kota dan pemerintah pusat menyelamatkan aset bersejarah itu.

Demo itu berlangsung cukup lama di depan Istana Gebang. Aksi warga Blitar ini bukan sekadar mendemo. Mereka menggalang dana. Secara spontan dan sukarela warga dari berbagai kalangan tak segan merogoh kocek mereka. Dana yang terkumpul nantinya akan dipakai untuk membeli Istana Gebang. Forum Penyelamat Istana Gebang pun dibentuk masyarakat secara swadaya. Melihat rombongan pendemo itu di televisi, benak saya di kepala membayangkan wajah Megawati, anak Soekarno yang pernah menjadi Presiden RI itu. Kemana dia urusan rumah peninggalan ayahnya itu? Saya lalu teringat akan kediamannya yang hampir tiap hari saya lalui itu.

JALAN Teuku Umar, Menteng, Jakarta. Di kiri-kanan, bahkan di pembatas jalan, tumbuh berbagai pohon besar, ada Akasia, ada Asam Jawa. Pohon-pohon itu ada yang tumbuh sejak zaman Belanda. Jalanan lebar. Susana teduh.

Di pertengahan jalan antara Taman Suropati dan ujung jalan Teuku Umar itulah kediaman Megawati berada. Letaknya di sebelah kanan bila dari arah taman. Inilah kawasan yang menurut saya paling menyenangkan dilewati di Jakarta. Seakan masih tersisa Jakarta tempo doeloe di sana.

Ada perasaan mengatakan, dahulunya Belanda ingin membangun tata kota Batavia, macam jalan di Teuku Umar itu kini. Sayang sekali, hanya tinggal sepenggal jalan Teuku Umar.

Rumah Megawati mudah diketahui. Perhatikan kendaraan polisi yang masih berjaga-jaga yang parkir mengambil bahu jalan. Selalu ada satu atau dua orang berpakaian sipil berwarna gelap duduk di pos jaga yang tidak terlalu mencolok. Nah di situlah rumah Megawati. Rumah berpagar putih tinggi.

Luas lahannya bisa jadi sama dengan Istana Gebang. Namun untuk ukuran lokasi dan wujud bangunan, jika dilakukan appraisal, harga kediaman Megawati bisa tiga atau bahkan empat kali dari nilai Istana Gebang yang sedang ditawarkan.

Saya heran, hingga hari ini tak satupun anak Soekarno buka mulut soal Istana Gebang. Bukankah itu berkait ke asset peninggalan ayah Megawati sendiri? Apakah dengan mengeluarkan Rp 50 miliar, lalu sangat menganggu pundi-pundi pribadi Megawati - - toh mereka masih banyak punya usaha, antara lain jaringan pom bensin - - yang kini harus terus diperbesar demi mempersiapkan belanja kampanye presiden?

Lantas apakah keluarga Megawati tidak bertegur sapa dengan tantenya di Blitar itu? Menjadi kira yang tidak-tidak, jadinya!

Menurut kerabat Soekarno di Blitar, ada 10 keluarga ahli waris yang menunggu hasil penjualan rumah itu. Mereka kini umumnya masyarakat marjinal, yang kian hari kian sulit saja hidupnya.

Mereka tidak mampu lagi merawat rumah di lahan luas itu. Agar tidak menjadi silang sengketa di kemudian hari oleh cucu dan cicit, maka Istana Gebang dilego, menjadi sebuah logika yang masuk akal.

Saya lalu mencoba membulak-balik kamus umum Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, yang kebetulan sedang ada di atas meja. Saya mencari arti kata Gebang.

Di dalam kamus, Gebang artinya; pohon palem yang tingginya dapat mencapai 15 – 20 meter, hati batang dapat digunakan untuk makanan babi, Coryphautan.

Baik di Istana Gebang, maupun di kediaman Megawati kini, saya tak melihat ada coryphautan atau palem berbatang tinggi itu, yang hati batangnya digemari babi.

Saya heran, jangan-jangan baik keluarga Megawati, Pemerintah Pusat, Pemerintah Jawa Timur, Pemkot Blitar seakan “haram” membeli Istana Gebang. Sehingga untuk kesekian kalinya kita “dipermalukan” asing yang hendak membeli Istana Gebang. Wallahu!

Iwan Piliang (tajuk presstalk.info)

Siaran Pers PWI Reformasi pada Hari Pers Sedunia

Kordinator Nasional Persatuan wartawan Indonesia Reformasi
(PWI-Reformasi)
Manggala Wanabakti, Ruang 212, Wing B, Senayan,Jakarta Pusat.Telepon/Fax: 021-5746724

Siaran Pers, Dalam Rangka Hari Pers Sedunia, 3 Mei 2008

Pertama, kami Kornas PWI-Reformasi, menyampaikan Selamat Merayakan Hari Pers Sedunia (Press Freedom), kepada rekan-rekan jurnalis, wartawan, dan kalangan pers umumnya di seluruh Indonesia yang berpegang teguh kepada prinsip dan kaedah jurnalistik.

Menghimbau Jurnalis, wartawan, terus berpihak kepada warga, pro poor, menjunjung tinggi profesionalisme kerja, menjauhkan diri dari laku menerima “amplop” , menjauhkan diri dari laku berpihak ke segenap lini aparat di lintas Pilkada./Pilres, di berbagai daerah di Indonesia, sehingga tercipta pers yang independen, yang mampu mengembalikan “kekuatan” keempat dalam hidup berdemokrasi.

Kedua, kami Kornas PWI-Reformasi, mendesak pemerintah untuk menindak lanjuti hasil laporan investigasi wartawan TEMPO , Metta Dharmasaputra, terhadap kasus penggelapan pajak PT Asian Agri yang kini sudah terbukti mencapai Rp 1,5 triliun. Kendati undang-undang membenarkan penggelapan itu diselesaikan di luar pengadilan, sudah sepantasnya negara membukakan mata publik, berapa pun nominal denda yang dapat diterima negara secara riil, harus disampaikan secara transparan. Dan jika pun belum terselesaikan, adalah hak publik untuk mengetahui sebab-musabab penggelapan pajak tambun itu pengusutannya te rhambat.

Ketiga, Kornas PWI-Reformasi yang turut mendukung protes keras wartawan Desi Anwar, Metro TV, melalui surat kami pada 25 April 2008 lalu, kembali menegaskan meneruskan dukungan langkah hukum, menggugat Presiden Ramos Horta, yang memberikan pernyataan tidak berdasar, merusak citra wartawan dan pers Indonesia khususnya - - kendati pernyataan maaf sudah disampaikan oleh Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao, dengan mengatakan Ramos Horta dalam kedaan stress, sakit.

Keempat, Kornas PWI-Reformasi, saat ini meminta dukungan segenap organisasi pers, memberi perhatian khusus kepada rekan kami, Bung Hendri John, Pemimpin Redaksi Tabloid JEJAK, Manado, yang hampir dua bulan ini ditahan di Poltabes Manado, Sulut.
Penangkapannya oleh Densus 88, dengan tanpa surat penangkapan, dan hingga kini sesuai dengan keterangan Esau Mozes Riupassa SH, lawyer yang difasilitasi Korda PWI-Refo rmasi Sulut, mengerucut terindikasi sebagai penangkapan dipaksakan oleh Gubernur Sulut, akibat dari pemberitaan kritis terhadap indikasi korupsi pembuatan jembatan Megawati, dan mengritisi rencana World Ocean Conferences 2009, di mana Gubernur Sulut sebagai Wakil Ketua Panitia, sesuai dengan Kepres 23, 2007.

Bung Hendry John, juga ketua tim pencari fakta (TPF Bulik) atas penculikan dan pembunuhan sadis terhadap DR. Ir. Oddy Manus, Msc, Dosen Universitas SamRatulangi, ahli kelautan dan perikanan lulusan Jepang itu.

Khusus mengenai penangkapan Bung Henry John ini, kami sedang melakukan kordinasi untuk melaporkan cara-cara penangkapan wartawan ini kepada Propam, Mabes Polri, sehingga kebenaran dapat diteggakkan, dan tugas-tugas jurnalistik yang mengembalikan pencerahan bagi masyarakat dapat kita lakukan secara bersama-sama.

Akhirnya, kami percaya, di tengah kepercayaan yang “pudar” kepada trias politika negeri ini, wartawan, jurnalis, pers yang mengedepankan profesionalisme menjadi tumpuan harapan. Semoga pers mampu memuhi harapan itu. Tarima casi.


Jakarta 2 Mei 2008
Kornas PWI-Reformasi
Kaka Suminta, Sekretaris Umum (085222277122)
Iwan Piliang, KetuaUmum (08128808108)

Jumat, 25 April 2008

Desi Anwar Bantah Tuduhan Ramos Horta

JAKARTA (Berita Nasional) - Jurnalis senior Metro TV Desi Anwar meminta perlindungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baik sebagai pribadi, jurnalis dan warga negara dari segala konsekuensi negatif yang dapat timbul atas tuduhan Presiden Timor Leste Ramos Horta yang telah disiarkan di media internasional. "Saya juga memohon kepada Presiden Yudhoyono untuk meminta penjelasan terhadap Presiden Ramos Horta atas tuduhan-tuduhan yang tidak mendasar tersebut dan memulihkan nama baik saya dan Metro TV," katanya ketika mengadukan kasus tuduhan tak berdasar terhadap dirinya oleh Ramos Horta kepada Dewan Pers di Jakarta, Jumat.

Kepada jajaran pimpinan Dewan pers, Desi Anwar membantah keras tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh Presiden Ramos Horta di hadapan pers internasional pada tanggal 18 April di Dili. Dalam wawancara tersebut, Ramos menuduh Desi Anwar telah melanggar kode etik jurnalistik, melakukan berbagai kegiatan yang melanggar hukum dan yang memberi andil terhadap upaya pembunuhan kepada dirinya, serta diancam akan dilaporkan ke institusi pers internasional.

"Tuduhan-tuduhan tersebut adalah bohong, tidak bertanggungjawab dan menyakitkan," katanya yang didampingi sejumlah pimpinan Metro TV seperti Djafar Assegaf, Elman Saragih, dan Saur Hutabarat. Dari pihak Dewan Pers nampak hadir Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara, serta anggota Dewan Pers Wina Armada Sukardi, Abdullah Alamudi, serta Ikrama Abidin.

Desi menyatakan bahwa tuduhan Ramos Horta tersebut bohong karena tidak ada secuil kebenaran pun dalam pernyataannya.

"Saya tidak pernah pergi ke Atambua, tidak pernah memalsukan dokumen dan memfasilitasi perjalanan Mayor Alfredo Reinado. Tidak pernah melakukan kontak apapun baik langsung maupun tidak langsung, apalagi yang melanggar hukum dan memberi andil terhadap upaya pembunuhan kepada Presiden Ramos Horta," katanya. Desi menegaskan, selama hidupnya, tidak pernah mengenal, bertemu atau melakukan kontak apapun dengan Mayor Alfredo Reinado.

Menurut Desi, tuduhan tersebut tidak bertanggung jawab karena merupakan tuduhan yang sangat serius, yaitu membantu dalam upaya pembunuhan seorang Presiden, mencemarkan nama baik dan melecehkan dirinya sebagai jurnalis baik di Indonesia maupun di dunia internasional.

Ia menilai, tuduhan tersebut berbahaya karena dilontarkan oleh seorang Presiden sehingga dapat menimbulkan persepsi negatif serta konsekuensi yang sangat merugikan terhadap dirinya sebagai pribadi maupun professional, sehingga dikhawatirkan akan menyulitkannya melakukan tugas jurnalistik. "Tuduhan tersebut menyakitkan karena saya sebagai jurnalis mengenal Jose Ramos Horta, begitu pula Xanana Gusmao saat mereka masih dicap sebagai pemberontak terhadap negeri ini di masa silam, sehingga saya tidak paham mengapa tuduhan tersebut sekarang dialamatkan kepada diri saya. Apa maksud yang dituju," katanya.

Protes keras

Karena itu, Desi Anwar, memprotes keras tuduhan-tuduhan tidak mendasar tersebut dan meminta dengan segera agar Presiden Timor Leste Ramos Horta menarik kembali tuduhan-tuduhannya dan meminta maaf kepada dirinya dan Metro TV di depan publik internasional.
Selain itu, Desi juga meminta perlindungan kepada seluruh asosiasi jurnalistik dan kalangan pers, baik di Indonesia maupun internasional, serta melakukan protes resmi terhadap tuduhan-tuduhan yang telah melecehkan profesi jurnalistik itu.

"Sekali lagi, saya Desi Anwar jurnalis Metro TV, tidak terima dituduh tanpa dasar oleh seorang Presiden negara lain di hadapan khalayak internasional dan saya tidak akan diam hingga permintaan serta permohonan saya dipenuhi," tegasnya.(sumber: antara)

Kamis, 24 April 2008

NAMRU

Rabu, 23 April . Siang tadi, Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan, tampak keluar pintu lift Kantor Sekretaris Negara, Jl. Veteran III, Jakarta Pusat. Ia baru saja bertemu dengan Hatta Rajasa, Menteri Sekretaris Negara.

Banyak wartawan yang menantinya. Ia lalu berujar, “Tak akan aku katakan. Tak akan aku katakan.” Dia tersenyum. Entah apa pula maksud kalimat tak akan aku katakan itu.

“Apa mengenai NAMRU?” Tanya seorang wartawan

“No Comment,” jawab Siti. Ia bergegas menuju Camry RI 30. Supir langsung tancap gas membawanya.

Nama NAMRU (Naval Medical Reasearch Unit), dalam sepekan terakhir ini menjadi ikon yang kian bunyi. Hal itu diawali dari pemberitaan singkat di beberapa media on line, bahwa, Menteri Kesehatan, tidak dibenarkan masuk ke dalam laboratorium, di mana ada beberapa warga negara Amerika Serikat sedang bekerja di dalam laboratotium Litbang, Departemen Kesehatan.
Ada lima belas menit lamanya Siti Fadilah menunggu. Bisa dibayangkan kekecewaannya, sebagai pejabat negara, di tanah airnya sendiri, di bawah naungan departemennya pula, ia diperlakukan demikian.

Aneh memang.

Kedutaan besar Amerika Serikat hari ini, mengeluarkan siaran pers. Isinya: Satu komplek dengan litbang Departemen Kesehatan RI, NAMRU tidak tersentuh hukum Indonesia. Laboratorium penelitian Angkatan laut AS itu, memang berada di wilayah hukum AS.
“NAMRU adalah bagian dari wilayah keduataan besar AS di Jakarta.”

Di dalam rilis itu Kedubes AS membantah bahwa NAMRU yang berkantor di Jl. Percetakan Negara, Rawasari, Jakarta Pusat, merupakan fasilitas rahasia, dan melakukan mata-mata. NAMRU terbuka bagi siapa saja yang berminat kepada penelitian. Misalnya untuk kalangan universitas, militer, peneliti dan ilmuwan.

Semua proyek NAMRU mereka klaim sudah atas persetujuan Badan Litbang Depkes RI. Dari 175 pegawainya, kebanyakan peneliti; dokter, dokter hewan, ahli teknologi. Staf administrasinya penduduk lokal. Dari 175 pegawai, hanya 19 orang saja yang berkewarganegaraan AS.
Begitu pokok-pokok rilis Kedubes AS.

Kian menjadi tanya, lokasi kantor NAMRU bukan di wilayah Kedutaan AS, yang di Jl. Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, itu. Lantas NAMRU otonom? Lalu ada 19 warga negara AS bekerja di sana, yang tidak tersentuh hukum Indonesia?

Menjadi kian unik memang NAMRU ini.

Negeri yang katanya zamrud di khatulistiwa ini, memang menjadi incaran banyak kepentingan. Bukan sesuatu yang baru, bila mendadak sontak isu adanya mata-mata di tumpah darah Indonesia ini berseliweran.

Laku mata-mata di negeri ini memang sudah terindikasi mencengkram, bahkan menelisik ke ranah departemen pemerintah, lembaga bergengsi macam di Kadin Indonesia, juga think-thank, yang sering dijuluki Mafia Berkeley, misalnya.

SETAHUN sebelum AS menyerang Irak. Seorang kawan saya redaktur sebuah majalah berita di Jakarta menceritakan pengalamannya. Sebut saja namanya Mohammad Dong. Ia bersama empat wartawan dari ASEAN diundang berkunjung ke Israel, dalam muhibah jurnalistik.

Keberangkatan itu diurus segalanya dari Singapura. Mendarat di Tel. Aviv, Israel, rombongan lima wartawan ASEAN itu dijemput oleh seorang kolonel polisi. Di sepanjang perjalanan, kolonel itu memberikan penjelasan tentang keberadaan kota, apa saja yang mereka lakukan, termasuk kesiagaan warga untuk selalu jaga-jaga jika negara dalam keadaan darurat diserang, siap sedia perang.

Tiba di semacam kantor dinas penerangan setempat, kolonel polisi tadi meminta rombongan wartawan itu menunggu di sebuah ruang rapat. Begitu kembali ke ruang rapat kolonel polisi tadi sudah berganti baju biasa, bukan lagi pakaian dinas. Ia menepuk bahu Mohammad Dong.
“Lagi musim duren di Jakarta?” tanya kolonel polisi dalam bahasa Indonesia fasih.

Mulut Mohammad Dong ternganga.

Belum habis keterkejutannya, pejabat dinas penerangan itu meneruskan kata
”Gue kan sebelas tahun tinggal di Ciputat. Punya gerobak roti 20.”

Alamak!

Sebelas tahun, punya usaha roti segala?

Mendengar kisah Mahammad Dong, saya menjadi tertawa. Kenapa tak tertawa? Gila benar polisi Israel bisa berbahasa Indonesia, tinggal sebelas tahun, punya usaha roti. Ketawa saya menjadi-jadi. Pakai visa apa dia ke Indonesia, bukankah antara Indonesia dan Israel tidak memiliki hubungan diplomatik?

Saya mengkritisi cerita Mohammad Dong itu. Ia sosok yang pandai bertutur, dan acap kali mengeluarkan banyolan. Seringkali susah membedakan ia bercerita sungguhan atau sekadar menyampaikan joke.

Kala itu, ia memperlihatkan sebuah kartu nama pejabat Israel itu.

Ketika AS hendak menyerang Irak, email dan seluruh nomor kontak yang ada di kartu nama yang diperlihatkan kawan itu, sudah tidak bisa diakses. Bahkan alamat emailnya dikirimi surat seketika mental.

Begitulah sepenggal cerita Mohammad Dong, wartawan yang pernah diundang ke Israel.
Di satu sisi cerita tadi bisa jadi cuma “kejenakaan”. Tetapi di lain sisi, jika dicermati, begitulah adanya, bagaimana negeri ini memang seakan telanjang. Bangsa ini membutuhkan banyak kunjungan turis manca (banyak) negara. Hal hasil, mereka warga negara mana pun kita tampung saja - - termasuk tanpa kita pedulikan kedok paspor yang mereka pakai.

Mereka yang berkulit hitam dari Afrika, yang banyak datang untuk membeli barang pakaian jadi murah di Tanah Abang, Jakarta Pusat, telah pula terindikasi banyak memasukkan narkoba, berbisnis dolar palsu, dan melakukan penipuan pembuatan dolar hitam - - sebagaimana belum lama ini ditangkap oleh pihak Kepolisian RI.

Karena kesulitan ekonomi yang kini kian mendera, beberapa stasiun televisi sudah menyiarkan laku kawin kontrak wisatawan Timur Tengah - - termasuk satu dua dari Afrika - - dengan gadis-gadis di kawasan Puncak, Sukabumi, Cianjur, Jawa Barat. Dengan dalih eknomi, para pria yang membawa pundit-pundi uang itu, telah dengan gampang dan murah, hidup berbulan-bulan di lingkungan masyarakat kita. Mereka hidup di tengah-tengah kita. Bisa dibayangkan bila salah satu di antara mereka itu adalah pejabat negara asalnya, yang menyamar menjadi mata-mata, untuk mendapatkan masukan-masukan nyata tentang Indonesia terkini.

Akan tetapi menegur kaum perempuan yang melakukan perkawinan kontrak itu, juga sebuah dilemma. Mereka memang perlu untuk meningkatkan ekonomi, yang kian hari kini terasa kian sulit itu. Dengan hantaman sektor riil, pertanian, di daerah tidak tumbuh, laku kalangan pendatang dengan membawa pundit-pundi uang menjadi diperlukan.

Karena kepentingan dan dukungan uang serta keahlian pulalah logika NAMRU itu tampaknya diambil pemerintah Indonesia.

Tetapi adalah naïf tentu membandingkan NAMRU dengan pria Timur Tengah yang melakukan kawin kontrak. NAMRU sebuah lembaga riset, yang sangat strategis. Mereka memperlakukan Menteri Kesehatan RI, yang baru saja menulis Buku Saatnya Dunia Berubah, yang mengkritik kebijakan AS dan WHO, yang mengambil sampel virus flu burung untuk dibuat vaksin, lalu negara asal virus, di kemudian hari harus membayar mahal vaksin - - sebagai sebuah laku tak adil.

Munculnya makhluk bernama NAMRU, memang, tak terhindari sebagai satu lagi lakon mencurigakan yang dimainkan AS di negeri ini.

DINO Patti Djalal, kepada detik.com, hari ini membantah. “Janganlah berpikiran konspiratif. Apa-apa bawaannya curiga terus. Orang-orang yang membantu dari AS atau Inggris kita tolak, “ ujar Dino kepada detik.com. Menurutnya tidak ada yang salah kerjsama dengan NAMRU. Badan itu menurut Dino, memiliki jaringan, mempunyai teknologi yang bermanfaat bagi pemerintah Indonesia, untuk mengembangkan riset-riset medis.

Sebaliknya dengan Munarman, mantan Ketua YLBHI ini, yang hari ini melakukan konperesni pers di Mer-C (Medical Emergency Committee dan Annashar Institute), di kantornya di Jl. Kramat Lontar, Jakarta Pusat. Ia menilai bahwa laku beberapa orang AS di NAMRU, melakukan kegiatan intelijen.

Karenanya ia mencak-mencak, ketika ada dua orang dari kedubes AS, lalu membagikan rilis berkop surat Kedubes AS di Jakarta, yang isinya antara lain mengatakan bahwa NAMRU cuma lembaga penelitian, di saat MER-C sedang mengadakan konmperensi pers itu.

Munarman tampak sangat gusar di tengah acara yang dilakukannya itu dimanfaatkan oleh kedubes AS membagikan rilis. “Tamu tak diundang, lah kok membagi rilis di acara orang, di mana etikanya, “ Munarman, melanjutkan, “Makanya Amerika negara bangsat.” Kejengkelan Munarman itu lengkapnya bisa diklik di: http://www.detiknews.com/indexfr.php?url=http://www.detiknews.com/ index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/04/tgl/23/time/194020/ idnews/928471/idkanal/10.

Terlepas dari kontroversi soal NAMRU, saya menjadi teringat nama seorang kawan saya Amruh Kumandang, yang kini menjadi salah seorang pengusaha yang mensuplai kebutuhan buku-buku ke sekolah di berbagai daerah. Namanya mirip-mirp dengan NAMRU.

Amruh belum lama ini bercerita bagaimana banyak sekali peluang usaha di daerah yang belum tergarap. Ia baru saja berkeliling Sumatera. “Mencari permodalan di daerah susah,” katanya. Umumnya pengusaha sangat tergantung hanya pada proyek-proyek pemerintah. “Tidak ada yang namanya pengembangan usaha pertanian, seperti pembukaan lahan jagung baru, usaha pengeringan jagung yang dibiayai perbankan misalnya.”

Sudah banyak artikel yang memaparkan, bahwa kekuatan eknomi bangsa ini memang terindikasi “dilumpuhkan”. Pelakunya adalah konspirator lokal dengan agen-agen asing.

Menurut teman saya yang bekerja di PT Freeport Indonesia, dari delapan palka bahan tambang yang dikapalkan setiap hari di Freeport di Tembagapura, satu palkanya adalah emas. Anehnya, IMF melalui perjanjian yang ditandatangani Indonesia, mewajibkan melaporkan ekspor, impor, deposit emasnya kepada IMF. Juga tidak boleh mem-peg mata uang rupiah ke emas, sebaliknya ekspor emas Freeport tak ada datanya di kita - - toh izinnya menambang tembaga.

Banyak list yang bisa dijejerkan pula, seperti di pertambangan Migas, yang tidak proporsional pembagian keuntungannya bagi negara. Anehnya jika ada anak negeri yang kritis, sebagaimana Siti Fadilah Supari, seakan koor paduan suara pemerintah memojokkannya. Begitulah bila kekuasaan hanya untuk kekuasaan, tidak untuk kemaslahtan rakyat banyak.

Karenanya dari awal saya sudah mendukung langkah-langkah Sitri Fadilah Supari di bidang kesehatan, sebagaiman saya tulis di Tajuk Rakyat ini pada 22 Maret lalu: Revolusi Transparansi Siti. Semoga saja kalimat, “Tak akan kukatakan-tak akan kukatakan,” yang disampaikan Siti di Sekretariat Neghara hari ini, bisa kembali dia ungkap dalam tulisannya, demi menegakkan harkat dan martabat bangsa.

Saya yakin, dari melihat gaya Siti menulis di buku Saatnya Dunia Berubah itu, dia bukanlah tipikal pemimpin kebanyakan negeri ini: yang umumnya menghamba ke asing, demi mempertahankan kekuasaan. Saatnya, memang kita mengkritisi berbagai kepentingan asing di negeri sendiri.

Termasuk mengkritisi NAMRU, yang entah untuk apa itu?

Iwan Piliang, presstalk.info

Sabtu, 19 April 2008

DPRD Persoalkan Ruilslag GOR Saburai

BANDAR LAMPUNG (Berita Nasional): Panitia Khusus (Pansus) DPRD Provinsi Lampung yang menangani ruilslag GOR Saburai mempersoalkan rencana Pemprov Lampung menukar guling kawasan GOR Saburai dengan lahan 10 hektare milik PT Damai Indah Lestari (DIL) di Kemiling.

Dalam rapat dengar pendapat Pansus dengan Pemprov Lampung di Gedung DPRD, Jumat (18-4), Ketua Pansus Indra Ismail mempertanyakan mengapa harus meruilslag kawasan GOR Saburai. Ia juga mempertegas istilah penglepasan aset dengan pemindahan aset adalah dua hal yang berbeda. Ruilslag merupakan penglepasan aset yang perlu persetujuan DPRD.


Rapat dengar pendapat itu, Pemprov Lampung diwakili Ketua Bappeda Suryono S.W dan Kepala Biro Aset dan Perlengkapan Daerah, Harun Al-Rasyid.

Anggota Pansus Mega Putri Tarmizi juga meminta Pemprov mempertimbangkan kembali rencana itu. Menurut dia, jika diasumsikan nilai jual objek pajak (NJOP) tanah di kawasan GOR Saburai Rp3 juta per meter persegi, harga jual yang diperoleh adalah Rp65 miliar. Dengan asumsi harga bangunan GOR Saburai Rp5 miliar, total jualnya menjadi Rp70 miliar.

Perhitungan NJOP tanah di Kemiling, kata Mega, adalah Rp150 ribu per meter. Jika ditotalkan luas lahan 10 hektare itu, diperoleh harga Rp15 miliar. "Bagaimana selisih ini akan dipertanggungjawabkan," kata Mega.

Anggota Pansus Lukmansyah pun mempertanyakan alasan membangun kawasan olahraga terpadu, tetapi dengan penekanan ruilslag. "Provinsi Sumatera Selatan sukses membangun kawasan olahraga Jaka Baring tanpa perlu ruilslag. Kawasan yang lama masih menjadi aset Pemprov Sumatera Selatan," kata Lukmansyah.

Selain persoalan itu, masalah yang muncul adalah perlu dipertanyakan kembali peruntukan kawasan Kemiling yang menjadi kawasan reservasi serapan air. Anggota Pansus Sugeng Kristianto juga mempertanyakan status kepemilikan lahan PT DIL seluas 10 hektare itu.

Baru Satu Investor

Pemprov Lampung yang diwakili Kepala Bappeda Suryono S.W. dalam pengantarnya mengatakan, sarana dan prasarana olahraga masih sangat terbatas, sedangkan perkembangan Kota Bandar Lampung sangat pesat. Sampai kini, baru ada satu pengusaha yang mau menawarkan diri, yaitu PT DIL. "Mereka memiliki lahan di kawasan yang sudah dipatok jadi kawasan olahraga. Tetapi, tidak menutup kemungkinan mencari kompetitor (investor, red) yang lain," kata Suryono.

Di sisi lain, Harun Al-Rasyid menambahkan setelah DPRD menyetujui akan dilakukan penilaian terhadap aset karena alasan biayanya mahal. Suryono menegaskan yang paling penting adalah izin prinsip (persetujuan Dewan) yang akan menjadi dasar penilaian lembaga independen (sebelum ruilslag).Rapat dengar pendapat itu akhirnya menyimpulkan Pansus setuju pembangunan kawasan olahraga di Kemiling, tapi tidak dengan meruilslag GOR Saburai. (sumber: Lampung Post)

Selasa, 15 April 2008

Perjalanan Dinas DPRD Diduga Banyak Fiktif

BANDAR LAMPUNG (Berita Nasional): Anggota DPRD Lampung diduga banyak yang memanipulasi anggaran Dewan dengan mencairkan surat perintah perjalanan dinas (SPPD) fiktif.
Meskipun namanya tercatat dalam rombongan perjalanan dinas yang dibalut kegiatan studi banding atau kunjungan kerja ke luar provinsi, anggota DPRD Lampung itu terlihat di gedung Dewan. Banyaknya anggota Dewan yang melakukan perjalanan dinas fiktif diungkapkan anggota DPRD Lampung yang tidak mau disebutkan namanya, Senin (14-4).

Sumber tersebut mengungkapkan dua modus anggota DPRD membuat SPPD fiktif. Pertama, memang benar-benar tidak berangkat. Dana yang dicairkan biasanya dipotong Rp1 juta atau sampai 50 persen. "Kalau pakai modus ini memang benar-benar untung karena tidak ke mana-mana, tetapi dapat duit," kata dia.

Modus kedua, mengikuti perjalanan dinas ke luar provinsi, tetapi jumlah hari kunjungan kerjanya dikurangi. "Kalau dijadwalkan enam hari, setiap anggota dapat Rp8,3 juta. Tetapi yang dilaksanakan hanya dua hari," kata dia.

Menurut dia, perjalanan dinas biasanya dilakukan dalam kelompok atau rombongan dan tidak pernah seluruhnya ikut. "Kalau rombongan, yang berangkat paling-paling cuma separo, tetapi yang mencairkan uang SPPD pasti semuanya. Modus itu biasa dilakukan SPPD diurus staf. Dari keuangan dicairkan sesuai dengan jumlah rombongan," kata dia.

Pernyataan itu dibenarkan staf DPRD yang tidak mau disebutkan namanya. "Besarnya biaya perjalanan dinas ditentukan jumlah hari dan jarak tempuh dari Lampung," jelasnya.

Sejak Jumat (11-4), Bawasda Provinsi Lampung tengah memeriksa adanya perjalanan dinas fiktif yang dilakukan Pansus Sembilan Raperda yang diketuai Abdulah Fadri Auli. Pansus beranggotakan 14 orang ini studi banding ke Riau.

Aturan Selektif

Dihubungi terpisah, Ketua DPRD Lampung Indra Karyadi mengakui ada anggotanya yang mencairkan SPPD fiktif. "Sebab itu, kami mengeluarkan aturan selektif. Proses pencairan SPPD harus sesuai dengan aturan, hanya untuk hal yang betul-betul penting," kata Indra.

Menurut Indra, pimpinan DPRD tengah mempelajari mekanisme pemberian sanksi bagi anggota DPRD yang mencairkan SPPD fiktif. "Yang jelas kalau ada pengaduan akan ditindaklanjuti Badan Kehormatan. Sanksi selanjutnya terserah BK. Apakah mengembalikan uang perjalanan dinas atau sanksi lain. Kalaupun Bawasda mau memeriksa, silakan," kata Indra.

Berdasar pada catatan di Sekretariat DPRD Lampung sejak Januari hingga April 2008, anggota DPRD Lampung telah melakukan studi banding dalam kelompok Panitia Khusus (Pansus) ke delapan provinsi.

Sementara itu, DPRD Lampung dalam rapat pimpinan, Senin (14-4), kembali mengagendakan studi banding 65 anggota Dewan pada 8--14 Mei 2008.(sumber: Lampung Post)

Jumat, 11 April 2008

SLANK II

SAYA membaca ulang beberapa naskah Tajuk Rakyat ini, setelah menyimak keterangan Gayus Lumbuun, Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR semalam di SCTV. Tidak banyak pokok pikiran yang disampaikannya, ihwal lagu SLANK yang berjudul Gossip Jalanan, yang dianggap menghujat kewiba waan DPR itu. Kepada Fajroel, tamu pendamping dalam wawancara SCTV itu, Gayus mengatakan, “Kalau tidak tahu arti santun masuk ke sekolah SMA lagi.” Ia menatap pembawa acara.

Pada 8 April 2008, saya menuliskan tajuk berjudul SLANK. Hari ini di berita pagi televisi swasta, hangat membahas ihwal meradang-nya anggota dewan di DPR, soal lagu SLANK itu.

Kemudian saya membaca ulang buku Sembilan elemen Jurnalisme, Bill Kovach & Tom Rosenstiel. Saya merasa perlu mengkritik diri sendiri agar ke depan rendah hati. Tajuk ini kendati essai, sudah saya tabalkan berlenggam reportase. Sebuah reportase berisi paparan, deskripsi, bahkan beberapa di antaranya saya coba menulis reportase literair, agar terhindar dari kesan nyinyir. Beberapa tulisan yang ada, sudah mulai nyinyir macam nenek lampir saja.

Suatu waktu ketika berdiskusi dengan rekan di Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi (PWI-Reformasi), organisasi di mana saya ada, saya terperanjat mendengar keterangan, bahwa kemampuan reportase dalam iklim sekarang tidak mutlak perlu bagi seorang wartawan. Lah, bila demikian adanya, menjadi tanya, apanya yang di-reformasi sebagai reporter?

PWI-Reformasi adalah organisasi yang memiliki sejarah. Ia didirikan pada November 1998, diprakarsai oleh beberapa wartawan senior, bahkan nama reformasi, diucapkan langsung oleh Dahlan Iskan, Pemimpin Jawa Pos Group. Organisasi ini diharapkan mengoreksi cara berorganisasi PWI, yang dalam catatan sejarah turut mendukung pembredelan TEMPO, Detik - - di antaranya - - di era Orde Baru.

Hingga kini, PWI-Reformasi - - salah satu dari 29 organisasi pers - - belum masuk ke daftar anggota Dewan Pers. Mereka yang sudah ada di Dewan Pers, adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), dan IJTI (Ikatan Juranalis Televisi Indonesia).

Salah satu syarat terdaftar di Dewan pers, memiliki kepengurusan setidaknya di 10 propinsi. PWI-Reformasi kendati memiliki kepengurusan di 26 propinsi, namun secara kelembagaan belum memdaftar ke Dewan Pers. Ia laksana partai politik baru, masih dalam upaya membenahi diri. Bahkan namanya pun sempat beralih menjadi PJI (Persatuan Jurnalis Indonesia) - - yang kemudian jalan sendiri - - lalu menegaskan kembali bahwa PWI-Reformasi, masih perlu ada.

Apa yang direformasi?

Inilah pertanyaan membucah di benak saya selalu. Kini hampir di semua propinsi dan kabupaten, jurnalis terkotak-kotak berpihak di dalam pilkada. Media terkooptasi oleh uang dan kekuasaan. Dengan sendirinya wartawan, manusia di dalamnya menjadi terkotak-kotak pula.

Di beberapa propinsi, saya mencatat, 100% wartawan menerima amplop. Kemampuan reportase lemah, lebih-lebih melakukan verifikasi investigasi. Bila pun mereka berorganisasi, mereka masih saling gontok-gontokkan, memojokkan kelemahan kawan kiri kanan, tidak mencari solusi perbaikan, terutama perbaikan ke arah meningkatnya kemampuan reportase, yang memberi andil bagi keberpihakan kepada kesejahteraan masyarakat.

Tak dipungkiri laku jurnalis kini yang ada kian jauh panggang dari api bekerja profesional. Saya minimal mengingatkan diri sendiri. Sering sekali saya menginjak jempol kaki dalam menulis, terutama untuk mengingatkan keberpihakan. Sebagai jurnalis, keberpihakan mutlak kepada warga.

Ketika mendapatkan laporan dari Tuah F, Rado, PWI-Reformasi Kalimantan Tengah, yang datang ke Jakarta kemarin, mengatakan bahwa Ketua Umum PWI, Tarman Azzam, kini sering sekali ke Kalimantan Tengah dan ke kabupaten-kabupaten yang ada, bahkan memberikan penghargaan kepada Bupati yang ada di Kalteng, saya bertanya-tanya, gerakan apa pula yang dilakukan? Apakah penghargaan yang diberikan Tarman kepada pejabat itu, sudah merupakan hasil keputusan rapat PWI Pusat?

Menurut Tuah, pada penghujung 2007, Tarman pernah berpidato di depan jajaran Pemda Kabupaten Pulang Pisang, Kalimantan Tengah, bahwa, “Hanya ada tiga organisasi pers yang diakui secara resmi. Selain itu jangan dilayani, dan jangan diterima.”

Sebuah kalimat provokatif.

Sebuah kalimat arogan.

Omongan Tarman itu berimplikasi kini.

Banyak Pemda di tingkat kabupaten di Kalteng, tidak berkenan melayani wartawan yang berorganisasi di luar PWI. Keadaan, bahkan lebih parah dibanding di era Orde Baru. Wartawan, dikoordinir oleh humas Pemda. Berita melalui satu atap. Prioritas satu saja untuk PWI. Langkah ini secara nyata hari ini dilakukan oleh Rumah Sakit Umum Doris Sylvanus, Palangkaraya, yang sampai harus mengeluarkan semacam kartu identitas izin peliputan khusus bagi wartawan PWI saja, untuk lingkungan rumah sakit tersebut.

Bila wartawan sakit, atau butuh uang, ia tinggal meminta bantuan Pemda. Dan tinggal datang ke Humas, maka teken tanda terima, uang cair untuk sang wartawan. Langgam demikian bukan lagi isu. Tetapi seakan sudah diformalkan. Dan wartawan yang bukan PWI, tidak mendapatkan fasilitas apa-apa dari Pemda.

Saya memang menghimbau jajaran PWI- Reformasi untuk tidak mengunakan dana Pemda bagi berbagai keperluan jurnalistik. Jika tidak siap kere dan menderita jadi jurnalis, saya meminta mereka meninggalkan profesi itu. Ada cara meningkatkan taraf ekonomi, dengan menjadi pedagang koran, membuka warung nasi dan seterusnya. Ini demi menjaga independensi. Karenanya PWI-Reformasi Papua, sebagai contoh, yang pernah mendapatkan bantuan dana Pemda, saya minta membuatkan laporan penggunaan, untuk dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat.

PADA Agustus 2007, saya mendampingi Agung Firmansyah, yang berprofesi mengerjakan tulisan pariwara Pemda ke beberapa media. Ia mengajak saya ke Puruk Cahu, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah. Tentunya saya berterimakasih kepada Agung, bisa berjalan-jalan ke Puruk Cahu. Willy M Yosep, Bupati, begitu bangga memperlihatkan fotonya dengan Tarman Azzam, Ketua Umum PWI Pusat, di dinding rumah dinasnya. Tarman disambut laksana pejabat pemerintah dari pusat, bila datang ke kabupaten-kabupaten di Kalimantan Tengah.

Wartawan di Puruk Cahu, mendapatkan fasilitas ruang kerja ber-AC. Mereka mendapatkan bantuan motor. Mantan Ketua PWI Puruk Cahu, kini salah satu camat. Dalam keadaan demikian bagaimana wartawan mengritisi pembangunan rumah Bupati yang harus mencapai Rp 19 miliar. Termasuk pembangunan jembatan, sebagai infrastruktur yang bermasalah.

Bagaimana wartawan mengkritisi, bila kantor PWI Puruk Cahu dibiayai dari PAD Kabupaten, mencapai Rp 500 juta? Bukankah pembangunan kantor wartawan itu dananya lebih mendesak mengembangkan perpusatakaan kelililing desa, misalnya? Karena jumlah penduduk buta huruf cukup tinggi.

Di kemudian hari Tarman Azzam memberikan penghargaan pula kepada Willy yang tahun ini kembali mencalonkan diri sebagai Bupati itu, sebagaimana dituturkan Tuah F. Rado.

Di kabupaten yang memiliki tambang emas dan beberapa tambang batubara berkalori tinggi itu memang unik. Ketua DPRD, Henry Yosep, adalah kakak kandung Bupati, dan seorang kepala dinas, juga kakak kandung Willy. Tidak salah tentu. Tetapi bila media difasilitasi, corong media cuma PWI yang terfasilitasi itu, dan Ketua Umum Pusatnya, Tarman Azzam, beberapa kali pula ke Puruk Cahu, yang terindikasi bukan untuk urusan jurnalistik, tentulah layak kiranya jurnalis lain memverifikasinya, ada apa gerangan yang terjadi?

Dalam konteks ini, maka, diperlukan beberapa organisasi profesi wartawan, di sanalah gunanya anggotanya berperan, guna memberikan reportase dari sudut lain, yang ujung-ujung memberikan manfaat bagi masyarakat banyak, informasi yang sesungguhnya ada. Di tengah harapan kepada trias politika yang pupus, sedianya kekuatan keempat di bidang pers, media, wartawan, tumbuh.

Sayangnya, keberadaan wartawan lain itu, tidak diberi gerak, bahkan diusir macam yang terjadi di rumah sakit umum Doris Sylvana, Palangka Raya itu. Bila demikian kedaannya situasi di Kalimantan Tengah, sudah lebih parah dibanding iklim media massa di era Soeharto. Daerah sudah semacam negeri “feodal” baru. Lebih celaka, bila , feodalisme itu tumbuh difasilitasi oleh organisasi pers.

SUATU siang di empat tahun lalu, saya diajak Bambang Soepardjo, Ketua DHN 66, ke kantor Tarman Azzam, di perkantoran Gedung Dewan Pers,Jakarta Pusat. Inilah pertemuan tatap muka pertama saya dengan Ketua Umum PWI itu. Sejak itu saya tak pernah jumpa, dan mengikuti terus sepak terjangnya menjalankan organisasi PWI.

Di Harian Kalteng Pos, Selasa 8 April, ada tulisan Persiapan Jambore Wartawan Dimatangkan. Pelaksanannya di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Kegiatan itu dimotori PWI, dengan dukungan penuh Tarman Azzam. Untuk acara itu, berbagai lintas dinas Pemda terlibat, mulai dari dinas pekerjaan umum, Ditamperindag, PLN hingga PAM. Sudah dipastikan bahwa acara yang konon akan dihadiri oleh Menkominfo itu, bagi satu organisasi wartawan, PWI, jelas-jelas menggunakan dana APBD.

Di tengah situasi meningkatnya gizi buruk balita di berbagai daerah, adalah sebuah kenaifan bila organisasi jurnalis membebani anggaran negara, membebani anggaran daerah.

Lebih disayangkan kedekatan jurnalis, organisasi jurnalis, menjadi sebuah “kolusi” menyukseskan kekuasaan. Karenanya saya mengajak SLANK, bukan saja menulis lagu kritik bagi DPR, tetapi juga nyanyian mengkritik organisasi wartawan, juga profesi wartawan kini, yang mulai banyak “dilacurkan” kini.

Toh apalagi bila dilihat ditelevisi pagi ini, Ki Gendeng Pamungkas pun sudah ikut meluncurkan album lagu, mendukung SLANK. "Mana itu semua orang DPR, saya bela Slank, kalau berani gugat saya." Saatnya kini organisasi wartawan dan wartawan menunjukkan pula identitasnya yang pro warga, pro poor. Sebelum rakyat kebanyakan menggugatnya.

Iwan Piliang

Bongkar-pasang Ketua Parpol di Lampung

BANDAR LAMPUNG (Berita Nasional): Pembekuan pengurus partai di Lampung tidak terlepas dari tarik-menarik kepentingan pilkada. Pengartekeran juga wujud ketidakpercayaan pusat dan kontrol efektif pada pengurus daerah yang terlibat politik uang.

Penarikan wewenang pengurus wilayah partai di Lampung terjadi di PPP, PKB, dan Partai Demokrat. Wewenang Ketua DPD Partai Demokrat Lampung Thomas Azis Riska ditarik medio 2007 dan kepemimpinannya digantikan Plt. Ketua Peter Tji'din. Ketua DPW PPP Lampung Darwis Sani Merawi dibekukan 5 Oktober 2007 karena ditengarai DPP terlibat politik yang pilkada. Kemudian, kepemimpinan Ketua DPW PKB Lampung Musa Zainuddin dibekukan DPP berdasar pada keputusan rapat pleno 29 Februari 2008.

Dalam pandangan pengamat politik Unila Hertanto, pengambilalihan wewenang itu cerminan tarik-menarik kewenangan menetapkan calon gubernur dan calon bupati. Parpol yang sistem pengambilan keputusannya sentralistik merasa terganggu oleh struktur di daerah yang ingin punya peran lebih.

Pusat yang sentralistik, kata Dekan FISIP Unila ini saat dihubungi kemarin (10-4), terganggu oleh daerah yang ingin berperan menetapkan calon kepala daerah. Akhirnya, muncul konflik karena intervensi pusat terus digugat daerah. "Intinya rebutan selain juga terkait uang perahu," ujarnya.
Fenomena karteker juga terkait ketidakpercayaan pusat pada daerah. "Ini juga kontrol efektif bagi pengurus di daerah yang 'nakal'. Bisa saja ada pengurus daerah yang terlalu 'kasar' politik uangnya. Ada juga yang terkait dengan konflik," kata Hertanto.

Ke depan, Hertanto menyatakan turut campur pusat ke daerah harus berimbang. "Mesti ada kewenangan tertentu yang diberikan pada daerah seperti negosiasi koalisi dengan partai lain terkait calon gubernur."

Dihubungi terpisah, dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Unila Ari Darmastuti menyatakan parpol di Indonesia masih bersifat informal sentralistik. "Keputusan masih ditentukan perorangan atau tokoh, bukan melalui rapat atau musyawarah. Mereka juga terpusat, bukan membagi wewenang ke daerah-daerah."

Dengan begitu, lanjutnya, wajar bila di Lampung banyak marak fenomena karteker. "Di negara-negara maju, sistemnya sudah formal desentralistik. Mereka menentukan keputusan melalui rapat, musyawarah, serta membagi wewenang ke daerah-daerah," jelas Ari.

Di Indonesia pun Ari menilai harus mulai berkembang seperti di negara-negara maju. Pengambilalihan pengurus daerah oleh pusat melalui karteker harus berdasarkan syarat-syarat tertentu misalnya melanggar AD/ART atau persoalan moral seperti perselingkuhan, politik uang, dan korupsi.

Kasus PPP

Penarikan wewenang juga memunculkan masalah berkepanjangan. Kasus di DPW PPP Lampung sampai sekarang belum selesai. Untuk ketiga kali, musyawarah wilayah luar biasa (muswilub) gagal menyepakati keputusan.

Terakhir, pengurus DPW yang disodorkan formatur pada forum yang berlangsung Selasa (8-4) malam di kantor DPP PPP ditolak karteker. Formatur menetapkan M. Sofjan Jecoeb sebagai ketua, dan tiga ketua DPC sebagai wakil ketua mendampingi Sofjan.

Meskipun formatur menyatakan penetapan Sofjan Jacoeb tidak menyalahi AD/ART, Plt. Ketua PPP Lampung Emron Pangkapi dengan tegas menyatakan hal tersebut melanggar.Selain AD/ART, Emron menyatakan beberapa syarat menjadi pimpinan, baik DPP, DPW, maupun DPC, merujuk pada hasil Mukatamar VI 30 Januari--4 Februari 2007 lalu seperti Pasal 5 Ayat (C) dan Pasal 6 Ayat (2). "Semangat yang dibangun adalah mengantisipasi pendatang baru tidak bisa langsung jadi pemimpin," kata Emron yang dibenarkan Plt. Sekretaris PPP Lampung Teuku Taufiqulhadi. (sumber: Lampung Post)

Dukungan Uji Materi RUU-ITE

Koordinator Nasional Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi (Kornas PWI-Reformasi)
Manggala Wanabakti, Ruang 212, Wing B, Telepon/Fax 021-5746724, Senayan, Jakarta Pusat. http://www.pwir.org/

Nomor: 003/PWIR/IV/2008

Kepada Yth,
Pimpinan DEWAN PERS
Sekretariat Dewan PersGedung Dewan Pers Lantai VIIJl. Kebon Sirih No.32-34 Jakarta 10110

Perihal: Dukungan Uji Materi RUU-ITE (Informasi dan Transaksi Elektronika)

Dengan hormat,

Sesuai dengan keinginan Dewan Pers hendak mengajukan uji materi terhadap perihal tersebut di atas ke Mahkamah Konst itusi, kami jajaran Kornas PWI-Reformasi, mendukung pernuh langkah tersebut.

Sebagaimana tulisan Leo Batubara, anggota Dewan Pers, pada KOMPAS, 7 April 2008, secara tegas dan jelas memaparkan bahwa Undang-Undang Infomasi dan Transaksi Elektonika tersebut, mengancam kebebasan pers.

Pasal-pasal yang ada di dalam undang-undang tersebut terindikasi ambigu, tanpa memperhatikan UU Pers No. 40/1999.

Implikasi Undang-Undang tersebut, dirasakan pada akhir pekan lalu, dengan tertutupnya banyak blog di internet, hanya karena urusan kecil memblog konten Youtube, yang ditangani secara tidak profesional oleh kalangan pengusaha anggota APJII.

Demikian surat terbuka ini kami sampaikan dan mengharapkan dukungan masyarakat komunikasi di Indonesia khususnya dan masyarakat keseluruhan umumnya.

Terima kasih.


Jakarta, 8 April 2008
Kornas PWI-Reformasi

Hormat kami,
Iwan Piliang
Ketua Umum
http://mail01.mail.com/scripts/mail/compose.mail?compose=1&.ob=e1d449295ebb59b0ffeaa77d86c5ed8f1982f1d4&composeto=iwan.piliang@yahoo.com&composecc=&subject=&body=

Kamis, 10 April 2008

JAKSA AJUKAN BANDING KASUS BERSIHAR LUBIS

DEPOK (Berita Nasional/ANTARA) : Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Depok melakukan upaya hukum banding terhadap putusan Pengadilan Negeri Depok yang menjatuhi vonis hukuman satu bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan kepada penulis opini di Koran Tempo, Bersihar Lubis.

"Kita telah mengajukan banding tujuh hari setelah vonis yang dijatuhakan PN Depok," kata Kepala Kejaksaan Negeri Depok, Triyono Harianto, di Depok, Rabu (9/4).

Dalam putusannya Ketua Majelis Hakim PN Depok, Suwidya mengatakan, Bersihar secara sah dan meyakinkan telah menghina institusi Kejaksaan Agung melalui tulisan opininya di Koran Tempo Edisi 17 Maret 2007 yang berjudul "Kisah Integrator yang Dungu."

Suwidya berharap dengan putusan tersebut pada masa yang akan datang pendapat dari masyarakat dapat disalurkan secara martabat dan elegan, sehingga tidak menyalahi aturan hukum. Ia mengatakan, saat ini sedang menyusun memori banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat.

Menanggapi hal tersebut kuasa hukum Bersihar dari LBH Pers, Hendrayana mengatakan, pihaknya hingga saat ini belum menerima surat pemberitahuan apapun. "Belum ada surat apapun mengenai pengajuan banding," kata Hendrayana.

Sedangkan Bersihar Lubis menyatakan hal yang sama dirinya belum menerima surat pemberitahuan apapun mengenai adanya pengajuan banding tersebut. "Harusnya surat pemberitahuan dilayangkan kepada kuasa hukum saya," jelasnya.

Sebelumnya Mejelis Hakim Pengadilan Negeri Depok yang menyidangkan kasus Bersihar Lubis menjatuhi vonis hukuman satu bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan. Bersihar merasa kecewa dengan putusan tersebut dan akan melakukan banding.

Dengan putusan tersebut Bersihar tidak perlu menjalani hukuman penjara jika dalam tiga bulan tidak melakukan hal yang sama. Vonis tersebut lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan Jaksa yang menuntut delapan bulan penjara karena melanggar pasal 207 KUHP.(sumber: milinglist jurnalis-indonesia@yahoogroups.com)

Kamis, 27 Maret 2008

Jurnalis Al Jazeera Bukan Monyet

SAYA sangat kecewa dengan sikap satpam menara global, jakarta. Sikapnya kasar, tidak sopan, dan emosional. Satpam disana hendak menyerang saya dan meneriaki saya dengan kata monyet, dihadapan banyak orang pada hari Rabu 26 maret 2008.
Semua terjadi ketika kami, tim dari TV Al Jazeera International hendak mewawancari pengacara Adnan Buyung Nasution, di kantornya Lt.3 Menara Global, Jl. Gatot Subroto Kav.27, Jakarta.
Kronologisnya, bermula ketika kami tiba di lobi menara global sekitar jam 13.30 wib.
Saat itu saya hendak menurunkan peralatan berupa kamera, tripod, dan kotak lampu dari mobil. Satpam disana sempat menyambut kami dengan ramah.
"Mau ke lantai 3 ya pak? Silakan," kata salah seorang satpam. Kami memang sudah ada janji dengan Adan Buyung, pukul 14.00 WIB.Namun kesan sopan itu, tak lama lenyap. Datang seorang satpam bernama Regen Yusup, tiba-tiba datang dan menghardik kami dengan emosi. Dia memerintahkan kami untuk cepat menurunkan barang.
Dengan alasan ada mobil di belakang kami yg terhalang. Padahal, ketika kami lihat kebelakang, tidak ada mobil yang terhalang. Bahkan, kami parkir sementara, dengan memberikan ruang yang cukup untuk mobil lain lewat di lobi. Lalu saya jawab perintah satpam regen dengan anjuran agar tidak emosi. Lalu sambil menurunkan barang, saya mengatakan kepada satpam tersebut, kalau barang kami banyak, dan berat. Dan kami berusaha untuk cepat.
Namun satpam tersebut tetap menghardik kami, dan bukannya malam membantu. Saya pun membalas; "Tolong pak jangan pake emosi yah," ujar saya, sambil menurunkan peralatan lampu kami yang lumayan berat.Lalu satpam Regen pergi kedalam lobi.
Kami pun menyusul masuk kedalam lobi. Seperti sudah siap-siap, kami tiba-tiba dihalangi masuk lift oleh satpam yang sama. "Tidak boleh. Sudah ada ijin?," kata Satpam Regen dengan wajah tidak bersahabat. Lalu, tak lama, satpam yang sopan -- yang pertama bertemu dengan kami--lari menghampiri. "Ini sudah ada ijin ke lantai 3," kata satpam yang berprilaku sopan.Untuk pembaca ketahui, kami sudah ada janji dan ijin menuju kantor pengacara Adnan Buyung Nasution.
Karena dihalangi masuk lift, produser saya terpaksa menelpon sekretaris Bang Adnan--nama akrab Adnan Buyung Nasution.Ketika sekretaris bang Adnan tiba di lobi, dia menjelaskan kalau kami memang tamu Bang Adnan, dan pihak bang Adnan pun sudah kordinasi dengan satpam menara global, tentang kehadiran tim dari Al Ajazeera.Entah kenapa, satpam regen tidak puas. Dia menghalangi kami, dan mengancam kami bahwa, dia akan melaporkan kami ke komandan regu atau danru satpam.
Tak lama, kami diperbolehkan menuju lantai 3. Tapi kami kaget. "Tidak boleh lewat lift ini," kata Regen.Regen lalu kembali memerintahkan kami untuk menggunakan lift barang, yang berada di belakang gedung. Al hasil, sekretaris bang Adnan naik lift normal, dan kami terpaksa berjalan memutar menggunakan lift barang. ditengah jalan, satpam tersebut memanggil kami lagi. Tim kami diminta berpisah.
Saya--kameramen-- diwajibkan menggunakan lift barang. Sementara Reporter/koresponden dan produser menggunakan lift normal. Saya pun menuju lift barang. Kebetulan saat itu, saya ditemani pegawai Bang Adnan, yang mebantu membawakan tripod lampu.Setibanya menuju lift barang, kehadiran saya seperti sudah ditunggu. Ada beberapa satpam berseragam normal, dan satpam berpakaian safari tanpa identitas.
Kami diperintahkan menunggu didepan lift barang. Lalu saya pun menunggu. Mereka menjanjikan petugas yang akan mengoperasikan lift.Lama menunggu, petugas lift tidak juga kunjung tiba. Yang ada, saya di interogasi oleh salah seorang satpam dengan tanda kain merah di lengannya.
Dia bertanya saya dari mana? Lalu sudah ada ijin belum dari manajemen gedung? Dan mulailah saya merasa ada yang tidak beres dengan satpam di gedung menara global.Saya pun menjawab, kalau saya pernah bekerja di gedung Jak TV. Dan satpam yang bertugas disana juga berasal dari perusahaan SGA (Security Grup Artha)--satu perusahaan dengan mereka.
Saya menjelaskan kepada satpan yang mencoba menginterogasi saya, jika satpam Jak TV lebih sopan. lalu saya jelaskan, bahwa di Mabes Polri--lembaga resmi negara yang mengurusi keamanan-- juga bertindak sopan. Bahkan saya pernah meliput di kantor Kostrad, dan saya boleh menaiki lift normal.Lama menunggu lift, dan tidak nyaman dengan satpam di sekitar lokasi lift barang, saya akhirnya habis kesabaran.
"Tolong pak, saya takut telat wawancara dengan Adnan Buyung nasution. Kapan lift ini bisa beroperasi?," tanya saya.Satpam meminta saya untuk sabar.
Lalu saya pun menunggu lagi. Menit berganti menit, lift barang belum juga beroperasi.Sedangkan waktu sudah mendekati pukul 14.00 wib. Akhirnya saya menjelaskan kepada satpam yang sedang berkerumuk di ruangan tersebut, bahwa saya bisa kehilangan pekerjaan jika terlambat wawancara dengan nara sumber.
Karena disiplin waktu, adalah bagian dari etos kerja kami. Lalu saya mengatakan kepada mereka bahwa saya akan menuntut satpam tersebut jika saya dipecat gara-gara terlambat wawancara.Satpam kembali meminta saya menunggu.
Saya pun kembali menunggu. Dan lift barang masih juga tidak beroperasi. Akhirnya, karena saya sudah terlambat wawancara, saya meminta tolong kepada satpan agar diberi ijin menggunakan lift normal. Satpam menolak.
Lalu, saya nekad keluar dari ruangan yang penuh dengan satpam tersebut. Ketika saya akan membuka pintu, satpan berpakaian safari, mendorong saya dengan pintu dan marah-marah. Dengan mata melotot dan tangannya yang kekar, dia terus mendorong pintu ke arah saya sambil membentak-bentak, lalu saya meminta satpam tanpa identitas tersebut, agar tidak emosi dan tenang.Pegawai bang Adnan, akhirnya meminta saya untuk kembali menunggu lift barang. Dan saya pun kembali menunggu lift barang. karena saya merasa percuma berdebat melayani emosi satpam menara global.Tiba-tiba, satpan berpakaoan safari datang dan mendekati saya sambil marah-marah.
Lalu saya kembali meminta dengan baik-baik agar dia jangan emosi. Tapi anjuran saya dibalas, dengan ejekan: "Monyet luh !!!," kata satpam berpakaian safari tanpa identitas. Lalu, saya bertanya ulang kepada dia: "Maaf, tadi bilang apa?," tanya saya. "Monyet," kata satpam menujuk ke karah saya sambil hendak menyerang saya secara fisik.
Untunglah ada pegawai bang Adnan yang mencegah aksi fisik tersebut.Saya menyesalkan tindakan tercela dan tidak profesional satpam menara global. Saya merasa terancam, dan dihalangi dalam meliput. Dimana kebebasan pers? Saya ingatkan kepada satpam menara global, bahwa jurnalis dilindungi oleh Undang Undang RI No.40 tahun 1999 tentang pers. Dalam pasal 18, disebutkan bahwa barang setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).Adanan Buyung Nasution sendiri dan timnya sudah melayangkan keberatan terhadap manajemen gedung bank global atas sikap satpam yang tidak profesional.
"Anda tamu kami," ujar Bang Adnan kepada crew Al Jazeera.Keberadaan kami di menara global tidak bermaksdu negatif, atau meliput menara global atau keberadaan bank global yang bermasalah.
Kami hanya ingin mewawancarai Adnan Butung Nasution dengan topik yayasan almarhum soeharto. Itu saja. Bukan luka, atau derita yang kami minta. Kami hanya mau mewarta.
Jakarta 26 Maret 2008
Bobby Gunawan
Cameraman/Video EditorAljazeera
Jakarta BureauSuite 1102, Level 11,
Deutsche Bank Building, No.80 Jl.Imam Bonjol, Jakarta 10310, Indonesia
Tel : +62 21 39831305
Fax:+622139831306
Mob:+628176449954,
+62 8111891800

Senin, 24 Maret 2008

Rp4,1 Juta, Upah Layak Minimum Jurnalis

SEJAK lahirnya revisi Undang-Undang Pers pada 1999, keran kebebasan persterbuka lebar. SIUPP ditutup, sensor dan bredel pun tak berlaku lagi. RakyatIndonesia menikmati kebebasan pers terbesar sepanjang sejarahnya.Konsekuensinya, masyarakat membutuhkan informasi dari media yangberkualitas, akuntabel, profesional, dan independen.

Menjawab tuntutan publik ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakartatelah membuat berbagai program untuk meningkatkan pengetahuan, skilljurnalistik, serta ketaatan terhadap kode etik. Berbagai trainingjurnalistik dan kampanye anti- amplop/suap selalu jadi prioritas dalamsetiap periode kepengurusan.

Sayangnya, upaya peningkatan profesionalisme sering terhambat oleh buruknyakesejahteraan jurnalis. Banyak pemodal berkantong cekak nekat mendirikanmedia. Akibatnya, lahirlah perusahaan pers yang bermutu rendah dengan upahjurnalis yang minim. Situasi ini jelas berbahaya karena bisa menggiring parajurnalis permisif terhadap suap atau amplop dari narasumbernya.

Alhasil,independensi dan profesionalisme jurnalis hampir mustahil ditegakkan. Fakta masih banyaknya pengusaha media yang tidak mengimbangi kerjajurnalisnya dengan upah/kesejahteran yang layak terungkap dalam survei AJIIndonesia.

Menurut survei atas 400 jurnalis dari 77 media di 17 kota itu,masih ada jurnalis yang diupah kurang dari Rp 200 ribu-jauh lebih rendahketimbang upah minimum yang ditetapkan pemerintah. Dari sekitar 850 media cetak yang masih terbit di awal 2008, hanya 30% yangsehat bisnis.

Dari sekitar 2.000 stasiun radio dan 115 stasiun televisi padakurun yang sama, hanya 10% yang sehat bisnis. Kondisi industri media yangbelum matang inilah yang kerap menjadi alasan pembenar bagi pengusaha persuntuk tetap menggaji rendah jurnalisnya.

Padahal, Pasal 10 UU Pers memberi mandat kepada segenap perusahaan mediauntuk meningkatkan kesejahteraan pekerjanya. Bentuk kesejahteraan itu berupakepemilikan saham, kenaikan gaji, bonus, serta asuransi yang layak.

Pendekkata, menuntut kebebasan pers tanpa menyertakan kesejahteraan jurnalisnya,sama halnya mereduksi UU Pers itu sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya jurnalis non-organik alias koresponden jugaharus mendapatkan perhatian khusus. Mereka adalah golongan yang palingrentan dalam gurita industri media di Indonesia.

Kontrak kerja yang takjelas, tiadanya jaminan asuransi, kaburnya standar upah serta beban kerjayang tak kalah tinggi menyebabkan koresponden di daerah bekerja dalamkondisi yang tak terjamin oleh perusahaan. Hal itu masih diperunyam dengan jenjang karier yang juga buram. Kendatisudah mengabdikan dan mendedikasikan dirinya selama bertahun-tahun, statusmereka masih belum beranjak menjadi karyawan tetap.

Yang lebih mengenaskan,kini makin marak fenomena jurnalis "tuyul" alias jurnalis yang rela menjadi"koresponden"-nya koresponden dengan kompensasi yang pas-pasan. Praktiksemacam ini tentunya selain bertentangan dengan kode etik juga lebih parahdari sistem outsourching.

Memang ada perusahaan yang menggaji jurnalisnya dengan lebih baik. Tapi,tetap saja, jika dibandingkan jurnalis di negara berkembang lainnya sepertiMalaysia dan Thailand, rata-rata gaji jurnalis di Indonesia masih terpautsekitar empat kali lebih rendah.

Agar profesionalisme jurnalis bisa ditingkatkan, AJI Jakarta menetapkanstandar upah layak minimum sebesar Rp 4.106.636. Standar upah ini berlakubagi seorang jurnalis muda di Jakarta yang baru diangkat menjadi karyawantetap. Standar upah layak minimum ini dirumuskan berdasarkan komponen dan hargakebutuhan hidup layak pada 2008.

Metodenya, kami mengukur perubahan biayahidup (living cost) seiring kenaikan harga barang di pasaran yang sesuaidengan kebutuhan seorang jurnalis lajang. Satu komponen baru yang kami masukkan adalah kebutuhan akan laptop yangpembayarannya dicicil selama tiga tahun. Komputer jinjing ini bukanlahbarang mewah bagi jurnalis, melainkan kebutuhan riil demi menunjang kinerjajurnalis di lapangan yang makin dituntut lebih cepat dalam menyajikaninformasi.

Di luar upah layak minimum, AJI Jakarta menuntut perusahaan media menerapkansistem kenaikan upah reguler yang memperhitungkan angka inflasi, prestasikinerja, jabatan, dan masa kerja setiap jurnalis. Kami juga meminta perusahaan media memberikan sejumlah jaminan, sepertiasuransi keselamatan kerja, jaminan kesehatan, jaminan hari tua, dan jaminansosial bagi keluarganya.

Bagi perusahaan yang karena kondisi keuangannya belum bisa memenuhi standargaji layak minimum ini, kami menuntut beberapa hal:

1. Manajemen harus melakukan transparansi keuangan agar semuajurnalis/karyawan mengetahui alokasi anggaran setiap bagian dari prosesproduksi, untuk mencegah pemborosan atau melakukan penghematan.

2. Manajemen harus mempersempit kesenjangan gaji terendah dan gajitertinggi (pimpinan) untuk memenuhi rasa keadilan bersama dan melakukanpenghematan.

3. Manajemen harus mengalihkan hasil penghematan untuk memperbesarpersentase anggaran bagi upah/kesejahteraan karyawan.

4. Terhadap perusahaan media yang telah bertahun-tahun mempekerjakankoresponden, manajemen harus memberikan kesempatan berkarier kepada merekauntuk menjadi karyawan tetap dengan tingkat kesejahteraan yang setara.

5. Apabila perusahaan media yang dengan alasan tertentu tidak bersediamenjadikan koresponden sebagai karyawan tetap, maka selain memberikan honorlaporan, manajemen juga harus memberikan jaminan asuransi, klaimtransportasi dan honor basis sesuai Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) dimana seorang koresponden bertugas.

Jakarta, 18 Maret 2008

Jurnalis Tolak Amplop, Perjuangkan Upah Layak Rp 4,1 Juta!

Winuranto Adhi

Koordinator Divisi Serikat Pekerja. (sumber: milis jurnalis-indonesia@yahoogroups.com

Kamis, 13 Maret 2008

Video Porno PNS Lampung Makin Beredar

BANDAR LAMPUNG (Berita Nasional): Video porno dengan aktor pegawai harian lepas di Pemprov Lampung dan PNS Pemkot Bandar Lampung terus meluas dan menjadi buah bibir.
Hampir setiap sudut Kota Bandar Lampung membahas tentang film tersebut. Bahkan mereka kini menyimpan film tersebut di ponselnya.
Informasi yang berkembang semakin santer. Ada yang menyebutkan film tersebut terdiri dari jilid I dan Jilid II. Bahkan ada yang menyatakan film tersebut lengkap hingga 60 menit.
Sejumlah PNS di lingkungan Pemkot pun berdesas-desus. Bahkan, tidak sedikit PNS yang memiliki video porno tersebut dan mengaku mengenal dekat dengan "aktor" laki-laki yang ada di film tersebut.
"Ini memang dia (DA). Tapi, apa mungkin dia melakukan hal itu. Seminggu yang lalu saya ketemu dia. Siapa sih yang tega menyebarkan video itu. Mungkin saja itu koleksi pribadi," kata seorang PNS yang tidak mau namanya disebut setelah menonton video di ponsel.
Namun, tidak sedikit PNS yang menyatakan prihatin dengan pergaulan anak muda sekarang. Terlebih, oknum dalam video tersebut adalah orang-orang yang sangat dikenal di lingkungan kerja mereka.
"Silakan saja mereka melakukan hal itu. Tapi, mengapa sampai difilmkan segala sih," kata seorang ibu yang juga PNS di lingkungan Pemkot.
Sejak beredarnya adegan tersebut, Februari 2008, DA, sang aktor pria, yang juga anak mantan pejabat ini, sempat mendatangi salah satu pemegang film tersebut di bilangan Tanjungkarang dan mengancam akan melibatkan orang tersebut sebagai saksi penyebaran vidio tersebut.
"Saya sempat didatangi karena punya film itu. Saya juga sempat kaget. Dia minta gambar itu dihapus. Dan di depan dia video itu saya hapus. Dan hal itu justru meyakinkan pelakunya memang mereka," kata sumber tersebut.
Menurut sumber itu, DA sempat mengaku adegan tersebut direkam dua tahun lalu. Saat itu NG masih kuliah dan DA sudah bekerja.
Rekan-rekan kuliah NG hanya bisa berdecak heran atas tayangan adegan porno tersebut. Mereka juga berharap masyarakat tidak terlalu mencibir NG, yang menjadi korban tayangan tersebut.
Sanksi
Sementara DPRD Bandar Lampung meminta Wali Kota mengusut tuntas kasus video porno yang diduga melibatkan pegawai di lingkungan Pemkot. Jika terbukti, Wali Kota diminta untuk memberikan sanksi tegas.
Ketua DPRD Bandar Lampung Azwar Yakub mengatakan sebagai pimpinan Dewan dirinya merasa prihatin dengan kasus video porno tersebut. Sebab, kejadian itu telah mencoreng lembaga pemerintahan Kota Bandar Lampung.
"Jika terbukti bersalah, kami meminta wali kota memecat oknum pegawai yang menjadi pemeran dalam video mesum tersebut," kata Azwar, di ruang kerjanya, Rabu (12-3).
Namun, Ketua Komisi A DPRD Bandar Lampung Firmansyah mengatakan sekalipun warga banyak mengenal NG, perempuan yang ada dalam adegan mesum tersebut dan laki-laki berinisial DA yang saat ini berstatus pegawai di Pemkot, jangan langsung memberi penilaian negatif. Masyarakat harus tetap memberlakukan asas praduga tak bersalah.
"Dan, saya sangat setuju dengan langkah Poltabes Bandar Lampung yang akan menghadirkan saksi ahli untuk membuktikan keaslian video porno tersebut. Kalau memang terbukti, kita serahkan kepada aparat penegak hukum menindaklanjuti kasus tersebut," kata Firman, kemarin.
Jika memang terbukti NG dan DA yang berperan dalam film berdurasi 1 menit 50 detik itu, Firman menyarankan agar wali kota dapat mengambil sanksi yang mendidik dan tidak mematikan masa depan oknum pegawai tersebut.
"Saya yakin keduanya sudah mendapatkan sanksi moral yang begitu besar. Bukan hanya mereka berdua, keluarganya juga akan mendapatkan hal yang sama. Untuk itu, Pemkot dapat memberikan sanksi yang sifatnya membina dan dapat menimbulkan efek jera. Karena, mungkin saja video itu adalah dokumen pribadi dan tidak untuk disebarluaskan," kata dia.(*)

Rabu, 12 Maret 2008

Masalah Tanah, 11 Kepala Kampung Dipanggil

GUNUNGSUGIH (Berita Nasional) : Komisi A DPRD Lampung Tengah akan memanggil 11 kepala kampung dari tiga kecamatan yang sebagian wilayahnya merupakan tanah eks PT Pago.
Ketua Komisi A DPRD Lampunt Tengah Abdullah Riduan mengatakan pemanggilan dilakukan untuk memvalidasi data warga yang memohon kepemilikan tanah tersebut ke pemerintah.
"Kami akan memanggil 11 kepala kampung untuk memvalidasi jumlah kepala keluarga dan data pemohon. Kami juga sudah melayangkan surat ke BPN Lamteng untuk meminta peta tanah eks PT Pago," ujar dia.
Abdullah mengingatkan status tanah eks PT Pago berbeda dengan BPPT, di mana lahan BPPT sebagian akan dijadikan kawasan pendidikan terpadu. "Jadi, masyarakat jangan salah memahaminya."
Pekan lalu, Komisi A DPRD Lampung Tengah sudah menelusuri status tanah eks PT Pago yang kini menimbulkan masalah. Pasalnya, ratusan warga yang juga pemohon lahan eks PT Pago itu menolak pemberian tali asih dari Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah. Mereka lebih memilih menggarap tanah tersebut ketimbang menerima uang tali asih yang ditawarkan Pemkab Lampung Tengah Rp3 juta per hektare.
Tanah Depnakertrans
Sementara itu, hasil penelusuran anggota DPRD Lampung Tengah ke Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Deptrans) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat, status tanah eks PT Pago adalah milik Depnakertrans.
Anggota Komisi A DPRD Lampung Tengah S.M. Herlambang menjelaskan tanah tersebut semula dikuasai PT Intrada, salah satu perusahan dari Jepang.
Pada 1980-an, jelas Herlambang, lahan tersebut dinasionalisasikan dan Departemen Transmigrasi menggandeng PT Tris Delta Agrindo untuk mengurus HPL lahan tersebut untuk para transmigran.
Kesepakatan kerja sama Departeman Transmigrasi dengan PT TDA berakhir pada 2018, tapi pada 2004 hubungan kerja sama itu ternyata telah putus.
Saat kerja sama berlangsung PT TDA mempunyai hak guna bangunan (HGB) di lahan tersebut sekitar 1.000 hektare, sedangkan BPPT mempunyai HPL seluas 2.000-an hektare.
Baduk (45), salah seorang satu pemohon, mengatakan luas lahan eks PT Pago itu 5.066,72 hektare awalnya digarap PT Intrada untuk tanam singkong kemudian lahan tersebut dikuasai PT Pago dengan sistem sewa selama 25 tahun."Habis masa sewa lahan tersebut kembali ke masyarakat, tapi tiba-tiba lahan itu sudah pindah tangan ke PT TDA tanpa kami ketahui," ujar Baduk saat dihubungi via telepon, kemarin.(*)

Harga Komoditas Naik Petani Tetap Sedih

KOTAAGUNG (Berita Nasional): Kenaikan harga komoditas kopi dan kakao yang masing-masing mencapai Rp20 ribu/kg dan Rp22 ribu/kg ternyata tidak membuat gembira petani di Kabupaten Tanggamus, Lampung.
Pasalnya, selain produksinya berkurang, harga kebutuhan pokok dan saprodi (sarana produksi) seperti pupuk dan obat-obatan pertanian juga melambung.
Selama hampir dua pekan terakhir ini, harga kopi dan kakao (cokelat) menembus level tertinggi selama hampir tiga tahun terakhir ini. Di sejumlah pedagang pengumpul di Kotaagung, Talang Padang, dan Wonosobo, harga biji kopi kering mencapai Rp20 ribu/kg, sedangkan harga kakao Rp22 ribu/kg.
"Harga kopi masih fluktuatif antara Rp19 ribu dan Rp20 ribu per kilogram, bergantung pada mutu. Untuk kopi barangnya belum banyak, paling dua bulan lagi panen raya. Kalau harga cokelat antara Rp21 ribu dan Rp22 ribu per kilogram," kata Ali, pedagang pengumpul di Pasar Talang Padang, Minggu (9-3).
Rohmat (39), petani kopi di Pekon Umbul Pucung, Kecamatan Wonosobo mengatakan kini para petani tidak usah repot-repot menjual kopi ke pasar. Sebab, para pembeli yang biasa mereka panggil "bos" biasanya mendatangi para petani ke dusun-dusun. "Harganya tidak terlalu jauh dengan di pasar. Ya, selisih Rp1.000 sampai Rp2.000-lah sekilonya. Ketimbang kami turun ke pasar, sama saja karena perlu ongkos dan sebagainya," kata dia.
Meskipun mendapati tingginya harga kopi dan kakao di pasaran, sejumlah petani di Kecamatan Wonosobo, Kotaagung, Air Naningan, dan Sumberrejo mengaku tidak begitu gembira.
Pasalnya, selain panen raya kopi diperkirakan baru mulai pada Juli 2008, dan kemungkinan saat itu harga menjadi turun, juga disebabkan melambungnya harga-harga kebutuhan pokok dan saprodi.
"Biasa sajalah, tidak terlalu gembira. Habis semua harga kebutuhan tinggi, termasuk harga obat-obatan," kata Solehun, petani di Pekon Air Kubang, Kecamatan Air Naningan.
Hal senada juga dilontarkan Pardi, petani di Pekon Dadapan, Kecamatan Sumberrejo. Menurut dia, meski harga kopi dan kakao terbilang cukup tinggi, tidak terlalu berpengaruh bagi kehidupan petani kecil sepertinya.Selain karena panen kopi dan kakao tahun ini jauh lebih sedikit dibanding dengan tahun sebelumnya, juga banyak tanaman kakao yang produksinya turun akibat serangan hama penggerek batang. "Kalau tanaman kopi, kebanyakan diserang penyakit layu daun," kata dia. (*)

Senin, 03 Maret 2008

Ulat Serang Kakao di Tanggamus

KOTAAGUNG (Berita Nasional): Hama ulat penggerek batang meresahkan ratusan petani kakao di sejumlah kecamatan di Kabupaten Tanggamus. Selain menurunkan produktivitas, hama ini juga bisa menyebabkan kematian tanaman.


Serangan hama ini telah menyebar luas, terutama di Kabupaten Tanggamus bagian barat seperti di Kecamatan Kotaagung, Kotaagung Timur, Kotaagung Barat, Wonosobo, Semaka, Bandar Negeri Semoung, dan Pematangsawa.

Pemantauan di sejumlah kebun kakao di Kecamatan Kotaagung Barat, Minggu (2-3), hama ulat pengerat batang itu umumnya menyerang tanaman kakao dewasa dan produktif.

Hama ulat ini mengerat batang kakao dan melubangi batang hingga tembus ke sisi lain, serta memakan bagian dalam tanaman. Satu pohon kakao biasanya diserang lebih dari tiga ekor ulat berwarna putih seukuran jari telunjuk manusia itu.

Bila batang yang sudah diserang ulat ini tidak segera ditanggulangi, lama-kelamaan bagian dalam tanaman kakao ini akan menjadi terowongan tempat berkembang biaknya hama ini. Seiring dengan itu, produksi buah menjadi turun drastis. Dan lambat laun batang mengering, disertai daun menjadi kuning dan berguguran.

"Pada awalnya saya heran, kenapa produksi buah cokelat (kakao, red) saya turun tajam. Bukan itu saja, daun menjadi kuning dan berguguran. Setelah saya periksa, ternyata batang-batang cokelat itu banyak lubang yang tembus dari satu sisi ke sisi lain. Ternyata penyebabnya ulat putih sebesar telunjuk," kata Yanto, petani kakao di Kecamatan Kotaagung Timur, Minggu (2-3).
Menurut Yanto, berbagai upaya pemberantasan telah dilakukan para petani, di antaranya dengan menyumbat lubang-lubang yang diduga menjadi tempat bersarangnya hawa ulat tersebut.
Kemudian, menyemprotkan insektisida ke dalam lubang, sampai dengan cara konvensional, yaitu menyiapkan kawat tajam untuk menusuk ulat yang ada dalam batang.
"Tetapi, usaha cara-cara tersebut hasilnya kurang memuaskan. Selain menyita waktu dan tenaga, hasilnya juga tidak maksimal," kata Rahmat, petani kakao di Dusun Lamuran, Pekon Teratas, Kecamatan Kotaagung.

Para petani kakao berharap Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tanggamus segera mengambil langkah cepat guna mencegah penyebaran serangan hama ulat pengerat batang kakao ini.

"Pengetahuan kami akan penyakit ini sangat terbatas. Untuk itu kami berharap Dinas Perkebunan segera turun tangan memberikan penyuluhan agar kerugian kami tidak makin parah," tambah Mardiono, petani kakao di Kecamatan Wonosobo.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto