Rabu, 26 Oktober 2011
Jumat, 07 Oktober 2011
Kisah Para Penjaga Gerbang
“Isteri Pak Sutarto sering member kami buah,” kata Pak Mul. Ada juga pedagang makanan yang bermurah hari membagi sedikit dagangannya. Ada pisang goring, kerupuk, kue, bahkan kacang goreng. Cukuplah untuk teman minum kopi.
Diposting oleh Berita Nasional di 14.29 0 komentar
Selamat Pagi
Diposting oleh Berita Nasional di 14.16 0 komentar
Kematian
Diposting oleh Berita Nasional di 14.13 0 komentar
Selasa, 27 September 2011
Orang Intelek Koq Anarkis?
Unjuk rasa itu memang bukan pertama pasca reformasi 1998. Bahkan, tiap hari kita bisa menyaksikan tayangan unjuk rasa di berbagai daerah dengan berbagai topik pula. Unjuk rasa menjadi menu sehari-hari pemirsa televisi, pembaca majalah dan koran, serta pendengar radio.
Perasaan saya menjadi miris. Apakah harus dengan unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasi. Apakah harus dengan tindakan brutal dan anarkis untuk menyatakan pendapat atau penolakan terhadap sesuatu?
Menyaksikan hal seperti itu saya merasa kehilangan “Indonesia”. Indonesia yang dulu terkenal dihuni oleh manusia-manusia santun dan beretika, kini berubah menjadi negara “hukum rimba”. Yang merasa kuat berusaha menunjukkan kekuatannya. Yang merasa punya wadya balad untuk kekuatan.
Mengapa Indonesiaku hilang?
Tentang kepimpinan, haruskan kita menunjukkan ketidak-puasan dengan tindakan penuh kemarahan dan bringas bagai binatang buas?
Apakah dengan marah dan bertindak anarkis, kita bisa mengubah sistem? Bisa mengganti pemerintahan? Bisa mengubah angka-angka di APBN?
Mengapa sekarang para mahasiswa gemar unjuk rasa? Mengapa pula mereka anarkis? Apakah mereka tidak belajar etika? Apakah mereka tidak mengerti hukum? Atau mungkin sengaja mengabaikan hukum?
Entahlah.
Saya pribadi was-was melihat tingkah polah mahasiswa sekarang. Ini mengingat saya punya seorang putra yang sebentar lagi menjadi mahasiswa.
Tiap melihat tayangan unjukrasa mahasiswa di televisi, wanti-wanti saya menasihati putra saya itu, agar nanti kelak menjadi mahasiswa tidak ikutan unjuk rasa.
“Kalau ada unek-unek terhadap pemerintah atau satu lembaga pemerintah, sampaikanlah kritikan melalui surat. Ini lebih punya makna dan lebih mulia,” kata saya kepada putra saya.
Terus terang, saya sangat setuju dan mendukung keterbukaan, tetapi keterbukaan yang bermartabat. Di era keterbukaan ini siapapun berhak menyampaikan aspirasinya. Siapapun berhak menyatakan ketidak-puasannya, protes dan lain-lain. Tetapi, apabila kita menyampaikannya dengan cara yang brutal, anarkis, penuh amarah, saya kira itu sudah tidak pantas, apalagi jika dilakukan orang-orang terpelajar.
Mahasiswa adalah orang-orang terpelajar. Orang terpelajar adalah sebutan untuk orang berpendidikan, orang berpendidikan adalah intelektual.
Sebagai intelektual mahasiswa semestinya menyampaikan aspirasi secara intelek pula. Banyak cara yang lebih elegan. Bisa menyampaikan petisi melalui lembaga Badan Eksekutif Mahasiswa, yang ditujukan kepada Presiden jika ada kebijakan pemerintah yang menyimpang.
“Masa orang intelek bertindak anarkis,” celetuk puteri saya yang kelas 6 SD, ketika menyaksikan aksi unjuk rasa mahasiwa, di Simpang Empat Bank Indonesia Jambi, Selasa (20/9).
Diposting oleh Berita Nasional di 14.26 0 komentar
Senin, 26 September 2011
Dimanakah Budi Pekerti?
Diposting oleh Berita Nasional di 14.56 0 komentar
Jumat, 23 September 2011
Dunia Anak-anak dan Dunia Kita
Penggalan lagu “Ulang Tahun” itu, aku simak dari semua rumah tak jauh dari tempat tinggalkku. Petang tadi, Minggu (19/9), saya “dipaksa” Rani, anak saya yang nomor 3 (12 tahun), dan adiknya, Gita (4,5 tahun), untuk mengantar mereka ke pesta ulang tahun.
“Pa, nanti sore antarin Rani ama Gita ke rumah guru Rani, anaknya ulang tahun,” rengek Rani. Sementara adinya, Gita, bolak-balik bertanya, “Nanti apa ngantar Rani ke ulang tahun, ya Pa?”. Menjawab permintaan dan pertanyaan kedua putri saya itu, saya hanya bisa berkata. “iya”.
Pesta ulang tahun bagi anak-anak merupakan suatu yang menyenangkan. Maka tak heran bila ada undangan pesta ulang tahun, mereka antusias ingin menghadiri. Biasanya, anak-anak tidak mau datang terlambat. Oleh karena itu, mereka mendesak orangtua agar berangkat secepat mungkin. Datang lebih awal tidak mengapa, asal jangan terlambat. Anak-anak saya itu merasa malu bila datang terlambat.
Itulah keistimewaan anak-anak. Mereka masih memiliki rasa malu yang kental. Dalam diri mereka masih ada rasa tanggung jawab yang besar meskipun itu tidak mereka sadari. Mungkin itu yang disebut fitrah. Mereka masih suci, bersih. Jiwa anak-anak belum ternodai oleh tingkah pola orang dewasa yang selalu mengenakan topeng kepura-puraan.
Terlambat bagi anak-anak adalah MALU. Bagi orang dewasa terlambat adalah hal biasa. Kita bisa membuat diri kita terlambat datang ke tempat kerja, terlambat tiba di pesta, terlambat pulang ke rumah. Bahkan, teramat sering terlambat membayar utang atau memenuhi janji.
Kita, para orang dewasa terlalu gampang mengucapkan janji. Sementara bagi anak-anak, janji adalah sesuatu yang harus ditagih. Janganlah menganggap remeh berjanji dengan anak-anak, mereka akan terus-menerus menagh janji kita sampai kita memenuhinya atau membatalkannya. Anak-anak tidak mengerti kata konsisten atau konsekuen. Tetapi kedua istilah tersebut ada pada diri mereka.
Bahkan, kadang kita harus belajar dari kemuliaan sikap anak-anak. Mereka sangat mudah memaafkan. Tidak ada dendam dan sakit hati bagi anak-anak. Lihat saja ketika mereka berkelahi dengan teman sepermainan, mereka akan berbaikan dalam waktu kurang dari lima menit.
Tetapi, karena keegoisan kita, para orangtua, sikap-sikap mulia yang ditunjukkan anak-anak itu, tidak membuat hati kita tersentuh. Kita selalu menganggap sepele anak-anak. Kita selalu memandang mereka begitu rendah, sehingga tidak layak ditiru. Mereka kita anggap sebagai anak kemarin sore. Kita juga tak segan berkata pada mereka “Tau apa kamu? Kamu itu masih bau kencur”.
Memang, kita harus berjiwa besar agar bisa menerima anak-anak sebagai manusia, bukan sebagai anak-anak.
Diposting oleh Berita Nasional di 11.13 0 komentar
Rabu, 21 September 2011
Makan Dulu, Tausiah Belakangan
Diposting oleh Berita Nasional di 11.46 0 komentar
Senin, 19 September 2011
Selamat Jalan Pak Ruswandi
Diposting oleh Berita Nasional di 10.24 0 komentar
Anak-anak Butuh Dorongan
Diposting oleh Berita Nasional di 01.29 0 komentar
Jumat, 16 September 2011
10 Tahun untuk Mantan Bupati
Diposting oleh Berita Nasional di 01.40 0 komentar
Rabu, 14 September 2011
Mau Jadi Jurkam? Cuti Dulu Dong
Diposting oleh Berita Nasional di 11.28 0 komentar
Sssst Ada….di Ambon
Polri telah mengirim pasukan tambahan dari Satuan Brimob Polda Jawa Timur. Entahlah, kondisi
sebenarnya benar-benar kondusif atau “kondusif”?.
Kasus kerusuhan Ambon ini dipicu tewasnya seorang tukang ojek akibat kecelakaan.
Ada sinyalemen bahwa ada provokator di balik peristiwa kerusuhan itu. Menurut Kadiv Humas Mabes
Polri Irjan. Pol.Anton Bahrul Alam, Polri telah menelusuri SMS provokator yang membuat warga
terpancing.
Dalam setiap peristiwa kerusuhan, bentrok warga atau amuk massa, sudah pasti ada provokatornya.
Peristiwa seperti itu tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Sebuah peristiwa kecelakaan tak akan
meledak menjadi kerusuhan bila tak ada yang menyulut emosi massa.
Saya ingat ucapan seorang jenderal polisi ketika berjumpa saya tahun 1997, di Jakarta. Ia
mengatakan, “Dimana ada kerumunan massa, di situ berpotensi terjadi kerusuhan. Membakar emosi massa
itu sangat gampang,” katanya.
Sang jenderal bicara dalam posisi sebagai aparat keamanan. Menurut dia, aparat haruslah pandai
membaca situasi dan kondisi, melakukan analisis dan membuat perkiraan keadaan sebagai bahan laporan
kepada pimpinan agar bisa mengambil tindakan yang tepat.
Bila kita lihat dari kacamata berlawanan dari Sang Jenderal, seorang provokator bekerja juga
berdasarkan analisis keadaan. Dia membaca situasi dan kondisi, dan menunggu momentum untuk
memanfaatkannya.
Apa yang dilakukan oleh seorang provokator adalah hal biasa, dan merupakan salah satu keterampilan
seorang intelijen. Ada istilah pra-kondisi dan menciptakan kondisi. Kondisi pro dan kontra bisa
diciptakan oleh seorang intelijen tanpa harus melakukan rekayasa, tetapi dengan memanfaatkan
peristiwa di sekitar. Dan, intelijen bekerja atas perintah atasan. Atasan tertinggi intelijen-lah
yang tahu kemana muara yang dituju untuk sebuah peristiwa. Setiap peristiwa tidak berdiri sendiri,
pasti ada hubungannya dengan peristiwa-peristiwa lain dan punya tujuan spesifik.
Saya tidak perlu terlalu dalam mengulas masalah intelijen, karena bukan itu tujuan tulisan ini
dibuat. Ini hanya sebagai mata pisau analisa saja terhadap peristiwa Ambon berdasarkan apa yang
diungkapkan Kadiv Humas Mabes Polri bahwa ada provokator dibalik peristiwa Ambon.
Nah, jika betul ada provokator, lantas pertanyaannya adalah :
siapakah yang berkepentingan atasadanya kerusuhan di Ambon? Karena provokator tidak mungkin bekerja
atas keinginan sendiri, diapasti mendapat sesuatu dari peristiwa itu, mendapat upah misalnya.
Siapa yang menangguk keuntungan? Jika tidak ada keuntungan untuk apa seseorang, kelompok, atau
kekuatan tertentu menciptakan kerusuhan di Ambon.
Terus apa target jangka pendek dan jangka panjangnya?
Apakah berkaitan dengan kepentingan politik Pusat?
Apakah berkaitan dengan kepentingan politik Lokal?
Apakah berkaitan dengan kepentingan financial?
Atau ada tangan asing yang bermain untuk menggoyang kedaulatan RI?
Jika semua pertanyaan tersebut tidak benar,lantas apa tujuan si provokator memancing kerusuhan?
Apapun alasannya dan apapun tujuannya, yang jelas saudara-saudara kita di Ambon sudah menjadi
korban.
Bentrok Ambon pecah Minggu (11-9) siang. Bentrokan disebabkan SMS provokatif yang disebarkan karena
kasus meninggalnya seorang tukang ojek akibat kecelakaan.
Polri menyebut 3 orang meninggal dunia, 24 luka berat dan 65 luka-luka. 3 Rumah, 4 motor dan 2
mobil rusak akibat bentrokan tersebut.
Diposting oleh Berita Nasional di 11.27 0 komentar
Kejujuran Seharga 50 Ribu Dollar
Berita itu menceritakan kejujuran seorang bocah bernama Nate Smith. Bocah ini rela mengembalikan hadiah sebesar 50 ribu dolar demi mengutamakan kejujuran.
Kejujuran yang dilakukan Nate Smith, bocah laki-laki 11 tahun asal Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat pantas ditiru. Meski akibat kejujurannya, Nate harus kehilangan hadiah uang sebesar US$50,000 atau sekitar Rp425 juta yang diperolehnya.
Kisahnya berawal saat Nate mendapatkan kesempatan untuk memukul bola hoki es ke sebuah lubang kecil dalam jarak 27 meter.Jika berhasil memasukkan bola dalam sekali pukul maka Nate akan menerima hadiah uang yang sangat banyak.
Ternyata bocah penggemar olahraga hoki es mampu melakukan ‘hole in one’. Sehingga Nate berhak atas hadiah uang yang disediakan panitia.
Sehari setelah menerima hadiah itu, sang ayah, Pat Smith mengembalikan uang tersebut. Pat mengatakan di rumah Nate mengakui bertindak tidak jujur sehingga memenangkan hadiah tersebut. Nate mengakui bahwa nama saudara kembarnya Nick yang dipanggil panitia untuk melakukan tembakan keberuntungan. Saat namanya dipanggil, Nick tengah keluar stadion bersama seorang temannya.
Pat kemudian menyuruh Nate untuk maju ke tengah lapangan menggantikan saudara kembarnya dan mencoba keberuntungannya.
Awalnya, Pat tidak berniat mengembalikan hadiah uang itu. Namun di rumah mereka,kedua saudara kembar itu terus menerus gelisah karena hadiah yang cukup besar itu. Akhirnya Pat memutuskan mengembalikan hadiah itu karena mereka yakin bahwa kejujuran adalah tindakan terbaik.
Kejujuran keluarga Smith ini mendapat penghargaan dan pujian dari banyak pihak. Sebagai gantinya, Odds On Promotion sebagai penyelenggara kemudian mendonasikan uang sebesar US$ 20.000 dolar atau sekitar Rp 170 juta untuk Asosiasi Hoki Remaja Owatonna tempat Nate dan Nick bermain. Sebagai penghargaan, maka donasi itu diberikan atas nama Nate dan Nick,” tambah Gilmartin ketua Odds On Promotion seperti dilansir AP.
Diposting oleh Berita Nasional di 11.26 0 komentar
Papa, Gita Mau Baju Lebaran…
Diposting oleh Berita Nasional di 11.25 0 komentar
“Kita Bukan Siapa-Siapa….”
Meskipun dia mengucapkan itu dengan kata “kita”, sebenarnya ucapan itu ditujukan kepada saya. Lebih tepatnya sebagai peringatan agar saya tidak macam-macam, banyak tingkah, banyak cerita, dan lain-lain.
Di sini, di tempat baru, di perusahaan tempat saya bekerja sekarang, sangat berbeda dengan tempat dulu kami masih sama-sama. Di sini, perusahaannya lebih besar. Dan, rekan saya itu menduduki posisi penting. Dia staf di perusahaan ini.
Pada waktu itu — ketika dia mengucapkan kata-kata “kita bukan siapa-siapa…” — saya baru saja bergabung di perusahaan itu sebagai tenaga kontrak. Beda jauh dengan dia.
Tenaga kontrak di sini hanya punya hak menerima gaji, tempat tinggal di mes hanya untuk diri sendiri, jaminan kesehatan gratis di medical perusahaan juga hanya untuk diri sendiri. Kalau berobat diluar medical perusahaan, biaya ditanggung sendiri. Begitu juga kalau keluarga berobat meskipun di medical perusahaan, tetap bayar.
Sedangkan rekan saya (sekarang mungkin lebih tepat sebagai mantan rekan) sebagai staf dia mendapat hak-hak yang luar biasa istimewa. Gaji besar plus tunjangan ini-itu, punya hak antar-jemput kendaraan kijang innova milik perusahaan. Kemudian ada hak menerima bonus 7x gaji, uang THR 1 bulan gaji. Berobat dimana pun ditanggung perusahaan. Ada lagi asuransi kesehatan, jamsostek, dan beasiswa untuk putra-putri mulai dari SD sampai perguruan tinggi.
Dulu ketika masih sama-sama di koran harian, hidup kami senasib sepenanggungan. Saya sedikit lebih dari dia, karena saya punya banyak kenalan kalangan perwira menengah dan perwira tinggi militer dan kepolisian. Saya juga sempat dipercaya memimpin organisasi pers. Bergaul dengan banyak pejabat pemerintahan.
Mungkin karena itu pula, mantan rekan saya itu mengingatkan bahwa “kita” bukan siapa-siapa di sini. Tentu saja yang dimaksud “kita” hanya diri saya. Di sini, di tempat baru ini, saya tidak boleh menceritakan bagaimana pergaulan saya dulu ketika belum masuk perusahaan ini.
Saya tidak tahu pasti apa tujuannya menekankan kata “Bukan siapa-siapa” tersebut.
Sebenarnya, tanpa diingatkan pun saya sudah tahu bahwa saya “bukan siapa-siapa”. Di perusahaan ini saya merasa hanya sebagai “orang numpang hidup”. Perasaan itu tentu saja muncul di hati saya lantaran perbedaan status dan hak dibanding para karyawan tetap dan staf.
Di perusahaan ini para karyawan dan staf merasa sebagai pemilik perusahaan ketimbang sebagai pekerja atau buruh. Padahal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hanya ada satu sebutan untuk orang yang bekerja pada orang lain, yakni buruh. Baik dia bekerja di perusahaan maupun pada orang pribadi sebutannya tetap saja buruh.
Jadi, sebenarnya meskipun saya tenaga kontrak dan mereka karyawan tetap maupun staf, pada hakikatnya tetap saja sama — sama-sama buruh atau pekerja. Toh kami sama-sama digaji oleh perusahaan, yang nota bene adalah milik seorang investor. Sebenarnya kami semua adalah kacung-kacung dari investor.
Apakah dia berstatus karyawan atau staf, tetap saja hakikatnya mereka adalah pesuruh atau orang suruhan Sang Investor. Mereka bukan pemilik perusahaan. Begitu juga dengan saya.
Dalam hati saya mengatakan bahwa mereka hanya pesuruh yang berlagak sebagai pemilik perusahaan. saya tidak perlu berkecil hati. Toh kami sama-sama pesuruh atau kacung.
Diposting oleh Berita Nasional di 11.21 0 komentar
Mau Jadi PNS? Fulus Dulu Dong
Sebagaimana lazimnya pertemuan dua keluarga tentu dipenuhi basa-basi dan cerita-cerita ringan untuk mempererat hubungan perbesanan. Setelah ngalor-ngidul cerita sana-sini, besan saya yang laki-laki menyinggung soal pekerjaan puteranya, yang dimaksud adalah menantu saya.
“Sebentar lagi Pak, SK anak kita akan keluar. Dia akan bekerja di kantor Pemerintah Kabupaten….Dia diterima jadi PNS,” demikian Besan saya berkata pada saya.
“PNS Pak?” saya bertanya dengan nada bingung. Terus terang, saya bingung karena sepengetahuan saya, menatu saya tersebut tidak pernah memasukkan lamaran apalagi ikut tes CPNS. Bagaimana mungkin bisa diterima jadi PNS?
“Iya, PNS!,” tegas besan saya dengan nada tinggi untuk meyakinkan saya.
“Syukur alhamdulillah kalau begitu pak,” kata saya masih diliputi keraguan. Meskipun demikian saya berpura-pura percaya seratus persen pada besan. Ini untuk menjaga perasaannya agar tidak merasa diremehkan.
Mungkin karena masih melihat keraguan di wajah saya, tanpa diminta Besan saya menjelaskan bahwa dia dan isterinya telah memberikan uang Rp.90 juga kepada seorang oknum PNS di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Anu (nama kabupaten sengaja tidak ditulis).
Terus terang saya tidak terkejut mendengar tentang sogok-menyogok dalam penerimaan PNS. Tetapi, yang membuat saya terkejut adalah Besan saya memberikan uang Rp.90 juta untuk menjadikan 3 orang anaknya PNS. Ini jelas penipuan.
Mengapa saya katakan penipuan? Karena seperti saya tulis di atas bahwa masuk PNS harus menyogok itu sudah bukan rahasia lagi. Tetapi tiap jenjang itu ada tarifnya sendiri. Jenjang sarjana misalnya Rp.80 juta - Rp.100 juta; D3 kisaran Rp.75 juta - Rp.80 juta. Nah, untuk jenjang SMA Rp.60 juta per-orang.
Lah! Ini besan saya hanya diminta Rp.90 juta untuk tiga orang - dua dari tiga anaknya sarjana, satu orang SMA. Pejabat mana yang mau menjamin ketiga anak besan saya itu bisa jadi PNS dengan uang segitu? Apalagi tanpa tes. Jelas ini tidak masuk akal.
Seperti ingin lebih meyakinkan saya, Besan saya itu menegaskan “Bulan-bulan ini Pak! Paling lambat April nanti SK-nya kita terima dan anak kita langsung ditempatkan,” katanya pada waktu itu.
Dalam hati saya berkata “tunggu sajalah kau akan tahu bahwa engkatu telah ditipu”.
Sepulang besan dari rumah saya, saya katakan pada isteri bahwa besan kami itu telah kena tipu.
“Koq papa bisa tahu?” tanya isteri saya meragukan kemampuan saya membaca situasi.
“Papa tahu, karena papa sedikit banyak mengerti bagaimana permainan oknum-oknum di kantor pemerintahan memanfaatkan celah penerimaan CPNS.Kalau mama gak percaya tunggu saja nanti bulan April apa SK-nya benar-benar keluar atau tidak?” kata saya pada isteri.
Singkat cerita Bulan April pun berlalu, SK yang dijanjikan kepada besan saya tidak ada kabarnya.
Sebulan kemudian (Mei) Besan saya datang lagi ke rumah. Dia bilang ada kabar dari kontak person-nya soal SK PNS itu bahwa ada sedikit masalah administrasi. Si kontak person Besan saya mengatakan SK akan keluar Bulan Juni. Besan saya tampak mulai bimbang, itu terlihat dari ekspresinya yang kurang bersemangat.
Bulan Mei berlalu, kemudian Bulan Juni pun lewat, SK yang ditunggu tak kunjung keluar.
Awal Juli Besan saya mendapat kabar SK akan keluar akhir Juli. Kabar itu disertai janji kalau SK tidak keluar uang Rp.90 juta akan dikembalikan. Besan saya sudah punya rencana lain jika uang dikembalikan. Dia akan memberikan uang itu kepada menantu saya untuk modal usaha di pasar.
Sekarang bulan Juli sudah terlewati, janji oknum tersebut ternyata gombal belaka. Besan saya tak ada suaranya lagi. Baru tahu dia kalau sudah kena tipu.
Diposting oleh Berita Nasional di 11.19 0 komentar
Anak Singkong
Diposting oleh Berita Nasional di 11.12 0 komentar
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda