Selasa, 22 Juli 2008

70% Hutan Lindung di Lamsel Telah Rusak


KERUSAKAN hutan lindung di wilayah Kabupaten Lampung Selatan saat ini mencapai 70 persen. Penyebabnya, masyarakat yang berada di hutan lindung menjadikan tempat tersebut sebagai usaha tanaman semusim.


Menurut Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Selatan Asnil Noer, luas wilayah hutan lindung di wilayah tersebut 26.413,16 ha. Namun, lantaran Kabupaten Pesawaran pecah menjadi kabupaten sendiri, saat ini luas wilayah hutan lindung di Lampung Selatan mencapai 13..886,7 ha. Sedangkan hutan produksi dengan luas 44.301,9 ha.


"Dengan luas wilayah tersebut, saat ini kerusakan hutan lindung di wilayah Lampung Selatan mencapai 70 persen. Hal ini, dilihat dari sudut pendang kehutanan," kata dia.


Asnil Noer mengatakan untuk kerusakan hutan lindung yang terparah berada Kecamatan Merbau Mataram dan Kecamatan Ketibung. Kerusakan hutan lindung tersebut diakibatkan masyarakat masuk secara illegal dan menempati hutan lindung tersebut, kemudian mereka merambah hutan lindung dan digantikan dengan tanaman semusim.


"Kerusakan hutan lindung di wilayah ini disebabkan karena masyarakat yang menempati wilayah tersebut merambah hutan. Sehingga, hutan lindung semakin rusak akibat pepohonan yang ada di hutan lindung ditebangi dan diganti dengan tanaman semusim seperti membuka lahan persawahan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga mereka," urainya.


Menurut dia, untuk mencegah terjadinya perambahan hutan yang semakin meluas, pihaknya kini telah melakukan rehabilitasi terhadap hutan lindung agar kondisi hutan lindung bisa kembali seperti semula.


Namun, untuk mengembalikan keaslian hutan lindung seperti semula tidaklah mudah. Bahkan membutuhkan waktu yang cukup lama. Kehutanan harus berusaha keras untuk mengembalikan hutan lindung di wilayah tersebut dan memberikan sanksi tegas kepada para penebang pohon secara ilegal.


"Sampai saat ini tidak ada lagi penebang pohon di hutan lindung secara ilegal. Jika ada masyarakat yang masih melakukan perambahan hutan lindung, kami akan memberikan sanksi dan hukuman sesuai Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan," kata Asnil Noer.


Menurut dia, untuk mengembalikan kerusakan hutan lindung di wilayah Lampung Selatan yang mengalami kerusakan mencapai 70 persen tersebut, Dinas Kehutanan saat ini berusaha mencanangkan program 'kecil menanam dewasa memanen' kepada masyarakat di daerah tersebut.


Pepohonan yang ditanam di hutan lindung seperti karet, durian, dan sebagainya. Hal ini dilakukan agar masyarakat senang menanam pohon, baik di luar hutan maupun di dalam hutan. Sehingga hasilnya nanti bisa dimanfaatkan masyarakat tersebut.

Kajari Usut Kasus Uang Lelah


KEPALA Kejaksaan Negeri (Kajari) Kotaagung Agus Istiqlal memastikan kasus korupsi uang lelah rapat yang melibatkan 45 anggota DPRD Tanggamus, Provinsi Lampung, tetap menjadi prioritas dan akan diteruskan.


Namun, karena penanganan kasus ini memiliki dampak yang cukup besar, pihak kejaksaan harus hati-hati agar tidak salah melangkah. Dan, kejaksaan butuh waktu untuk mendalami penanganan kasus tersebut. Namun, dipastikan tidak ada satu pun kasus hukum yang dihentikan.


Agus Istiqlal, didampingi Kasi Pidsus Andi D.J. Konggoasa, di ruang kerjanya, Senin (21-7), mengatakan tindakan yang diambil pihak kejaksaan tidak main-main terhadap semua kasus hukum yang ditangani. Menurut dia, pihaknya tetap akan memperlakukan setiap orang sama kedudukannya dalam hukum.


Terkait dengan kasus yang ditangani lainnya, menurut Agus Istiqlal, tetap dilanjutkan, misalnya, kasus bantuan ternak. Bahkan, kata dia, dalam kasus ini, dari pendalaman telah menemukan titik terang. Yaitu adanya keterlibatan berbagai pihak di luar dinas, seperti keterlibatan LSM. Namun, karena keterbatasan sumber dana dan sumber daya manusia, kasus-kasus yang ada masih sangat lambat untuk ditangani.


"Kami membutuhkan waktu yang lebih panjang. Persoalannya, Kejaksaan Negeri Kotaagung sangat minim sumber daya. Akibatnya, tidak sebandingnya antara jumlah kasus dan tenaga jaksa dalam menangani perkara. Demikian juga dengan anggaran yang tersedia. Untuk menyelidiki kasus keluar daerah tidak ada dananya," kata Agus Istiqlal.


Untuk kasus Bank Syariah Tanggamus, kasusnya memang dihentikan karena seluruh uang yang didepositokan keluar daerah telah kembali pada tanggal 16 Juli 2008, dengan bukti-bukti yang ada. Bahkan, uang tersebut mengalami keuntungan. Sehingga, persoalan ini ditutup karena tidak adanya unsur yang dapat membawanya menjadi persoalan hukum; hanya terjadi kesalahan prosedur.


Sementara itu, terkait janji Kajari yang memberi batas waktu 22 Juli, untuk menangkap mantan ketua DPRD Tanggamus Muas Munziri yang ditolak Kasasinya oleh Mahkamah Agung, Agus kembali meminta itikad baik dari mantan pejabat Tanggamus itu untuk menyerahkan diri sebelum dibentuk tim untuk memburunya.(diambil dari berita Lampung Post)

Disnak Potong 50% Dana Penggemukan Sapi


DINAS Pertanian dan Peternakan Lampung Utara, Provinsi Lampung, dituding memotong 50% dana penggemukan sapi tahun anggaran (TA) 2007 dari total anggaran Rp2,8 miliar.


Dana itu seharusnya diberikan kepada 51 kelompok peternak sapi dengan perincian tiap kelompok menerima Rp56,3 juta. Namun, kenyataannya per kelompok hanya memperoleh dana bantuan Rp28,1 juta atau dikurangi 50% dari keharusan.


Akibat pemotongan bantuan tersebut, para kelompok peternak mengaku program penggemukan sapi yang mereka kelola terancam gagal. Ke-51 kelompok penggemukan sapi tersebut terpusat di empat kecamatan; Kecamatan Abung Selatan sebanyak 10 kelompok, Kecamatan Abung Semuli (17 kelompok), Kecamatan Abung Surakarta (16 kelompok), dan Kecamatan Blambangan Pagar delapan kelompok.


Sementara itu, Kasubdin Pertenakan di Dinas Pertanian dan Pertenakan Kotabumi Lampung Utara Parman (50) ketika dikonfirmasi membenarkan pemotongan tersebut. Namun, ia enggan menjelaskan lebih lanjut. "Silakan saja tanya langsung kepada kepala dinas. Saya hanya menjalankan perintah dan tugas yang diberikan pimpinan. Maaf Mas, tolong tanya langsung kepada dinas," ujar Parman.


Di tempat terpisah, Sugianto (45), Ketua Kelompok Ternak Sapi Sumber Gizi Desa Semuli Jaya, Kecamatan Abung Semuli, Minggu (20-7), membenarkan kelompoknya memperoleh dana bantuan program penggemukan sapi Rp56,3 juta pada 2007.


Tetapi, dana yang sesungguhnya ia diterima hanya Rp28,3 juta. "Bagaimana saya bisa menjalankan program tersebut kalau dana yang seharusnya kami terima dipotong," ujar Sugianto.


Menurut dia, jika saja dana yang diterima kelompoknya utuh, peternak di Desa Semuli Jaya seharusnya dapat memelihara dan menggemukkan 10 ekor sapi. "Karena adanya pemotongan, sapi yang bisa kami beli hanya empat ekor," kata Sugianto.


Dia juga mengakui saat hendak menerima dana bantuan, ia dan seluruh ketua kelompok ternak sapi lebih dahulu dikumpulkan di kantor Dinas Pertanian dan Pertenakan. Setiap kelompok disuruh membuat surat pernyataan bahwa dana bantuan tersebut tidak bisa dicairkan secara keseluruhan. Akhirnya, ia terpaksa mengambil dana bantuan tersebut.


Ironisnya, akibat pemotongan dana bantuan program penggemukan sapi tersebut, salah satu kelompok terpaksa menggunakan dana tersebut pembelian kambing.


"Saya terpaksa membeli kambing karena dana yang ada tidak cukup untuk dibelikan sapi," ujar Poniman, Ketua Kelompok Prasasti Prayogi yang ada di Desa Candimas, Kecamatan Abung Selatan.


Ironisnya lagi, sejumlah kelompok lain juga mengaku terpaksa meminjam sapi milik warga. Peminjaman ini dimaksud menjaga-jaga jika ada petugas memeriksa. Hal ini dilakukan semata untuk mengelabui petugas yang ingin melihat kondisi riil sapi yang digemukkan itu.


Berbeda dengan Kelompok Sidomurni, Sidomukti, Manunggal dan Sidomuncul. Ketiga kelompok ternak penggemukan ini justru diduga tidak memiliki seekor pun sapi.


Salah seorang anggota Kelompok Sidomukti yang enggan disebutkan identitasnya mengatakan anggota tidak mengetahui alasan kelompoknya tidak membeli sapi. "Tapi yang saya dengar, pemotongan dana pernah juga dilakukan Musroni (45), Ketua Kelompok sendiri," ungkap sumber itu.(sumber: Lampung Post)

Senin, 21 Juli 2008

Politik Uang Berarti Melegalkan Suap

CENDEKIAWAN muslim Prof. K.H. Didin Hafiduddin mengatakan masyarakat perlu diberi kesadaran bahwa pilihan berdasar pada politik uang berarti melegalkan suap-menyuap di masyarakat secara luas.
Didin Hafiduddin tidak memungkiri uang merupakan salah satu daya tarik masyarakat dalam memilih calon pada kondisi masyarakat yang serbasulit seperti sekarang.

"Namun perlu disadari, bila seorang calon saat sekarang sudah berani mengeluarkan uang untuk mengajak orang memilihnya, yang terjadi adalah pada saat dia terpilih, yang pertama kali dilakukan adalah bagaimana mengembalikan modal yang telah dia keluarkan untuk keluar sebagai pemenang," kata dia terkait pemilihan kepala daerah (pilkada), khususnya Pilkada Kabupaten Bogor yang akan dilaksanakan akhir Agustus mendatang.

Menurut Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) ini, pengembalian modal itu dilakukan tidak lain dan tidak bukan dengan menggerus pendapatan asli daerah (PAD) yang notabene dari pajak dan pendapatan lain yang berasal dari masyarakat.

"Maka yang sangat dirugikan dengan perilaku ini adalah masyarakat karena akan menghambat pembangunan akibat dicampurinya kepentingan pribadi yang begitu besar termasuk untuk memperkaya diri sendiri melalui jabatan yang disandang," kata dia.

Selain integritas, kata dia, syarat kedua dari seorang pemimpin adalah menjaga profesionalitas sebagai pelengkap bagi calon yang ingin menjadi pemimpin.

Profesional dalam arti seorang pemimpin harus mampu mengurus seluruh rakyat yang beraneka ragam, mendahulukan kepentingan rakyatnya ketimbang kepentingan pribadi dan keluarganya, mampu berkomunikasi dengan berbagai segmen masyarakat baik yang ada di birokrasi, LSM, bahkan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat, serta mampu melindungi rakyatnya dari berbagai unsur yang merusak.

Selain itu, integritas dari calon kepala daerah tampak dari mereka yang senantiasa menjaga hubungannya dengan Allah swt. Pemimpin yang senantiasa menjaga ibadahnya kepada Allah swt. setiap waktu dan dalam kondisi apa pun, akan diridai Allah swt."Bila demikian, pintu-pintu rezeki akan Allah buka karena pemimpin dekat dengan Sang Maha Pencipta dan Pemberi Rezeki, yaitu Allah swt.," kata dia.

Perlu Hukuman Mati terhadap Koruptor

INDONESIA perlu memberlakukan hukuman mati terhadap koruptor mengingat korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa serta merugikan bangsa dan negara sudah sangat parah dan sulit dicegah apalagi diberantas hingga tuntas.

"Korupsi di Tanah Air ibarat kanker sudah mencapai stadium empat sehingga wajar jika muncul wacana perlu ada hukuman mati terhadap terpidana korupsi kelas kakap yang merugikan rakyat dan negara," kata praktisi hukum dari Yogyakarta, Budi Hartono, S.H., Minggu (20-7).

Praktisi hukum senior dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta ini menilai UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum memberikan efek jera bagi terpidana pelaku korupsi.

"Mereka sepertinya tidak merasa malu, malah bangga menjalani hukuman penjara karena korupsi, sedangkan kerugian negara akibat perbuatannya telah menyengsarakan rakyat," kata dia.

Sebab itu, perlu ada revisi undang-undang yang ada, khususnya Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dengan memberikan hukuman maksimal berupa hukuman mati terhadap terpidana korupsi.

"Sehingga dengan undang-undang tersebut tidak terkesan diskriminatif karena selama ini yang bisa dijerat dengan hukuman mati hanya terpidana kasus pembunuhan, kasus narkoba dan terorisme. Sementara itu, terpidana kasus korupsi hukuman maksimalnya hanya 15 tahun," kata Budi Hartono.

Dalam UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 6 disebutkan bahwa pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta rupiah.

Wacana hukuman mati terhadap para koruptor juga pernah dilontarkan Presiden PKS Tifatul Sembiring dan Mantan Pangab, Wiranto. Maret 2006, Tifatul secara pribadi setuju hukuman gantung bagi terpidana koruptor sebagai langkah pemberantasan korupsi.

Ia mencontohkan penanganan korupsi di Hong Kong. Namun di pihak lain, di LSM-LSM di Hong Kong juga begitu kuat dalam gerakan pemberantasan korupsi. "Jadi LSM kita juga harus kuat. Jangan teriak-teriak berantas korupsi, tapi di belakang ikut bermain."

Bahkan, dua tahun sebelumnya, tepatnya Mei 2004, ketika mencalonkan diri sebagai wapres RI, Wiranto mengaku akan menerapkan hukuman mati bagi para koruptor kelas kakap jika terpilih menjadi presiden dalam pilpres mendatang. Dia yakin tindakan itu dilakukan konsekuen bisa menimbulkan efek jera bagi para koruptor.

Saat berbicara dalam forum visi dan misi capres/cawapres yang digelar KNPI di Jakarta, Wiranto membeberkan untuk membangun kepercayaan di bidang penegakan hukum, hukuman mati bagi koruptor perlu segera diterapkan sehingga tidak ada lagi yang berani melakukan korupsi.
Penerapan hukuman mati akan mendidik rakyat dan membuat jera para koruptor sehingga tak akan ada lagi orang yang berani melakukan korupsi.
"Kalau penerapan hukuman mati itu dilakukan konsekuen dan konsisten, upaya pemberantasan KKN dan penegakan hukum akan berjalan efektif karena para koruptor takut dihukum mati," paparnya.(diambil dari berita Lampung Post)

Ribuan Warga Tolak Kapal Induk Amerika

Sekitar 15 ribu warga Jepang berunjuk rasa di Kota Yokosuka, Sabtu (19-7), memprotes rencana penggelaran sebuah kapal induk AS bertenaga nuklir, USS George Washington.

"Satu kapal induk bertenaga nuklir lebih berbahaya ketimbang generasi kekuatan nuklir," kata pemimpin Partai Demokrat Sosial Mizuho Fukushima dalam satu pidato pada unjuk rasa itu.
"Jepang, yang memiliki konstitusi damai, harus tidak terlibat dalam perang tak pantas AS," kata dia seperti dikutip media.

Kapal yang berbobot mati 102 ribu ton itu diperkirakan berlabuh di pelabuhan Yokohama untuk menggantikan kapal induk konvensional, USS Kitty Hawk.

Kedatangan kapal induk itu ditunda dari rencana semula Agustus menjadi September setelah satu kebakaran terjadi di kapal itu Mei ketika sedang berlayar di Samudera Pasifik Amerika Selatan.

Pada akhir unjuk rasa Sabtu itu, para pemrotes mengeluarkan sebuah pernyataan menentang penggelaran itu, mengatakan tindakan itu menghambat pembangunan perdamaian di Asia timur laut, dan akan menimbulkan gangguan besar pada penduduk daerah metropolitan Tokyo seandainya satu kecelakaan terjadi, kata kantor berita Kyodo.

Reaktor Nuklir

Secara terpisah, Badan Meteorologi Jepang kemarin mengeluarkan peringatan tsunami di bagian timur laut negeri itu setelah gempa kuat mengguncang lepas pantai timur Honshu. US Geological Survey menyatakan gempa berkekuatan 7,0 pada skala Richter terjadi di bawah laut di bagian utara Samudera Pasifik, 123 kilometer di sebelah timur taut Iwaki, Jepang, pukul 02.39 GMT (09.39 WIB) pada kedalaman 40 kilometer. Tak ada laporan awal mengenai kerusakan akibat gempa tersebut.

Instalasi listrik tenaga nuklir di daerah itu tak terancam dan terus beroperasi seperti biasa, kata beberapa pejabat dari Tokyo Electric Power Co. (9501.T) dan Tohoku Electric Power (9506.T).
Gempa tersebut berpusat di daerah yang sama dengan gempa 14 Juni, yang menewaskan sedikitnya 10 orang dan membuat banyak orang lagi hilang.

Gempa biasa terjadi di Jepang, salah satu daerah seismik paling aktif di dunia. Di negara itu terjadi sedikitnya 20 persen gempa berkekuatan 6 pada skala Richter atau lebih di dunia.
Pada Oktober 2004, gempa berkekuatan 6,8 pada skala Richter mengguncang wilayah Niigata di Jepang utara, menewaskan 65 orang dan melukai lebih dari 3.000 orang lagi.

Itu adalah gempa paling mematikan sejak gempa dengan kekuatan 7,3 pada skala Richter mengguncang Kota Kobe pada 1995 dan menewaskan lebih dari 6.400 orang.

Jumat, 18 Juli 2008

Pernyataan Dewan Kehormatan Kode Etik PWI-Reformasi

Sehubungan dengan langkah Sdr. Alvin Lie yang melaporkan Sdr. Iwan Piliang ke Polda Metro Jaya karena namanya disebut-sebut dalam artikel berjudul Hoyak Tabuik Adaro dan Soekanto oleh Iwan Piliang dalam presstalk.info edisi 18 Juni 2008, dengan ini Dewan Kehormatan Kode Etik PWI-Reformasi mendukung sepenuhnya pernyataan Kornas PWI-Reformasi tertanggal 16 Juli 2008 yang ditandatangani oleh Sdr. Denny Batubara sebagai Ketua I, yang menganjurkan agar Saudara Alvin Lie menggunakan hak jawab sebagai mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers.

Berkaitan dengan pelaksanaan penggunaan hak jawab, Dewan Kehormatan Kode Etik PWI-Reformasi menyarankan agar kedua belah pihak segera bertemu untuk memusyawarahkan materi hak jawab dengan fasilitator Dewan Pers.

Meskipun hak jawab tidak menafikan upaya hukum, kedua belah pihak hendaknya menyadari, bahwa hak tersebut merupakan prosedur atau upaya pertama kali yang sebaiknya ditempuh, dengan memanfaatkan jasa Dewan Pers sebagai mediator.
Jakarta, 17 Juli 2008.
Dewan Kehormatan Kode EtikPWI-Reformasi
(ttd)
Budiman S. Hartoyo
Ketua
***

PWI-Reformasi Menolak Kriminalisasi Pers

Koordinator Nasional (Kornas) Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi(PWI-Reformasi) menilai, kemerdekaan pers kembali terancam. TulisanNarliswandi Piliang/Iwan Piliang, Ketua Umum Kornas PWI-Reformasiberjudul Hoyak Tabuik Adaro dan Soekanto di presstalk.info, 18 Juni2008, membuat Alvin Lie melaporkannya ke Polda Metro dengan tuduhanpencemaran nama baik.
Adalah hak setiap pihak yang ditulis wartawan merasa keberatanterhadap sebuah berita. Begitupun UU Pers mengatur secara tegas bahwakeberatan setiap pihak yang dimuat dalam berita harus menggunakanmekanisme yang ada.
Sebuah negara demokratis tidak pernah menuntut wartawan secara pidana(kriminalisasi pers) karena sangat berbahaya bagi kemerdekaan pers,apalagi media alternative yang diperjuangkan Iwan Piliang, berusahadisiplin kepada kaedah, prinsip-prinsip dasar jurnalistik.
Berdasarkan hal di atas, Kornas PWI-Reformasi, meminta:
1. Setiap bantahan yang menyangkut pemberitaan media, tidakberujung ke polisi dan pengadilan, karena mengingkari UU Pers secaranyata.
2. Agar Saudara Alvin Lie menggunakan mekanisme hak jawab yangtersedia secara interaktif di media online, presstalk.info.
Demikian pernyataan ini kami buat, untuk mendapatkan dukungan DewanPers, kalangan media umumnya.
Jakarta, 16 Juli 2008
Kornas PWI-Reformasi

Denny Batubara,
Ketua I

Manggala Wanabhakti Ruang 212, Wing B
Senayan, Jakarta Pusat
Telepon 5746724

Kamis, 17 Juli 2008

Kejaksaan Temukan Kerugian Negara 50%

BANDAR LAMPUNG : Tim Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Bandar Lampung menemukan indikasi penyimpangan pelaksanaan pekerjaan proyek yang tidak sesuai dengan bestek. Akibat penyimpangan itu, negara dirugikan 20%--50%.
Kepala Kejaksaan Negeri Kota Bandar Lampung Azhari mengatakan tim jaksa dipimpin Kasi Intel Kejari Dharma Bella, terus mendata dan turun ke lapangan. Tahap awal diarahkan kepada besaran kerugian negara. "Hari ini, tim baru selesai turun ke lapangan. Banyak temuan tentang kualitas pekerjaan yang tidak sesuai. Sepertinya dikerjakan dengan nilai 50% dari nilai anggaran. Tim yang menangani akan dibagi kembali sesuai dengan besaran kerugian negara," kata Azhari, didampingi Kasi Intel Dharma Bella, Rabu (16-7).
Kasi Intel Kejari, Dharma Bella, mengatakan timnya sudah turun ke lapangan untuk mendata banyak tempat dan lokasi proyek. Timnya sudah melakukan investigasi dan menemukan pengerjaan proyek tidak melibatkan pamong setempat. "Hasil sudah kami laporkan pada pimpinan. Kami sudah memeriksa beberapa saksi, wawancara dengan pamong, dan meneliti kualitas pekerjaan. Yang jelas kita tunggu saja hasilnya," kata Dharma Bella.
Pungli hingga 50%
Sementara itu, sejumlah kontraktor mengeluhkan "kotor"-nya permainan proyek di Dinas PU Bandar Lampung. Mereka mengaku pungutan liar (pungli) yang dikutip pegawai Dinas Pekerjaan Umum (PU) mencapai 40--50 persen dari nilai proyek.
Seorang kontraktor yang enggan disebut namanya mengaku kapok ikut tender proyek di Dinas PU lantaran tingginya pungutan yang disyaratkan pejabat disatuan kerja (satker) tersebut. Padahal, berdasar pada Undang-Undang Konstruksi, pungutan hanyalah untuk PPN dan PPh. Namun, Dinas PU membebani pungutan mulai dokumen kontrak, honor panitia lelang, hingga kewajiban menyetor uang 12--15 persen dari nilai kontrak kepada petinggi di Dinas PU.
"Waduh Mbak, kalau di kota itu paling kotor permainan proyeknya. Bukan cuma wajib bayar dokumen kontrak 2,5--5 persen dari nilai proyek dan honor panitia lelang, juga harus setor uang dengan pejabat di Dinas PU. Tahulah siapa. Sudah jadi rahasia umum kalau tidak bisa ikut permainan mereka, ya nggak dapet proyek. Tahun ini, saya nggak mau ikut tender lagi di Kota. Kapok. Boro-boro untung, yang ada kantraktor rugi," kata dia, kemarin.
Pungutan liar juga terjadi saat pengerjaan kegiatan fisik di lapangan dan proses pembayaran. Menurut dia, setiap ada pengawasan Dinas PU yang datang, rekanan harus memberikan "uang transpor". "Pokoknya setiap langkah ada pungutan. Mau meminta pembayaran termin dan serah terima pun harus rela memberikan sejumlah uang."
Perantara Proyek
Pungutan liar juga terjadi saat proses persetujuan proyek oleh Panitia Anggaran DPRD Bandar Lampung. Sejumlah anggota Panitia Anggaran dan anggota DPRD Bandar Lampung disinyalir menjadi perantara proyek.
"Biaya tidak resmi yang harus dikeluarkan kontraktor bukan cuma di dinas, tapi juga saat proyek dibahas DPRD. Setiap tahun, begitu ketok palu, kontraktor-kontraktor wajib setor ke Dewan supaya dapet proyek. Nilainya mungkin sekitar Rp2 miliar yang harus disetor ke Dewan. Dan itu kami urunan," kata kontraktor itu lagi.
Banyaknya biaya tidak resmi tersebut diakui sejumlah kontraktor memengaruhi pekerjaan fisik proyek di lapangan. Tidak heran, bila kontraktor terpaksa berbuat curang untuk menutupi kekurangan biaya pengerjaan fisik.
Ketua Gakindo Lampung, Binsor, mengatakan sudah menjadi rahasia umum jika kontraktor harus rela mengeluarkan biaya lebih untuk mendapatkan proyek di Kota Bandar Lampung. "Memang dari beberapa kabupaten/kota, proses tender proyek di Bandar Lampung paling kotor. Kalau mau dapat proyek, ya harus ikuti aturan mereka."
Ketika dikonfirmasi, Kabid Perencanaan dan Pengendalian Dinas PU kota Bandar Lampung Gunawan Handoko mengaku tidak tahu soal pungutan tersebut. Namun, ia mengakui untuk dokumen kontrak, seluruh kontraktor meminta Dinas PU yang mengerjakannya. "Kalau soal pungutan yang macem-macem itu saya kurang paham. Nanti saya coba tanya dengan teman-teman di PU. Tapi, kalau soal dokumen kontrak, memang kami membantu membuatkannya karena kontraktor tidak mau repot. Namanya membantu, ya...wajar saja mereka memberi biaya kepada kami. Tapi, kami tidak pernah mematok harus membayar sekian...sekian...," kata Gunawan. (sumber: Lampung Post)

Kamis, 03 Juli 2008

DPR-Pemerintah Sekongkol Atur Komisi 8%

Komisi V DPR dan Departemen Perhubungan bersekongkol mengatur komisi 8% dari nilai proyek pengadaan kapal patroli.
Fakta itulah yang diungkapkan Deddy Swarsono melalui kuasa hukum Kamaruddin Simanjuntak di Jakarta, Rabu (2-7). Deddy adalah pengusaha kapal yang menyuap anggota DPR Bulyan Royan. Keduanya ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Komisi V terlibat dalam persetujuan pengadaan anggaran kapal dan syarat-syarat pemenang tender. Salah satu syarat yang ditetapkan ialah pemenang tender membayar fee 8% dari total nilai proyek kepada DPR dan Dephub.
Ada dua proyek pengadaan kapal yang disetujui Komisi V dengan plafon anggaran Rp120 miliar dan Rp115 miliar. Proyek dengan plafon Rp120 miliar sudah ditenderkan. Pemenangnya lima perusahaan, yaitu Bina Mina Karya Perkasa dengan Direktur Deddy Swarsono, Febrite Fibre Glass, Sarana Fiberindo Marina, Carita Boat Indonesia, dan Proskuneo Kadarusman. Proyek kedua masih dalam proses tender yang juga diikuti lima perusahaan tersebut.
Kamaruddin menjelaskan proyek pertama itu dibagi dalam lima paket. Setiap paket mengharuskan rekanan membuat empat kapal patroli. Anggaran per paket Rp24 miliar sehingga satu pengusaha harus membayar fee Rp1,6 miliar kepada DPR sebagai pemenuhan syarat pemenang tender.
"Klien saya sih sudah melunasinya. Saya tidak tahu empat perusahaan lain apakah sudah melunasi atau belum," ujar Kamaruddin.
Deddy membayar fee dalam dua tahap. Pertama kali Deddy membayar Rp250 juta dan sisanya dilunasi sebelum 25 Juni 2008. "Klien saya telah membayar Rp100 juta menjelang Lebaran 2007, kemudian Rp50 juta menjelang akhir 2007, dan Rp100 juta pada awal Januari 2008. Selama pembayaran, selalu BR (Bulyan Royan) yang muncul. Dia mengatakan dirinya mewakili teman-temannya di Komisi V," jelas Kamaruddin.
Pembayaran fee tahap kedua dilakukan Deddy pada 25 Juni dengan cara menyetor ke money changer di Plaza Senayan, PT Three Etra Dua Sisi. Nilainya Rp1,4 miliar. "Uang tersebut baru diambil Bulyan pada Jumat (27-6) dan Senin (30-6). Pada saat pengambilan Senin itulah BR tertangkap KPK," kata Kamaruddin.
Menurut Kamaruddin, besaran fee 8% itu merupakan permufakatan lima pengusaha dengan DPR. Sejumlah pertemuan telah dilakukan untuk membahas besaran fee yang disepakati semua pihak. "Pertemuannya itu diawali di Hotel Crown beberapa kali, kemudian di sauna, sampai di Hotel Borobudur pada 2007," ujarnya. n MI/U-3
Ia menambahkan kliennya harus membayarkan jumlah yang sama kepada dua pejabat di lingkungan Ditjen Perhubungan Laut Departemen Perhubungan berinisial D dan M. Pejabat berinisial D merupakan penyelenggara negara dengan jabatan cukup tinggi, sedangkan M adalah bawahannya. Kamaruddin enggan menyebutkan identitas kedua pejabat tersebut. "Tunggu saja hasil pemeriksaan KPK," kata dia.
Sebelumnya, Kepala Pusat Komunikasi Dephub Bambang Ervan mengatakan kuasa pemegang anggaran dalam kedua program pengadaan kapal itu adalah Direktur Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai Djoni Algamar dan panitia lelang diketuai Didik Suhartono.
Sementara itu, Ketua Komisi V DPR Akhmad Muqowam mengakui pembahasan anggaran pengadaan kapal patroli dilakukan pada tingkat komisi bersama pemerintah. "Policy pengadaan memang dilakukan di Komisi V bersama dengan Dephub, tapi eksekusi ada pada pemerintah," kata Muqowam kepada wartawan di Jakarta, kemarin.(*)

Rabu, 02 Juli 2008

Pengelolaan APBD Lampung Tahun 2007 Carut-Marut

BANDAR LAMPUNG (Berita Nasional): Pengelolaan APBD Lampung tahun anggaran 2007 dengan nilai total Rp1,6 triliun carut-marut. Hal itu terungkap dari laporan hasil pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Lampung yang disampaikan ke DPRD Lampung, Senin (30-6).
Ketua DPRD Lampung Indra Karyadi mengatakan seluruh temuan BPK akan dibahas komisi-komisi di DPRD sebelum diambil tindakan lebih lanjut. "Kami baru terima. Nanti kami bicarakan lebih dahulu. Setelah itu baru dibahas komisi-komisi dan DPRD akan mengeluarkan rekomendasi. Kini DPRD masih sibuk mempersiapkan pelantikan gubernur," kata Indra Karyadi, Selasa (1-7).
Dalam laporan hasil pemeriksaan penggunaan APBD atas kepatuhan kepada perundang-undangan, BPK menemukan enam penyimpangan senilai Rp14,8 miliar. Pada laporan pemeriksaan terhadap sistem pengendalian intern, BPK menemukan delapan penyimpangan senilai Rp51,8 miliar.
Berikutnya, untuk laporan atas kepatuhan perundang-undangan terdapat enam item penyimpangan, antara lain realisasi bantuan kepada partai politik melebihi ketentuan Rp512,5 juta.
Penganggaran dan realisasi bantuan uang transpor dan honor pembahasan APBD 2007 yang diberikan kepada pimpinan dan anggota DPRD Lampung juga terdapat penyimpangan dengan nilai Rp171,9 juta.Kemudian, realisasi anggaran pembinaan kerohanian dan keagamaan pada Biro Kesejahteraan Sosial yang tidak didukung petunjuk pelaksanaan dan bukti pertanggungjawaban lengkap Rp5,4 miliar.
Bantuan pembenahan perumahan masyarakat miskin menuju sehat di Provinsi Lampung yang belum dipertanggungjawabkan Rp5 miliar. Lalu, pengajuan, penyerahan, dan pertanggungjawaban bantuan keuangan kepada parpol belum sesuai ketentuan Rp1,3 miliar.
Penyimpangan lain, program asuransi santunan duka Bumiputera 1912 untuk PNS Pemprov Lampung yang tidak sesuai dengan ketentuan Rp2,5 miliar. Sedangkan penyimpangan pada sistem pengendalian intern Rp51,8 miliar terdiri dari kas yang terlambat disetor ke kas daerah sebesar Rp12 miliar.
Sementara itu, realisasi belanja bantuan yang mendahului pengesahan APBD 2007 senilai Rp4,7 miliar. Penyimpangan berikutnya, belanja tahun 2006 yang dibebankan pada 2007 sebesar Rp50,3 juta.
Kemudian, kesalahan pembebanan anggaran dana bergulir untuk modal usaha kelompok pada Dinas Perkebunan serta Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Rp16,06 miliar.Penyimpangan juga terjadi pada rekening satuan kerja perangkat daerah senilai Rp16,5 miliar. Sementara itu, keterlambatan penyaluran dan bantuan rehabilitasi sekolah oleh Dinas Pendidikan mencapai Rp2,3 miliar.(sumber: lampungpost)

Kamis, 26 Juni 2008

Kesaksian Korban Tragedi Monas

Oleh Imdadun Rahmat
(Aktivis NU, wakil sekretaris ICRP dan Direktur Yayasan PARAS)
Saya datang di sudut tenggara Monas pada jam 12.30. Rombongan yang hadir bersama saya adalah para Relawan PARAS sebanyak 14 orang (2 perempuan 12 laki-laki) plus 2 orang anak saya (Rausyan, 11 th. dan Satya 8 th.) dan Khamami Zada (LAKPESDAM NU) yang membawa anaknya, Aria 4 th.
Kami datang dengan suasana hati gembira dan penuh semangat karena kami akan bersama-sama tokoh-tokoh nasional merayakan hari lahir Pancasila dan menyerukan penghargaan pada kebhinekaan.
Saya datang sebagai anggota panitia sekaligus sebagai koordinator relawan PARAS yang mendapatkan tugas dari Aliansi untuk mengisi persembahan musik perdamaian yang akan ditampilkan di sela-sela pidato para tokoh dan sebelum acara dimulai (menunggu peserta hadir semua).
Kami datang dengan 3 mobil. Semula, mobil-mobil kami parkir di sudut tenggara Monas sambil menunggu peserta lain yang belum datang.
Ketika kami menunggu, kami bertemu dengan para peserta lain di antaranya sekitar 20 orang dari LAKPESDAM NU Society.
Setelah sebagian peserta telah masuk area Monas, maka kami putuskan untuk menuju ke sana. Karena ingin cepat-cepat sampai untuk segera tampil, maka tiga mobil kami bawa masuk ke Monas, dan kami parkir tak jauh dari mobil Sound System. Maka saya bersama tim musik segera menurunkan peralatan-peralatan musik dan satu set mini amply dan kemudian mensetnya serta menghubungkannya dengan soun sistem utama yang dimuat di atas truk.
Ketika kami sedang mencek suara gitar, bas, dan mikrofon, korlap saat itu Saudara Saidiman mempersilahkan para peserta untuk merapat ke sound komando dan meminta mereka untuk duduk.
Para peserta yang sebagian besar kaum perempuan itupun duduk. Ada sebagian yang masih berjalan merapat, dan tiba-tiba ada suara gaduh, "FPI datang". Saidiman meminta kepada para hadirin untuk tenang dan jangan terprofokasi.
Pada saat itu, rombongan sekitar 200 an orang FPI semakin mendekat. Suasana makin tidak tenang, karena FPI meneriakkan suara-suara bernada ancaman.
Tak lama kemudian pasukan FPI dengan pentungan bambu mengepung dan melontarkan sumpah serapah "Ahmadiyah kafir", "hancurkan", "habisin" dan sebagainya.
Sementara anggota FPI lain memukuli peserta serta kaum ibu, salah seorang dari mereka mulai membanting bongo dan alat percusi milik kami.
Saya menghanginya dengan mengatakan "jangan begitu, jangan pakai kekerasan". Dengan kasar dia menghardik "kamu Ahmadiyah" saya bilang "saya orang NU". Ia bilang "NU apa, kamu kafir". Orang itu lalu memukul kepala saya dengan tongkatnya, saya berhasil menangkisnya, dan terus memukul saya, saya bisa mempertahankan diri.
Saya sempat melihat teman saya dari PARAS (Mansur) mencoba melawan FPI yang memukulinya, saya tahan dia untuk tidak melawan. Saat itu, saya pikir kami tidak mungkin melawan, karena kedua anak saya ada di dekat saya, dan saya hawatir jika melawan korban akan semakin banyak, karena sebagian besar dari kami adalah ibu-ibu. Buru-buru saya teriak ke keponakan saya (Ninik, relawan PARAS) untuk membawa pergi anak-anak saya.
Selanjutnya saya dikeroyok ramai-ramai, tidak hanya dengan bambu tetapi juga dengan besi (alat musik milik kami, High Head) saya hanya bisa menangkis yang dari depan, sementara yang dari belakang dan dari samping tak bisa dibendung. Saya terus dikeroyok.
Saat itu saya merasakan sakit yang luar biasa di beberapa bagian dari kepala saya. Saya merasa menghadapi kematian. Saya bergumam Allahu Akbar berkali-kali. Para penyerang saya juga berteriak "kafir", "bunuh", "Allahu Akbar".
Pada saat genting demikian, naluri saya mengatakan harus lari. Saya kemudian lari, dan terus dipukuli oleh anggota FPI yang lain. Saya tersandung dan jatuh, pada saat itu saya merasakan pelipis kiri saya ditendang dan kepala bagian belakang saya dipukul dengan pentungan. Saya bangkit dan terus berlari, saya dikejar, saya berhasil menjauh dari kerumunan FPI. Saya merasa kepala saya sakit semua.
Semula saya belum sadar kalo saya luka-luka. Mula-mula leher saya terasa dingin, ternyata darah saya mengalir deras dari bagian belakang kepala saya. Kaos saya basah oleh darah. Lalu saya merasa pelipis saya perih, yang teranyata mengeluarkan darah. Namun kemudian saya merasa lega ternyata saya ketemu dengan ponakan dan 2 anak saya yang menangis ketakutan di pinggir sebelah timur Monas.
Saya juga ketemu Hamami dan Sahal (LAKPESDAM NU) beserta teman-temannya. Saya peluk anak-anak saya dan darah saya dibersihkan oleh keponakan saya. Kaos PARAS yang saya pakai penuh darah dan saya lepas agar tidak ditandai dan diserang lagi oleh FPI.
Kemudian saya beristirahat di pinggir Monas, karena kepala saya mulai pusing-pusing. Saya tidak mungkin terus ke rumah sakit karena saya masih meninggalkan tanggung jawab di sana. Saya belum tahu bagaimana nasip teman-teman saya, khususnya teman-teman relawan pemusik, yang menjadi sasaran penyerangan pertama dari FPI.
Tiga mobil kami yang masih terparkir di tempat penyerangan juga masih di sana. Sebab, setelah menurunkan relawan musik berikut alat-alat musiknya, kami belum sempat memindahkannya di tempat parkir stasiun Gambir, seperti yang kami rencanakan.
Alat-alat musik kami juga masih ada di sana, dan kami belum tahu nasip alat-alat kami seperti apa. Saya dihantui ketakutan jika mobil-mobil kami turut dirusak atau dibakar.
Dalam kekalutan itu, saya telephon Masdar Mas'udi, mengabarkan apa yang menimpa kami. Dia tak percaya, heran dan marah. Dia meminta saya tabah dan segera ke rumah sakit. Saya merasa didoakan oleh kiai NU. Saya merasa lebih tenang. Saya segera teringat beliau karena sehari sebelumnya, saya diundang oleh beliau di PBNU untuk mempresentasikan buku saya tentang Islam Radikal pada acara konsolidasi imam dan khotib NU dalam mengantisipasi "direbutnya" mesjid dan musholla NU oleh kalangan Islam radikal.
Saya terus kontak teman-teman saya untuk mencari tahu apa yang menimpa mereka. Ternyata banyak korban luka-luka. Saya ketemu Mas Suaedy yang dagunya bengkak dan berdarah, saya ketemu Pak Syafii Anwar yang kepalanya memar-memar, dan saya sangat marah dan sedih ketika mendengar Guntur terluka parah, juga Kiai Maman Ainul Haq.
Kalau seandainya Gus Dur, Gus Mus, Amin Rais, Buya Syafi'i Ma'arif telah hadir di sana mungkin beliau-beliau akan menjadi korban pula. Ketika pusing kepala saya makin parah, saya putuskan untuk segera ke rumah sakit. Saya khawatir saya kehilangan banyak darah. Saya kesampingkan semua urusan mobil dan peralatan musik. Yang penting saya selamat.
Anak saya yang kecil saya titipkan ke teman-teman PARAS, saya bersama anak pertama saya menuju Gedung Kebudayaan seperti disarankan teman-teman, untuk mendapatkan penanganan medis. Dari situ kami diantar Ibu Amanda menuju rumah sakit Bakti Waluyo, Menteng.
Luka di kepala saya dijahit, luka-luka di dahi saya diobati dan diperban, memar-memar di kepala saya diolesi krim anti bengkak. Dan saya disuntik dan minum obat.
Alhamdulillah, teman-teman PARAS tidak ada yang terluka serius. Mansur luka memar di beberapa bagian kepalanya, dan rusuknya sakit, karena dikeroyok. Edy kepalanya memar kena pentungan. Ais kepalanya memar-memar dan punggungnya bengkak. Amo tangannya berdarah kena kawat berduri waktu lari dikejar FPI. Dila kakinya bengkak karena keseleo ketika menyelamatkan diri.
Mobil saya, mobil PARAS dan mobil relawan PARAS (dr. Elvy), tidak mengalami kerusakan apa-apa. Tiga gitar dan satu bass bisa diselamatkan (dibawa lari oleh personil musik). Yang membuat saya gusar, tiga amplyfier rusak (mudah-mudahan bisa diservis), dan satu hilang. Alat-alat percusi saya rusak parah (gak bisa dipake lagi), hard cover gitar rusak parah dan sound effek hilang. Kabel-kabel juga raib entah kemana. Mungkin FPI juga doyan kabel. Total kerugian peralatan musik sekitar 9 juta.
Yang meresahkan saya hingga hari ini adalah kondisi psikologis anak saya. Semoga ia tidak mengalami phobia atau bahkan trauma, naudzubillah min dzalik. Mereka berdua akan menjalani terapi psikologis setelah selesai ujian semesteran. Ahh.., memang kebangetan FPI.
Bagi saya kejadian ini merupakan bukti bahwa di negeri kita tidak ada jaminan bagi kebebasan berfikir, berpendapat dan berkeyakinan. Bayangkan, di siang bolong, di pusat Ibu Kota negara, di hari yang sakral (hari lahirnya Pancasila—ideologi negara) ada sekelompok orang dengan leluasa dan sewenang-wenang menyerang dan menganiaya orang-orang yang berkumpul untuk merayakan hari lahir Pancasila.
Orang-orang yang diserang itu adalah kumpulan dari para aktivis dan tokoh penyeru kebangsaan, pro-demokrasi, pro-pluralisme dan datang dari berbagai agama dan kepercayaan. Negara ada di posisi mana sih? Bingung gue...Selain itu, peristiwa ini membuktikan bahwa keberagamaan kita ada dalam masalah besar.
Bagaimana ada sekelompok orang dengan nama Islam, berbaju taqwa, meneriakkan kalam suci Allahu Akbar dengan beringas menganiaya orang-orang yang tidak melawan, tidak berdaya dan tidak bersalah, hanya karena dianggap berbeda dengan mereka.
Dan yang memprihatinkan, ada banyak orang yang mendukung dan membenarkan penyerangan itu. Kata teman saya "jangankan penyerangan, penganiayaan, pengeboman yang membunuh ratusan orang tak berdosa juga mereka benarkan kok"..
Memang benar sih, sebagian besar kalangan yang mendukung penyerangan adalah pula orang-orang yang mendukung terorisme selama ini.. Yah mau bagaimana lagi, yang radikal-radikal dipiara... Pengalaman ini adalah pengalaman batin, bahwa Islam yang benar adalah Islam yang rahmatan lil 'alamin.
Saya hanya beriman kepada Islam yang hanif, yang tawassuth, yang damai, yang tidak membenci. Semakin jelas bukti di mata saya bahwa yang dicontohkan para guru saya di pesantren adalah Islam yang benar.
Amar ma'ruf nahi munkar yang dilakukan para kiai saya adalah perjuangan membimbing ummat, mengajari mereka siang malam untuk menjadi muslim yang soleh, bertaqwa dan kuat iman. Mereka bekerja secara tulus, ikhlas, tanpa mengharap bayaran. "Benteng keimanan adalah nomor satu" kata mereka. Itu pula yang dicontohkan ibu dan keluargaku.
Semangat membela Islam tidak didasari oleh kebencian kepada orang lain. Apalagi membela Islam dengan menjadi preman... Naudzubillah min dzalik...

Senin, 23 Juni 2008

PEKA

PEKA alias mudah merasa; mudah terangsang. Kata PEKA bisa juga diartikan sebagai suatu perasaan mudah ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Ketika orang lain sedih, kita ikut merasa sedih. Orang gembira, kita bisa merasakan kegembiraan itu.

Sedangkan Kepekaan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Terbitan Balai Pustaka berarti kesanggupan bereaksi terhadap suatu keadaan.

Bicara masalah kepekaan atau sensitifitas ternyata sudah luntur di kalangan masyarakat kita. Rasa peduli orang-orang kaya terhadap orang miskin sangat tipis. Egoisme dan memeningkan diri sendiri justru yang menonjol. Jika melihat ada orang lain kesusahan di depan mata itu hanya dianggap sebagai pemandangan biasa saja. Perasaannya tidak tersentuh sedikit pun untuk ikut membantu meringankan apalagi memberi solusi.

Hal itu dapat kita simak dari berita kompas baru-baru ini, seperti yang tertulis dibawah ini:
Orang miskin berebut barang kebutuhan pokok merupakan pemandanganmakin biasa di negeri ini. Akan tetapi, melihat orang kaya berebutbantal adalah pemandangan langka. Itulah yang terjadi di tokoDebenhams, Senayan City, Jakarta, sejak Kamis (19/6) malam hinggaMinggu (22/6).

Bantal yang diperebutkan tentu bukan sembarang bantal. Bantal-bantalitu punya keistimewaan, empuk dan nyaman bagi kepala. Tentu saja itubarang impor bermerek terkenal dari Florence sampai King Koil.

Menurut seorang staf penjualan Debenhams yang sabar melayanipertanyaan dan permintaan pembeli, harga normal bantal warna putihtulang itu mencapai Rp 700.000 per buah. Dalam Pesta Diskon TengahMalam Senayan City pada 19-22 Juni, bantal itu dijual sekitar Rp350.000 per buah.

Bantal Lorence yang empuk dan bisa dicuci di mesin cuci harganormalnya Rp 300.000-an per buah, tengah malam itu didiskon jadi Rp69.000. Kehebohan selalu terjadi saat staf toko mengeluarkan sekarung bantal.

Pembeli, baik lelaki, perempuan, maupun anak-anak, berebut danmenarik bantal dari karung. "King Koil gitu loh bo...," kata seorangpembeli.

Mereka tak hanya membeli dua bantal, tetapi banyak yang memborongsampai enam bantal. "Mas, jam berapa bantalnya datang lagi. Buruandong," tanya seorang gadis cilik kepada seorang staf toko Debenhams.

Pembeli tak hanya menyerbu bantal atau seprai, tetapi juga kemeja dankaus lelaki. Baju perempuan, tas, dan sepatu penuh pembeli.

Gerai tasmerek Bonia ikut mendapat rezeki sekalipun tak memiliki banyak jenisbarang yang didiskon. Pesta Diskon Tengah Malam itu benar-benar menyedot pembelanja.

Sabtu(21/6) malam menjadi puncaknya. Jalan Asia Afrika mulai Hotel Muliahingga depan Plaza Senayan macet. Untuk mencapai Senayan City dariAsia Afrika butuh waktu sejam.

Di Senayan City, sejak Sabtu pukul 21.00 (saat pesta diskon dimulaihingga pukul 24.00), seluruh tempat parkir di dalam area penuh. Calonpembelanja harus parkir di tempat lain, misalnya Senayan Trade Centerdi seberang Senayan City, di jalanan samping pusat belanja itu, atauJalan Asia Afrika yang kemarin malam berkurang dua lajur untuk parkirmobil.

Public Relations and Tenant Communications Manager Senayan City SriAyu Ningsih menjelaskan, event yang kemarin digelar adalah bagian dariJakarta Great Sale dalam rangka ulang tahun ke-481 kota Jakarta.

Selain Debenhmas, ada beberapa tenant ikut berpartisipasi. Sebenarnya tak hanya Senayan City yang mengadakan pesta diskon hingga80 persen, pusat belanja papan atas lain seperti Mal Taman Anggrek,Mal Pondok Indah, dan Plaza Senayan juga mengadakan pesta diskon.

Rata-rata pengunjung pusat belanja tersebut naik. Pengunjung ke Mal Taman Anggrek Minggu kemarin membeludak. Pengelola harus menjadikan jalan di sisi kanan mal tempat parkir tambahan untukmotor.

Akan tetapi, kehebohan terjadi di Senayan City. Chief Operating Officer Senayan City Leigh Regan menargetkan,penjualan barang di Senayan City naik 50 persen-100 persen. Tampaknyatarget itu tak meleset jauh.

"Khusus di Debenhams terdapat kenaikanpenjualan 50-100 persen, sedangkan untuk tenant lain 20-30 persen,"kata Ayu semalam.

Nafsu belanja sebagian besar orang Indonesia memang luar biasa. Eventpesta diskon seperti ini ada baiknya juga. Minimal agar orang kayakita tak sering belanja ke Singapura yang kerap kali mengadakan pestadiskon.

Jumat, 06 Juni 2008

Adin Mati Kurang Makan

INGATAN saya melayang ke masa ke kepahitan hidup ketika pernah menetap di Pekanbaru, Riau, di penggalan 1971 -1979. Ingin sesungguhnya membawa kenangan itu ke alam kubur, tetapi ketika seorang kawan mem-forward sebuah artikel di harian Pos Kota, Rabu, 3 Juni 2008, berjudul: Penyapu Jalan Tewas Kelaparan, bayangan pernah memakan singkong dan air putih untuk sekadar bertahan hidup muncul mendadak di benak.

Syahdan, bagi banyak perantau, apalagi dalam usia kanak-kanak, kemandirian hidup mesti dilalui. Tiada lain, bersekolah dan mencari biaya makan sehari-hari, menjadi tuntutan.
Saya teringat kala itu, 1974, dengan Rp 5, bisa membeli goreng singkong yang tidak dipotong - - digoreng utuh - - dengan ukuran cukup besar. Kala itu, singkong goreng saya nikmati laksana hari ini memakan daging steak di restoran Angus, di top floor Chase Plaza, Jl. Sudirman, Jakarta Pusat.
Dengan uang Rp 25, saya bertahan tiga hari. Sepuluh rupiah hari pertama, sepuluh rupiah hari kedua. Lima rupiah hari ketiga.
Di hari ketiga, saya sudah menjadi kacung bola tenis, di lapangan tenis dekat asrama Brimob, Sukajadi, Pekanbaru. Hal hasil, baru di hari ketiga itu perut kembali terisi nasi. Dua hari sebelumnya hanya singkong dan air putih saja menari-nari bersama cacing di perut bergemerincing.
Ada petuah mengatakan, jika ingin merasakan bagaimana pahitnya hidup masyarakat kebanyakan, maka berlakulah macam kehidupan mereka sehari-hari.
Sehingga ketika membaca berita penyapu jalan yang tewas karena kurang makan, demi mepertahankan hidup, hanya meminum air putih dan singkong, bukan lagi sebuah romantisme biasa bagi saya.
Rasa, pengalaman hidup yang pernah berlalu, bukan lagi menjadi sekadar kata yang terucap.Kenyataan, empirik, yang saya lalui itulah kiranya menjadi salah satu angle tajuk-tajuk ini.
Di malam sebelum tewasnya Adin - - penyapu jalan itu - - isterinya tak sempat lagi memintakan singkong ke tetangga. Sebelum berangkat kerja, Adin hanya meminum air putih. Adin berujar kepada isterinya perutnya sedikit sakit. Ia melangkah bekerja menyapu jalan.
Di dalam tugas Adin berpulang.
Ajal memang di tangan Yang Maha Kuasa.
Namun di tahun 2008, 35 tahun setelah saya pernah merasakan makan singkong dan air putih untuk mengganjal perut itu, kini pun terjadi pada orang lain, di kota yang sejuk Bogor, Jabotabek, area yang konon lebih dari 60% uang beredar, saya menjadi betul-betul menjadi tidak habis pikir: Mengapa hal ini bisa terjadi? Selera saya seakan patah ketika duduk bersama keluarga di meja makan, yang menghidangkan makanan paling tidak mengandung empat sehat.

Saya kutipkan untuk Anda, berita di Pos Kota, Rabu, 4 Juni 2008

Penyapu Jalan Tewas Kelaparan
BOGOR (Pos Kota) - Harga kebutuhan pokok yang terus merangkak seiring kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) memunculkan beragam kisah pilu. Seorang penyapu jalan tewas di pinggir jalan Sukasari, Bogor Timur, Selasa (3/6) siang.
Diduga, Adin, 46, petugas kebersihan pada Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bogor, itu meninggal dunia karena kelaparan. Ia hanya makan satu kali sehari karena harus berbagi dengan ketiga anaknya.
Sebagaimana dituturkan Neglasari, 40, istri Adin, di RSUD PMI Bogor tempat jasad sang suami diotopsi, korban meninggal akibat menahan lapar sejak malam.
Menurut Neglasari sejak kenaikan BBM yang dibarengi dengan melonjaknya harga kebutuhan pokok, ia dan suaminya kelabakan mengatur pendapatan bulanan yang hanya Rp750 ribu.
Jumlah yang sangat minim ini harus diatur sehemat mungkin agar bisa menyisihkan dana untuk biaya sekolah dua dari tiga anaknya. "Biaya hidup dengan tiga anak sangat tidak mencukupi dengan gaji hanya Rp750 ribu sebulan," kata Neglasari saat berada di ruang forensik rumah sakit.
Cuma Minum Air Putih
Warga Kampung Cibitung RT 02/07, Desa Tenjolaya, Kabupaten Bogor, ini mengaku untuk bisa bertahan hingga gajian bulan berikutnya, terkadang mereka makan sehari sekali. Bahkan jika makanan yang tersedia tidak mencukupi untuk semua, ia dan suaminya terpaksa cuma minum air putih.
"Dengan gaji suami, kami bisa bertahan hingga dua minggu lebih. Selebihnya, sudah morat-marit. Untuk bertahan agar anak-anak tidak kelaparan, kami makan sehari sekali. Kadang diselipkan dengan rebus singkong dan daunnya yang saya minta dari warga," paparnya.
Kepergian sang suami, diakui ibu tiga anak ini, akibat sejak malam tidak makan. Menu yang seharusnya untuk sang suami, terpaksa dibagikan ke tiga anaknya yang mengaku sedang lapar.
Bahkan sebelum berangkat kerja, korban sempat mengeluh sakit pada bagian perutnya.
"Saya pikir sakit biasa. Rupanya sakit itu, pertanda lapar sejak malam," ujar sang istri sambil menambahkan dirinya tidak sempat keluar minta singkong ke tetangga untuk makan suami karena waktu sudah malam. (yopi/ok)
SUARA rakyat suara Tuhan. Rakyat giat bekerja, walaupun keadaan memang tidak berpihak di tanah bernama Indonesia kini, tidak pula harus mengecilkan harap. Semoga surganya Tuhan menerima jasad Adin. Amin!
SESUAI janji siang ini saya bertemu dengan Zahara, sosok kakak seorang kawan yang puterinya baru saja menyelesaikan sekolah S2 di Jerman.
Kami akan mengunjungi Ary Suta Centre di jam makan siang Rabu ini. Sang puteri, yang juga pernah menjadi atlit menembak nasional, saya sarankan untuk membuat saja sebuah program televisi bertajuk German Talk, talk show di televisi berbahasa Jerman - - dapat menampung komunitas Jerman yang ada di Indonesia. Dukungan sponsor bisa didapat dari beberapa perusahaan Jerman yang ada di indonesia.
Zahara mengatakan bahwa sponsor awal mungkin bisa ia mintakan kepada I Gde Ary Suta, mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) itu. Ary Suta kini memang memiliki lembaga think-thank, Ary Suta Centre, dan siang itu rupanya ada acara mengundang Wiranto, dari Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA), tampil sebagai pembicara tunggal dalam diskusi rutin bulanan lembaga itu.
Lokasi kantor Ary Suta Center di bilangan Prapanca III, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ia menempati sebuah rumah berukuran besar, khas Kebayoran. Begitu memasuki halaman, dua buah mobil VW Caravelle Transporter diparkir. Satu berwarna putih dan sebuah lagi hitam. Yang putih di bawah tenda putih, di sampingnya ada meja yang ditempati bagian promosi kendaraan itu. Begitu masuk, sosok pria muda memberikan kartu nama, dan menawarkan untuk test drive mobil berbahan bakar diesel itu.
Menurut saya inilah cara memasarkan mobil yang unik. Untuk kalangan terbatas, di event-event terbatas berkelas.
Di sampaing rumah sudah tersedia tenda yang menaungi makanan. Ada nasi Bali, lontong cap go meh, ada es puter. Acara makan siang dilanjutkan dengan presentasi Wiranto.
Begitu masuk dua buah lukisan di dinding menyambut. Sebuah lukisan di kanan menampilkan mobil jeep dalam susana off road. Lukisan di kiri, juga susana off road, tapi mobil yang di kanvas itu: VW Safari berwarna kaki di tengah padang pasir dan lumpur.
Di bagian depan tempat Wiranto bicara. Latarnya lukisan besar panorama yang lain, seakan bertutur alam yang tandus, sehingga pigura lukisan pun beraksen tua, bintik-bintik, coklat kusam, bolong-bolong, memberikan kesan tersendiri.
Di antara hadirin, tampak Christianto Wibisono, sosok pemilik Pusat Data Bisnis, yang usai kerusuhan Mei 1998 menetap di Amerika Serikat. Ada kalangan pengusaha, kebanyakan pelaku bursa. Ada anggota DPR asal Bali, seperti Gde Sumarjaya Linggih, anggota Komisi IV. Juga ada Syirikitsyah, tokoh pers dari Surabaya. Marissa Haque, artis yang menatan anggota DPR itu tampak datang terlambat.
Tidak ada hal baru yang dipaparkan Wiranto. Ia bertutur tentang peran-peran hebatnya masa lalu. Juga soal alasannya mencalonkan diri menjadi presiden ke depan. Sempat pula terucap bahwa yang menyarankan SBY menjadi Menteri Pertambangan dan Energi ke Gus Dur dulunya Wiranto.
Tanya jawab dibuka. Sebagaimana lazim di pertemuan macam begini, orang sering syur bicara tentang “kehebatannya” di depan forum, bukan bertanya.
Bahkan seorang Christianto Wibisono pun seakan demam panggung ketika diberi kesempatan bertanya, malah menyerocos untuk membuka mata. “Dulu IMF menolong Asia di saat krisis, kini IMF justeru mengalami masalah, mengurangi tenaga kerja, apa yang kita lakukan?” tutur Christianto. Ia mengingatkan bahwa ke depan tidak bisa lagi menghujat negara asing, lembaga asing. “Kita harus membuka mata lebar-lebar di tananan global,” ujarnya seakan menasehati.
Kejadian kecil mengganggu suasana yang tak sampai di hadiri 100 orang peserta itu. Hand Phone saya kendati sudah dibuat silent, eh, ternyata belum benar-benar diam. Begitu ada telepon masuk, suaranya belum berubah dari ring tone di lagu yang di volume paling kencang pula. Hal itu mendapat tanggapan sindiran oleh Wiranto. Tidak enak betul rasanya saya. Tapi mau apa. Keringat sempat mengalir di wajah saya.
Marissa Haque yang duduk dua kursi di kiri saya diberi kesempatan bertanya. Seperti biasa ia justeru tak bertanya. Marissa bicara tentang teori sekolahnya, yang sedang mengambil S3 di IPB, Bogor.
Ingin pula saya bertanya, mengapa Wiranto tidak memberi kesempatan atau mencari sosok muda yang sesungguhnya banyak dan layak jadi pemimpin di Indonesia kini?
Sejujurnya dari paparan Wiranto, tampak sekali segalanya sudah masa lalu. Tiga sosok mantan TNI akan beradu merebut kursi Presiden - - Soetiyoso, Prabowo, selain yang ke empat incumbent SBY - - kesemuanya saya asumsikan sulit menjadi pemenang.
Sosok berjilbab di belakang kiri saya, Syirikitsyah tampil berdiri. Mengawali pertanyaannya, tak dipungkiri adanya punjiannya terhadap Wiranto. Syirikit adalah nama yang selalu saya baca di lingkup media. Postingnya sering saya baca di milis di internet. Ketika saya memberikan kartu nama kepadanya, ia terperanjat.
“Oh ini toh …Iwan. Saya jangan ditulis ya.”
Syirikit ada memberi pengantar di buku yang diterbitkan oleh Ary Suta Centre.
Acara usai.
Bersama Zahara, saya menunggu untuk bisa bertemu Ary Suta. Wiranto datang menyalami peserta ke arah belakang, ke arah saya. Entah marah atau tidak, yang jelas orang lain disalami, saya berusaha mengulurkan tangan, seakan dilewatkan. Jika perkara hand phone berbunyi mengganjal hati Wiranto, wah betapa berdosa saya.
Untung pula saya tak jadi bertanya di forum itu, dan memang pertanyaan yang sedianya ingin saya tanyakan, tiada seorang pun yang menanyakan.
Obrolan justeru kemudian hangat bersama Sri Rachma Chandrawati, Ketua Umum Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), yang juga Ketua Umum Perempuan Hanura. Agaknya karena ada Zahara di samping saya. Tak lama kami sambil berdiri berbicara dengan Ary Suta. Ia sibuk sekali. Ary Suta mengantarkan ke pintu tamu-tamu lain yang ingin pulang. Kami pun berlalu.
Rupanya hand phone saya yang berbunyi siang di diskusi itu, memang sesuatu yang urgent. Setelah acara itu, kawan saya mengajak bertemu di Cilandak Town Square (Citos). Rupanya siang itu telah terjadi bacok-membacok di Crew & Co, Citos, Jakarta Selatan. Salah seorang yang kena bacok membuncah darah. Susana Citos tegang. Kawan saya ingin bicara langsung, mengingatkan jangan ke Citos.
Di media online saya membaca, bahwa ada dua kubu kelompok Ambon, yang umumnya bekerja sebagai debt collector berseteru. Amat disayangkan sebuah kawasan mall, senjata macam samurai bisa lolos dibawa pengunjung. Perkelahian mengakibatkan nyawa meradang.
Ada nyawa sekarat memperebutkan uang, ada mantan pejabat yang jor-joran membelanjakan uang beriklan berseminar, ada rakyat mati kelaparan tak punya uang.
Keyakinan saya, Indonesia ke depan memang harus berubah, dan perubahan itu hampir tak mungkin lagi ditumpukan kepada mereka yang hidup di masa lalu. Termasuk dari sosok-sosok yang menjual mimpi masa lalu, walaupun dengan ketambunan uang, segalanya bisa mereka beli, termasuk nyawa seseorang. Faktanya kini waktu sudah berlalu. Keinginan terhadap Indonesia baru, memerlukan sosok dan nafas baru.
Hari ini dan ke depan, Indonesia perlu perubahan mendasar, merubah haluan keberpihakannya kepada warga, kepada rakyat kebanyakan. Saya berdoa takzim agar tidak ada lagi berita penduduk mati kurang makan. Adin yang mati tidak makan.
Iwan Piliang, presstalk.info

Sabtu, 24 Mei 2008

Penculikan terhadap PemRed Tabloid Jejak

1. Senin, 3 Maret 2008 pagi. Ir. Henry John C. Peuru, Pemimpin Redaksi Tabloid Jejak, Manado, diminta oleh Herry Palangiten untuk bertemu di Dinas UKM Provinsi Sulawesi Utara. Herry berpesan agar Henry “datang sendirian, tidak membawa teman.” Ia juga memberi tahu akan memberi sebagian dari uang sejumlah Rp 1 milyar yang ia terima dari Gubernur Sulut. Sekitar jam 19:00 Henry (yang ditemani oleh Sutojo Kamidin) menerima telepon dari Herry, minta bertemu di Manado Town Square Mall (Mantos). Sekitar jam 19.30 mereka bertemu di Mantos. Herry, yang ditemani oleh Welly Siwi, kembali memberi tahu akan menerima uang Rp 1 milyar dari Gubernur Sulut dan akan membaginya sebagian kepada Henry. Tapi Henry sama sekali tidak tahu apa maksudnya. Mendadak Herry meninggalkan mereka sambil menyodorkan uang Rp 50.000 untuk membayar kopi (mungkin karena polisi akan datang!).
2. Sekitar pukul 19:45, di tempat parkir Mantos, Henry dan Sutojo dicegat oleh dua orang berpakaian sipil yang mengaku dari Poso, Sulawesi Tengah. Henry dan Sutojo diajak mengikuti mereka, tapi menolak. Tiba-tiba muncul Kompol H.R. Wibowo, Kasat Reskrim Poltabes Manado, bersama beberapa orang anggota polisi. Ajakan untuk mengikuti mereka pun ditolak oleh Henry karena tidak ada surat penangkapan. Dengan suara keras Kompol Wibowo mengatakan, “Kamu tertangkap tangan”, tapi oleh Henry dibantah dan dipersoalkan, “apa yang dimaksud dengan tertangkap tangan?”
3. Akhirnya mereka dibawa ke Poltabes Manado dan diinterogasi sekitar jam 21:00 oleh tiga orang anggota polri di ruangan KBO. Henry hanya mengenal salah seorang di antara ketiga anggota polri itu yang bernama Tulus. Intinya, Henry ditangkap (“diculik”) dan diperiksa sebagai saksi atas kasus penyelundupan senjata dari Manado ke Poso pada 2007. Salah satu pertanyaan yang diucapkan oleh pemeriksa ialah: Apakah Anda mengetahui pemasukan senjata yang dilakukan oleh Wagub Sulut Freddy Sualang ke Poso? (Catatan: pertanyaan tersebut diucapkan oleh anggota polri yang memeriksa Henry). Inti jawaban Henry ialah: dia pernah melacak kasus tersebut tetapi tidak memperoleh data cukup, dan tidak pernah memuatnya di Tabloid Jejak. Dia juga menyatakan tidak pernah menghubungi para pejabat di Poso dan tidak pernah berkunjung ke Tomata, Poso.
4. Rupanya, pada 13 November 2007, Kasat Reskrim Polres Poso, AKP Soeryadan, telah mengirimkan Surat Panggilan No.Pol: S.Pgl/615/XI/ 2007/Reskrim kepada Ir. Henry Peuru untuk menghadap AKP Soeryadani pada hari Selasa, 20 November 2007 jam 09:00 WITA di ruang Kasat Reskrim untuk didengar keterangannya sebagai saksi dalam perkara pemasokan senjata api dari Sulawesi Utara ke Kabupaten Poso, Sulteng. Tapi, Henry tidak pernah menerima Surat Panggilan tersebut. Surat Panggilan itu baru ia ambil sendiri pada tanggal 2 Maret 2008 dari Kepala Jaga Kompleks Perumahan Helsa Tateli, Manado, tempat domisili Henry.
5. Adapun Surat Perintah Penangkapan (No.Pol SP.Kap/124/III/ 2008/Reskrim) tertanggal 3 Maret 2008 telah dipersiapkan dan ditandatangani oleh Kompol RH Wibowo. Surat tersebut memerintahkan kepada AKP Haryansyah SH, Bripka L. Hadi Purwanto, Brigadir Bartholomeus Dambe dan Briptu Romi untuk melakukan penangkapan terhadap Henry sebagai tersangka melakukan tindak perbuatan tidak menyenangkan dan pidana pemerasan dan pengancaman (Pasal 335 KUHP dan Pasal 368 ayat (1) KUHP). Tapi, Surat Perintah Penangkapan tertanggal 3 Maret 2008 tersebut baru diterima oleh Henry pada tanggal 21 Maret 2008. Mestinya Henry bisa bebas, namun masa penahanannya yang 20 hari diperpanjang.
6. Keesokan harinya, Selasa 4 Maret 2008, sekitar jam 18:30, Henry dipanggil untuk menanda tangani berita acara pemeriksaan atas laporan Ir. Ricky Tumanduk, Kadis Kimpraswil Prov Sulut tertanggal 3 Maret 2008 yang menyebutkan bahwa Henry telah melakukan “pemerasan dan pengancaman” terhadap ybs. Artinya, posisi sebagai saksi perkara penyelundupan senjata dialihkan secara mendadak ke kasus “pemerasan dan pengancaman”. Anehnya, dalam pertemuannya dengan John Lalonsang (085298359539), Kepala Perwakilan Tabloid Jejak di Manado, Ricky Tumanduk membantah telah melaporkan kasus “pemerasan dan pengancaman” itu kepada polisi. Anehnya lagi, ketika Henry minta BAP, tiba-tiba tiga orang anggota polri merampasnya dengan dalih sebagai “dokumen negara”. Padahal, saksi atau tersangka berhak atas naskah BAP.
7. Mengenai kasus “pemerasan dan pengancaman” tersebut, terungkap dalam BAP, Selasa, 4 Maret 2008 jam 17:50 WIT. Bertindak sebagai penyidik/pemeriksa Bripka L. Hadi Purwanto. Intinya, sekitar bulan Oktober 2007, Henry sebanyak dua kali telah mewawancari Ir. Ricky S. Tumanduk, Kepala Dinas Kimpraswil Prov Sulut mengenai proyek pembangunan Jembatan Megawati, yang menurut Henry janggal karena fondasi jembatan tua tidak dibongkar. Menurut Ricky, tiang-tiang yang lama (tua) tidak dibongkar karena mempunyai nilai sejarah. Tetapi, Henry sama sekali belum pernah memuat kasus tersebut di Tabloid Jejak, karena bahan-bahannya belum cukup. Mungkin wawancara inilah yang dianggap sebagai “pengancaman” (meskipun Henry sama sekali tidak mengancam akan melaporkan kasus itu), namun agaknya Ricky sendiri yang merasa terancam.
8. Mengenai apa yang disebut “pemerasan” terhadap Ricky, mungkin yang dimaksud ialah pengajuan proposal pembangunan sebuah gereja yang diajukan oleh Dandi, yang datang ke kantor Ricky ditemani oleh Henry -- setelah wawancara tersebut. Selain itu, juga pengajuan permintaan iklan senilai Rp5.000.000 oleh John Lalonsang kepada Ricky yang kemudian dimuat di cover belakang Tabloid Jejak edisi 108 Desember 2007, bersama iklan Pemda Prov Sulut. Iklan tersebut adalah iklan ucapan “Selamat Idul Adha 1428 H, Selamat Natal 2007 dan Tahun Baru 2008”. Jika pengajuan proposal pembangunan sebuah gereja (oleh Dandi) dan permintaan iklan (oleh John Lalonsang) tersebut dilakukan secara baik-baik dan diterima secara baik-baik oleh Ricky, tentulah sama sekali bukan pemerasan. Apalagi yang melakukannya bukanlah Henry, sementara Ricky menyatakan (kepada John Lalonsang) bahwa dia tidak pernah melaporkan Henry kepada polisi.
9. Satu hal yang sangat jelas ialah, bahwa dua kali pemeriksaan (interogasi) yang dilakukan oleh pihak kepolisian Poltabes Manado telah melanggar UU Nomor 40/1999. Pertama, polisi tidak berhak menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan masalah keredaksian, pencarian berita, materi berita dan sumber berita, karena dalam melakukan tugas kewajibannya wartawan Indonesia dijamin oleh UU. Kedua, Henry mempunyai Hak Tolak atau Hak Ingkar untuk tidak menjawab pertanyaan polisi, apalagi menyangkut sumber berita. Ketiga, semua hal yang disangkakan oleh polisi (sebagai saksi kasus penyelundupan senjata, dan tersangka pengancaman dan pemerasan) sama sekali tidak terbukti, sementara Henry belum/tidak pernah memuat masalah tersebut di Tabloid Jejak.
10. Kesimpulan: Pertama, Wartawan Ir. Henry John C. Peuru telah ditangkap dan ditahan secara tidak sah karena polisi tidak membawa Surat Perintah Penangkapan. Dengan demikian bisa ditafsirkan bahwa telah terjadi penculikan. Kedua, penahanan pertama tidak sah karena sebagai saksi, Henry tidak melihat atau mengetahui kasus penyelundupan senjata dari Manado ke Poso (yang oleh penyidik dikatakan dilakukan oleh Wagub Sulut, F.H. Sualang). Mestinya Henry sudah bisa bebas, tetapi perkaranya dialihkan pada kasus “pengancaman dan pemerasan”. Ketiga, perpanjangan penahanan oleh Poltabes Manado dan Kejari Manado (sehubungan dengan kasus “pengancaman dan pemerasan”), juga tidak sah dan seharusnya Henry sudah bebas, karena Ricky Tumanduk (si pelapor) membantah telah melaporkan Henry kepada polisi. Keempat, polisi telah melanggar UU Nomor 40/1999 tentang Pers, dalam hal ini menghalang-halangi kebebasan pers, oleh karena itu dapat dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40/1999 tersebut.

Jakarta, 1 Mai 2008.

Jumat, 02 Mei 2008

Istana Gebang

DI JALAN Sultan Agung, Blitar, Jawa Timur. Dari seberang jalan, rumah nomor 59 itu, tampak berdiri di lahan seluas lapangan sepak bola - - 15.000 meter tanahnya. Masuk ke dalamnya, melalui pintu pagar yang selalu terbuka, becak bisa langsung membawa penumpang ke mulut pintu rumah utama.

Rumah itu berukuran sedang, bangunan tua, catnya terawat. Bagian depannya berpendopo terbuka. Sehingga naik turun penumpang dari becak di pendopo itu bila pun hujan turun, dijamin Anda tak akan kuyup. Dua piliar bercat hijau menupang atap pendopo. Bagian tepi atap ada ukiran kayu bergerigi bercat hijau - - hiasan yang banyak ditemui di rumah tua di Indonesia umumnya.

D i rumah itulah dulu Bung Karno, sosok proklamator, menghabiskan masa kecilnya. Kini kediaman ini dihuni kerabat Bung Karno. Masyarakat Blitar akrab menyebutnya Istana Gebang.

Di Istana Gebang itulah, Sukarmini Wardoyo - - kakak kandung Bung Karno - - tinggal bersama keluarga besarnya. Saban hari selalu saja ada yang datang melihat-lihat barang peninggalan Bung Karno. Ada kamar tidur, meja-kursi, foto-foto kenangan Bung Karno masa silam.

Dalam dua pekan terakhir ini berita ihwal rencana penjualan rumah ini mencuat. Djarot Syaiful Hidayat, Wali Kota Blitar, kepada Liputan 6 SCTV, pada 24 April 2088 lalu menyatakan kesanggupannya untuk membeli atau mengelola rumah bersejarah itu. Mengingat bangunan tersebut sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya sejak 2001 oleh Pemda Blitar.

Menurut Djarot, rumah itu memang akan dijual sejak 1970. Namun ada sejumlah ahli waris yang tidak setuju sehingga rencana pun batal. “Baru sepekan ini muncul keputusan akan menjual rumah bersejarah itu atau menyerahkan pengelolaannya kepada pihak ketiga, “ ujar Djarot.

Bambang Suka Putra, cucu Soekarmini Wardoyo - - kakak Bung Karno - - mengatakan perhatian pemerintah terhadap rumah warisan sang proklamator itu sangat minim. Atas kesepakatan rapat keluarga, rumah itu diputuskan dijual saja kepada peminat.

Sejauh ini sudah ada sejumlah peminat asing yang menyampaikan penawarannya sejak Istana Gebang mulai diiklankan. Promosi penjualannya juga disebar ke internet.

Segenap ahli waris berharap anak-anak Bung Karno atau pemerintah-lah yang membelinya. Dan Pemkot Blitar melalui Wali Kota Djarot Syaiful Hidayat sempat mengungkapkan keinginan untuk membeli atau mengelola Istana Gebang. Namun harga tampaknya menjadi kendala. Keluarga hendak menjual di harga Rp 50 miliar. Djarot mengungkap jika saja harganya di kisaran Rp 15- 20 miliar, Pemkot Blitar berkenan membali.

Tampaknya, Pemkot memang tidak melakukan langkah proaktif. Jika harga menjadi kendala, karena pertimbangan akan mendapatkan historical value, juga berguna bagi pengembangan pariwisata kota, seharusnya Pemkot mengajak Pemda Jawa Timur, bahkan jika perlu turut meminta bantuan pemerintah pusat, bahu-membahu untuk mengambil alih asset itu - - termasuk jika perlu memasukkan ke dalam dua tahun anggaran berjalan.

Pihak ahli waris mengaku sudah membuat surat dan proposal ke Pemkot. Namun hingga kini tidak ada jawaban.

Sampai kepada kata proposal ini, saya jadi teringat bahwa di banyak depertemen pemerintah, BUMN, Pemda, baik tingkat kabupaten dan walikota, setiap tahunnya mereka membuat proposal proyek untuk tahun mendatang. Sering kali saya mengamati bahwa proposal yang disusun bukan mengacu ke inti permasalahan yang ada di masyarakat.

Pada Tajuk 12 April 2008, berjudul KALI, saya menuliskan bahwa sudah puluhan tahun kali di Pademangan, Jakarta Utara airnya tak mengalir. Tetapi hingga kini tak ada langkah proaktif mengalirkan kali itu. Pemda tidak pernah membuat masalah itu masuk ke dalam proposal proyek.

Proposal proyek yang diminati masuk ke anggaran proyek yang akan berjalan umumnya pengadaan barang. Pengadaan yang sudah “dititipkan”, untuk tahun berikutnya ditenderkan. Bahkan “tender”nya pun dipastikan diatur. Akibatnya entah hingga kapan, laku kolusi untuk korupi itu bisa akan punah di negeri ini.

Kini seorang pengusaha asal Malaysia, sudah menyatakan keinginan membeli Istana Gebang. Minat pihak swasta Malaysia itu, mohon maaf, saya artikan sebagai “tamparan”, betapa bahwa bangsa ini tidak memiliki sense akan pengetahuan bahwa intangible asset sejarah, berguna bagi masa depan peradaban. Pemerintah pusat, daerah, saling menunggu ihwal penjualan rumah proklamator itu.

IBU-IBU berkerudung, puluhan anak-anak usia sekolah pada 27 April 2008 lalu memanggul karton, bertuliskan: Jangan Jual Warisan Bung Karno ke Asing. Spanduk lain: Pemerintah Selamatkan Cagar Budaya. Ternyata ratusan orang ini yang dominan perempuan itu berdemo meminta perhatian pemerintah kota dan pemerintah pusat menyelamatkan aset bersejarah itu.

Demo itu berlangsung cukup lama di depan Istana Gebang. Aksi warga Blitar ini bukan sekadar mendemo. Mereka menggalang dana. Secara spontan dan sukarela warga dari berbagai kalangan tak segan merogoh kocek mereka. Dana yang terkumpul nantinya akan dipakai untuk membeli Istana Gebang. Forum Penyelamat Istana Gebang pun dibentuk masyarakat secara swadaya. Melihat rombongan pendemo itu di televisi, benak saya di kepala membayangkan wajah Megawati, anak Soekarno yang pernah menjadi Presiden RI itu. Kemana dia urusan rumah peninggalan ayahnya itu? Saya lalu teringat akan kediamannya yang hampir tiap hari saya lalui itu.

JALAN Teuku Umar, Menteng, Jakarta. Di kiri-kanan, bahkan di pembatas jalan, tumbuh berbagai pohon besar, ada Akasia, ada Asam Jawa. Pohon-pohon itu ada yang tumbuh sejak zaman Belanda. Jalanan lebar. Susana teduh.

Di pertengahan jalan antara Taman Suropati dan ujung jalan Teuku Umar itulah kediaman Megawati berada. Letaknya di sebelah kanan bila dari arah taman. Inilah kawasan yang menurut saya paling menyenangkan dilewati di Jakarta. Seakan masih tersisa Jakarta tempo doeloe di sana.

Ada perasaan mengatakan, dahulunya Belanda ingin membangun tata kota Batavia, macam jalan di Teuku Umar itu kini. Sayang sekali, hanya tinggal sepenggal jalan Teuku Umar.

Rumah Megawati mudah diketahui. Perhatikan kendaraan polisi yang masih berjaga-jaga yang parkir mengambil bahu jalan. Selalu ada satu atau dua orang berpakaian sipil berwarna gelap duduk di pos jaga yang tidak terlalu mencolok. Nah di situlah rumah Megawati. Rumah berpagar putih tinggi.

Luas lahannya bisa jadi sama dengan Istana Gebang. Namun untuk ukuran lokasi dan wujud bangunan, jika dilakukan appraisal, harga kediaman Megawati bisa tiga atau bahkan empat kali dari nilai Istana Gebang yang sedang ditawarkan.

Saya heran, hingga hari ini tak satupun anak Soekarno buka mulut soal Istana Gebang. Bukankah itu berkait ke asset peninggalan ayah Megawati sendiri? Apakah dengan mengeluarkan Rp 50 miliar, lalu sangat menganggu pundi-pundi pribadi Megawati - - toh mereka masih banyak punya usaha, antara lain jaringan pom bensin - - yang kini harus terus diperbesar demi mempersiapkan belanja kampanye presiden?

Lantas apakah keluarga Megawati tidak bertegur sapa dengan tantenya di Blitar itu? Menjadi kira yang tidak-tidak, jadinya!

Menurut kerabat Soekarno di Blitar, ada 10 keluarga ahli waris yang menunggu hasil penjualan rumah itu. Mereka kini umumnya masyarakat marjinal, yang kian hari kian sulit saja hidupnya.

Mereka tidak mampu lagi merawat rumah di lahan luas itu. Agar tidak menjadi silang sengketa di kemudian hari oleh cucu dan cicit, maka Istana Gebang dilego, menjadi sebuah logika yang masuk akal.

Saya lalu mencoba membulak-balik kamus umum Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, yang kebetulan sedang ada di atas meja. Saya mencari arti kata Gebang.

Di dalam kamus, Gebang artinya; pohon palem yang tingginya dapat mencapai 15 – 20 meter, hati batang dapat digunakan untuk makanan babi, Coryphautan.

Baik di Istana Gebang, maupun di kediaman Megawati kini, saya tak melihat ada coryphautan atau palem berbatang tinggi itu, yang hati batangnya digemari babi.

Saya heran, jangan-jangan baik keluarga Megawati, Pemerintah Pusat, Pemerintah Jawa Timur, Pemkot Blitar seakan “haram” membeli Istana Gebang. Sehingga untuk kesekian kalinya kita “dipermalukan” asing yang hendak membeli Istana Gebang. Wallahu!

Iwan Piliang (tajuk presstalk.info)

Siaran Pers PWI Reformasi pada Hari Pers Sedunia

Kordinator Nasional Persatuan wartawan Indonesia Reformasi
(PWI-Reformasi)
Manggala Wanabakti, Ruang 212, Wing B, Senayan,Jakarta Pusat.Telepon/Fax: 021-5746724

Siaran Pers, Dalam Rangka Hari Pers Sedunia, 3 Mei 2008

Pertama, kami Kornas PWI-Reformasi, menyampaikan Selamat Merayakan Hari Pers Sedunia (Press Freedom), kepada rekan-rekan jurnalis, wartawan, dan kalangan pers umumnya di seluruh Indonesia yang berpegang teguh kepada prinsip dan kaedah jurnalistik.

Menghimbau Jurnalis, wartawan, terus berpihak kepada warga, pro poor, menjunjung tinggi profesionalisme kerja, menjauhkan diri dari laku menerima “amplop” , menjauhkan diri dari laku berpihak ke segenap lini aparat di lintas Pilkada./Pilres, di berbagai daerah di Indonesia, sehingga tercipta pers yang independen, yang mampu mengembalikan “kekuatan” keempat dalam hidup berdemokrasi.

Kedua, kami Kornas PWI-Reformasi, mendesak pemerintah untuk menindak lanjuti hasil laporan investigasi wartawan TEMPO , Metta Dharmasaputra, terhadap kasus penggelapan pajak PT Asian Agri yang kini sudah terbukti mencapai Rp 1,5 triliun. Kendati undang-undang membenarkan penggelapan itu diselesaikan di luar pengadilan, sudah sepantasnya negara membukakan mata publik, berapa pun nominal denda yang dapat diterima negara secara riil, harus disampaikan secara transparan. Dan jika pun belum terselesaikan, adalah hak publik untuk mengetahui sebab-musabab penggelapan pajak tambun itu pengusutannya te rhambat.

Ketiga, Kornas PWI-Reformasi yang turut mendukung protes keras wartawan Desi Anwar, Metro TV, melalui surat kami pada 25 April 2008 lalu, kembali menegaskan meneruskan dukungan langkah hukum, menggugat Presiden Ramos Horta, yang memberikan pernyataan tidak berdasar, merusak citra wartawan dan pers Indonesia khususnya - - kendati pernyataan maaf sudah disampaikan oleh Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao, dengan mengatakan Ramos Horta dalam kedaan stress, sakit.

Keempat, Kornas PWI-Reformasi, saat ini meminta dukungan segenap organisasi pers, memberi perhatian khusus kepada rekan kami, Bung Hendri John, Pemimpin Redaksi Tabloid JEJAK, Manado, yang hampir dua bulan ini ditahan di Poltabes Manado, Sulut.
Penangkapannya oleh Densus 88, dengan tanpa surat penangkapan, dan hingga kini sesuai dengan keterangan Esau Mozes Riupassa SH, lawyer yang difasilitasi Korda PWI-Refo rmasi Sulut, mengerucut terindikasi sebagai penangkapan dipaksakan oleh Gubernur Sulut, akibat dari pemberitaan kritis terhadap indikasi korupsi pembuatan jembatan Megawati, dan mengritisi rencana World Ocean Conferences 2009, di mana Gubernur Sulut sebagai Wakil Ketua Panitia, sesuai dengan Kepres 23, 2007.

Bung Hendry John, juga ketua tim pencari fakta (TPF Bulik) atas penculikan dan pembunuhan sadis terhadap DR. Ir. Oddy Manus, Msc, Dosen Universitas SamRatulangi, ahli kelautan dan perikanan lulusan Jepang itu.

Khusus mengenai penangkapan Bung Henry John ini, kami sedang melakukan kordinasi untuk melaporkan cara-cara penangkapan wartawan ini kepada Propam, Mabes Polri, sehingga kebenaran dapat diteggakkan, dan tugas-tugas jurnalistik yang mengembalikan pencerahan bagi masyarakat dapat kita lakukan secara bersama-sama.

Akhirnya, kami percaya, di tengah kepercayaan yang “pudar” kepada trias politika negeri ini, wartawan, jurnalis, pers yang mengedepankan profesionalisme menjadi tumpuan harapan. Semoga pers mampu memuhi harapan itu. Tarima casi.


Jakarta 2 Mei 2008
Kornas PWI-Reformasi
Kaka Suminta, Sekretaris Umum (085222277122)
Iwan Piliang, KetuaUmum (08128808108)

Jumat, 25 April 2008

Desi Anwar Bantah Tuduhan Ramos Horta

JAKARTA (Berita Nasional) - Jurnalis senior Metro TV Desi Anwar meminta perlindungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baik sebagai pribadi, jurnalis dan warga negara dari segala konsekuensi negatif yang dapat timbul atas tuduhan Presiden Timor Leste Ramos Horta yang telah disiarkan di media internasional. "Saya juga memohon kepada Presiden Yudhoyono untuk meminta penjelasan terhadap Presiden Ramos Horta atas tuduhan-tuduhan yang tidak mendasar tersebut dan memulihkan nama baik saya dan Metro TV," katanya ketika mengadukan kasus tuduhan tak berdasar terhadap dirinya oleh Ramos Horta kepada Dewan Pers di Jakarta, Jumat.

Kepada jajaran pimpinan Dewan pers, Desi Anwar membantah keras tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh Presiden Ramos Horta di hadapan pers internasional pada tanggal 18 April di Dili. Dalam wawancara tersebut, Ramos menuduh Desi Anwar telah melanggar kode etik jurnalistik, melakukan berbagai kegiatan yang melanggar hukum dan yang memberi andil terhadap upaya pembunuhan kepada dirinya, serta diancam akan dilaporkan ke institusi pers internasional.

"Tuduhan-tuduhan tersebut adalah bohong, tidak bertanggungjawab dan menyakitkan," katanya yang didampingi sejumlah pimpinan Metro TV seperti Djafar Assegaf, Elman Saragih, dan Saur Hutabarat. Dari pihak Dewan Pers nampak hadir Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara, serta anggota Dewan Pers Wina Armada Sukardi, Abdullah Alamudi, serta Ikrama Abidin.

Desi menyatakan bahwa tuduhan Ramos Horta tersebut bohong karena tidak ada secuil kebenaran pun dalam pernyataannya.

"Saya tidak pernah pergi ke Atambua, tidak pernah memalsukan dokumen dan memfasilitasi perjalanan Mayor Alfredo Reinado. Tidak pernah melakukan kontak apapun baik langsung maupun tidak langsung, apalagi yang melanggar hukum dan memberi andil terhadap upaya pembunuhan kepada Presiden Ramos Horta," katanya. Desi menegaskan, selama hidupnya, tidak pernah mengenal, bertemu atau melakukan kontak apapun dengan Mayor Alfredo Reinado.

Menurut Desi, tuduhan tersebut tidak bertanggung jawab karena merupakan tuduhan yang sangat serius, yaitu membantu dalam upaya pembunuhan seorang Presiden, mencemarkan nama baik dan melecehkan dirinya sebagai jurnalis baik di Indonesia maupun di dunia internasional.

Ia menilai, tuduhan tersebut berbahaya karena dilontarkan oleh seorang Presiden sehingga dapat menimbulkan persepsi negatif serta konsekuensi yang sangat merugikan terhadap dirinya sebagai pribadi maupun professional, sehingga dikhawatirkan akan menyulitkannya melakukan tugas jurnalistik. "Tuduhan tersebut menyakitkan karena saya sebagai jurnalis mengenal Jose Ramos Horta, begitu pula Xanana Gusmao saat mereka masih dicap sebagai pemberontak terhadap negeri ini di masa silam, sehingga saya tidak paham mengapa tuduhan tersebut sekarang dialamatkan kepada diri saya. Apa maksud yang dituju," katanya.

Protes keras

Karena itu, Desi Anwar, memprotes keras tuduhan-tuduhan tidak mendasar tersebut dan meminta dengan segera agar Presiden Timor Leste Ramos Horta menarik kembali tuduhan-tuduhannya dan meminta maaf kepada dirinya dan Metro TV di depan publik internasional.
Selain itu, Desi juga meminta perlindungan kepada seluruh asosiasi jurnalistik dan kalangan pers, baik di Indonesia maupun internasional, serta melakukan protes resmi terhadap tuduhan-tuduhan yang telah melecehkan profesi jurnalistik itu.

"Sekali lagi, saya Desi Anwar jurnalis Metro TV, tidak terima dituduh tanpa dasar oleh seorang Presiden negara lain di hadapan khalayak internasional dan saya tidak akan diam hingga permintaan serta permohonan saya dipenuhi," tegasnya.(sumber: antara)

Kamis, 24 April 2008

NAMRU

Rabu, 23 April . Siang tadi, Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan, tampak keluar pintu lift Kantor Sekretaris Negara, Jl. Veteran III, Jakarta Pusat. Ia baru saja bertemu dengan Hatta Rajasa, Menteri Sekretaris Negara.

Banyak wartawan yang menantinya. Ia lalu berujar, “Tak akan aku katakan. Tak akan aku katakan.” Dia tersenyum. Entah apa pula maksud kalimat tak akan aku katakan itu.

“Apa mengenai NAMRU?” Tanya seorang wartawan

“No Comment,” jawab Siti. Ia bergegas menuju Camry RI 30. Supir langsung tancap gas membawanya.

Nama NAMRU (Naval Medical Reasearch Unit), dalam sepekan terakhir ini menjadi ikon yang kian bunyi. Hal itu diawali dari pemberitaan singkat di beberapa media on line, bahwa, Menteri Kesehatan, tidak dibenarkan masuk ke dalam laboratorium, di mana ada beberapa warga negara Amerika Serikat sedang bekerja di dalam laboratotium Litbang, Departemen Kesehatan.
Ada lima belas menit lamanya Siti Fadilah menunggu. Bisa dibayangkan kekecewaannya, sebagai pejabat negara, di tanah airnya sendiri, di bawah naungan departemennya pula, ia diperlakukan demikian.

Aneh memang.

Kedutaan besar Amerika Serikat hari ini, mengeluarkan siaran pers. Isinya: Satu komplek dengan litbang Departemen Kesehatan RI, NAMRU tidak tersentuh hukum Indonesia. Laboratorium penelitian Angkatan laut AS itu, memang berada di wilayah hukum AS.
“NAMRU adalah bagian dari wilayah keduataan besar AS di Jakarta.”

Di dalam rilis itu Kedubes AS membantah bahwa NAMRU yang berkantor di Jl. Percetakan Negara, Rawasari, Jakarta Pusat, merupakan fasilitas rahasia, dan melakukan mata-mata. NAMRU terbuka bagi siapa saja yang berminat kepada penelitian. Misalnya untuk kalangan universitas, militer, peneliti dan ilmuwan.

Semua proyek NAMRU mereka klaim sudah atas persetujuan Badan Litbang Depkes RI. Dari 175 pegawainya, kebanyakan peneliti; dokter, dokter hewan, ahli teknologi. Staf administrasinya penduduk lokal. Dari 175 pegawai, hanya 19 orang saja yang berkewarganegaraan AS.
Begitu pokok-pokok rilis Kedubes AS.

Kian menjadi tanya, lokasi kantor NAMRU bukan di wilayah Kedutaan AS, yang di Jl. Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, itu. Lantas NAMRU otonom? Lalu ada 19 warga negara AS bekerja di sana, yang tidak tersentuh hukum Indonesia?

Menjadi kian unik memang NAMRU ini.

Negeri yang katanya zamrud di khatulistiwa ini, memang menjadi incaran banyak kepentingan. Bukan sesuatu yang baru, bila mendadak sontak isu adanya mata-mata di tumpah darah Indonesia ini berseliweran.

Laku mata-mata di negeri ini memang sudah terindikasi mencengkram, bahkan menelisik ke ranah departemen pemerintah, lembaga bergengsi macam di Kadin Indonesia, juga think-thank, yang sering dijuluki Mafia Berkeley, misalnya.

SETAHUN sebelum AS menyerang Irak. Seorang kawan saya redaktur sebuah majalah berita di Jakarta menceritakan pengalamannya. Sebut saja namanya Mohammad Dong. Ia bersama empat wartawan dari ASEAN diundang berkunjung ke Israel, dalam muhibah jurnalistik.

Keberangkatan itu diurus segalanya dari Singapura. Mendarat di Tel. Aviv, Israel, rombongan lima wartawan ASEAN itu dijemput oleh seorang kolonel polisi. Di sepanjang perjalanan, kolonel itu memberikan penjelasan tentang keberadaan kota, apa saja yang mereka lakukan, termasuk kesiagaan warga untuk selalu jaga-jaga jika negara dalam keadaan darurat diserang, siap sedia perang.

Tiba di semacam kantor dinas penerangan setempat, kolonel polisi tadi meminta rombongan wartawan itu menunggu di sebuah ruang rapat. Begitu kembali ke ruang rapat kolonel polisi tadi sudah berganti baju biasa, bukan lagi pakaian dinas. Ia menepuk bahu Mohammad Dong.
“Lagi musim duren di Jakarta?” tanya kolonel polisi dalam bahasa Indonesia fasih.

Mulut Mohammad Dong ternganga.

Belum habis keterkejutannya, pejabat dinas penerangan itu meneruskan kata
”Gue kan sebelas tahun tinggal di Ciputat. Punya gerobak roti 20.”

Alamak!

Sebelas tahun, punya usaha roti segala?

Mendengar kisah Mahammad Dong, saya menjadi tertawa. Kenapa tak tertawa? Gila benar polisi Israel bisa berbahasa Indonesia, tinggal sebelas tahun, punya usaha roti. Ketawa saya menjadi-jadi. Pakai visa apa dia ke Indonesia, bukankah antara Indonesia dan Israel tidak memiliki hubungan diplomatik?

Saya mengkritisi cerita Mohammad Dong itu. Ia sosok yang pandai bertutur, dan acap kali mengeluarkan banyolan. Seringkali susah membedakan ia bercerita sungguhan atau sekadar menyampaikan joke.

Kala itu, ia memperlihatkan sebuah kartu nama pejabat Israel itu.

Ketika AS hendak menyerang Irak, email dan seluruh nomor kontak yang ada di kartu nama yang diperlihatkan kawan itu, sudah tidak bisa diakses. Bahkan alamat emailnya dikirimi surat seketika mental.

Begitulah sepenggal cerita Mohammad Dong, wartawan yang pernah diundang ke Israel.
Di satu sisi cerita tadi bisa jadi cuma “kejenakaan”. Tetapi di lain sisi, jika dicermati, begitulah adanya, bagaimana negeri ini memang seakan telanjang. Bangsa ini membutuhkan banyak kunjungan turis manca (banyak) negara. Hal hasil, mereka warga negara mana pun kita tampung saja - - termasuk tanpa kita pedulikan kedok paspor yang mereka pakai.

Mereka yang berkulit hitam dari Afrika, yang banyak datang untuk membeli barang pakaian jadi murah di Tanah Abang, Jakarta Pusat, telah pula terindikasi banyak memasukkan narkoba, berbisnis dolar palsu, dan melakukan penipuan pembuatan dolar hitam - - sebagaimana belum lama ini ditangkap oleh pihak Kepolisian RI.

Karena kesulitan ekonomi yang kini kian mendera, beberapa stasiun televisi sudah menyiarkan laku kawin kontrak wisatawan Timur Tengah - - termasuk satu dua dari Afrika - - dengan gadis-gadis di kawasan Puncak, Sukabumi, Cianjur, Jawa Barat. Dengan dalih eknomi, para pria yang membawa pundit-pundi uang itu, telah dengan gampang dan murah, hidup berbulan-bulan di lingkungan masyarakat kita. Mereka hidup di tengah-tengah kita. Bisa dibayangkan bila salah satu di antara mereka itu adalah pejabat negara asalnya, yang menyamar menjadi mata-mata, untuk mendapatkan masukan-masukan nyata tentang Indonesia terkini.

Akan tetapi menegur kaum perempuan yang melakukan perkawinan kontrak itu, juga sebuah dilemma. Mereka memang perlu untuk meningkatkan ekonomi, yang kian hari kini terasa kian sulit itu. Dengan hantaman sektor riil, pertanian, di daerah tidak tumbuh, laku kalangan pendatang dengan membawa pundit-pundi uang menjadi diperlukan.

Karena kepentingan dan dukungan uang serta keahlian pulalah logika NAMRU itu tampaknya diambil pemerintah Indonesia.

Tetapi adalah naïf tentu membandingkan NAMRU dengan pria Timur Tengah yang melakukan kawin kontrak. NAMRU sebuah lembaga riset, yang sangat strategis. Mereka memperlakukan Menteri Kesehatan RI, yang baru saja menulis Buku Saatnya Dunia Berubah, yang mengkritik kebijakan AS dan WHO, yang mengambil sampel virus flu burung untuk dibuat vaksin, lalu negara asal virus, di kemudian hari harus membayar mahal vaksin - - sebagai sebuah laku tak adil.

Munculnya makhluk bernama NAMRU, memang, tak terhindari sebagai satu lagi lakon mencurigakan yang dimainkan AS di negeri ini.

DINO Patti Djalal, kepada detik.com, hari ini membantah. “Janganlah berpikiran konspiratif. Apa-apa bawaannya curiga terus. Orang-orang yang membantu dari AS atau Inggris kita tolak, “ ujar Dino kepada detik.com. Menurutnya tidak ada yang salah kerjsama dengan NAMRU. Badan itu menurut Dino, memiliki jaringan, mempunyai teknologi yang bermanfaat bagi pemerintah Indonesia, untuk mengembangkan riset-riset medis.

Sebaliknya dengan Munarman, mantan Ketua YLBHI ini, yang hari ini melakukan konperesni pers di Mer-C (Medical Emergency Committee dan Annashar Institute), di kantornya di Jl. Kramat Lontar, Jakarta Pusat. Ia menilai bahwa laku beberapa orang AS di NAMRU, melakukan kegiatan intelijen.

Karenanya ia mencak-mencak, ketika ada dua orang dari kedubes AS, lalu membagikan rilis berkop surat Kedubes AS di Jakarta, yang isinya antara lain mengatakan bahwa NAMRU cuma lembaga penelitian, di saat MER-C sedang mengadakan konmperensi pers itu.

Munarman tampak sangat gusar di tengah acara yang dilakukannya itu dimanfaatkan oleh kedubes AS membagikan rilis. “Tamu tak diundang, lah kok membagi rilis di acara orang, di mana etikanya, “ Munarman, melanjutkan, “Makanya Amerika negara bangsat.” Kejengkelan Munarman itu lengkapnya bisa diklik di: http://www.detiknews.com/indexfr.php?url=http://www.detiknews.com/ index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/04/tgl/23/time/194020/ idnews/928471/idkanal/10.

Terlepas dari kontroversi soal NAMRU, saya menjadi teringat nama seorang kawan saya Amruh Kumandang, yang kini menjadi salah seorang pengusaha yang mensuplai kebutuhan buku-buku ke sekolah di berbagai daerah. Namanya mirip-mirp dengan NAMRU.

Amruh belum lama ini bercerita bagaimana banyak sekali peluang usaha di daerah yang belum tergarap. Ia baru saja berkeliling Sumatera. “Mencari permodalan di daerah susah,” katanya. Umumnya pengusaha sangat tergantung hanya pada proyek-proyek pemerintah. “Tidak ada yang namanya pengembangan usaha pertanian, seperti pembukaan lahan jagung baru, usaha pengeringan jagung yang dibiayai perbankan misalnya.”

Sudah banyak artikel yang memaparkan, bahwa kekuatan eknomi bangsa ini memang terindikasi “dilumpuhkan”. Pelakunya adalah konspirator lokal dengan agen-agen asing.

Menurut teman saya yang bekerja di PT Freeport Indonesia, dari delapan palka bahan tambang yang dikapalkan setiap hari di Freeport di Tembagapura, satu palkanya adalah emas. Anehnya, IMF melalui perjanjian yang ditandatangani Indonesia, mewajibkan melaporkan ekspor, impor, deposit emasnya kepada IMF. Juga tidak boleh mem-peg mata uang rupiah ke emas, sebaliknya ekspor emas Freeport tak ada datanya di kita - - toh izinnya menambang tembaga.

Banyak list yang bisa dijejerkan pula, seperti di pertambangan Migas, yang tidak proporsional pembagian keuntungannya bagi negara. Anehnya jika ada anak negeri yang kritis, sebagaimana Siti Fadilah Supari, seakan koor paduan suara pemerintah memojokkannya. Begitulah bila kekuasaan hanya untuk kekuasaan, tidak untuk kemaslahtan rakyat banyak.

Karenanya dari awal saya sudah mendukung langkah-langkah Sitri Fadilah Supari di bidang kesehatan, sebagaiman saya tulis di Tajuk Rakyat ini pada 22 Maret lalu: Revolusi Transparansi Siti. Semoga saja kalimat, “Tak akan kukatakan-tak akan kukatakan,” yang disampaikan Siti di Sekretariat Neghara hari ini, bisa kembali dia ungkap dalam tulisannya, demi menegakkan harkat dan martabat bangsa.

Saya yakin, dari melihat gaya Siti menulis di buku Saatnya Dunia Berubah itu, dia bukanlah tipikal pemimpin kebanyakan negeri ini: yang umumnya menghamba ke asing, demi mempertahankan kekuasaan. Saatnya, memang kita mengkritisi berbagai kepentingan asing di negeri sendiri.

Termasuk mengkritisi NAMRU, yang entah untuk apa itu?

Iwan Piliang, presstalk.info

Sabtu, 19 April 2008

DPRD Persoalkan Ruilslag GOR Saburai

BANDAR LAMPUNG (Berita Nasional): Panitia Khusus (Pansus) DPRD Provinsi Lampung yang menangani ruilslag GOR Saburai mempersoalkan rencana Pemprov Lampung menukar guling kawasan GOR Saburai dengan lahan 10 hektare milik PT Damai Indah Lestari (DIL) di Kemiling.

Dalam rapat dengar pendapat Pansus dengan Pemprov Lampung di Gedung DPRD, Jumat (18-4), Ketua Pansus Indra Ismail mempertanyakan mengapa harus meruilslag kawasan GOR Saburai. Ia juga mempertegas istilah penglepasan aset dengan pemindahan aset adalah dua hal yang berbeda. Ruilslag merupakan penglepasan aset yang perlu persetujuan DPRD.


Rapat dengar pendapat itu, Pemprov Lampung diwakili Ketua Bappeda Suryono S.W dan Kepala Biro Aset dan Perlengkapan Daerah, Harun Al-Rasyid.

Anggota Pansus Mega Putri Tarmizi juga meminta Pemprov mempertimbangkan kembali rencana itu. Menurut dia, jika diasumsikan nilai jual objek pajak (NJOP) tanah di kawasan GOR Saburai Rp3 juta per meter persegi, harga jual yang diperoleh adalah Rp65 miliar. Dengan asumsi harga bangunan GOR Saburai Rp5 miliar, total jualnya menjadi Rp70 miliar.

Perhitungan NJOP tanah di Kemiling, kata Mega, adalah Rp150 ribu per meter. Jika ditotalkan luas lahan 10 hektare itu, diperoleh harga Rp15 miliar. "Bagaimana selisih ini akan dipertanggungjawabkan," kata Mega.

Anggota Pansus Lukmansyah pun mempertanyakan alasan membangun kawasan olahraga terpadu, tetapi dengan penekanan ruilslag. "Provinsi Sumatera Selatan sukses membangun kawasan olahraga Jaka Baring tanpa perlu ruilslag. Kawasan yang lama masih menjadi aset Pemprov Sumatera Selatan," kata Lukmansyah.

Selain persoalan itu, masalah yang muncul adalah perlu dipertanyakan kembali peruntukan kawasan Kemiling yang menjadi kawasan reservasi serapan air. Anggota Pansus Sugeng Kristianto juga mempertanyakan status kepemilikan lahan PT DIL seluas 10 hektare itu.

Baru Satu Investor

Pemprov Lampung yang diwakili Kepala Bappeda Suryono S.W. dalam pengantarnya mengatakan, sarana dan prasarana olahraga masih sangat terbatas, sedangkan perkembangan Kota Bandar Lampung sangat pesat. Sampai kini, baru ada satu pengusaha yang mau menawarkan diri, yaitu PT DIL. "Mereka memiliki lahan di kawasan yang sudah dipatok jadi kawasan olahraga. Tetapi, tidak menutup kemungkinan mencari kompetitor (investor, red) yang lain," kata Suryono.

Di sisi lain, Harun Al-Rasyid menambahkan setelah DPRD menyetujui akan dilakukan penilaian terhadap aset karena alasan biayanya mahal. Suryono menegaskan yang paling penting adalah izin prinsip (persetujuan Dewan) yang akan menjadi dasar penilaian lembaga independen (sebelum ruilslag).Rapat dengar pendapat itu akhirnya menyimpulkan Pansus setuju pembangunan kawasan olahraga di Kemiling, tapi tidak dengan meruilslag GOR Saburai. (sumber: Lampung Post)

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Foto-Foto